Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Sejarah Kawitan Di Bali

$
0
0

Kawitan berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya Kawitan. Jadi Kawitan adalah pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan Kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali dan menetap di Bali sampai punya keturunan.

Pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Bahwa roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya.

Seperti kita ketahui kalau di Bali adalah menganut sistem keturunan Patrilineal atau berdasarkan keturunan dari keturunan lelaki atau Purusa, jadi oleh sebab itu kita patut tahu sebelum kita membahas tentang Kawitan ini yang mungkin bisa menjadi dasar untuk mengetahui asal muasal dari Kawitan yang ada di Bali saat ini.

Di luar Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng pertahanan dan pengingat, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di jawa Kawitan tidak selengkap di Bali, di Jawa Kawitan yang ada hanya dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatannya tidak sekuat konsep Kawitan di Bali.

Mengenai adanya banyak Kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama Kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana Kawitan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya Kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, Dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri.

Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur oleh umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya. —sumber


Mengenal Jenis-Jenis Pis Bolong

$
0
0

Adanya usaha manusia yang sedemikian itu pada akhirnya memunculkan benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, salah satunya adalah dalam bentuk uang kepeng. Tentunya uang kepeng jenis ini memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh uang kepeng biasa. Kalau uang kepeng biasa pada umumnya pada dua sisinya berisi tulisan Cina, namun pada uang kepeng gaib pada salah satu sisinya akan berisi rerajahan atau gambar tertentu di antaranya gambar Arjuna, Bima, Kresna, Panca Pandawa, Tualen, Sangut, Hanoman, Kuda, Jaring, sampai Bulan Sabit.

Uang kepeng yang berisi rerajahan itu pada umumnya memiliki kekuatan sesuai dengan gambar yang terdapat pada salah satu sisi dari uang kepeng tersebut. Kekuatan gaibnya akan muncul kalau si pemilik atau pembawa uang kepeng tersebut yakin akan hal itu. Beberapa selentingan memang terdengar santer di masyarakat bahwa kekuatan gaib uang kepeng memang sangat dahsyat. Seseorang yang menjuarai lomba lari jarak jauh digosipkan memiliki uang kepeng bergambar kuda atau lebih dikenal dengan pis jaran. Seorang pemuda yang wajahnya tidak begitu menjanjikan tiba-tiba menikah dengan seorang gadis secantik bidadari, kemudian diisukan punya pis Rejuna.

Pis Sangut dan Pis Delem
Ini sangat diminati oleh banyak orang karena memiliki kekuatan magis sama seperti tokoh Sangut dalam cerita pewayangan. Dengan membawa pis Sangut sebagai jimat maka orang akan menjadi sangat lihai dalam berdebat.

Pis Tualen / Uang Kepeng Semar
Demikian pula halnya dengan pis Tualen yang juga diyakini memiliki kekuatan gaib. Dipercaya bahwa dengan membawa pis Tualen ini orang akan merasa tenang saat berhadapan dengan situasi apapun. Ia akan disegani oleh musuh-musuhnya, serta mampu mempengaruhi pikiran dan pendapat orang lain.

Pis Bolong Kresna
Sesuai dengan peran Kresna dalam dunia pewayangan, maka fungsinya adalah sebagai penuntun ke arah kebajikan dan kebijakan. Dipercaya juga bahwa orang yang menjadikan pis Kresna sebagai jimat akan memiliki sifat-sifat mulia seperti selalu berpihak pada kebenaran, jujur, dan selalu menegakkan keadilan. Oleh karenanya benda ini sangat cocok dimiliki oleh seorang pemimpin negara. dengan memakai pis krisna juga dipercayai agar menjadi pintar dalam bernegosiasi dan menjadi seorang politikus negarawan seperti halnya kresna di pewayangan mahabarata.

Pis Dewata Nawa Sanga
Ini Dibuat hanya 9 biji saja dahulu kalanya, ini saya ketahui dari seorang tetua lingsir, jadi ini termasuk langka. Dimana fungsi Pis Nawa Sanga ini digunakan untuk menjaga Diri dan menambah kekuatan spritual.

Pis Bolong Panca Pandawa
Dinamakan demikian, karena pada permukaan trep terdapat gambar dari kelima ksatria putra Pandu, yaitu: Dharmawangsa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Pis ini dipercaya memiliki kekuatan gaib seperti kewibawaan, kekuatan, dan juga kebijaksanaan.

Pis yudistira
Dipercaya mempunyai tuah untuk kewibawaan, kesabaran, keadilan dan kejujuran bagi yang membawanya. Pis Yudistira ini cocok dipakai oleh seorang Pemimpin, pis Bolong ini di yakini bisa membantu kita terhindar dari fitnah dan selalu di anggap baik oleh seseorang dan jika memakai pis ini harus selalu menegakkan kebaikan agar tidak melenceng dari makna pis yudistira yaitu lambang dharmawangsa atau seseorang yang selalu berbuat baik.

Pis Arjuna
Uang kepeng Arjuna atau pis Rejuna sesuai dengan sebutannya, maka pada salah satu sisinya terdapat gambar Arjuna. Dalam cerita Mahabharata, Arjuna dikenal sebagai putra ketiga dari Dewi Kunti dan nomor tiga dari Panca Pandawa. Di samping pandai memanah, ia juga dikenal sebagai ksatria yang gagah berani. Wajahnya yang rupawan menyebabkan ia diidolakan oleh banyak wanita.
Hal ketampanan itulah yang sebenarnya menjadi penyebab pengapa banyak lelaki kemudian berkeinginan untuk memiliki pis Rejuna tersebut. Di samping itu, sebagian masyarakat ada yang meyakini bahwa dengan menjadikan pis Rejuna sebagai jimat akan menyebabkan banyak wanita tergila-gila pada si pemilik pis tersebut.
Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pis Rejuna fungsinya tiada lain untuk melanggengkan hubungan orang bersuami-istri atau hubungan sejoli yang sedang dilanda asmara.

Pis Nakula-Sahadewa
Uang Kepeng/Pis bolong ini fungsinya digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit termasuk ilmu hitam.

Pis Betara Siwa
Uang Kepeng Pis Betara Siwa ini Adalah gambarnya Pewayangan yang lagi menunggang Sapi, Jenis Pis Bolong Betara Siwa ini termasuk sangat langka.

Pis Ghana atau Pis Ganesha
Pis bolong ganesha di percaya untuk menambah kecerdasan dan untuk melindungi dari seseuatu hal yang buruk bagi yang memiliki Pis bolong ganesha.

Pis Bulan
menurut sumber Pis bulan ini mempunyai kekuatan magis untuk Wanita atau ibu, untuk kecantikan dan menjaga hubungan dengan Suami/ Pacar. pis bolong dewi bulan di percaya mempunyai kekutan magis untuk wanita agar terlihat lebih cantik dan menarik, maka pis dewi bulan ini sangat cocok dipakai oleh seorang wanita agar para suami / kekasih akan menjadi semakin sayang kepada isteri / kekasihnya yang memiliki Pis bolong jenis ini.

Pis Bima
memiliki kekuatan gaib yang pada intinya menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Oleh karenanya, pis Bima sangat cocok dimiliki oleh orang yang mengemban tugas sebagai Pecalang.
Di samping itu, bagi orang yang menjadikan pis Bima sebagai jimat akan menjadikan dirinya tangkas dan mahir dalam berperang.

Pis Hanoman
Daya Magis Pis Hanoman ini dipercaya bisa memberikan kekuatan dan tenaga supernatural selama digunakan di jalan kebaikan dan kejujuran. pis Anoman, keistimewaannya adalah mampu memberikan kekuatan dan tenaga seperti angin kepada orang yang membawanya.

Pis Jaring
Daya Magis Pis Jaring ini sangat cocok bagi Pedagang yang menjaring pelanggan / rejeki, menambah link bisnis serta bagi anggota Dewan cocok untuk menjaring suara pemilih saat pemilihan umum.
sebagai sumber pengasihan, cukup diselipkan di saku dompet dan bisa dibawa kemanapun pergi. Khodam udah ane ikat pake benang tridatu (merah, putih, hitam). kalo benang itu terlepas/putus berarti ada orang jahil yang mau mencelakai pemakai, sehingga khodam akan pergi.

Pis Bolong Airawata Pis Gajah
Pis ini mempunyai daya magis agar sipemakai memliki “kekuatan” seperti halnya se ekor gajah, memiliki kesetiaan seperti halnya Airawata kepada Dewa Indra, dan kebijaksanaan.

Pis Jaran
Dalam kepercayaan masyarakat Bali , Pis Jaran ini biasanya di gunakan sebagai jimat oleh para pengalu (pedagang atau saudagar tradisonal bali yang mengantarkan atau menjajakan barang dagangannya jauh ke luar wilayahnya dengan menggunakan kuda beban atau kuda pikulan), sehingga dalam perjalanan jauh apapun tidak akan merasa lelah. Dan ada yang meyakini Pis Jaran ini memiliki kekuatan magis dalam peperangan dalam bertempur akan memilki semangat bertempur seperti kuda

Pis Bolong Dewa Surya
Merupakan Pis Bolong Dewa Surya yang di yakini dapat memberikan sinar pada setiap aktifitas yang dilakukan oleh pemiliknya

Pis Butha
Merupakan Pis Bolong Butha atau tidak bertulisan dan tidak bergambar pada kedua sisinya

Pis Padma
Didalam perkembangan Hindu di Bali bunga Padma/Teratai digunakan sebagai upacara/yadnya karena bunga teratai/Padma mempunyai banyak makna dan simbol religius. Bunga Teratai/Padma hidup di tiga alam (darat/tanah, air dan udara) melambangkan tiga dunia (bhur, bhuah dan swah) Walaupun hidupnya di lumpur tetapi daun dan bunganya menjulang hingga diatas air dan bunganya berbau harum.
Bunga teratai yang harum dilambangkan sebagai stana Hyang Widhi yang sesuai dengan bentuk buah/putiknya yang berbentuk kerucut berbalik hingga berntuknya seperti altar tempat semadhi. Mahkota bunga teratai menunjuk disegala arah melambangkan arah mata angin (asta dala).

