Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Mitos Larangan Ucapkan Mantra Tri Sandya Di Pura Julah

$
0
0

Desa Julah adalah desa yang sangat kuno diantara desa lainnya, desa ini berada di kecamatan Tejakula kabupaten Buleleng. Desa ini merupakan desa yang sangat “pingit” dalam istilah Balinya. Maka dari itu penduduk di sana tidak boleh sembarangan dalam berkata maupun dalam bertingkahlaku. Penduduk di sana haruslah mematuhi awig-awig yang berlaku. Awig-awig tersebut yaitu salah satunya dilarang mengucapkan mantram tri sandhya pada saat melakukan persembahyangan baik dipura maupu ditempat suci lainnya. Hal tersebut sudah tentu merupakan suatu kepercayaan yang menjadi mitos dalam desa julah tersebut.

Konon, ceritanya zaman dulu Betara atau Dewa disana sangat menginginkan desa Julah hanya fokus dan mengutamakan agamanya. Betara tersebut tidak menginginkan desa tersebut membuat rumah yang bagus, baju yang bagus, desa tersebut harus merawat dan menjaga Pura nya, tetapi merajan atau pelinggihnya (pura) tidak pernah diingat oleh mereka. Maka dari itu betara di sana dapat dikatakan marah dan akhirnya dewa atau betara tersebut membuat desa itu menjadi serba polos dan masih kuno sampai sekarang. Hal itu juga membuat desa itu dilarang untuk melaksanakan puja tri sandhya pada saat bersembahyang di pura desa itu. Desa Julah tersebut pada saat sembahyang di pura atau di tempat suci di sana hanya   cukup mencakupkan tangan dengan bunga dan memohon kepada tuhan. Apabila penduduk di sana melanggar awig-awig atau mengggunakan mantram Puja Tri Sandhya maka akan cepat terjadi sesuatu yang menimpa dirinya.

Pernah waktu dulu diceritakan ada yang melanggar atau menggucapkkan mantram Tri Sandhy pada saat sembahyang maka orang tersebut terkena musibah yang menimpa dirinya yaitu jatuh sakit. Pada saat orang tersebut jatuh sakit, pihak keluarganya mencarikan orang pintar yang kemudian kemungkinan yang menyebabkan sakit itu karena mengucapkan mantram Tri Sandhya pada saat sembahyang di pura. Dengan kejadian tersebut maka penduduk desa Julah itu meyakini mitos tersebut yaitu “ dilarang menggunakan atau mengucapkan mantram Tri Sandhya pada saat sembahyang di pura Julah”. Kepercayaan itu juga sampai saat ini masih diyakini oleh penduduk Julah. —sumber


Legenda Barong Landung

$
0
0

Sejarah dari Barong Landung merupakan perwujudan dari raja Bali yaitu Raja Jaya Pangus yang memperistrikan seorang Putri Cina bernama Kang Cing Wei. Raja Jaya Pangus diwujudkan dalam Barong Landung ditokohkan dengan boneka besar hitam dan giginya ronggoh, sedangkan putri Kang Cing Wei ditokohkan dengan boneka cantik tinggi langsing bermata sipit dan selalu tersenyum mirip dengan roman muka seorang Cina.

Raja Jaya Pangus yang bertahta di Pejeng yang tidak diketahui di Bali pada jaman paparaton dari dinasti Warmadewa, didampingi oleh seorang Bhagawan yang sakti dan bijaksana bernama Empu Siwagana. Perkawinan Raja Jaya Pangus dengan Putri Cina sudah terjadi tetapi Sang Hyang Bhagawanta tidak merestui perkawinan itu. Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni telah dengan berani mengawini putri Cina yang elok bernama Kang Cing Wei itu. Empu Siwagana lalu menghukum Raja Jaya Pangus dengan membuat hujan lebat dan membuat kerajaan menjadi banjir dan tenggelam. Walaupun perkawinanya tidak direstui oleh Dewa, ia tetap mencintai istrinya seorang Cina itu.

Raja Jaya Pangus akhirnya pergi dan membuat kerajaan baru yang diberi nama kerajaan Balingkang. Nama ini merupakan perpaduan dari kata Bali = bali, dan Kang = Cina. Raja kemudian dijuluki oleh rakyatnya sebagai Dalem Balingkang. Sayang, karena lama mereka tidak mempunyai keturunan, raja pun pergi ke Gunung Batur, memohon kepada dewa di sana agar dianugerahi anak. Namun celakanya, dalam perjalanannya ia bertemu dengan Dewi Danu yang jelita. Ia pun terpikat, kawin, dan melahirkan seorang anak lelaki yang sangat kesohor hingga kini yaitu Maya Danawa.

Sementara itu, Kang Cing Wei yang lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.

Dewi Danu dengan marah berapi-api menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei dilenyapkan dari muka bumi ini. Oleh rakyat yang mencintainya, kedua suami istri  “Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei”  itu lalu dibuatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah kemudian berkembang menjadi Barong Landung.

Mengenai sejarah tari Barong Landung versi lainnya, pada jaman dahulu di suatu desa terjadi musibah, penduduk banyak yang jatuh sakit. Sebagai kepercayaan turun temurun bahwa yang menyebabkan banyak jatuh sakit adalah “leak” pengikut dari ratu jahat berbentuk raksasa besar dari Nusa Penida bernama Ratu Gde Mecaling. Untuk menanggulangi wabah tersebut timbul akal dari seorang pendeta untuk membuat boneka yang menyerupai Ratu Gde Mecaling sebagai pengusir leak tersebut.

Apabila Barong Landung ini pergi ngelawang khususnya pada saat ada wabah penyakit atau ada orang berkaul karena telah sembuh dari penyakitnya, karena gangguan Ratu Gde Mecaling dari Nusa Penida dapat diusir. Melihat tari Barong Landung sebagai tarian boneka raksasa yang besar, diberi nama Djero Gde dan Djero Luh. Djero Gde digambarkan sebagai manusia raksasa yang sangat seram dan tertawa terbahak-bahak sedangkan Djero Luh adalah sesosok wanita yang besar bermata sipit tetapi sering lucu. Berdasarkan kepercayaan pada sejarah te

rsebut, keberadaan Barong Landung tetap hidup dan dipentaskan sampai saat ini. Barong Landung juga dikeramatkan di beberapa pura di Bali salah satunya di Desa Blahbatuh Gianyar karena diyakini mempunyai kemampuan gaib untuk mengusir malapetaka dari segala musibah penyakit.

Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang lebih lengkap dari pada yang hanya sepasang saja, tetapi ada yang diberi peran seperti Mantri, Galuh, Limbur dan sebagainya. Mereka dipakai sebagai anggota dalam pementasan yang membawakan lakon Arja (terutama didaerah Badung dan Denpasar) dan diiringi dengan gamelan Batel. —sumber

Makna Kain Poleng Di Bali

$
0
0

Bali punya banyak “hiasan” khas yang senantiasa menjadikan wajah Bali punya gaya tersendiri. Salah satu yang pasti anda jumpai saat menginjakkan kaki di tanah dewata ini adalah kain motif kotak-kotak berwarna hitam putih. “Kain Poleng” begitulah nama kain yang bercorak mirip papan catur itu.

Penggunaan Kain Poleng

Kain Poleng sudah menjadi identitas Bali, kemana mata memandang disana selalu ada kain Poleng. Penggunaannya tidak hanya untuk benda dan acara yang bersifat sakral tapi juga profan atau non-sakral. Benda-benda adat yang dipakaikan kain Poleng seperti tedung (payung), umbul-umbul, palinggih (tugu pemujaan), patung, dan kulkul (kentongan sebagai alat komunikasi). Warung, kafe, dan hotel di Bali juga tidak ketinggalan mendekor perabotnya seperti meja dan bantal dengan kain poleng. Bahkan tiang-tiang dan pohon-pohon di Bali pun bersarung kain Poleng. Dalam pertunjukan seni kain Poleng tidak pernah alfa disertakan. Seperti oleh penari dalam tari-tarian tradisional Bali, pelakon dalam drama/ dramatari, dan beberapa tokoh dalam perwayangan. Tidak sampai disitu, kain Poleng juga menarik minat wisatawan untuk ikut memakainya. Bahkan, dalam Sastra Lontar Purwadigama, Pecalang atau petugas keamanan desa adat di Bali diwajibkan mengenakan kain Poleng sebagai udeng atau penutup kepalanya.

Filosofi Kain Poleng

Kain Poleng sebenarnya ada 3 jenis warna. Namun yang paling sering ditemui di Bali adalah kain Poleng berwarna hitam putih. Ketiganya memiliki makna dibaliknya, serta hubungan yang erat dengan filosofi ajaran Hindu. Yang pertama disebut “Rwabhineda” yaitu kain Poleng berwarna hitam putih. Dua warna bertolak belakang ini mencerminkan adanya 2 sifat di alam ini yang berlawanan seperti baik-buruk, tinggi-rendah, gelap-terang, dan sebagainya. Alasan mengapa di Bali semua Pecalang diharuskan memakai kain Poleng jenis Rwabhineda sebagai udengnya karena diharapkan ia selaku petugas keamanan mampu membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah, aman dan kacau.

Jenis yang ke dua dinamakan “Sudhamala” yakni kain Poleng berwarna hitam, abu-abu, putih. Adanya warna abu-abu dalam corak kain ini mewakili sifat pertengahan, perantara, dan penyeimbang antara sifat hitam dan putih.

Jenis kain Poleng yang ke tiga yakni “Tridatu” berwarna hitam, putih, dan merah. Filosofinya berkaitan dengan ajaran Triguna atau tiga sifat yang mempengaruhi manusia. Warna putih melambangkan sifat tenang dan bijaksana, warna merah melambangkan sifat dinamis dan berenergi, dan warna hitam melambangkan sifat terhambat dan berat. Warna Tridatu juga melambang lahir, hidup, dan mati jika dipandang menurut mitologi Dewa Tri Murti. Dimana merah melambangkan penciptaan (Dewa Brahma), hitam melambangkan pemeliharaan (Dewa Wisnu), dan putih melambangkan peleburan (Dewa Siwa).