Jika kita menghirup aroma bunga teratai tersebut urat syaraf akan terangsang sehingga akan menggetarkan jiwa dan menambah kekhusukan dalam bersamadhi/sembahyang. Uang Kepeng Padma/Teratai adalah lambang tempat singasana Tuhan sebagai pencipta, selain itu 8 kelopak dan 1 titik di tengah padma tersebut melambangkan ke 9 dewa-dewa yang beristana di masing-masing arah penjuru angin yang lebih di kenal dengan dewata nawasanga.
Uang kepeng / Pis bolong padma ini dipercaya memiliki fungsi sepiritual untuk kedamaian, penangkal ilmu hitam, dan sebagai sarana pemusatan pikiran dalam melakukan yoga semadhi atau meditasi. —sumber

Memahami Balian, Dukun Khas Bali

$
0
0

Untuk istilah Dukun dibali dikenal dengan sebutan Balian, tapakan atau jero dasaran. Balian merupakan orang yang mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan penyakit seseorang. Dharma sesana Balian dapat disamakan dengan etika balian, sesana berarti tingkah laku, kewajiban. Sedangkan etika, yang berasal dari kata ethos (yunani) berati ilmu pengetahuan tentang asas moral. Dharma sesana didalam bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan tata susila, yakni dasar kebaikan yang menjadi pedoman dalam kehidupan manusia, kewajiban yang harus dipenuhi selaku anggota masyarakat.

Manusia harus melakukan dharma sesana jika ingin kehidupannya mencapai kebahagiaan. Dia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik dengan buana alit maupun dengan buana agung. Didalam setiap agama pedoman dharma sesana ini pasti ada karena ajaran yang baik selalu bersifat universal. Manusia apapun pekerjaannya apalagi sebagai balian bila ingin hidup sejahtera harus berpijak pada patokan yang pasti yaitu dharma sesana. Balian yang bekerja menghadapi manusia, memerlukan dharma sesana yang baku, yang dapat diikuti dan ditaati oleh semua balian sebagai pedoman dalam melaksanakan profesinya. Dharma sesana balian adalah sebagai berikut :

  • Semua rahasia dari orang yang sakit harus disimpan, tidal boleh disebarluaskan atau dibicarakan dengan orang lain.
  • Hidup para balian harus suci dan bersih, terlepas dari sifat loba, sombong dan asusila.Didalam lontar tutur bhagawan çiwa sempurna ditegaskan bahwa, seorang balian tidak boleh berlaku sombong, harus bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, serta semua nafsu hendaknya ditahan didalam hati.
  • Seorang balian tidak boleh was-was, ragu-ragu, apalagi malu-malu dalam hati harus teguh dan mantap serta penuh keyakinan pada apa yang dikerjakan. Tidak goyah terhadap segala hambatan, rintangan, gangguan, dan godaan yang datang dari dalam diri sendiri, yang mengakibatkan gagalnya usaha yang sedang ditempuh. Tidak akan mundur sebelum berhasil mendapatkan apa yang sedang dihayati, apa yang diinginkan yaitu kesembuhan dari orang yang sakit.
  • Seorang balian tidak boleh pamrih. Semua pengobatan berlangsung dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali tahu akan akibat dari kelobaan akan sesantun dan materi lainnya. Para balian harus tahu akan hak dan kewajibannya, rendah hati tidak sombong, membatasi diri terhadap apa yang dapat dilakukannya, menghormati kehidupan manusia, karena didalam raga sarira atau tubuh manusia, bersemayam Sang Hyang Atma, Sang Hyang Bayu Pramana karena beliu dapat mengutuk balian yang melanggar dharma sesana .Dan bila terkutuk kesaktian atau kesidiannya dalam hal mengobati orang sakit dapat menurun dan luntur. Dan yang lebih parah lagi ia akan menerima kutuk dari Sang Hyang Budha Kecapi sehingga hidupnya akan menderita, termasuk anak cucunya. Ketahuilah adanya tata cara menjadi balian jangan disalah artikan atau disalahgunakan, memang sangat berbahaya menjadi balian. Barang siapa berkehendak menjadi balian sakti mawisesa, tidak dikalahkan oleh kesaktian mantra dapat menjalankan semua pengobatan, dapat mengobati segala penyakit dan tenung. Maka, hendaklah selalu astiti bhakti ring Ida Batara Tiga, khususnya ring Ida Batara Dalem, Desa dan Puseh. Sebagai jalan untuk memohon kesaktiannya, Ida I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, yang merupakan pepatih bersama saudara-saudaranya yang lain. Ida I ratu Nyoman sakti Pengadangan adalah dewan balian sejagat, wajib dibuat pelinggih penyawangan biasa dalam bentuk kamar suci, dibuatkan daksina linggih, ditempatkan pada pelangkiran.

Balian Berdasarkan Tujuannya :
Balian Penengen.
Balian Penengen adalah balian yang tujuannya mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian ini sering pula disebut Balian Ngardi Ayu (dukun kebaikan). Balian ini pada umumnya bersifat ramah, terbuka, penuh wibawa dan suka menolong. Siapapun akan ditolongnya tidak membedakan apakah dia orang baik atau orang jahat, orang yang miskin atau kaya semua dilayani sesuai dengan penyakit yang dideritanya.

Balian Pengiwa.
Balian Pengiwa adalah balian yang tujuannya membuat orang yang sehat menjadi sakit dan orang yang sakit bertambah menjadi sakit, bahkan sampai meninggal. Itulah sebabnya balian tipe ini sering disebut balian aji wegig, dukun yang menjalankan kekuatan membencanai orang lain, berbuat jahil, usil, terhadap orang lain. Balian jenis ini amat sukar dilacak, pekerjaannya penuh rahasia, tertutup dan misterius. Sering pula balian ini mengganggu balian penengen pada waktu pengobati orang sakit sehingga tidak sembuh-sembuh, jahil dan usil. Merupakan sisi lain dari aji wegig ini mendatangkan hujan pada waktu orang sedang melakukan upacara, menahan hujan (nerang) pada waktu orang bercocok tanam, serta menguji kesaktian dengan balian lainnya adalah kegemaran dari balian pengiwa ini. Disamping itu balian ini juga mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan, terutama orang yang kena aji wegignya sendiri, atau diri orang lain.

Balian berdasarkan tata cara memperoleh keahlian dan cara pengobatannya:

  1. Balian Kapican
    Orang Balian dengan memakai benda-benda berpetuah yang didapat dari paica(pemberian benda gaib dari alam bawah sadar) seperti benda-benda permata, benda-benda berupa keris, minyak dan lain sebagainya. Mungkin benda-benda tersebut didapat dari pawisik/pirasat baik berupa mimpi atau petunjuk yang lainnya. Balian kapican adalah orang yang mendapat benda bertuah yang dapat dipergunakan untuk mengobati orang yang sakit. Benda bertuah ini disebut Pica. Pica ini dapat berupa keris kecil, batu permata, pis bolong, batu mekocok, tulang, gigi, besi atau logam lainnya, gigi kilap, serta benda lain yang bentuknya aneh. Ada malahan yang berupa binatang seperti kucing , anjing, burung, ular atau binatang lainnya. Benda pica ini diperoleh biasanya melalui petunjuk dialam mimpi. Di dalam mimpinya dijelaskan tentang tempat benda tersebut dan kasiatnya untuk pengobatan. Kalau berupa binatang maka ia akan datang sendiri atau dijemput disuatu tempat. Dengan mempergunakan benda-benda atau binatang pica ini, dia mampu menyembuhkan orang yang sakit sejak itu mereka disebut Balian Kapican, dukun yang mendapat pica atau kapican oleh suatu kekuatan gaib. Jika pica itu berbentuk permata, umpamanya dengan cara menaruh batu permata itu ditempat yang dirasakan sakit oleh pasiennya, kadang-kadang disertai dengan mengosok-gosokkan permata itu dibadan si sakit, maka penyakit orang tersebut akan sembuh. Atau dengan cara memasukkan permata itu kedalam air kemudian air itudiminum oleh si sakit. Dan sembuhlah penyakitnya ada pula yang disertai dengan pembacaan mantra dengan disertai sesajen dalam proses pengobatannya.
  2. Balian Katakson.
    Orang Balian yang mendapatkan kemampuan mengobati dengan kesurupan, suatu kekuatan gaib yang masuk ketubuh si Balian sehingga mampu mempengarui balian tersebut dan menyebabkan mampu mengobati si sakit. Dengan ciri-ciri pada umumnya sebagai berikut:

    * Balian ini pada umumnya keadaan terpaksa ngiring pekayunan (menuruti kehedak gaib) kalau tidak mau menuruti kehendak gaib ini maka si Balian akan jatuh sakit, dan lain sebagainya.
    * Saat mengobati orang sakit, si Balian ini tidak menyadari apa yang telah dilakukannya.
    * Memiliki kesidian/taksu biasanya tidak begitu lama, terutama yang tindak egonya masih tinggi, maka Balian ini harus memegang pantangannya dengan baik agar bisa bertahan lama. Balian jenis ini balian yang mendapatkan keahlian melalui taksu.

    Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut. Baik secara berpikir, berbicara, maupun tingkah lakunya karena kemasukan taksu inilah orang tersebut mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit. Itulah sebabnya dia dinamai Balian Katakson, dukun yang ketaksuan, kemasukan taksu (kesurupan), dia berfungsi sebagai mediator penghubung. Cara masuknya taksu kedalam diri balian ini tidak lah sama antara balian yang satu dengan balian lainnya. Beberapa dari mereka baru kemasukan Taksu atau kesurupan, setelah menghaturkan sembah dihadapan di sebuah pelinggih atau dihadapan sajen tertentu. Adapula dengan memegang sebuah dupa yang menyala, duduk bersila dan memohon kepada Hyang Widhi, kemudian taksu masuk kedalam dirinya. Balian katakson ini sering pula disebut balian tatakson yakni dukun ketaksuan (tempat taksu).

  3. Balian Usada
    Balian Usada adalah suatu Balian yang benar-benar belajar dari guru seorang Balian atau orang yang memupuninya, baik belajar dari lontar, guru-guru/praktisi Balian dan belajar dengan benar cara mendiagnosis ataupun osmosis pasien. Balian usada adalah seseorang yang dengan sadar belajar tentang ilmu pengobatan, baik melalui guru waktera, belajar pada seorang balian yang telah mahir dalam ilmu pengobatan, maupun belajar sendiri melalui lontar usada. Karena untuk menjadi balian tipe ini melalui proses belajar, maka orang barat menyebut balian jenis ini dengan julukan Dokter Bali. Mengenai proses seseorang menjadi balian usada dapat dibaca dalam lontar budha kecapi, usada kalimosadha dan usada sari. Setelah tamat mempelajari Katikelaning Genta Pinata Pitu dan sastra sanga maka dianggap siswa telah bersih jiwa dan raganya. Siswa init telah hilang kawahnya yakni keletehan serta kotoran dan keburukan yang ada didalam dirinya telah musnah. Sekarang dia telah dianggap telah siap untuk diberi pelajaran membaca lontar usada.
  4. Balian Campuran
    Suatu Balian yang memakai semua cara didalam mengobati si sakit dan keahliannyapun didapat dengan berbagai cara baik dari ketakson, dari benda-benda gaib, dari usada dan sebagainya, yang intinya bisa menyembuhkan si sakit menjadi sehat. Balian Campuran pada umumnya campuran antara balian katakson maupun balian kapican yang mempelajari usada. Dengan demikian balian katakson maupun kapican kemampuannya tidak hanya mengandalkan taksu atau pica, tetapi telah bertambah dengan memberikan ramuan obat-obatan berdasarkan lontar usada. Balian tipe ini dapat disebut balian katakson usada atau balian kapican usada. Balian jenis ini juga dikenal dengan istilah balian ngiring pekayunan atau menjadi tapakan Widhi atau tapakan dewa. Pada umumnya mereka menjadi balian bukanlah atas kemauannya sendiri, tetapi ditunjuk oleh kekuatan gaib. Bila menolak akan tertimpa penyakit, kapongor, atau menjadi gila, pikiran selalu kalut, semua hasil usaha gagal. Hanya dengan mengikuti perintah gaib dia akan kembali normal. Balian seperti ini paling banyak berkembang dan tumbuh subur serta mendapat pasaran. Padahal, keampuhan pengobatannya tidaklah berlangsung lama. Tidak langgeng, hanya bersifat sementara. —sumber

Cerita Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling

$
0
0

Hiduplah seorang Pangeran yang bertempat tinggal di Gunung Kila, yang bernama Pangeran Jumpungan. Pangeran Jumpungan menjadi seorang Pendeta, sehingga mempunyai gelar Dukuh. Dukuh Jumpungan memiliki keahlian dalam hal membuat perahu, sehingga beliau membuat loloan di Nusa Penida dan di Ceningan. Dukuh Jumpungan mempunyai istri yang bernama Ni Puri. Dari perkawinannya ini melahirkan Pangeran Merja. Pangeran Merja mempunyai istri yang bernama Ni Luna, dari perkawinannya terlahir Pangeran Undur dan seorang putri yang bernama Dyah Ranggini. Pangeran Undur mempunyai istri bernama Ni Lumi, sedangkan sang putri diambil istri menjadi permaisuri oleh Dalem Sawang. Dari perkawinan Pangeran Undur lahirlah Pangeran Renggan. Keturunan Dukuh Jumpungan yang lain adalah Pangeran Jurang yang beristri Ni Jarum bertempat di Bukit Biye, Ni Luh Puri di Goa Lawah, Pangeran Yangga di Padang, Ni Runa di Sakenan dan Pangeran Cenes di Segara.

Dari perkawinan Pangeran Renggan dengan Ni Merahim, lahirlah dua orang anak, satu laki-laki, yang satunya adalah perempuan. Yang laki-laki bernama Pangeran I Gede Mecaling dan yang perempuan di beri nama Ni Tole. Ni Tole kemudian menjadi permaisuri Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa Penida. Sedang Pangeran I Gede Mecaling mempunyai seorang istri yang bernama Ratu Ayu Mas Lebur Jagat atau Sang Ayu Mas Meketel atau Sang Ayu Mas Rajeg Bumi. Pangeran I Gede Mecaling menjadi Raja setelah Dalem Sawang wafat, karena berperang dengan Dalem Dukut.
Pangeran I Gede Mecaling sangat senang melakukan tapa brata yoga semadhi di Ped, pengastawaanya (pemujaan) ditujukan kepada Ida Bhatara Ciwa. Karena keataatan beliau melakukan yoga semadhi membuat hati Ida Bhatara Ciwa tersentuh. Siapakah yang melakukan yoga semadhi sedemikian hebatnya di bumi, sehingga Ida Bhatara Ciwa bersedia turun dari Swarga Loka untuk melihat di Bumi siapakah yang melakukan yoga sampai membuat hati beliau tersentuh. Dengan ketekunan tersebut Ida Bhatara Ciwa memberikan anugerah kesaktian berupa Kanda Sanga.

Kemudian, setelah mendapat panugrahan Kanda Sanga fisik Pangeran I Gede Mecaling menjadi berubah. Badan beliau menjadi besar, wajah beliau menjadi menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya. Sedemikian hebat dan sangat menyeramkan, maka seketika itu juga jagat raya menjadi guncang. Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang disebabkan oleh rupa, bentuk dan suara yang meraung-raung siang dan malam dari Pangeran I Gede Mecaling membuat gempar di marcapada.

Melihat dan mendengar hal demikian, para Dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian Pangeran I Gede Mecaling. Bahkan sesungguhnya para Dewata tidak ada yang bisa menandingi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian Pangeran I Gede Mecaling yang bersumber dari kedua taring beliau yang telah diberi anugrah oleh Ida Bhatara Ciwa. Selain dari taring (caling), Beliau juga memliki kesaktian Catur Sakti.

Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk berusaha memotong taring Pangeran I Gede Mecaling. Setelah taring Pangeran I Gede Mecaling berhasil dipotong barulah beliau berhenti menggemparkan seisi jagat raya. Setelah itu Pangeran I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, pengastawanya di tujukan kepada Ida Bhatara Rudra. Lalu Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan kepada Pangeran I Gede Mecaling, berupa Panca Taksu, yaitu:

1. Taksu Balian
2. Taksu Penolak Grubug
3. Taksu Kemeranan
4. Taksu Kesaktian
5. Taksu Penggeger.

Dengan demikian Pangeran I Gede Mecaling memimpin semua Wong Samar dan Babhutan-Babhutan yang ada di bumi. Sebagai berikut Panjak Ida :

1. Sang Bhuta Asu
2. Sang Bhuta Narijana
3. Sang Bhuta Keli
4. Sang Bhuta Bregala
5. Sang Bhuta Sungsang
6. Sang Bhuta Terakas
7. Sang Bhuta Pelor
8. Sang Bhuta Landrang
9. Sang Bhuta Kiram
10. Sang Bhuta Rangsam
11. Sang Bhuta Tiyaksa
12. Sang Bhuta Suwanda
13. Sang Bhuta Kerandah
14. Sang Bhuta Wewerung
15. Sang Bhuta Bebahung

Sebagai pengabih utama Ida Bethari Durga Dewi, Beliau diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga Dewi untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi. Pangeran I Gede Mecaling juga di berikan wewenang sebagai penguasa samudra. Karena menguasai samudra sering juga disebut Ida Ratu Gede Samudra. Gelar Pangeran I Gede Mecaling yang diberikan oleh Ibu Durga Dewi yaitu Papak Poleng dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem. Pangeran I Gede Mecaling moksha di Ped dan istrinya moksha di Bias Muntig. Keduanya sekarang sebagai penguasa di bumi Nusa Penida dan mendapat wewenang sebagai penguasa kematian.  Dan akhirnya beliau bergelar Sugra Pakulun “Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling” atau “Ida Bhatara Ratu Sakti Mas Mecaling”. Maka bagi umat Hindu yang ingin umurnya panjang, sehat, selamat dan lain-lain memohonlah kepada Beliau, Sugra Pakulun “Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling”. Semoga Ida senantiasa selalu ngicenin Waranugraha kepada kita semua, dan menjaga Pulau Bali dan Nusa Penida dari segala macam bencana dan mara bahaya. —sumber

Cerita Lahirnya Sang Hanoman

$
0
0

Alkisah Hiduplah seorang Raksasha bernama Rahwana. Raksasha itu menjadi sangat sakti karena ia keturunan raja dari para Raksasha dan seorang Rishi yang suci. Bersama saudara-saudaranya dan anak-anaknya ia membuat sebuah kerajaan yang kuat yang bernama Alengka Dirja (Sri Lanka Sekarang), dan siap melebarkan sayap kerajaannya.