Namun ketiga jenis kain Poleng ini memiliki satu kesamaan fungsi yakni penggambaran hakikat kehidupan serta pesan untuk menjaga keseimbangan. —sumber

Bhuta Cuil, Roh Gentayangan Menurut Hindu

$
0
0

Istilah “atma kesasar” sudah lumrah bagi masyarakat Bali. Di setiap wilayah desa di Bali pasti saja ada cerita berkaitan dengan atma kesasar. Hal ini sangatlah wajar, mengingat Hindu Bali dengan filosofi atma tatwa sangatlah rinci dan mendalam mengurai mengenai atma. Namun dalam konteks atma kesasar, sejatinya yang kesasar bukanlah atma itu sendiri, namun “roh”. Sebab “atma” itu sendiri adalah percikan kecil dari “paramatman” yang memiliki sifat sama dengan paramatman. Artinya atma itu sendiri adalah murni dan bebas dari pengaruh suka dan duka. Sedangkan roh adalah atman yang diselubungi cita, budi, manah, ahamkara yakni sudah diliputi keinginan, kemauan, keakuan (ego), kecerdasan, akal, serta pikiran-pikiran baik maupun buruk.

Hal inilah yang menyebabkan atma yang tadinya murni menjadi terkungkung dalam emosi, keinginan, cita-cita serta perasaan-perasaan. Dalam kondisi begini atma sudah tidak murni lagi, bahkan sudah terkungkung dalam awidya atau kegelapan. Inilah yang kemudian mempengaruhi sifat manusia sebagai badan yang dihidupkan oleh atma yang sudah terkungkung yang disebut dengan roh. Dalam liputan awidya (kegelapan) tersebut, roh memiliki keinginan tertentu untuk memuaskan cita atau hasrat hatinya yang terwujud dalam berbagai pikiran, perkataan dan perbuatan. Keinginan yang sangat tinggi tersebut sampai-sampai terbawa mati, sehingga roh manusia yang meninggal masih membawa perasaan-perasaan, masih membawa keinginan, cita-cita, bahkan dendam sesuai dengan pengalaman hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan roh manusia masih bergerak aktif ketika tubuhnya sudah mati.

Sehingga banyak cerita mengenai roh gentayangan di muka bumi ini untuk memenuhi hasrat keinginannya yang masih tersimpan dalam memori badan astral (badan halus) nya. Bahkan banyak roh yang masih menyimpan dendam untuk membalas pada setiap kesempatan. Sehingga seringkali kita mendengar cerita tentang seseorang yang dihantui oleh bayangan-bayangan dari seseorang yang sudah meninggal. Selain itu ada pula roh-roh bergentayangan untuk menjalankan hasrat cintanya kepada seseorang yang semasih hidup sangat dicintai, atau ketika masih hidup cintanya tak kesampaian dan terbawa sampai orang itu meninggal.
Lain lagi cerita bahwa roh yang menangis tersedu-sedu di suatu tempat yang kerapkali dilihat oleh orang yang memiliki kemampuan untuk itu. Bisa jadi roh tersebut terpelanting secara tiba-tiba tanpa disadari oleh roh itu sehingga ia mendapatkan dirinya berada pada suatu tempat yang tak pernah dikenalnya, sehingga ia bingung, kesepian lalu menangis sendirian. Nah untuk roh seperti ini, maka manusia Bali dengan keyakinan Hindunya menjemput roh tersebut melalui jalan “Ngulapin”.
Ada lagi roh manusia yang selalu menjaga badannya yang telah dikubur, karena sang roh sangat sayang dan menyukai badan kasarnya itu bagaikan ketika masih hidup. Roh-roh seperti ini kerapkali tampak di kuburan sebagai hantu kuburan yang selalu berada dekat dengan badannya yang sudah dikubur. Seolah-olah roh tersebut terbelenggu oleh kecintaaanya kepada badan kasarnya (stula sarira) tersebut. Untuk hal inilah manusia Bali menyiasati dengan melakukan “Ngaben” dengan maksud untuk mempercepat proses pengembalian badan kasar menuju ke panca maha bhuta agar roh tak terbelenggu dengan badan kasarnya, dan sang roh itu diberikan penyucian.

Selanjutnya roh yang masih terbungkus dalam badan astral (suksma sarira) tersebut kemudian dilakukan upacara “memukur”, sehingga sang roh dapat menuju ke alam sunia untuk menjalani proses karma selanjutnya sesuai dengan suba asuba karmanya. Terkait dengan “atma kesasar” yakni ibaratkan sebagai roh yang salah tempat, roh yang terobsesi dengan keinginanya sehingga bergentayangan ke sana ke mari untuk memenuhi hasratnya seperti ketika masih hidup di dunia. Sebab roh yang demikian tak menyadari bahwa alam mereka sudah berbeda, sehingga tak bisa berbuat seperti berada di alam manusia dengan badan kasarnya.

Kerapkali yang begini ini tampak seperti hantu bergentayangan yang sering menghantui manusia.
Dalam kehidupan manusia Bali, maka roh manusia yang telah meninggal tersebut dimohonkan oleh orang yang memiliki kewaskitaan dengan sarana “Tirta Pengentas”. Entas artinya jalan. Tirtha pengentas adalah tirtha atau air suci yang memiliki kekuatan untuk menenangkan roh, untuk menyadarkan roh bahwa ia telah berada pada dunia yang lain, serta menunjukkan jalan kepada sang roh untuk menuju jalan yang mesti dituju sesuai dengan suba asuba karmanya di alam sunia. Sehingga dengan demikian roh orang yang mening

gal di Bali tak akan kesasar, salah jalan, salah tempat serta tak diliputi oleh keinginan duniawi, sehingga tak bergentayangan lagi.

Nah apabila hal ini tak dilakukan, maka roh-roh orang yang meninggal akan mengalami kebingungan, tak ada yang menuntun di alam sunia, roh-roh akan menjalankan keingian duniawinya bergentayangan ke sana kemari menghantui kehidupan manusia di dunia, sehingga dalam agama Hindu Bali disebut dengan Bhuta Cuil atau hantu kuburan, roh gentayangan, atma kesasar, dll. Oleh karena itu, tirtha pengentas sangat penting dalam proses penguburan dan pengabnenan menurut keyakinan Hindu Bali. —sumber

Lontar Roga Sangara Bumi, Lontar Pertanda Dari Alam

$
0
0

Roga berasal dari bahasa Sansekerta berarti: penyakit, sakit, dan cacat badan. Sanghara /Samhara juga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti menarik kembali, meniadakan, rusak, lebur, kehancuran, pembinasaan (Mardiwarsito, 1981: 507). Kata bhumi dari bahasa Sansekerta masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna, kemudian menjadi Bahasa Indonesia dengan perubahan ejaan menjadi bumi. Jadi ROGA SANGARA BUMI berarti menetralisir atau meniadakan bencana di dunia.

Secara garis besar naskah lontar ROGA SANGARA BHUMI berisi tentang :

  1. Sebab-sebab malapetaka/bencana terjadi di dunia
  2. Jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi di dunia
  3. Beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana

Menurut lontar Widhi Sastra yang terdapat dalam Roga Sangara Bumi, masyarakat Bali setiap lima tahun sekali harus melaksanakan upacara tawur agung yang disebut dengan Panca wali krama. Upacara ini dilaksanakan di Pura Besakih. Dikatakan ini merupakan sabda dan titah dari Bhatara Putrajaya yang berstana di Gunung Agung.

Sebagai konsekuensi apabila upacara itu tidak dilakukan, maka Bhatara Putrajaya akan kembali ke Gunung Mahameru. Dari situ beliau akan menyebarkan segala penyakit mematikan dan dunia dibuat hancur. Saudara bertengkar dengan saudara, terjadi kerusuhan di sana-sini. Adapun tujuan dari upacara tawur agung Panca wali krama adalah untuk menghaturkan persembahan berupa jenis-jenis hasil bumi, beberapa satwa, yang dipersembahkan kepada para dewa dan para bhutakala.

Kepercayaan masyarakat Bali bahwa dalam kurun waktu lima tahun sudah dapat dipastikan daerah Bali dan juga daerah lainnya telah terjadi kekotoran. Setidak-tidaknya kekotoran pikiran manusia (manacika), perkataan (wakcika), dan perbuatan (kayika), yang menyebabkan bumi kotor (cemer ikang bhuwana). Melalui upacara tawur agung Panca wali krama diharapkan para dewa tidak lagi marah dan dapat memaafkan kelakuan manusia. Bumi menjadi bersih (kaparisudha). Demikian pula para bhutakala dapat dinetralisir sehingga tercipta kedamaian di bumi (sutrepti ikang rat).

Apabila terjadi bencana alam secara insidental, dan masyarakat Bali menginginkan kerahayuan jagat, maka dalam Roga Sangara Bumi disebutkan ada beberapa jenis upacara keselamatan yang dapat dilakukan:

  • Upacara prayascita, yaitu upacara penyucian bumi pada tatanan yang kecil seperti bangunan pribadi, kebun, dan sebagainya.
  • Guru Piduka, yaitu upacara permohonan maaf kepada para dewa karena ulah manusia bumi menjadi kotor (cemer),
  • Labuh Gentuh, yaitu upacara penyucian bumi yang tingkatnya lebih tinggi dari prayascita.

Di sini terlihat apabila terjadi bencana alam, masyarakat Bali tidak akan ribut sana-ribut sini menyalahkan orang, pemerintah dan lain-lain. Bencana yang terjadi justru menyadarkan masyarakat Bali bahwa kita telah banyak mengotori bumi, Para dewa dan bhutakala marah pada manusia. Untuk itu masyarakat Bali lebih banyak menyikapi dengan kearifan lokal yang termanifestasikan di dalam Roga Sangara Bumi.

Upacara-upacara penyucian bumi segera dilakukan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.  Mulai dari upacara penyucian bumi tingkat rumah tangga, tingkat desa, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat propinsi. Upacara ini ditujukan kepada para dewa, bhutakala,  agar sudi memaafkan ulah manusia, mengmbalikan bumi ini menjadi bersih dan suci kembali. Tujuan yang paling penting sudah tentu agar tidak lagi terjadi bencana alam atau dijauhkan dari segala malapetaka.

Roga Sangara Bumi juga menjelaskan ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang bermuara akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Di samping itu ada pula ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang mengarah ke kebaikan.

Adapun berikut ini beberapa tanda-tanda alam yang berarti keburukan akan terjadi:

  1. Ada pelangi yang masuk ke keraton dan minum air pada saat hujan. Ini pertanda raja atau pemimpin akan berumur pendek. Untuk mengantisipasi hal seperti itu harus dibuatkan caru (kurban) keselamatan.
  2. Ada binatang kijang, menjangan, berlari-lari masuk ke desa, masuk ke rumah-rumah berkeliling. Ini pertanda buruk bahwa desa itu katadah kala (dimakan bhutakala). Para satwa itu diperintahkan oleh para dewa karena desa itu kotor, tidak ada rohnya bagaikan hutan belantara. Untuk mengantisipasi hal itu, penduduk harus segera membuat upacara selamatan.
  3. Kahyangan (tempat pemujaan) ditimpa pohon, terbakar, diterjang angin puyuh, apalagi saat melaksanakan upacara yadnya. Ini pertanda buruk dan akan terjadi bencana yang lebih dahsyat. Masyarakat harus segera membuat upacara prayascita(penyucian).
  4. Ada bintang berekor (bintang kukus) di langit. Ini isyarat raja atau pemimpin akan kena musibah besar seperti ajal dalam sebuah pertempuran.
  5. Bila ada hujan darah, anjing melolong-lolong di jalan raya, burung gagak bersuara di malam hari, burung hantu bertarung dengan burung hantu, ada percikan darah di balai-balai atau di lantai. Ini pertanda masyarakat akan tertimpa wabah penyakit mematikan. Untuk menetralisir akibat dari tanda-tanda itu, masyarakat harus segera melakukan upacara selamatan.
  6. Segala hewan piaraan manusia seperti sapi, kerbau, kambing, dan sebagainya terjadi salah pasangan . Artinya terjadi perkawinan bukan sesama hewan sejenis, umpama: sapi kawin dengan kerbau, ayam dengan itik, anjing dengan babi, dan sebagainya.
  7. Hal salah pasangan juga dapat terjadi pada diri manusia seperti: paman kawin dengan kemenakan, ayah dengan anak, saudara kawin dengan saudara. Ini pertanda bhutakala telah merasuk  ke tubuh manusia. Ini harus segera dinetralisir dengan upacara penyucian jagat agar bhutakala kembali ke alamnya.
  8. Ada orang melahirkan dengan wujud yang tidak normal atau aneh, pohon kelapa di halaman  disambar petir, pintu gerbang  juga disambar petir. Semua tanda-tanda ini menandakan dunia telah kotor dan rusak. Untuk menetralisir segera dibuatkan upacara selamatan.

Di samping tanda-tanda yang menunjukkan alam akan terjadi mala petaka atau alamat buruk, dalam Roga Sangara Bumi juga berisi beberapa tanda-tanda yang menunjukkan alamat dunia akan baik, yaitu:

  • Apabila ada hujan airnya tanpak kekuning-kuningan, ini disebut dengan madewa sudha (pembersihan oleh dewa). Hujan ini pertanda baik terutama terhadap orang yang kejatuhan hujan tersebut.
  • Bila ada hujan airnya keputih-putihan maka ini juga perntada baik. Desa yang kejatuhan hujan seperti itu akan selamat, seperti segala penyakit akan menjauh.

Gempa adalah salah satu peristiwa alam yang amat mengerikan dan membuat manusia traumatis. Gempa dapat terjadi di mana  saja, kapan saja, dan terkadang getarannya kecil tidak membahayakan. Apabila getarannya besar, maka gempa dapat membuat  bumi luluh lantak (pralaya). Roga Sangara Bumi juga berisi tentang bencana alam gempa beserta baik buruknya berdasarkan sasih(bulan) terjadinya gempa tersebut. Berikut uraiannya:

  1. Bila sasih kepitu (Januari) datangnya gempa secara terus-menerus, menandakan akan terjadi perang tidak henti-hentinya. Berbagai penyakit akan menimpa masyarakat.
  2. Bila sasih kaulu (Februari), dan sasih katiga (September) datangnya gempa secara terus-menerus, ramalannya akan  terjadi wabah penyakit sampai banyak orang meninggal.
  3. Bila sasih kesanga (Maret) datangnya gempa secara terus-menerus, ramalannya negara tidak akan menentu. Para pembantu meninggalkan tuannya.
  4. Bila sasih kadasa (April), ramalannya negara akan menjadi baik. Ini berarti sebagai pengundang Bhatara berbelas kasih kepada manusia.
  5. Bila sasih jyesta (Mei) dan sasih sada (Juni), ramalannya akan terjadi banyak orang sakit tidak tertolongkan.
  6. Bila sasih kapat (Oktober), sasih kalima (November) ramalannya sebagai pengundang dewata. Para dewa senang tinggal di bumi. Bumi akan mendapat kerahayuan. Segala yang ditanam akan hidup subur dan berhasil (saphala sarwa tinandur). Raja atau pemimpin bijak dan berbudu rahayu.
  7. Bila sasih kanem (Desember), ramalannya banyak orang akan jatuh sakit tidak tertolongkan. Untuk menetralisir patut segera dibuatkan upacara persembahan caru selamatan.

Kecuali pengaruh dan ramalan gempa yang terjadi akan mengarah ke kebaikan, maka gempa yang terjadi dan berakibat buruk pada kehidupan harus segera dibuatkan upacara caru selamatan. Gempa yang terjadi pada bulan-bulan yang berbeda dan berpengaruh buruk terhadap kehidupan manusia akibat marahnya para dewa. Untuk jenis upacara persembahan selamatan dan ditujukan kepada dewa siapa,  tergantung dari sasih (bulan) berapa terjadinya gempa tersebut. —sumber

Hari Baik Untuk Memotong Rambut Menurut Hindu Bali

$
0
0

Di Bali masyarakatnya sangatlah peka terhadap apapun yang ada disekelilingnya, dari hal yang besar sampai hal yang paling kecil sekalipun. Merawat alam adalah pokok ajaran agama Hindu Bali, menjaga keseimbangan sebagai ajaran adi luhung para pendahulu. Terlepas dari merawat bhuana agung atau alam, bagi orang Bali yang identik dengan kesucian, merawat diri tentu saja menjadi pedoman utama, namun dalam hal ini bukan merawat diri dalam artian berhias, selain dengan cara melukat, dalam keseharian bahkan dalam memotong rambut pun orang Bali sangat fanatik dalam memilih hari yang baik untuk memotong rambut.
Entah bagaimana dan sejak kapan hal itu sangat dipercayai dan dipegang teguh oleh kalangan masyarakat sampai saat ini. Rambut adalah mahkota yang harus dirawat secara baik, bukan saja dengan shampoo, namun dalam artian juga dirawat dengan kesucian, bagi orang Bali apapun yang posisinya di atas seperti rambut yang keberadaannya di kepala, haruslah dijaga.
Dia menjelaskan, hari yang kalau di Bali disebut dengan saptawara masing-masing dipercayai memiliki pengaruh yang sangat besar dengan kehidupan. Termasuk dengan hari baik yang dipilih untuk memotong rambut, notabene hari yang dipilih kebanyakan orang adalah hari Rabu, hari Rabu adalah harinya Dewa Wisnu, simbol memelihara, memelihara kebaikan, hari Rabu juga identik dengan hari raya besar Hindu seperti Buda Cemeng, Buda Kliwon. Sehingga kebanyakan di saat hari itu tukang cukur di Bali di mana-mana biasanya akan padat pengunjung. Hari yang uripnya besar (pancawara dan saptawaranya), karena jika memotong rambut di hari yang baik, maka akan berpengaruh juga pada kehidupan dan kelancaran rejeki.
Namun selain itu, menurut masyarakat, ada juga hari ataupun dewasa yang dipantangkan untuk memotong rambut, bahkan itu berlaku sampai sebulan lamanya, tepatnya adalah di saat mulai menjelang Galungan sampai setelah Kuningan, atau dikenal masyarakat dengan Nguncal Balung, selama itu masyarakat mengatakan pantang sekali untuk memotong rambut dan juga melaksanakan kegiatan yang tingkatannya besar. Karena dikatakan akan berpengaruh buruk pada yang akan dikerjakan. Nguncal artinya membuang kemudian balung artinya tulang. Nguncal balung, bisa diartikan sesudah penampahan tidak diperbolehkan lagi nampah buron, tidak boleh lagi ada rah.
Dia lalu lanjut menjelaskan, tentang lokal genius yang berkembang di daérah bahwa tidak boleh memotong rambut selama nguncal balung, ditafsirkan rambut dalam konsép Siwa adalah sebagai lambang nafsu, tidak memotong rambut pada saat itu diartikan tidak memotong jalan menuju Hyang Widhi. Beliau lanjut menjelaskan, nafsu itu tidak mesti dihilangkan, namun perlu dikendalikan, itu sebabnya rambut seharusnya di sisir sebelum melaksanakan acara.
Kita tidak tahu menghilangkan hawa nafsu, namun kita mengetahui pengendalian nafsu, karena nafsu itu juga penting sebagai semangat hidup, namun jangan sampai pula nafsu yang menguasai diri, namun kita yang harus menguasai nafsu tersebut  Kemudian jika dikaitkan dengan mengapa di saat matelubulanan dan metatah rambut di potong sedikit, dijelaskannya, itu juga adalah sebagai simbol mengendalikan nafsu, di sanalah dibutuhkan pemaknaan dan kesadaran yang lebih. Simbol dari pengendalian selalu memperhitungkan waktu (kala), kalau kita baik memperhitungkan waktu, maka diharapkan segala kebaikan akan tercapai. —sumber

Mitos Janur (Busung) Sebagai Sarana Upakara Di Bali

$
0
0

Dibalik banyaknya fungsi dari janur sesuai dengan jenis-jenis janur, ada sekelumit mitologi sehubungan dengan janur. Dalam Usana Bali dikisahkan, Dewa Pasupati yang berstana di Gunung Maha Meru mengutus anaknya Dewa Putra Jaya serta Dewi Danuhuntuk pergi dan berstana di Bali. Beliau diharapkan menjadi junjungan bagi umat di Pulau Bali. Sebelum keberangkatannya ke Bali, Dewa Pasupati memberikan berbagai wejangan kepadanya. Demikian pula Dewa Pasupati menganugrahkan kain kepada Dewa Putra Jaya (Dewa Maha Dewa) dan Dewi Danuh sebagai bekal dalam perjalanannya menuju ke Bali. Sungguh sangat ajaib, dengan Kemahakuasaan-Nya kain yang diberikan tersebut terbuat dari janur kelapa gading. Setelah memberikan kain tersebut Dewa Pasupati berkata, “Wahai anakku Putra Jaya dan Dewi Danuh, mudah-mudahan ananda selamat dalam perjalanan dan selamat sejahtera menikmati keadaan alam Bali serta menjadi junjungan umat di Pulau Bali.”