Tetapi kekuatan bala pasukannya masih kalah kuat dengan kekuatan Kartavira Arjuna (Arjuna Sasrabhawu), raja dari para manusia yang dikenal sebagai avatara Vishnu bertangan seribu. Selama ada Kartavira Arjuna,Rahwana tidak bisa berbuat apa-apa.Tetapi peruntungan segera beralih. Kartavira yang ditakuti akhirnya tewas terbunuh oleh Parashu Rama yang notabenenya juga Avatara Vishnu. Maka kini Rahwanaleluasa melebarkan sayap kerajaannya bahkan hingga menyerang kerajaan para dewa. Kocar-kacir dikalahkan telak oleh para raksasha, para dewa lari ke hadapan Sri Vishnu, memohon agar membantu mereka membinasakan Rahwana. Vishnu bersedia membantu, asalkan Siwa juga mau membantunya, karena Rahwanaadalah seorang pemuja Siwa. Maka Siwa pun juga bersedia menurun ke dunia membantu penjelmaan Vishnu di dunia. Nah dari sinilah sebenarnya Ramayana dimulai. Begitu juga dengan kelahiran Hanoman bagi sebagian orang.

Sebelum itu, di suatu tempat yang lain, seorang wanita berwujud seekor kera melakukan tapa brata dengan sangat tekun. Dia terus memuja Siwa. Setelah sekian lama, Siwa pun berkenan menunjukkan wujudnya di depan si wanita.

“Aku sangat senang dengan tapasya mu. Aku akan memberkatimu. Katakanlah apa keinginanmu devi?”

 

Dengan spontan si wanita menjawab,

“Hamba ingin agar Engkau menjadi anak hamba.” “Maka jadilah demikian”Alkisah diutuslah Dewa Bayu untuk terbang membawa api. Maka terbanglah Dewa Bayu membawa api itu dan memasukkannya ke rahim si wanita. Maka sesaat kemudian si wanita yang bernama Dewi Anjani, menjadi hamil. Beberapa bulan kemudian, pada purnama di bulan Chaitra (Sekitar pertengan Maret), lahirlah bayi seekor kera putih.

Konon pada saat si bayi lahir, bumi berguncang dengan dahsyatnya. Batu tempat si ibu melahirkan anaknya terbelah menjadi dua. Pada saat si bayi lahir, bayi itu sudah bisa bicara, ia terus berkata, “Lapar… lapar… lapar….”
“Devi, engkaukah ibuku? Katakanlah, dimana aku bisa memperoleh makanan ibu?”
Dijawab oleh Dewi Anjani,  

“Carilah buah-buahan yang berwarna merah menyala di sebelah timur”

Dengan segera si bayi yang masih ‘merah’ itu terbang ke arah timur. Saat itu hari masih pagi, matahari masih rendah di ufuk timur. Matahari pagi itu terlihat merah menyala di mata si bayi, maka menurutnya itulah buah yang dimaksud ibunya. Segera ia terbang ke luar angkasa. Sesampainya di luar angkasa, terlihat olehnya buah merah itu begitu besarnya. Tetapi mulut si bayi ternyata bisa terbuka lebih besar dari buah itu. Maka buah itu, matahari kita, dapat tertelan dengan mudahnya.

Selagi si bayi menelan matahari, tata surya kita menjadi gelap. Planet-planet kehilangan orbitnya. Melihat kejadian itu, Dewa Indra pun menjadi marah. Dilihatnya penyebabnya adalah seekor kera raksasa. Segera ia terbang dengan Gajahnya, dan menembakkan Vajra pada mulut si bayi. Serangan itu melukai dagu Hanoman. Karena kaget, akhirnya matahari yang sedang ditelan pun akhirnya termuntahkan. Matahari kembali bersinar. Kestabilan tata surya kembali terjaga. Tetapi Indra belum puas, ia ingin menghabisi pembuat onar itu. Hal itu segera dicegah oleh Dewa Surya sendiri.


“Jangan kau lukai bayi ini Dewa Indra.”
“Kenapa kau melindunginya? Bukankah dia baru saja menelanmu?”

 
Dewa Surya lalu menjelaskan, “Hal ini sebenarnya adalah untuk menunjukkan sebenarnya beliaulah Siwa. Sesungguhnya matahari, dan beserta seluruh alam semesta ini memang sudah ada di dalam perut Siwa. Jadi siapa lagi yang bisa menelan matahari selain Siwa?”

 
Mendengar penjelasan penjelasan Dewa Surya, Dewa Indra akhirnya menyadari. Maka dia lalu menghaturkan sembah. Singkat cerita, bayi itu pun kembali pada ibunya dan menceritakan pengalamannya itu. Dan karena dagunya terluka terkena Vajra, maka dikenallah bayi itu dengan nama Hanoman. Yang artinya kira-kira dagu yang terluka.

Mengenal Segehan Dan Jenisnya

$
0
0

Umat Hindu memiliki beragam upakara yang digunakan untuk mengiringi upacaranya. Keanekaragaman upakara tersebut merupakan salah satu ciri khas budaya Hindu di Bali. Berbagai macam persembahan dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud rasa bhakti dan rasa syukur umat kehadan-Nya. Umat Hindu memiliki upakara untuk Upacara Bhuta Yadnya. Yaitu upakara yang dihaturkan kehadapan Para Bhuta Kala, tujuannya adalah untuk menetralisir kekuatan negative menjadi kekuatan positif yang ada di alam semesta ini.

Kata segehan, berasal kata “Sega” berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. Dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif dari limbah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan). Bhuta Kala dari kaca spiritual tercipta dari akumulasi limbah pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, yang dipelihara oleh kosmologi semesta ini. Jadi segehan yang dihaturkan di rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Jadi Caru yang paling baik adalah bagaimana kita dapat menjadikan rumah bukan hanya sebagai tempat untuk tidur dan beristirahat, tapi harus dapat dimaknai bahwa rumah tak ubahnya seperti badan kita ini.

Segehan dihaturkan kepada aspek Sakti (kekuatan) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Kalau dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut-sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.

Macam – macam segehan:

Segehan Kepel Putih

  • Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan 4 arah mata angin.
  • Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
  • Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
  • Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
  • Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
  • Di atasnya disusun canang genten.
  • Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.

Segehan Kepel Putih Kuning

Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.

Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)

Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun.

Segehan Cacahan

Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.

kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih;

  • 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
  • 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.

Kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih:

  • 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
  • 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.

Keempat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

Segehan Agung

Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).

Adapun maksud simbolik banten ini adalah :

  • alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam
  • daksina, simbol kekuatan Tuhan
  • segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar).
  • Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa).
  • anak ayam, merupakan symbol loba, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam
  • api takep, api simbol dewa agni yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif.

Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan, di”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. –sumber

Makna Canang Sari Dan Jenisnya Menurut Hindu

$
0
0

Menurut kamus bahasa Bali, canang merupakan sebuah kata bendadengan tingkatan bahasa halus yang memiliki arti “sirih”. Buku “Sembahyang menurut Hindu” menyebutkan bahwa pada zaman dulu sirih bernilai sangat bernilai tinggi dan menjadi lambang penghormatan. Sirih disuguhkan kepada tamu yang sangat dihormati.

Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, seorang pedanda Bali, kata “canang” terdiri atas dua suku kata bahasa Kawi, “ca” (“indah”) dan “nang” (“tujuan”). Dengan demikian, pengertian canang dapat djabarkan menjadi sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Canang memiliki peranan yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut Kanista atau “inti dari upakara”. Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.

Canang sari digunakan sebagai persembahan harian kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana. Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan.

Ada beberapa jenis canang sesuai dengan fungsinya. Selengkapnya, berikut jenis-jenis canang :

  1. Canang Sari

Biasanya digunakan untuk sehari-hari termasuk juga saat hari raya seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan juga hari-hari lainnya. Canang Sari digunakan untuk melengkapi upakara besar maupun kecil.

  1.   Canang Genten

Alasnya memakai ituk-ituk, ceper atau taledan, di atasnya berisi plawa, porosan, uras sari, bunga, rampe, boreh miyik. Canang genten digunakan pada upakara bebantenan tempatnya pada ajuman.

  1. Canang Burat Wangi Lenga Wangi

Alasnya memakai ceper atau taledan, di atasnya berisi dua buah tangkih atau celemik, masing-masing diisi burat wangi dan lenga wangi dilengkapi plawa, porosan, uras sari, bunga, rampe dan boreh miyik.

  1. Canang Pabersihan

Alasnya memakai ceper atau taledan maplekir di dalamnya berisi 7 (tujuh) buah tangkih atau celemik, masing-masing diisi: ambuh yaitu bahan keramas berupa daun pucuk diiris atau kelapa diparut;

Sisig yaitu jajan begina dibakar hingga gosong; Tepung beras putih atau kuning; Asem diambilkan dari seiris buah-buahan masam; Tepung tawar (dibuat dari tepung dicampur kunir, daun dadap ditumbuk); Minyak rambut atau minyak wangi; Wija/bija dibuat dari beras dicuci air cendana. Di atasnya dilengkapi sebuah canang Payasan, sejenis canang Genten yang uras sarinya dibuat lebih khusus.

  1. Canang Gantal

Pada dasarnya sama seperti canang Genten, hanya pada porosannya diganti dengan lekesan, ada memakai 5,7,9,11 dengan digulung masing-masing kemudian ditusuk diikat dengan tali porosan. Digunakan pada semua upacara (Panca Yadnya).