Kini janur sangat banyak  digunakan sebagai sarana untuk jejahitan dalam membuat banten atau upakara. Seperti misalnya tamas , aled/ taledan, berbagai jenis canang, berbagai jenis sampian, tamiang, lamak, gantungan, ceniga, dan jenis yang lainnya. Janur warnanya yang kuning, melambangkan sebuah kemakmuran dan kesemarakan sebuah persembahan. Lebih-lebih lagi setelah dihiasi dengan aneka rupa kembang, dengan baunya yang harum semerbak mewangi memancarkan vibrasi, kesucian. Reringgitan (tetuwasan) melambangkan kelanggengan dan kesungguhan hati sang melaksanakan persembahan. Aneka bentuk reringgitan bak gerak-gerak yoga mengingatkan kita akan kemahakuasaan-Nya. Berbagai bentuk reringgitan dengan berbagai makna simbolik religius terbungkus oleh nilai estetika. Ada simbol kemahakuasaan-Nya, simbol Tuhan, simbol alam dan lainnya. Kini bagi umat Hindu, janur termasuk pula daun kelapa yang sudah tua yang disebut slepan digunakan sarana utama untuk membuat upakara, disamping dengan sarana yang lain.

Tepi Janur Pantang untuk Bahan Upakara

Janur bagi masyarakat Hindu merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk jejahitan (sarana upacara). Warna daunnya dominan berwarna kuning. Kalau kita perhatikan, janur (daun kelapa muda) pada bagian pinggirnya seakan ada tepinya yang berwarna hijau. Bagi ibu-ibu yang biasa mejejahitan membuat sarana upacara, maka biasanya pada bagian hijaunya ini selalu dibuang. Selain nampaknya tidak indah secara mitologi dikaitkan dengan cerita Sang Mayadenawa seperti yang dikisahkan dalam Usana Bali.

Cerita ini berkaitan erat dengan kekalahan dari Sang Mayadenawa melawan pasukan Dewa Indra.Dari kekalahan tersebut lantas Sang Mayadenawa berusaha untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi. Ia lari naik ke pohon kelapa sreta bersembunyi di dalam nya berubah wujud menjadi janur. Ketika janur mau ditebas ia berubah lagi menjadi Mayadenawa. Mayadenawa sebagai simbol Raja Raksasa yang tidak percaya dengan adanya Tuhan. Karena kesaktiannya dan keangkuhannya membuatnya takabur. Menyamakan dirinya dengan kemahakuasaan yang dimiliki Tuhan, walau kenyataannya tidak seperti itu. Hal inilah pula yang menyebabkannya ia melaeang umat untuk memuja apalagi mempersembahkan upacara kepada Tuhan. Namun karena kesombongan dan keangkuhannya membuatnya menjadi celaka. Untuk itulah bagi umat yang menggunakan janur sebagai bahan upakara selalu membuang tepi janur. Selain memang kurang indah secara filosofis membuang tepi janur mengandung makna membuang segala keangkuhan dan kesombongan dalam melaksanakan upacara yadnya. —sumber

Fungsi Dan Mitologi Alang-Alang (Ambengan) Dalam Hindu Bali

$
0
0

Banyak kisah cerita yang menguraikan dari fungsi alang-alang dalam agama Hindu. Seperti misalnya dalam naskah Siwa Gama, maupun dalam Adi Parwa. Termasuk pula beberapa kisah  dari para balian, bahwa alang-alang merupakan senjata ampuh yang mematikan yang sering digunakan berperang di alam gaib.

Dalam naskah Siwa Gama dikisahkan, ketika perjalanan Bhagawan Salukat menemukan daun ilalang dalam kondisinya yang sudah kering dan berserakan. Konon dengan kondisinya yang seperti itu, ketika bertemu dengan Bhagawan Salukat ia pun memohon anugrah supaya dilebur dosanya. “Kasihanilah hamba Bhagawan” kata rumput ilalang memohon. Sungguh tak tega Sang Bhagawan menyaksikan alang-alang meratap seperti itu, dan akhirnya permohonannya yang tulus membuat hatinya terketuk seraya memberikan anugrah sambil merafalkan mantra. “Om kuan sri sarwwa pawitram, lingga sri ya namo namah swaha.” (Semoga kamu wajib merupakan perlambang bagi sang sadaka dan merupakan alat pelepas-penyucian-para arwah) ucap Bhagawan Salukat.

Dalam kisah lain mengenai alang-alang, Kitab Adi Parwa, parwa pertama dari delapan belas parwa, khususnya dalam cerita pemutaran lautan susu (Ksirarnawa). Diceritakan tentang kekalahan Dewi Winata, ibu dari Sang Garuda akibat kelicikan Dewi Kandru dalam menebak kuda yang muncul pada saat pemutaran Gunung Mandara giri untuk mendapatkan tirta amerta. Kuda yang sebenarnya muncul adalah kuda berwarna putih, namun karena tipu daya dari Dewi Kandru dengan anaknya Sang Naga, ekor kuda yang sebelumnya putih mulus disemburkan dengan bisanya sehingga tidak putih lagi.

Kekalahan tipu daya inilah yang menyebabkan Sang Winata menjadi budak. Sebagai budak, Dewi Winata ditugaskan untuk mengasuh putra-putra dari Dewi Kandru yang berjumlah ratusan naga. Mengasuh ratusan apalagi naga bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Apalagi naga-naga tersebut sulit sekali diatur. Sang Garuda sangat bersedih melihat ibunya seperti itu. Ia pun ingin membebaskan ibunya dari perbudakan tersebut. Namun ada sebuah persyaratan yang harus ia lakukan sebagai ganti maksudnya tersebut. Ia harus mencari Tirta Amerta di Gunung Somaka.

Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, lantas ia berangkat ke tempat tersebut. Penjagaan di Gunung Somaka cukup ketat. Namun berkat restu dari ibundanya serta perlindungan dari para Dewa, setelah melalui pertarungan yang sengit, Tirta berhasil didapatkan, selanjutnya ia menyerahkan kepada ibundanya, untuk menebus agar tidak lagi menjadi budak dari Dewi Kadru. Tirta itu berada di Kamandalu serta diikat dengan alang-alang. Sang Garuda berpesan mulai sekarang ibunya tidak lagi menjadi budak para naga. Selanjutnya ia menyarankan kepada para naga sebelum meminum Tirta Amerta harus mandi terlebih dahulu. Dengan kegirangan para naga mandi dan serta meninggalkan tirta tersebut. Karena ditinggalkan serta tidak ada yang menjaga akhirnya tirta tersebut diambil oleh Dewa Indra. Dengan rasa sedih akibat tirta diambil , para para naga hanya bisa berpuas menjilati titik-titik tirta yang jatuh pada daun alang-alang secara berebutan. Karena tajamnya daun alang-alang tersebut menyebabkan lidah para naga menjadi terbelah menjadi dua hingga kini. Begitu pula halnya daun alang-alang sampai kini diyakini diyakini sangat suci.

Mengenai kegunaan alang-alang bagi umat Hindu sering digunakan sebagai sarana penglukatan. Selain itu juga digunakan pada waktu upacara pawintenan, yakni dengan membuat alang-alang sebagai Karawista yang digunakan untuk mengikat kepala dari orang yang mewinten.

Karawista maha diwyam, pawitram papanacanam nityam kucakram tisthati, sidhantam prati granati… Karawista amat suci, dan pelebur dosa nestapa, ujung rumput alang-alang yang amat tajam, penunjang kepadanya yang bertahta dalam hati…

Ujung alang-alang yang amat runcing itu merupakan senjata gaib, untuk melebur dosa dan nestapa, penderitaan. Ujung yang tajam itu berperan sebagai symbol pedang dan lambang kekekalan dan keabadian. Daunnya yang runcing melambangkan peperti perjalanan manusia yang menghadap kepada-Nya yang bertahta didalam hati.

ALANG-ALANG DAN KEAGUNGAN KARAWISTA

Alang-alang dalam bahasa bali disebut dengan ambengan. Secara niskala sebagai sarana penyucian ambengan dapat membuat segala sesuatu menjadi suci, itulah salah satu keagungan dari ambengan. Pemasangan karawista sebagai gelung (ikat kepala) pada orang suci (Sulinggih) ketika menyelesaikan suatu upacara dan pada orang-orang yang sedang diupacarai, seperti pada upacara potong gigi, mewinten, mejaya-jaya, dan upacara yang lainnya, dimaksudkan untuk menjadikan badan suci, sehingga Hyang Widhi berkenan bertahta di dalam diri kita. Prosesi ini dilakukan pada saat prosesi pembersihan diri pabyakalan dan prosesi yang mengikuti selanjutnya adalah acara natab. Prosesi ini mengandung makna ketika sudah diikatkan karawista pertanda badan sudah suci, selanjutnya barulah natab yang diarahkan ke dalam diri yang diupacarai. Ini mengandung makna upacara juga dipersembahkan kepada Ida Sang HYang Widhi yang telah berkenan bertahta di dalam hati yang telah dilakukan proses penyucian sebelumnya.

Tak jauh beda halnya dengan pemasangan Karawista pada Ciwambha (sejenis periuk sebagai tempat pembuatan tirta oleh Sulinggih) dengan maksud agar secara niskala priuk tempat tirta dan airnya menjadi suci diterima oleh Ciwatman yang bersifat suci. Sementara untuk aled (alas) dari air suci tersebut juga terbuat dari rumput alang-alang yang sering disebut dengan lekeh. —sumber


Mengenal Pis Bolong Atau Jinah Bolong

$
0
0

Jinah bolong, pis bolong atau uang kepeng adalah simbul kekuatan hidup Panca Dewata. Jinah bolong yang dibuat dari campuran 5 jenis logam itu diyakini mempunyai kekuatan hidup Lima Dewa. Kelima jenis logam dengan kekuatan Lima Dewata itu disebut Panca Dhatu. Panca berarti lima, sedangkan Dhatu bermakna kekuatan hidup. Sehingga Panca Dhatu berarti lima jenis kekuatan hidup. Kelima jenis logam bahan pembuat uang kepeng itu adalah besi, tembaga, kuningan, perak dan emas.