  1. Canang Brekat

Alasnya memakai Ceper maplekir atau Tamas, di dalamnya masing-masing sarananya dialasi 4 buah celemik ditempatkan pada empat arah, yaitu: daun Selasih miyik, beringin, ancak, blangsah pinang; tampelan, lekesan, base melelet, tubungan; bahan-bahan pasucian, ambuh, sisig, asem, boreh miyik, minyak wangi, bija/beras kuning, tepung tawar; tadah sukla (pisang, ubi, keladi digoreng), beras putih, beras kuning, kencur diiris, nyanyah gringsing, ampo, dedes, kacang komak digoreng, kacang putih digoreng, pisang emas, kekiping; Diatas semuanya itu, diletakkan sebuah uras sari yang bentuknya bundar agak besar berisiplawa, porosan, bunga dan rampe.

  1.   Canang Saji

Digunakan pada upakara bebantenan (Panca Yadnya) diletakkan pada banten soda.

  1.   Canang Pamendak

Digunakan pada upacara Dewa Yadnya, ketika mendak Ida Bhatara.

  1.   Canang Tajuh

Digunakan pada banten Penyolasan

  1. Canang Yasa

Canang yasa digunakan ketika membangun palinggih-palinggih di pura maupun merajan. Serta upacara Dewa Yadnya di pura/merajan.

  1. Canang Pengraos

Digunakan pada pesamuan-pesamuan atau upacara pawiwahan.

  1. Canang Saraswati

Digunakan pada upacara Dewa Yadnya dan Rahina Saraswati.

  1. Canang Rebong

Digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen, juga upacara-upacara besar seperti melis/melasti.

  1. Canang Oyodan

Canang ini juga digunakan pada saat menghaturkan upacara-upacara besar.

 

sumber

Legenda Asal-Usul Wuku (Pawukon)

$
0
0

Wuku adalah perlambang dari sifat-sifat manusia yang dilahirkan pada hari-hari tertentu seperti layaknya horoskop atau perbintangan yang kita kenal. Adapun maksud dan tujuan diciptakan wuku oleh para leluhur Jawa, adalah untuk mengetahui karakter manusia pada sisi kebaikkan dan keburukkannya, saat-saat sialnya, dan doa penangkal dan keselamatannya. Adapun sejarah asal-usulnya wuku yang berjumlah 30 macam sebagai berikut :

Di ceritakan ada dua putri bersaudara yang bernama dewi Shinta dan dewi Landep, dua-duanya diperistri oleh seorang pandita yang bernama Resi Gana., Resi Gana ini adalah putra dari Bethara Temburu dalam ceritanya dalam memperistri dua putri tersebut, Resi Gana belum mendapatkan putra dan cintanya dikarenakan usianya yang sudah tua serta buruk rupa, pada suatu malam karena cinta kasihnya pada salah satu istrinya ( Dewi shinta ) sang Resi mendapatkan kekecewaan karena perilaku sang Dewi Shinta tersebut.

Sehingga menyebabkan sang Resi menjadi muksa ( menghilang secara gaib ). Pada saat itu sang Resi sempat mengucap / bersabda kepada Dewi Shinta “ Pada suatu kelak nanti wiji yang tertanam dalam rahimnya akan menghasilkan anak laki-laki agar diberi nama “Raden Watu Gunung “.

Singkat cerita Dewi Shinta akhirnya hamil dan mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama seprti sabda tersebut, sang bayi menjelang akhir dewasa nafsu makannya luar biasa / tidak lumrah seperti bayi-bayi yang lain, hingga pada sutau saat ketika Dewi Shinta menanak nasi Raden Watu Gunung mengis sesengguhan, saking kesalnya Dewi Shinta memukul dengan entong ( sendok nasi ) kemudian Watu Gunung kecewa sekali lalu pergi tanpa pamit.

Setelah selesai menanak nasi Dewi Shinta mencari putranya, akan tetapi tidak pernah ketemu. Saking susah hatinya Dewi Shinta dibantu Dewi Landep bertapa di pedepokan ( rumahnya ) dalam pertapaannya akhirnya dua putri tersebut mendapatkan kesaktian yang luar biasa, sehingga banyak pandita-pandita yang lain banyak belajar ilmu dan ingin melamarnya. Tetapi semuanya ditolak, bahkan ada seorang resi yang sangat sakti pun yaitu Resi Tama bahkan ingin memaksanya untuk memperistrinya. Hal ini mengakibatkan dua putri tersebut lari tunggang langgang, inipun masih dikejar resi Tama.

Para Pandita yang lain mendaptkan kabar ini akhirnya berbalik menjadi belas kasihan dan akhirnya memburu sang Resi Tama. Dalam peperangan sang Resi Tama dapat mengalahkan semua resi-resi tersebut, bahkan terus mengejar dua putri tersebut sampai ke negara Medangkamulan dengan rajanya Manuk Madewa yang masih berdarah betara Brahma, dengan patihnya berjuluk Patih Citro Dana. Di negara inipun sang Prabu Manuk Madewa juga kasamaran terhadap kecantikan kedua putri tersebut. Sang Putri agaknya mau dengan syarat : “ Bisa mengalahkan sang Resi Tama yang mengejar-ngejar tersebut “ akhirnya dikerahkan bala tentara untuk memerangi sang resi Tama dibawah pimpinan patih Citra Dana, namun dalam peperangan tersebut prajurit dari negeri Medang Kamulam kocar-kacir.

Diceritakan Raden Watu Gunung setelah terpukul oleh entong ( sendok makan ) tersebut sampai di hutan Selo Gringging, luka dikepala akibat pukulan ibunya akhirnya sembuh sendiri dan berbekas. Pada suatu saat Raden Watu Gunung bertemu dengan masyarakat di sekitar hutan tersebut yang sedang mengadakan kendurian atau keselamatan, Raden Watu Gunung ikut dalam selamtan tersebut namun banyak melahap makanan yang disajikan diluar batas kewajaran. Sehingga mengakibatkan kemarahan masyarakat akhirnya dianiaya berramai-ramai, dalam penganiayaan tersebut ternyata Raden Watu Gunung tidak merasakan kesakitan bahkan terus melahap makanan yang tersaji, hal ini mengakibatkan keheranan masyarakat yang akhirnya malah sang Raden Watu Gunung dijadikan Raja diwilayah tersebut, bahkan dibuatkan keraton dan diangkat raja dengan gelar Prabu Watu Gunung.

Pada suatu ketika sang Prabu mendengar cerita bahwa di negara Medang Kamulan terjadi peperangan yang disebabkan seorang Resi Tama sedang memperebutkan dua orang putri yang cantik jelita, sehingga Prabu Watu Gunung pun ingin ikut memperrebutkannya. Akhirnya Prabu Watu Gunung bertolak ke negara Medang Kamulan lalu berhadapan langsung dengan sang Resi Tama. Bahkan akhirnya dapat mengalahkan Resi Tama. Namun ketika Resi Tama dapat dikalahkan Raden Watu Gunung, yang terdengar kabar di istana Medang Kamulan adalah patihnya yang bernama Citra Dana dalam perjalanannya menuju ke istana sang patih tersebut dielu-elukan, bahkan sang Prabu Manuk Madewa ikut membangga-banggakan atas kesaktian patihnya. Hal ini terdengar oleh Prabu Watu Gunung, yang menyebabkan kekecewaannya.

Singkat cerita terjadi peperangan lagi antara Prabu Watu Gunung dengan Prabu Manuk Madewa yang akhirnya Prabu Manuk Madewa tewas. Dan akhirnya menjadi raja di Medang Kamulan yang kemudian kerajaan tersebut diganti nama negara Giling Wesi, bahkan dua orang putri tersebut diangkat sebagai permaisurinya. Diceritakan lagi setelah menjadi istri sang Prabu Watu Gunung, dewi Shinta melahirkan putra yang selalu kembar sampai 13 kali ( kecuali yang nomor 14 ) sehingga jumlah putra sang prabu 27 :

1. Raden Wukir kembar dengan Raden Kurantil

2. Raden Tolu kembar dengan Raden Gumbreg

3. Raden Warigalit kembar dengan Raden Warigagung

4. Raden Djulungwangi kembar dengan Reden Sungsang

5. Raden Galungan kembar dengan Raden Kuningan

6. Raden Langkir kembar dengan Raden Mandasija

7. Radem Djulungpujud kembar dengan Raden Pahang

8. Kuruwelut kembar dengan Raden Marakeh

9. Raden Tambir kembar dengan Raden Madangkongan

10. Maktal kembar dengan Raden Wuje

11. Raden Manail kembar dengan Raden Prangbakat

12. Raden Bala kembar dengan Raden Wugu

13. Raden Wajang kembar dengan Raden Kuwalu

14. Raden Dukut tidak kembar

Kemudian pada suatu ketika Dewi Shinta diperintahkan untuk mencari kutu di kepala Sang Prabu Watu Gunung, betapa terkejutnya sang Dewi Shinta melihat bekas luka kepala sang prabu, yang mengingatkan kejadian putranya di waktu dulu, sang prabu bahkan sempat menceritakan asal mualasan luka tersebut, yang ternyata Dewi Shinta adalah ibunya sendiri terjadilah keharuan yang luar biasa, betapa berat cobaan hidup ini, dan betapa memalukan kejadian ini.

Sehingga diniatkan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain, sambil menangis Dewi Shinta berkata “ Sababing Karuna Ajalaran Saking Kepengine Duwe Maru Widodari Kahyangan “ yang artinya tangisnya dikarenakan keinginan untuk mengawinkan anaknya dengan sang bidadari kahyangan. Dikarenakan keterlanjuran cintanya pada sang dewi Shinta sang Prabu mengumpulkan semua putranya dan memerintahkan prabu Raden Prangbakat untuk naik ke kahyangan bertemu dengan Bathara Guru lalu memohon seorang bidadari bernama Dewi Sri untuk diperistri sang Prabu dengan cara tebak-tebakan.

Diceritakan di kahyangan: Djunggring Salaka Sang Hyang Guru : Resi Narada didatangi oleh Raden Prangbakat atas pesan bapaknya : dengan membawa dua buah ayam peking dimana Bathara Guru (putra Bathara Wisnu) dipersilahkan menebak mana yang jantan dan mana yang betina. Bathara Wisnu menjawab “yang betina adalah yang bertelinga bolong dan yang jantan yang bertelinga mampat”. Namun dalam ceritanya di kahyangan niat Watu Gunung dianggap merusak tatanan wilayah kahyangan kemudian Bathara Wisnu memimpin untuk (Ngluruk)-mendatangi sang Prabu di Gilingwesi akhirnya terjadilah peperangan para dewa dengan sang prabu didahului dengan perang putra-putra sang prabu yang dikepung oleh pasukan para dewa.

Dalam peperangan tersebut yang dipimpin oleh Prabu Watu Gunung sendiri ternyata sulit dikalahkan. Akhirnya Bathara Wisnu mencari tahu kelemahan sang prabu dari putranya sendiri yaitu Raden Srigati yang kemudian Raden Srigati mengutus Wil Awuk sebagai mata-mata untuk mengetahui kelemahan Watu Gunung. Wil Awuk merubah dirinya menjadi ular kecil (ulo kisi) diceritakan Wil Awuk berhasil masuk ke tempat pelaminan sang prabu yang pada saat itu sedang menceritakan tentang kesaktiannya kepada sang Dewi Shinta yang disana sempat diceritakan tentang rahasia kelemahan sang prabu dimana hari naasnya jatuh pada hari anggara kasih jam 12 siang (bedug awan) yaitu pada hari yang sama saat kelahiran Raden Galungan yang juga bersamaan saat Watu Gunung mengalahkan Prabu Manuk Madewa. Kelemahan ini akhirnya digunakan oleh Bathara Wisnu untuk menumpas kerajaan Gilingwesi dan akhirnya tumpaslah sudah kerajaan tersebut.

Pada akhirnya diceritakan Dewi Shinta dan Dewi Landep masih hidup dan menangis memohon Sang Hyang Jagad Noto untuk memohon keadilan kemudian turunlah Resi Narada diutus untuk memberitahukan sebab musababnya yang ternyata disebabkan kesalahannya sendiri yaitu memberitahukan kelemannya kepada Sang Dewi Shinta dimana terdengar oleh Wil Awuk.

Sebagai gantinya sang dewi akan dikabulkan permintaannya asalkan tidak meminta hidupnya kembali sang Watu Gunung besarta putranya sedangkan permintaan sang dewi Shinta hanya ingin Watu Gunung dan semua putranya dimaafkan kesalahannya dan masuk surga bersama-sama dengan dewi Landep. Permohonan ini dipenuhi oleh Sang Hyang Jagad dimana urut-urutan masuk surga adalah :

1. Dewi Shinta

2. Dewi Landep

Kemudian diikuti ke-27 putranya yang terakhir Watu Gunung (no 30) oleh Bathara Wisnu ke tiga puluh nama tersebut dijadikan dasar perhitungan Wuku.

  1. Sinta – Batara Yama (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
  2. Landep – Batara Mahadewa (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
  3. Wukir, Ukir – Batara Mahayakti (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
  4. Kurantil, Kulantir – Batara Langsur (Ahad Pon – Sabtu Wage)
  5. Tolu, Tulu – Batara Bayu (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
  6. Gumbreg – Batara Candra (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
  7. Warigalit, Wariga – Batara Asmara (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
  8. Warigagung, Warigadian – Batara Maharesi (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
  9. Julungwangi, Julangwangi – Batara Sambu (Ahad Pon – Sabtu Wage)
  10. Sungsang – Batara Gana Ganesa (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
  11. Galungan, Dungulan – Batara Kamajaya (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
  12. Kuningan – Batara Indra. (Ahad Wage – Sabtu Kliwon) Pada minggu ini jatuh hari raya Kuningan pada hari Sabtu-Kliwon.
  13. Langkir – Batara Kala (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
  14. Mandasiya, Medangsia – Batara Brahma (Ahad Pon – Sabtu Wage)
  15. Julungpujut, Pujut – Batara Guritna (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
  16. Pahang – Batara Tantra (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
  17. Kuruwelut, Krulut – Batara Wisnu (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
  18. Marakeh, Merakih – Batara Suranggana (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
  19. Tambir – Batara Siwa (Ahad Pon – Sabtu Wage)
  20. Medangkungan – Batara Basuki (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
  21. Maktal ,Matal – Batara Sakri (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
  22. Wuye, Uye – Batara Kowera (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
  23. Manahil, Menail – Batara Citragotra (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
  24. Prangbakat – Batara Bisma (Ahad Pon – Sabtu Wage)
  25. Bala – Batara Durga (Ahad Kliwon – Sabtu Legi)
  26. Wugu, Ugu – Batara Singajanma (Ahad Pahing – Sabtu Pon)
  27. Wayang – Batara Sri (Ahad Wage – Sabtu Kliwon)
  28. Kulawu, Kelawu – Batara Sadana (Ahad Legi – Sabtu Pahing)
  29. Dukut – Batara Sakri. Pada minggu ini jatuh hari Anggara Kasih pada hari Selasa Kliwon yang dianggap keramat oleh orang Jawa. (Ahad Pon – Sabtu Wage)
  30. Watugunung – Batara Anantaboga. (Ahad Kliwon – Sabtu Legi) Dalam minggu ini jatuh hari Jumat Kliwon yang dianggap keramat oleh orang Jawa dan hari Saraswati yang dianggap suci oleh orang Bali.

sumber


Libur Selama-Lamanya

$
0
0

Jiwa-jiwa yang terus menerus berkejaran ke masa depan, itu ciri banyak sekali manusia kekinian. Anak sekolah berkejaran agar cepat lulus. Yang sudah lulus berkejaran agar cepat bekerja. Yang sudah bekerja berkejaran agar cepat naik pangkat. Orang biasa berkejaran agar cepat kaya. Orang kaya berkejaran agar lebih kaya lagi. Sebagai akibatnya, di sana-sini terlihat jiwa-jiwa yang lelah, resah dan gelisah.

Pencari-pencari jenis ini mirip dengan anak sekolah yang tidak pernah libur. Jenuh, bosan, serba salah, gelisah, sedikit-sedik marah, itu teman mereka dalam keseharian. Kaya salah miskin apa lagi. Punya uang gelisah, punya hutang apa lagi. Dipuji orang marah-marah, dicaci apa lagi. Bagi jiwa-jiwa jenis ini, semakin keras mereka berusaha dan bekerja, semakin banyak bibit-bibit penyakit yang ditanam di dalam. Terutama karena setiap hari mereka mengalami kebocoran dan defisit energi.

Sebelum cerita sedih ini mengunjungi Anda, mari belajar meliburkan pikiran. Salah satu ciri dominan pikiran yang tidak pernah libur, mereka penuh dengan kerangka yang serba harus dan serba mesti. Semua aliran kehidupan dipaksa harus sama dengan kerangka pikiran. Karena pikiran sempit sedangkan kehidupan maha luas, ujungnya mudah ditebak, manusia jenis ini mudah kecewa. Kemudian jiwanya masuk jurang yang berbahaya.

Ada tiga cerita sebagai bahan renungan untuk meliburkan pikiran. Terutama agar orang-orang belajar meliburkan pikiran. Bagi tukang taman, rumput liar adalah tumbuhan yang sangat mengganggu. Namun bagi kelinci, rumput liar adalah makanan enak dan sedap. Hal yang sama juga terjadi dengan keseharian kehidupan. Bagi orang tertentu, sebuah kejadian itu musibah. Tapi bagi orang yang lain, kejadian yang sama bisa menjadi sumber berkah.

Bayangkan Anda bangun di sebuah pagi dan tiba-tiba menemukan di depan pintu kamar ada sekantong plastik yang berisi kotoran sapi. Bagi pikiran yang pemarah, kotoran sapi ini bisa menjadi awal perkelahian. Namun bagi hati yang pemurah, kotoran sapi bisa menjadi bunga indah kalau diletakkan di bawah pohon bunga. Dengan kata lain, buruk dan baik tidak datang dari kejadian di luar. Namun buah dari kebersihan pikiran seseorang di dalam.

Tatkala hujan turun, ayam berteduh di bawah pohon. Akan tetapi bebek mencemplungkan dirinya di kolam. Keduanya mengambil jalan yang bersebrangan. Namun keduanya bahagia apa adanya. Bagi jiwa-jiwa yang gelisah, orang-orang sekitar dipaksa harus sama. Perbedaan dianggap sumber musibah. Namun bagi jiwa-jiwa yang indah, perbedaan itu berkah. Ia adalah warna-warni yang melukis pelangi yang indah.

Tanda-tanda awal pikiran yang mulai sehat sekaligus mulai belajar libur sederhana, cengkraman pikiran mulai melonggar. Ia ditandai oleh jauh lebih sedikit penghakiman, jauh lebih sedikit keluhan, jauh lebih sedikit perkelahian. Akibatnya, ada jauh lebih sedikit energi yang bocor. Sekaligus, lebih banyak energi yang tersedia untuk menyembuhkan diri.

Dan bagi jiwa-jiwa yang sudah sembuh, apa lagi utuh, mereka akan tersenyum dengan ungkapan sederhana namun mendalam ini: “Seperti air di alam. Musim hujan tidak melakukan penambahan, musim kering tidak melakukan pengurangan. Dengan cara yang sama, kesenangan tidak melakukan penambahan, kesedihan tidak melakukan pengurangan”.