Besi yang berwarna hitam, melambangkan kekuatan Dewa Wisnu,sedangkan tembaga yang berwarna merah melambangkan kekuatan Dewa Brahma. Kemudian perak yang berwarna putih, melambangkan kekuatan Dewa Iswara dan kuningan yang berwarna kuning, melambangkan kekuatan Dewa Mahadewa. Sementara itu emas sebagai logam yang paling mulia,dianggap mempunyai lima warna atau Panca Warna, melambangkan memuatan Dewa Siwa.  Karena mempunyai kekuatan Lima Dewata, maka uang kepeng itu dipergunakan sebagai sarana Upacara Dewa Yadnya antara lain :

  1. Untuk bahan membuat Rambut Sedana sebagai simbul stana Ida Sanghyang Widhi.
  1. Sebagai sarana pelengkap misalnya untuk akah banten, buah lis, orti dan sebagainya.
  1. Sebagai peralatan upakara seperti tamiang, penyeneng dan lain-lain.
  1. Sebagai bahan untuk membuat kewangen.
  1. Sebagai sesari atau aturan atau ucapan terima kasih kepada Sang pemuput karya.

Harus diingat pula bahwa sekarang ini uang kepeng yang dijual dipasaran ada dua macam. Ada uang kepeng kuno dan ada juga uang kepeng baru. Uang kepeng kuno boleh saja diganti dengan uang kepeng baru, sepanjang uang kepeng baru ini dibuat dari lima jenis logam sebagaimana dijelaskan diatas. —sumber

Makna Padewasan, Wewaran, Dan Wuku

$
0
0

Dari dasar pengetahuan Wariga, yaitu wuku menimbulkan padewasan, demikian pula antara pertemuan wewaran dengan wuku menimbulkan beberapa padewasan, sebagai berikut :

  1. Wuku Rangdatiga

Wariga, Warigadian, Pujut, Pahang, Menail, Prangbakat.

Tidak baik melakukan wiwaha (pernikahan).

  1. Wuku Tan Paguru

Gumbereg, Kuningan, Medangkungan, Kelawu.

Tidak baik untuk memulai belajar, tidak baik melakukan pekerjaan yang penting-penting atau yadnya.

  1. Was panganten

Jatuhnya pada hari Redite dan Saniscara, pada wuku Tolu, Dungulan, Krulut, Menail dan Dukut.

Baik untuk membuat suatu yang runcing, mengadakan pertemuan, membuat tembok, dasar tembok/bangunan, membuat pagar. Tidak baik untuk wiwaha dan mengubur mayat.

  1. Wuku Salahwadi

Sinta, Landep, Gumbereg, Sungsang, Dungulan, Pahang, Tambir, Medangkungan, Prangbakat, Bala, Wayang, Watugunung.

Tidak baik untuk upacara potong rambut, pernikahan dan atiwa-tiwa.

  1. Ingkel Wong

Sinta, Wariga, Langkir, Tambir, Bala.

Pantang untuk melakukan pekerjaan penting-penting, Manusa Yadnya, Pernikahan dan pekerjaan lainnya yang berhubungan dengan manusia.

  1. Ingkel Sato

Landep, Warigadian, Medangsia, Medangkungan, Ugu.

Pantang untuk memulai memelihara binatang kaki 4 (sato = wewalungan)

  1. Ingkel Mina

Ukir, Julungwangi, Pujut, Matal, Wayang.

Pantang untuk mengambil/memindahkan dan memulai memelihara ikan.

  1. Ingkel Manuk

Kulantir, Sungsang, Pahang, Uye, Klawu.

Pantang untuk mengambil atau memulai memelihara binatang berkaki 2

  1. Ingkel Taru

Tolu, Dungulan, Krulut, Menail, Dukut.

Pantang untuk menanam, menebang, menempel  pohon-pohonan sehubungan dengan bangunan.

  1. Ingkel Buku

Gumbereg, Kuningan, Merakih, Prangbakat, Watugunung.

Pantang untuk menanam,menebang tanaman yang beruas, seperti tebu dan bambu.

11.Ratu Mangure

Wrespati Medangkungan.

Baik untuk menanam tanaman yang buahnya berbatu.

  1. Ratu Magelung

Buda Menail.

Baik untuk menanam kelapa.

  1. Ratu Manyingal

Wrespati Matal.

Baik untuk menanam papaya.

  1. Sri Bagia

Soma Gumbereg, Pujut, Matal.

Buda Kulantir, Saniscara Sinta, Bala.

Baik memulai membina persahabatan.

  1. Sarik Agung

Buda Kulantir, Dungulan, Merakih, Bala.

Tidak baik untuk memulai pekerjaan.

  1. Tutut Masih

Redite Mrakih

Soma Julungwangi, Kuningan, Langkir, Wayang.

Anggara Krulut, Prangbakat.

Wrespati Sinta.

Sukra Tambir, Uye.

Baik untuk melas rare (memisah anak netek), mulai mengajar/melatih ternak, membentuk perkumpulan, melubangi hidung sapi, membuka sekolah/perguruan.

  1. Tutur mandi.

Redite Ugu.

Wrespati Julungwangi, Pujut, Medangkungan, Matal, Prangbakat.

Sukra Landep.

Saniscara Ugu.

Baik melakukan yang bersifat gaib, memberikan petuah/nashat.

  1. Uncal Balung.

Anggara Dungulan s/d Buda Pahang.

Tidak baik melakukan segala jenis pekerjaan yang dianggap penting.

  1. Wuku Katadah Kalarau

Redite Julungwangi, Klawu.

Soma Pahang, Prangbakat.

Anggara Ukir, Krulut, Bala.

Buda Kulantir.

Wrespati Langkir.

Sukra Tolu, Gumbereg, Ugu.

Saniscara Pujut, Matal, Dukut.

Tidak baik melakukan yadnya atau pekerjaan yang penting.

  1. Titi Buwuk.

Redite Mrakih, Ugu, Wayang, Klawu, Watugunung.

Soma Wrigadean, Julungwangi, Medangkungan.

Anggara Sinta, Wariga, Matal.

Buda Landep, Kulantir, Tolu, Sungsang, Pujut, Tambir, Bala.

Wrespati Gumbereg, Langkir, Krulut, Uye, Prangbakat.

Sukra Ukir, Dungulan, Kuningan. Saniscara Pahang, Matal, Menail, Dukut.

Baik untuk melakukan upacara menghilangkan segala penyakit, karena kena guna-guna dan sejenisnya. Tidak baik untuk membuat tangga/banggul, tidak baik untuk memulai suatu pekerjaan yang penting, hindari bepergian.

  1. Taliwangke.

Soma Uye.

Anggara Wayang.

Buda Landep,

Wrespati Wariga.

Sukra Kuningan,

Saniscara Krulut.

Baik untuk memasang tali rambat di sawah, di kebun, memperbaiki pagar, membuat tali pengikat padi. Tidak baik untuk membuat tali pengikat ternak dan benang tenun. —sumber

Pengertian Pelinggih Kemulan Rong Tiga

$
0
0

Pelinggih Kemulan Rong Tiga merupakan pelinggih yang paling inti dalam Sanggah atau Merajan. Dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga sesungguhnya yang disembah atau disungsung adalah Ida Bhatara Guru atau Leluhur yang telah suci. Masalah ini diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu dimana ditetapkan bahwa Kemulan Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murthi/ Hyang Kamimitan atau Hyang Kemulan. Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) ada beberapa isi lontar yang sejalan dengan penjelasan diatas adalah :

  1. Lontar Usana Dewa :

Pada sanggah Kemulan yang berstana adalah Sang Hyang Atma. Kemulan rong kanan adalah Para-atma yaitu bapak. Di Kemulan rong kiri adalah Siwa-atma yaitu ibu. Di Kemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh.

  1. Lontar Gong Besi

Pada Kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para atma. Pada Kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa atma. Pada Kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepada Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang Tunggal, mempersatukan wujud.

  1. Lontal Purwa Bumi Kemulan

Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah atman sebagai Batara Hyang Guru atau Guru Rupaka.

  1. Lontar Siwa Gama Kemulan

Yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Sang Pitara dengan menyebutkan “Kramanta Sang Pitara muliheng batur Kamulannya nguni”.

Jadi Lontar-lontar tersebut menekankan bahwa yang berstana di Sanggah Kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru (maksudnya Guru Rupaka). Roh-roh suci atau Dewa Hyang atau Batara Batari keluarga itu sendirilah yang distanakan di Kemulan rong tiga dan rong kalih yang disembah oleh keturunan mereka. Yang disembah bukan Tri Murti atau Tri Purusa lagi, karena semua itu sudah menjadi jiwatman yang berasal dari Guru Rupaka. Bukan Batara Guru, tetapi Guru Rupaka keluarga itu (Suhardana, 2011:61). Pada pelinggih Kemulan kita memohon perlindungan dan keselamatan apabila kita akan bepergian jauh. Pada pelinggih Kemulan Rong Tiga dapat dihubungkan dengan ajaran “Tri Rnam”,agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi yakni tiga hutang manusia yang harus dibayar, yaitu :

  1. Hutang kehadapan Sang Hyang Widhi dan semua manifestasinya.
  2. Hutang kehadapan Maha Rsi
  3. Hutang kehadapan Leluhur

Timbul suatu pertanyaan mengapa kita menyembah roh leluhur yang telah suci? Kita melakukan hal itu, karena tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah bersatu dengan yang maha suci. Dewa Pitara yang distanakan di Kemulan itu, oleh karena telah mencapai kedewaan atau alamnya Sanghyang Tri Murti, maka Dewa Pitara itu diidentikkan dengan Sanghyang Tri Murti. Akan tetapi palinggih ini bukan pelinggih Tri Murti. Pengidentikkan ini bisa diterima karena Hindu mempercayai adanya moksa yaitu luluh bersatunya Pitara/Atma dengan Dewa atau Tuhan.

Oleh karena Dewa Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti, Dewa Pitara yang berstana di Kamulan juga disebut Bhatara Hyang Guru. Bhatara Hyang Guru di sini adalah Dewa Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pendidik umat manusia (Winanti, 2009:32). Konsep penyatuan sivasiddhanta dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga adalah adanya Sekta Siwa, Brahma dan Wisnu karena Dewa Pitara itu identik dengan Sanghyang Tri Murti. Bhatara Guru dalam pelinggih Kemulan Rong Tiga adalah Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pendidik umat manusia. —sumber

Tri Rena – Landasan Dasar Panca Yadnya

$
0
0

Dalam kehidupan di dunia ini yang menjadi dasar yang kekal adalah kebajikan, yakni menginginkan suatu hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya orang tidak dapat hidup menyendiri, ia tergantung satu dengan yang lainnya dan tiap-tiap orang dihidupkan oleh suatu jiwatma yang besar yaitu Paramatma. Jika Jiwatma-Jiwatma seseorang berhubungan satu dengan yang lainnya, semuanya itu tergantung pada pada satu Jiwatma yang besar, yaitu Paramatma. Kepada Paramatma itulah tiap-tiap mahluk harus menyesesuaikan dirinya.