Sesampai di sini, seseorang sudah mengalami keadaan “libur selama-lamanya”. Ada yang menyebut ini sebagai keheningan. Ada yang memberinya sebutan kesempurnaan. Dan untuk diendapkan dalam-dalam, keheningan bukanlah kawannya ketidakpedulian. Sekali lagi bukan. Keheningan adalah sahabat dekatnya kasih sayang.

Itu sebabnya, jiwa-jiwa yang hening bening bukannya lari dari keramaian. Tapi memancarkan cahaya di tengah keramaian. Yang bisa menulis terus menulis. Yang bisa melukis terus melukis. Yang bertumbuh di dunia kerja terus bekerja. Dan ada satu hal yang sama diantara mereka, apa pun gerak kesehariannya – dari menulis hingga melukis – semuanya memancarkan cahaya.

Di tingkat pencapaian seperti ini, manusia bisa mengatakan selamat tinggal pada keseharian yang terus menerus berkejaran ke masa depan. Kemudian bisa istirahat di saat ini apa adanya. Inilah yang disebut dengan libur selama-lamanya. Sekaligus, inilah rumah indah jiwa-jiwa yang indah. Dalam bahasa yang singkat sekaligus padat, sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami keheningan adalah membimbing jiwa-jiwa agar menjadi jiwa yang indah.

Penulis: Gede Prama.
Photo Courtesy: twitter @koksalakn.

sumber

Filosofi Banten Pejati

$
0
0

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.

UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI

Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:

  1. Daksina
  2. Banten Peras,
  3. Banten Ajuman Rayunan/Sodaan
  4. Ketupat Kelanan
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian
  7. Segehan alit

Sarana yang Lain

  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.

Daksina terdiri atas:

  1. bakul/serembeng, simbol arda candra
  2. kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
  3. bedogan, simbol swastika
  4. kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
  5. kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
  6. telur bebek simbol windu dan satyam
  7. tampelan, simbol trimurti
  8. irisan pisang, simbol dharma
  9. irisan tebu, simbol smara-ratih
  10. benang putih, simbol siwa

Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia. Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu

  • Daksina kepada Sanghyang Brahma
  • Peras kepada Sanghyang Isvara
  • Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
  • Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

CARA MEMBUAT

Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :

  1. DAKSINA terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
  2. PERAS : memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
  3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN : memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
  4. TIPAT KELANAN : memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.

Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.  —sumber

Legenda Dewi Durga, Dewi Penguasa Kuburan Dalam Hindu Bali

$
0
0

Keangkeran kuburan (setra) di Bali menjadi sebuah misteri yang berkembang dari dulu hingga kini. Dalam keyakinan Hindu, tidak hanya di pura akan tetapi di kuburan pun ada dewa yang berstana serta berbagai pengikutnya.

Pada salah satu lontar yakni  Lontar Andhabhuwana menyebutkan asal muasal keberadaan Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga (penguasa kuburan) disebabkan karena mendapat kutukan Dewa Siwa. Kutukan tersebut menyebabkan Dewi Uma yang bergelar Dewi Durga tinggal menetap di dunia dan akan kembali ke Siwa Loka setelah disucikan.

Kisah itu berawal saat Bhatara Siwa menyuruh Dewi Uma mencari susu yang tugasnya cukup berat untuk dilakukan. Dalam memperoleh susu, Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si pengembala. Ketika telah mendapatkan susu dan kembali ke Khayangan untuk menyerahkannya kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan. Ia tidak menyebutkan asal muasal dimana susu itu diperolehnya.

Namun, dengan tenung Aji saraswati Dewa Ganesha membeberkan kebohongan yang dialakukan ibunya terkait asal-usul dimana memperoleh susu. Mendengar penjelasan Dewa Ganesha seketika tenung Aji Saraswati dilenyapkan menjadi abu oleh api kemarahan Dewi Uma. Melihat ulah Dewi Uma yang telah berani membakar tenung Aji Saraswati dan berusaha berbohong dalam memperoleh susu menimbulkan kemarahan bagi Dewa Siwa. Saat itulah kemudian Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjelma menjadi Dewi Durga.

Setelah dikutuk untuk turun kedunia, Dew

i Durga berstana sebagai dewa penguasa kuburan yang diikuti oleh 108 Bhuta-Bhuti. Tugas dari Dewa Durga dan 108 pengikutnya adalah menebar penyakit, menciptakan kekeringan, kebencanaan di dunia. Akan tetapi yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia yang lupa untuk berbhakti kepada Tuhan yang Maha Esa.

Penyakit dan segala kebencanaan yang diciptakan oleh Dewi Durga dan pengikutnya bertujuan untuk menyadarkan manusia untuk selalu ingat dan berbhakati kepada Tuhan. Sebagai cara untuk mengurangi gangguan yang ditimbulkan oleh kekuatan Dewi Durga dan pengikutnya dilakukan dengan mempersembahkan butha yadnya —sumber

Rahasia di Balik Bulan Purnama

$
0
0

Seluruh Alam Semesta beserta seluruh kehidupan keberadaannya mungkin saling terkait. Sering disebut ada tiga tingkatan alam menyeluruh, tapi satu dengan lainnya saling berkaitan. Menjadi satu kesatuan, berawal dari bagian-bagian semesta.Dari mana datangnya planet-planet itu? Mengapa matahari bersinar. Siapa memberi sinar? Mengapa ada bulan, dari mana asal-muasalnya. Mengapa suatu waktu ia bersinar terang (Purnama). Suatu saat gelap (Tilem).

Bulan purnama membawa kesan keindahan tersendiri, dan keunikan khas, ditangkap setiap orang. Karena itulah, Bulan Purnama menjadi sangat diperhatikan tibanya. Karena bulan purnama dianggap merupakan kesatuan cahaya, diantara ke tiga (Bhur,Buah, Shuah) alam tersebut.

Pertama ada imajinasi dibayangkan, seperti semesta tak terbatas, tapi ‘’dibatasi’’ sebagai wujud Tuhan. Pada hal batas wujud Tuhan tak dapat dilihat nyata. Juga alam jagat planet di dalam diri alam semesta, tetap misteri (makro kosmos). Ada pula mikro kosmos, alam kecil manusia.

Satu pendapat menganggap, Bulan Purnama muncul sebagai pemberi tanda, bahwa hari itu ada sesuatu istimewa terjadi. Paling tidak; berbeda dari hari-hari biasanya. Dimana Bulan muncul dengan penampakan, keindahan bulan purnama saat itu. Bulan Purnama muncul konon akibat dari kondisi bulan berada pada poros penyinaran penuh oleh matahari. Suatu keadaan tata Surya saat seperti itu, dimana matahari menyinari penuh planet bulan terjadi hanya saat tertentu saja. Pusat penerangan cahaya telah menjadi satu kesatuan penuh menjadi satu garis dari ke tiga alam planet besar itu. Matahari menjadi pusat sumbu, di mana bulan dan planet bumi saatnya satu poros tatkala bergerak penuh.

Dalam alam kosmos peredaran planet terdiri dari berjuta-juta planet di alam semesta raya ini merupakan suatu keadaan misteri. Seolah-olah ada tangan maha besar, kekuatan maha dahsyat dan pikiran maha cerdas mengatur seluruh alam semesta, agar tak terjadi tabrakan hebat.

Bukan kemustahilan hal itu bisa terjadi kalau tidak ada kecerdasan super yang mengaturnya. Akibatnya akan timbul kekacauan gerakan alam semesta, kemungkinan bisa menimbulkan hari kiamat. Setiap ancaman tabrakan, menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di dunia, makhluk dan benda-benda di alam semesta.

Di Bali ada kepercayaan telah memasyarakat bahwa saat Bulan Purnama para Dewa melakukan meditasi, menyucikan bumi, merakhmati manusia dan saat seperti itu, Bulan Purnama memancarkan cahaya keberkahan. Tuhan mengeluarkan enersi demi memelihara kesejahteraan alam semesta, melalui cahaya, membagi pancaran-Nya, berupa para Dewa ke seluruh semesta. Sumber cahaya, enersi kehidupan, Dewa dan seluruh kehidupan dan makhluk maupun benda, berawal karena Tuhan ada. Seluruhnya berpusat dan ada hanya karena Tuhan. Ketika Tuhan tidak ada, apa pun tidak akan pernah ada. Dewa adalah kekuatan terpencar dari salah satu sinar kekuatan Tuhan. Pada hal Tuhan memiliki, berbagai kekuatan khas yang dahsyat. Cahaya kekuatan itu, diberi atribut Dewa.

Nampaknya paling tidak, ada dua efek yang diisyaratkan oleh suasana Bulan Purnama itu (kumpulan cahaya penuh). Pertama, kondisi alam sangat mendorong manusia, mencapai kesucian, hari itu diberkati Tuhan, menuju kedamaian dan kesejahteraan,bagi setiap makhluk. Bulan Purnama sering diidentikkan dengan keindahan (kemuliaan). Kesucian mencapai ‘’sunia’’, inti dari sepi dan sunyi tanpa noda. Kepasrahan kepada sesuatu yang mulia tadi, tanpa mengharapkan apa-apa. Orang Bali mengatakan: ‘’Identik dengan bahagia tak kembali lagi kepada duka’’. Menghuni rumah Tuhan dengan abadi.Tak terlahirkan kembali.

Di Bali orang melakukan upacara persembahyangan, memilih di Bulan Purnama. Atau hari-hari persembahyangan jatuh pada hari Bulan Purnama. Tak mengherankan di Bali, bila Bulan Purnama, akan menemukan upacara-upacara berbagai jenis. Tentu dipilihnya hari itu, karena dianggap hari penuh berkah dan suci. Hari dimana diyakini para Dewa melakukan ‘semadi’ dan menebarkan berkahnya kepada setiap makhluk maupun benda-benda di alam semesta. Sebaliknya pada waktu Tilem (bulan gelap), kebalikan dari posisi bulan terletak pada Bulan Purnama, dilakukan pula peringatan sebagai keyakinan adanya Rwabinedha.Keduanya berbeda tetapi harus sama-sama dihormati.