Dalam hukum timbal-tumimbal dan saling berhubungan itu disebut dengan Yadnya. Bila kita melakukan pekerjaan dengan penuh pengorbanan, maka kita akan mengikuti hukum alam yang besar dan apabila tidak kita akan menderita. Tentang hal itu kitab suci Bhagawadgita, menyebutkan :

Yajnarthat karmano nyatra, Loko yam karmabandhanah, Tad artham karma kaunteya, Muktasanggah samacara.

Maksudnya :

Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai pengorbanan (yadnya), dunia ini tetap terikat akan perbuatan. Oleh karena itu wahai Arjuna lakukanlah pekerjaanmu itu sebagai pengorbanan dan bebaskanlah dirimu dari semua ikatan.

Ada lima macam mahluk yang terikat satu sama lainnya di dunia ini, yaitu : Dewa-Dewa, Pitra-Pitra, Resi-Resi, Manusia dan mahluk-mahluk yang lain. Pengorbanan kepada ke lima bagian inilah, merupakan kewajiban kita semua. Diantara ke lima kewajiban itulah yang dilakukan sehari-hari, tiga diantaranya menimbulkan hutang budi, yang terpenting ialah :

  • Dewa Rnam, yaitu hutang budi kepada Dewa
  • Resi Rnam, yaitu hutang budi kepada para Resi
  • Pitra Rnam, yaitu hutang budi kepada Pitra

Dengan adanya konsepsi Tri Rnam, itulah menumbuhkan suatu kesadaran timbulnya Yadnya. Dari Dewa Rnam menimbulkan adanya Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya, dari Resi Rnam akan menimbulkan Resi Yadnya dan dari Pitra Rnam menimbulkan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya. Jadi dari Tri Rna, menimbulkan Panca Yadnya, yaitu : Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

Dewa Yadnya ialah persembahan kepada Hyang Widhi termasuk manifestasi beliau. Dalam pelaksanaannya dengan melakukan persembahan berupa upacara dan upakara, disamping itu membangun serta memelihara tempat suci seperti : Pura, Sanggah Pamerajan dan sebagainya juga merupakan pelaksanaan dari Dewa Yadnya.

Bhuta Yadnya ialah korban suci kepada Bhuta dan Kala, yaitu kekuatan-kekuatan negatif yang timbul sebagai akibat terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Dalam hal ini termasuk pula korban suci untuk pemeliharaan alam, tumbuh-tumbuhan dan binatang.

Resi Yadnya ialah korban suci atau kebaktian kepada para Resi atau Pendeta. Di Bali Pendeta itu disebut dengan abhiseka : Padanda, Bhagawan, Resi, Empu, Dukuh dan sebagainya.

Pitra Yadnya ialah persembahan kepada leluhur. Terhadap leluhur yang telah meninggal dilakukan upacara keagamaan dan terhadap orang tua yang masih hidup dilakukan pemeliharaan yang sebaik-baiknya.

Manusa Yadnya ialah suatu persembahan kepada Hyang Widhi sebagai pernyataan terimakasih atas anugerah Beliau memberi hidup serta kelengkapan hidup manusia. Upacara ini dilakukan mulai janin masih dalam kandungan sampai mati. Di dalam hal ini termasuk pula upacara-upacara peningkatan kesucian diri manusia seperti : Mawinten dan Madiksa. Secara sosiologis Manusa Yadnya, termasuk memberikan bantuan kepada sesama manusia atau beryadnya kepada sesama manusia. —sumber

Makna Pelinggih Taksu

$
0
0

Kata “Taksu” adalah kata bahasa Bali (bukan Sanskerta atau Jawa Kuno atau Kawi) yang berarti kekuatan bathin atau kekuatan spiritual. Kekuatan di dalam diri yang memancarkan pesona, daya pukau, wibawa dan sekaligus karisma (Suhardana, 2011:157).

Palinggih Taksu adalah palinggih dari Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan bhiseka Hyang Taksu yang memiliki fungsi memberikan kekuatan spiritual atau daya magic yang menyebabkan keberhasilan semua pekerjaan dan memelihara semangat dan gairah hidup yang penuh dengan godaan (Winanti, 2009:31). Adapun bentuk Palinggih Taksu dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu :

  1. Taksu Tenggeng

Taksu ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah disebut Bataran, diatas bataran menggunakan sebuah tiang yang menyangga semua ruangan atau rong lengkap dengan atapnya. Dengan demikian, Taksu Tenggeng adalah palinggih yang bagian bawahnya merupakan bataran, di tengahnya sebuah tiang dan bagian atasnya sebuah ruangan yang beratap.

  1. Taksu Nyangkil

Bentuknya hampir sama dengan Taksu Tenggeng. Hanya saja ruangannya terdiri dari dua ruangan (rong). Bagian bawah disebut bataran, bagian tengah disebut tiang (saka) bagian atas dua buah rong yang menyangga atap.

  1. Taksu Agung

Bentuk bangunan Taksu Agung terdiri dari bataran di bagian bawah, di bagian tengah adalah badan bangunan, di atasnya merupakan sebuah ruangan disangga oleh sepasang Saka Anda ditutupi oleh atap bangunan. Penggunaan masing-masing palinggih Taksu ini tergantung dari latar belakang sejarah dari keluarga yang memiliki merajan tersebut. Meskipun berbeda-beda bentuknya, fungsi Taksu ini adalah sama.

Busana untuk Palinggih Taksu adalah Putih Poleng.

Untuk upakara atau banten yang dipersembahkan untuk Pelinggih Taksu adalah Ajuman (1) dan Canang Sari (1). Dalam konsep penyatuan sivasiddhanta adalah ada kemiripan fungsi pelinggih Taksu dengan Ista Dewata dari sekta Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim Tuhan (Sakti/kekuatan) (Gunawan, 2012:21). —sumber

Makna Pelinggih Rong Dua

$
0
0

Secara purwa loka atau kuna dresta pelinggih Kemulan Rong Kalih sebagai pengganti Rong Tiga. Maksudnya sama, yaitu untuk memuja Dewa Hyang atau Dewa Pitara Leluhur, Hyang Kompyang. Pada pelinggih ini dipercaya akan lebih mendekatkan dirinya dengan para leluhur yang terdiri atas Bapak (leluhur laki-laki) dan Ibu (leluhur wanita). Karena kedua beliau itulah yang amat berjasa secara nyata (sekala) dalam melahirkan dan memelihara kehidupannya sebagai manusia di dunia nyata.

Pada pelinggih Rong Kalih Bapak pada Rong Kanan dan Ibu pada Rong Kiri (Suhardana, 2011:45). Ada sedikit perbedaan antara fungsi Kemulan Rong Dua dengan Rong Tiga, dimana Kemulan Rong Dua tempat memuja roh leluhur yang belum mencapai kualitas Dewata, belum diaben. Sedangkan Rong Tiga adalah tempat memuja roh leluhur yang telah mencapai kualitas Dewata, telah disucikan dengan upacara Ngaben dan posisinya secara niskala beliau sudah setara dengan Bhatara Guru (Gunawan, 2012:22). Upakara atau banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Rong Kalih yaitu banten Sodaan serta lengkap dengan Pesalinan atau Rerantasan putih kuning. —sumber

Pelinggih Meru Bhatara Kawitan

$
0
0

Bangunan pelinggih Meru tersebut dibedah dari mitologinya, bahwa Meru adalah salah satu nama gunung di sorga loka. Salah satu puncaknya disebut kailasa sebagai tempat tinggalnya Dewa Siva. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, gunung Mahameru di Jawa dan gunung Agung di Bali. Untuk keperluan pemujaan, maka dibuatlah reflika gunung tersebut dengan bangunan Meru (Sandika, 2011:92). Selanjutnya bertalian dengan Meru ini, Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu membedakannya dalam 6 jenis yaitu :

  1. Meru Tumpang Satu
  2. Meru Tumpang Dua
  3. Meru Tumpang Tiga
  4. Meru Tumpang Lima
  5. Meru Tumpang Tujuh
  6. Meru Tumpang Sebelas

Dapat ditambahkan pula bahwa pedagingan untuk Meru Tumpang Satu sampai dengan Tumpang Tiga harus diberi pedagingan pada dasar dan puncaknya saja, sedangkan untuk Meru Tumpang Lima sampai dengan Tumpang Sebelas harus diberi tiga pedagingan yaitu pada dasar, tengah dan puncak Meru. Meru atapnya bertingkat-tingkat dan jumlah tingkatnya kecuali yang bertingkat dua, selalu ganjil seperti tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas dan semakin keatas semakin kecil. Jumlah tingkat yang ganjil menunjukkan kelepasan, sebab jumlah yang genap dipandang sebagai rwa bhineda artinya dapat menciptakan sesuatu yang baru. Sedangkan yang ganjil tidak akan melahirkan apa-apa lagi.

Bilangan ganjil itu bernilai tinggi, sakti dan bermakna penuh. Berikut adalah contoh bilangan ganjil, Sanghyang Widhi Wasa adalah Esa (1) dengan prabawanya berupa trisakti (3). Unsur kehidupan adalah Panca Mahabhuta (5) sedangkan lapisan bumi dan angkasa masing-masing 7 (sapta patala dan langit ke tujuh). Arah angin arahnya sembilan (9). Semuanya itu menunjukkan bilangan ganjil yang mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, yaitu sakti dan bernilai tinggi.

Kemudian mengenai jumlah tingkatnya dapat dijelaskan demikian. Semakin banyak tingkat Meru biasanya menunjukkan semakin agung Bhatara-Bhatari yang distanakan di Meru itu. Arwah suci para Raja biasanya distanakan dalam Meru dengan tingkat sebelas, sedangkan arwah suci orang kedua dalam suatu kerajaan, misalnya Patih Agung, distanakan dalam Meru bertingkat sembilan. Demikianlah semakin rendah jabatannya, maka arwah sucinya distanakan pada Meru dengan tingkatan yang lebih rendah pula (Suhardana,2006:119). Meru tumpang satu, tiga dan lima adalah pelinggih Bhatara Kawitan yaitu leluhur utama dari keluarga (Winanti,2009:44).

Konsep Penyatuan Sivasiddhanta dalam Pelinggih Meru yaitu adanya sekte Siwa, dimana dalam Mithologi Meru dijelaskan bahwa Pelinggih Meru sebenarnya nama sebuah gunung di Sorgaloka yang puncaknya bernama Kailasa yang katanya merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Upakara atau Banten yang dipersembahkan kepada Pelinggih Meru adalah Banten Suci (1), Banten Peras (1), Banten Penyeneng (1), Canang Raka (1) dan Canang Sari (1). —sumber


Pura Padharman Di Pura Besakih

$
0
0

Pura padharman walaupun berada di dalam komplek Pura Besakih,tetapi bukan merupakan pura kahyangan jagat (pura umum),tetapi bersifat pura khusus bagi keturunan atau warga-warga tertentu. Adapun pura yang tergolong sebagai pura padharman di komplek Pura Besakih antara lain:

  1. Pura Ratu Pasek

Pura ini adalah salah satu dari Catur Parhyangan. Letaknya disebelah timur Pura Panataran Agung. Pura atau kahyangan ini adalah salah satu panyungsungan pusat Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi, yang lebih dikenal dengan sebutan Warga Pasek. Pura ini juga merupakan panyungsungan pusat dari keturunan Mpu Kamareka atau yang lebih dikenal dengan sebutan Keluarga Kayu Selem. Piodalannya jatuh pada hari Purnamaning sasih Kawolu. Dalam pura ini terdapat beberapa buah bangunan suci atau palinggih seperti Meru tumpang ( tingkat ) 7 adalah sebagai parhyangan Mpu Semeru dan Meru tumpang 3 sebagai pasimpangan Mpu Gnijaya yang parhyangan beliau adalah di Pura Lempuyang Madya.

  1. Pura Ratu Pande

Pura ini terletak disebelah barat Pura Panataran Agung. Pura atau kahyangan ini merupakan salah satu panyungsungan pusat Warga Pande, yang sekarang terhimpun dalam Kesatuan Mahasemaya Warga Pande. Piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Kliwon ,wara Landep atau yang lebih dikenal dengan tumpek landep. Dalam pura ini terdapat palinggih meru tumpang 3 sebagai parhyangan Mpu Saguna.

  1. Pura Ratu Sagening

Pura ini letaknya disebelah Selatan Pura Ratu Pasek. Pura ini merupakan pasimpangan dari Pura Sagening yang ada di komplek Pura Besakih. Piodalan di pura ini jatuh pada Purnama sasih Kanem.

  1. Pura Ratu Panyarikan

Pura ini terletak disebelah Timur Pura Panataran agung. Bangunan pura ini terletak di dalam pekarangan Pura Padharman Dalem. Pura atau kahyangan ini adalah Pura Padharman Puri Blahbatuh dan keturunannya atau warganya. Kahyangan ini terdapat beberapa palinggih diantaranya sebagai bangunan pokok adalah Meru tumpang 5 sebagai parhyangan Ratu Panyarikan.

Keempat pura di atas inilah yang disebut dengan Catur Warga/catur lawa. Disamping kedudukannya sebagai pura padharman, keempat pura ini juga mempunyai fungsi khusus bila dibandingkan pura padharman lainnya. Misalnya bila di Pura Panataran Agung Besakih diadakan pujawali,maka keempat padharman tersebut juga ikut diaci atau diadakan pujawali. Bila Bhatara di Pura Panataran Besakih akan melasti atau akan kapeselang, maka Bhatara Catur Warga beserta Pralingganya mesti terlebih dahulu tedun (turun), kemudian diikuti oleh Bhatara atau Pralingga-pralingga pura umum, baru kemudian diikuti oleh Bhatara dan Pralingga-pralingga dari padharman yang lain. Jika di Pura panataran Agung Besakih akan diadakan pujawali, terlebih dahulu diadakan upacara matur piuning (permakluman) di pura atau kahyangan Catur Warga. Berturut-turut mulai dari Kahyang ratu Pasek, Kahyangan Ratu Pande, Kahyangan Ratu Panyarikan, dan Kahyangan Ratu Sagening.

  1. Pura Padharman Dalem

Pura ini terletak di sebelah Timur Pura Panataran agung Besakih. Pura ini adalah panyungsungan Dalem Adipati Samprangan Sri Kresna Kapakisan, dari dinasti kerajaan Samprangan Gelgel. Dalam pura ini terdapat 5 buah bangunan suci pokok yaitu:

  • Meru tumpang 11 sebagai Parhyangan dari Sri Kresna Kapakisan atau sering disebut Dalem Samprangan atau Dalem Ketut sebagai seorang pejabat pertama dari wilwatikta (Majapahit) yang berkuasa di Bali dimulai dari Isaka 1272 atau tahun 1350 Masehi.
  • Meru tumpang 9 adalah Parhyangan Sri Semara Kapakisan yang sering disebut dengan Dalem Ketut Ngulesir atau diberi julukan Dalem Babotoh yaitu Dalem Gelgel yang mulai memerintah pada Isaka 1302 atau tahun 1380 Masehi.
  • Meru tumpang 7 adalah Parhyangan dari Sri Watur Enggong adalah Dalem Gelgel yang paling sukses dalam pemerintahan di Bali. Pada saat inilah kerajaan Gelgel mempunyai wilayah sampai keluar Pulau Bali,yaitu: Bugis,Sumbawa,Lombok dan Blambangan.
  • Meru tumpang 5 adalah Parhyangan Sri Sagening yaitu Dalem Gelgel ketiga setelah Sri Semara Kapakisan.
  • Meru tumpang 3 adalah Parhyangan Sri Dimade atau Dalem Dimade yaitu dalem terakhir Kerajaan Gelgel.

Piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Kliwon ,wara Wayang,atau lebih dikenal dengan Tumpek Wayang.

  1. Pura Padharman Arya Apityeh

Terletak disebelah Timur Padharman Dalem. Pura Padharman Apityeh ini panyungsungnya kebanyakan berasal dari Apityeh kecamatan Manggis Karangasem, dan daerah Bali lainnya. Bangunan sucinya atau palinggih pokok dalam pura ini adalah meru tumpang 5. Piodalannya jatuh pada hari Purnama sasih Kapat.

  1. Pura Padharman Kyayi Telabah

Terletak disebelah Timur Pura panataran agung Besakih dan berdekatan dengan Padharman Bhujangga Waisnawa. Pura ini adalah sebagai Parhyangan atau Panyungsungan dari Kyayi Telabah. Pratisentananya (keturunannya) kebanyakan berasal dari desa Duda kecamatan Selat Karangasem, dan daerah Bali lainnya. Pelinggih pokoknya adalah meru tumpang (tingkat ) 5. Piodalannya jatuh pada hari purnama sasih Katiga yang pujawalinya disebut ngusaba.

  1. Pura Padharman Sira Bhujangga

Terletak di Timur Laut Pura Panataran Agung Besakih,berdekatan dengan Padharman Kyayi Sukahet. Pura ini adalah Panyungsungan atau Parhyangan Bhatara Sakti Bhujangga. Panyungsung pura ini yang merupakan pratisentana Bhatara Sakti Bhujangga atau disebut juga Warga Bhujangga Wisnawa, kebanyakan berasal dari Denpasar,dan dan daerah Bali lainnya . Palinggih pokok di pura ini adalah meru tumpang 5 . Dan piodalannya jatuh pada hari Saniscara Kliwon ,wara Krulut atau lumbrah disebut Tumpek Krulut.

  1. Pura Padharman Kyayi Sukahet

Letaknya berdekatan dengan Padharman Warga Bhujangga Wisnawa. Dalam Pura ini terdapat bangunan suci meru tumpang 5 sebagai Parhyangan Kyayi Sukahet, atau sering disebut dengan Wang Bang Sukahet, warganya kebanyakan dari Desa Sukahet, kecamatan Sidemen Karangasem,dan daerah Bali lainnya. Piodalannya jatuh pada hari Purnama sasih Kapat.

  1. Pura Padharman Dalem Sukawati

Terletak disebelah Timur Pura Panataran Agung Besakih. Dalam pura ini terdapat beberapa bangunan suci ,dan palinggih pokoknya adalah meru tumpang 7 sebagai Parhyangan dari I Dewa Agung Anom Sirikan dengan abhiseka Dalem Sukawati. Pura ini merupakan panyungsungan pratisentana atau katurunan beliau yaitu Puri Sukawati,Singapadu,Ubud,Peliatan,Tegalalang,Padunungan Bangli dan lain-lainnya. Piodalan di pura ini jatuhnya pada hari Saniscara Kliwon,wara Wayang atau Tumpek Wayang.

  1. Pura Padharman Mengwi

Pura ini terletak disebelah timur Pura Panataran Agung Besakih. Pura ini sering disebut Padharman I Gusti Ngurah Mengwi (Kapakisan). Palinggih pokoknya adalah meru tumpang 7 merupakan Parhyangan dari Bhatara Sakti Blambangan atau sering disebut Bhatara Nararya Kapakisan. Panyungsungnya adalah keturunan atau pratisentana dari Nararya Kapakisan atau Arya Kapakisan,antara lain: Puri Mengwi,Karangasem,Negara,Keramas dan lain-lainnya. Piodalannya jatuh pada hari Saniscara Kliwon ,wara Wayang atau sering disebut dengan Tumpek Wayang.

  1. Pura Padharman Kaba-Kaba Arya Belog atau sering disebut Arya Tan Wikan,yang juga disebut Padharman I Gusti Ngurah Patandakan . Panyungsungnya terutama dari Puri Kaba-kaba dan daerah lain di Bali.
  2. Pura Padharman Arya Kenceng

Pura atau Kahyangan ini juga disebut Padharman I Gusti Ngurah Kenceng. Letaknya disebelah Timur Pura panataran agung Besakih dan bersebelahan dengan Padharman Warga Bhujangga wisnawa. Pura atau Kahyangan ini merupakan panyungsungan keturunan Arya Kenceng atau I Gusti Ngurah Kenceng yang tersebar dibeberapa tempat di Pulau Bali dengan berbagai titel dan gelar. Bangunan Suci atau Palinggih pokoknya adalah meru tumpang (tingkat ) 7 sebagai Parhyangan dari I Gusti Ngurah Kenceng.

  1. Pura Padharman Dalem Bakas

Letaknya disebelah timur dari Padharman Dalem Sukawati. Pura ini adalah panyungsungan dari keturunan Dalem Bakas yaitu dari Desa Bakas,kecamatan Banjarangkan Kelungkung, Warga Pungakan dari Desa Bangbang ,kecamatan Temuku Bangli. Padharman ini merupakan panyungsungan keturunan Tirta Arum. Piodalannya jatuh pada hari Saniscara Kliwon (Tumpek Wayang).

  1. Pura Padharman I Gusti Ngurah Sidemen

Terletak disebelah Utara dari Pura Panataran Agung Besakih. Padharman ini merupakan Parhyangan dari Danghyang Manik Angkeran. Panyungsungnya adalah keturunan dari Danghyang Manik Angkeran yang sekarang lazim disebut Arya Wang Bang Pinatih dan Sidemen atau ada juga yang menggunakan gelar atau titel lain.

  1. Pura Padharman Kubon Tubuh

Pura padharman ini merupakan panyungsungan dari keturunan Arya Kuta Waringin atau Kubon Tubuh yang sekarang memiliki gelar atau titel yang berbeda-beda. Pura ini terletak disebelah Timur dari Pura Panataran agung Besakih dan berdekatan dengan Padharman Dalem Bakas.

  1. Pura Padharman I Gusti Dauh Panulisan

Panyungsung padharman ini adalah keturunan dari I Gusti Dauh Panulisan yang dikenal dengan sebutan Arya Dauh. Letaknya disebelah Timur Laut dari Pura Panataran Agung Besakih dan berdekatan dengan Padharman Bhujangga Wisnawa. —sumber

Kajeng Kliwon – Sang Tiga Bhucari

$
0
0

Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara (Umanis Pahing Pon Wage Kliwon) dengan Triwara (Pasah Beteng Kajeng) diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali pada saat itu kita menghaturkan segehan Mancawarna. Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan sekalanya kita selalu berbuat trikaya parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia seimbang.

  • Dyah Maya Kresna rupanya putih kekuning-kuningan menjadi Sang Batur Kalika.
  • Sang Bajradhaksa menjadi bhuta ijo (berwarna hijau/Sang Bhuta Wilis)
  • Sang Bajrangkara menjadi bhuta abang (berwarna merah/Sang Kala Ranta). Itulah yang disebut Durgga Bhucari, Bhuta Bhucari dan Kala Bhucari. Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;

Berwujud manusia

  1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.
  2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.
  3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.
  4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.
  5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.
  6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.
  7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.

Berwujud bagian tubuh manusia

  1. Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.
  2. Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.
  3. Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.
  4. Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.
  5. Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.

Berwujud kerangka manusia

Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.

  1. Berwujud binatang
  2. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.
  3. Banaspati-raja : berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.

Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selaluingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah).

Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit. —sumber

Kenapa Cicak Disimbolkan Sebagai Ilmu Pengetahuan Menurut Hindu

$
0
0

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?

Jika umat Hindu di Bali ketika sedang ngobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, “Pakulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati”. Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?

Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.

Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melakukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.

Akśara  Bali

Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu Akśara  Bali. Akśara  Bali terbagi atas Akśara  biasa dan Akśara  suci. Akśara  biasa terdiri atas Akśara  wreastra – Akśara  yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 Akśara, misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan Akśara  swalalita atau Akśara  yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 Akśara , misalnya: a, i, u, e, o.

Akśara  suci terbagi atas Akśara  wijākśara  atau bijākśara  (Akśara  swalalita + Akśara  aṁsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau Akśara  lukisan magis. Akśara aṁsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga). Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti; utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wiṣṇu dengan simbol air dan Dewa Śiwa atau Īswara dengan lambang udara. Akśara  aṁsa adalah lambang Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.

Selain itu, dalam Akśara  Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah Akśara  wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah Akśara ) atau gempelan (digabungkan dengan Akśara  didepannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan Akśara  mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai Akśara  biasa atau ma dengan aṁsa sebagai Akśara  wijākśara /bijākśara .

Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan Akśara  aṁsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau Akśara  aṁsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wiṣṇu, Śiwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau aṁsa, yang bunyinya ng .

Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecakyang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.

Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan Akśara  Aṁsa yang berbunyi “ng”. Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wiṣṇu, Śiwa) umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Sekali lagi, ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan Pangangge Tengenan cecek atau Aṁsa, yang bunyinya “ng” (……..). —sumber

Kisah Taman Mumbul dan Manfaat dari Pancorannya

$
0
0

Inputbali,- Bagi masyarakat Desa Sangeh, Taman Mumbul merupakan lokasi suci yang digunakan untuk Upacara Melasti. Selain itu, kolam Taman Mumbul juga merupakan salah satu komoditi sumber air masyarakat Desa Sangeh untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan lainnya.

Taman mumbul berada di sebuah kawasan wisata Desa Sangeh Abiansemal Kabupaten Badung. Taman ini terletak kurang lebih 1 km dari objek wisata alam Sangeh. Kalau dari Kota Denpasar, lokasi wisata ini dapat dijangkau dalam waktu kurang lebih 60 menit.

Kisah Taman Mumbul

Mungkin sedikit yang memperhatikan patung yang ada di pinggiran telaga, sumber air Taman Mumbul ini. Beliau adalah seorang nenek yang menjadi kisah asal-muasal Taman Mumbul.

Diceritakan nenek ini adalah penjual air dengan membawa jun (tempat air) yang berjualan dari desa ke desa. Beberapa desa yang dilalui, nenek selalu menuangkan air kepada si pembeli.

Hingga di suatu tempat beliau merasa kelelahan dan beristirahat. Karena jualannya tidak habis si nenek meminum sedikit dan menuangkan semua airnya hingga habis. Disiramlah beberapa tanaman yang ada di sekitar, walau tak terjual air ini tentunya sangat berguna bagi kehidupan yang ada di sana. Tiba-tiba air-air yang jatuh ke tanah baik selama perjalanan sampai nenek ini istirahat, keluar lagi dari dalam tanah.

Itulah menjadi sumber-sumber air, percikan-percikan saat menjual menjadi sumber air dengan ukuran kecil. Sedangkat tempat nenek istirahat merupakan sumber mata air terbesar dan terbanyak. Sekarang tempat ini dikenal dengan nama Taman Mumbul.

Manfaat Pancoran Taman Mumbul

Konon dulu sumber mata air ini banyak digunakan warga untuk melukat (upacara pembersihan diri) disamping juga untuk pertanian. Sekarang sudah jarang, alirannya yang besar saja dipakai irigasi subak. Pengairan sawah di beberapa desa sekitar. Di Telaga ini ada beberapa sumber mata airnya, salah satunya sumber air hangat dan berwarna merah tepat berada di samping barat pura yang ada di tengah telaga. Banyak lagi sumber-sumber yang lainnya.

Pacoran Taman Mumbul konon merupakan Air suci yang dapat meleburkan segala hal atau sifat buruk dalam diri, yaitu :

1. Tandri: malas
2. Kleda: menunda-nunda
3. Teja: pikiran gelap
4. Kulina: menghina/ menyakiti orang
5. Kuhaka: keras kepala
6. Metraya: berbohong
7. Megata: kejam
8. Ragastri: berzina
9. Bhaksa Bhuwana: membuat orang lain melarat
10. Kimburu: menipu

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat, mohon dikoreksi bersama. Suksma…
sumber

Ida Bhatara Jogor Manik, Sang Pengabih Dalem Kerangkeng Nusa Penida

$
0
0

Jogor Manik (Sang Jogormanik) adalah Bhatara/Dewa dalam prabawaNya untuk mengadili atma, yang disebutkan Sang Jogormanik berstana di Tegal Penangsaran sebagai bagian dari Tri Mandala Pura Besakih.

Bila Atma mencapai Neraka, maka nerakanya berupa asap dan disambut oleh Jogormanik (Ida Bathara Jogor Manik) serta para wil sebagaimana disebutkan dalam sorga dan neraka dalam upacara ngaben.

Dalam kutipan perjalanan spritual Bhima, yang memberi pengalaman bathin tentang pelaksanaan bagi para atma setelah lepas ke alam niskala, sesuai karma perbuatan yang dilakukan saat menghuni raga manusia di mayapada dalam cerita rakyat Bali, “Bhima Swarga”, disebutkan pula bahwa:

Sang Jogor Manik sedang berhadapan dengan atma aniti krama, atma yang semasa hidupnya sangat tidak ramah tamah dan selalu  membanding – bandingkan tamu yang datang kepadanya.

Begitu pula dalam kelahiran manusia disebutkan pula bahwa Sang Jogormanik sebagai salah satu saudara yang menemani manusia di dunia kira-kira selama empat tahun setelah manusia dilahirkanDi Nusa Penida ada sebuah pura dengan nama pura Puncak Mundhi dan yang berstana adalah Ratu Ayu sebutan dari Ibu Durga Dewi yang menguasai kematian. Di sebelah pura Puncak Mundhi adalah pura Dalem yang bernama Pura Dalem Kerangkeng. Menurut Pinisepuh, Pura Dalem Kerangkeng adalah semacam penjara atau kerangkeng yang diperuntukkan bagi roh-roh manusia yang semasa hidupnya melakukan kejahatan atau untuk manusia yang berbuat jahat melebihi dari jahatnya para bebutan-bebutan atau buta kala.

Yang melinggih di pura Dalem Kerangkeng adalah Ida Bhatara Jogor Manik. Ida bisa melihat siapa dan dimana manusia itu berada serta apa yang dilakukannya. Ida Bhatara Jogor Manik juga adalah yang bertugas mencatat kapan waktu kematian seseorang di muka bumi ini. Dalam melaksanakan tatanan kewenangannya, Ida mempunyai empat pengawal yang akan bertugas menjemput dan mengantar roh-roh manusia.

Ida Bhatara jogor manik juga berstana di pura Dalem Puri, Besakih. Karena Ida mengetahui perbuatan-perbuatan manusia semasa hidup di bumi dan apabila waktu hidup dulu pernah membuat kejahatan melibihi kejamnya para bebutan-bebutan yang dikuasai oleh Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling maka roh manusia tersebut dari pura Dalem Puri langsung di antar ke pura Dalem Kerangkeng untuk menjalani sebuah hukuman tergantung dari berapa besar karma buruk yang diperbuat semasa hidupnya. Kalau roh manusia sudah sampai masuk ke dalam pura Dalem Kerangkeng maka manusia tersebut akan sulit untuk bereinkarnasi atau lahir kembali ke dunia. —sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live