Akibat kedua, perilaku misteri Bulan Purnama itu bisa berakibat jatuh pada suasana indah, tapi terperangkap pada kepentingan pemuasan indra-indra, dikatakan bentuknya lebih rendah. Bisa jatuh ‘rindu’ dan bersifat ‘nafsu’ bila mengenangkan sesuatu yang dicintai. Dimana bangkitnya rasa romantis, terutama di balik itu biasanya bermenung Dewa Asmara (Semara dan Ratih) dan ini sah saja. Kalau tidak demikian, bagaimana manusia bisa berkembang di atas dunia ini. Ini tergantung pada kedudukan, tujuan dan suasana tingkat bathin manusia dan makhluk itu sendiri. Dimana mereka sedang terpengaruh oleh sinar Bulan Purnama. Namun pada dasarnya keindahan itu adalah suci seperti cahaya cemerlang menyapu kegelapan. Itulah Bulan Purnama sebagai perwujudan keindahan, bisa membebaskan dan bisa pula terikat pada tujuan di luar itu.

Ada beberapa cerita mungkin mitos, bisa sejarah, bisa fiksi atau apalah istilahnya itu. Misalnya, ketika Sang Budha Gautama masih sebagai Pangeran Sidharta Gautama kemudian mencapai kebudhaan (kesempurnaan), dimana waktu pencapaian ini dikatakan pula bertepatan, pada saat Purnama Sidhi. Bulan Purnama penuh berkah dan kesucian. Hal ini, merupakan kisah seorang tokoh maha besar junjungan penganut ajaran budha.

Ada seorang penekun spiritual, bercerita kepada penulis. Bahwa saat bulan Purnama di bulan Juni dan Juli, lihat ke langit saat tengah malam atau sesudah tengah malam setiap hari. Carilah tempat, dimana langit dapat ditatap dengan bebas dan ditaburi bintang-bintang. Suasana damai dan misteri, sulit dilukiskan memakai kata-kata, mungkin akan Anda temukan bila hati Anda terbuka lebar. Anda akan menyaksikan dengan terkejut, bila selama ini Anda anggap Bulan Purnama biasa saja. Bintang dengan lincah berselewiran seperti berpindah tempat dan kemudian menghilang. Atau cahaya besar sebesar kurungan ayam, berjalan dengan penuh cahaya dan mengeluarkan sinarnya menerangi alam sekelilingnya. Bahkan ia mengatakan pernah melihat cahaya besar itu sangat dekat dengan bumi. Sehingga tempat di bawahnya diterangi oleh bagian cahayanya. “Hal seperti ini sekarang memang sulit lagi saya temui, pada hal sangat merindukanya, “ katanya menutup penuturannya.

Pada saat melihat bintang terbang, saat seperti itu, orang yang sempat mengingat dan memanggil nama Tuhan dan mengucapkan doa, sebelum cahaya itu menghilang. Doanya akan terkabul, beberapa orang mengatakan setuju dengan kebenaran hal itu.

Konon itu terjadi para dewa sedang mengadakan perjalanan suci di dalam meditasinya menuju dunia. Mereka menebarkan berkah. Tapi dari sudut ilmu pengetahuan, hal itu bisa merupakan perpindahan bintang atau meteor pecah, dimana pecahannya terlempar mendekati bumi. Kejadian seperti itu dianggap tidak ada keistimewaannya, kecuali memang terasa ada suasana damai, alam terbuka dan suasana sepi sendiri dengan angin malam berembus kecil. Bagi penulis, sempat pernah merasakan kedamaian dan keluarbiasaan suasana misteri. Merupakan pengalaman tersendiri.

Ada pula mitos tentang terjadinya bulan gerhana, bulan mau dimakan Kala Rawu, kepergok matahari saat menelan Bulan Purnama. Tentu Kala Rawu jatuh hati akibat keindahan bulan purnama. Sebaliknya pula suasana bulan purnama bisa dimanfaatkan untuk menjalin cinta di bawahnya diiringi janji-janji bernada ‘’gombal’’ dengan saksi Bulan Purnama. Bahkan menurut sebuah penelitian penulis sempat baca, di kala bulam purnama ternak-ternak yang hidup bebas di padang rumput luas (pasture), memanfaatkan bulan purnama untuk menuju perkembangbiakan lebih cepat. Bulan purnama ternyata berpengaruh terhadap libido ternak-ternak yang hidupnya bebas di padang rumput.

Satu hal mungkin perlu dipahami dan direnungkan tentang adanya keyakinan, bahwa bulan itu merupakan pintu Nirwana. Meskipun bulan nampak dari jauh sangat indah dan mulus, konon sebenarnya adalah terdiri dari bukit-bukit karang. Di balik itu, ada berita menyatakan ada tersimpan kandungan bahan-bahan kehidupan sangat berharga. Bahkan bulan pernah didarati manusia. Pada hal sebelumnya dikatakan tak mungkin. Kenyataannya memang terjadi, manusia mencapai pintu Nirwana dengan kekuatan imajinasi dan akal budi (Ilmu Pengetahuan). Namun manusia dengan pikirannya yang dahsyat itu belum mampu membuka rahasia besar dan meyakinkan di balik fisik bulan. Apa sebenarnya bulan itu? Dari mana asalnya? Mengapa harus ada bulan? Tatkala bulan purnama, benarkah bulan sebagai pintu Nirwana, terbuka dan memancarkan energi hidup demi kelangsungan semua yang ada di alam semesta? Jawabannya masih tersimpan rapi sebagai rahasia besar untuk dibuka manusia.
Oleh Ngurah Parsua
(Penulis seorang penggiat sastra dan budaya, tinggal di Denpasar) – sumber

Makna Arak Berem Menurut Hindu

$
0
0

Bagi umat Hindu Bali yang belum memiliki kewenangan “Nganteb” banten dengan “Pengastawa” sebagaimana layaknya seorang pemangku, bukan berarti tidak ada cara nganteb yang diperbolehkan. Bagi orang awam atau bahkan bagi orang yang tidak mengenal tulisan tentu saja agak kesulitan untuk ngastawa mempergunakan puja mantra, tetapi bisa dilakukan dengan nyanyian pemujaan seperti kidung wargasari dan lain-lain. Ada juga menggunakan simbol-simbol seperti melakukan “tetabuhan arak-berem”.

Kenapa menggunakan Arak dan Berem? Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang maksud dan makna arak berem sebagai sarana pengastawa ke hadapan Sang Hyang Widhi.

Arak merupakan simbol dari aksara suci “Ah-kara”, sedangkan berem adalah simbol dari aksara suci “Ang-kara”. Hal ini terkai mantra pengastawa sehubungan dengan “Utpeti”, “Stiti”, dan “Pralina” dengan menggunakan dasar dari sastra Rwa Bhineda sebagai berikut :

Utpeti (Pengastawa/Ngajum/Puja)

Yang dimaksud dengan Utpeti adalah memohon kehadapan Sang Hyang Widhi agar Beliau berkenan kontak dengan manusia melalui manifestasi Nya sesuai dengan fungsi Nya, untuk menyaksikan persembahan dari pemuja Nya berdasarkan keyakinan dan kekuatan magis dari upacara Bija Mantra seperti “Ang… Ah”. Dalam hal ngastawa mempergunakan sarana (simbul) maka kalau metabuh dalam tujuan ngastawa harus mengikuti urutan Berem (Ang) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Arak (Ah).

Stiti (Ngadegang)

Yang dimaksud adalah menstanakan Beliau, dalam imajinasi seolah-olah Beliau telah duduk pada stana Nya, telah siap menerima dan menyaksikan persembahan pemuja Nya. Maka pada saat inilah kita melakukan persembahyangan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasi Nya.

Pralina (Ngamantukang)

Pengertiannya adalah menghaturkan persembahan untuk memohon agar Beliau berkenan kembali ke Kahyangan (kembali pada keheningan Nya), karena acara persembahyangan pemuja Nya telah selesai. Dalam hal ini mempergunakan sarana maka kalau metabuh dalam tujuan pralina harus mengikuti urutan Arak (Ah) dahulu, kemudian dilanjutkan dengan Berem (Ang).

Begitu juga dalam menghaturkan “Segehan”, letakkan segehan di posisi yang seharusnya, kemudian ngastawa (Berem-Arak), lalu “ketis” toya ening, kemudian “ayab” dan terakhir pralina (Arak-Berem). Sehingga dalam mesegehan pun telah terlaksana Utpeti-Stiti-Pralina.
Jangan lupa dalam mesegehan sesuaikan warna nasi kepelnya dengan arah mata angin  seperti berikut :

  1. Putih-Timur
  2. Merah-Selatan
  3. Kuning-Barat
  4. Hitam-Utara, dan
  5. Brumbun (campuran keempat warna)-Tengah).

Begitu juga dalam hal menghaturkan “Canang Sari” agar diperhatikan warna bunga agar sesuai dengan arah mata angin seperti pada segehan di atas, hanya bedanya yang di tengah adalah irisan dari pandan harum.
Jika warna nya ngawur (tidak diatur) berarti pinunas kita adalah ngawur, sehingga tidak salah jika kita dianugrahi sesuatu yang membuat kita selalu ngawur dan akhirnya kehidupan kita pun kacau. —sumber

Mengenal Pura Luhur Serijong, Payuk Kebo Iwa

$
0
0

Pura Luhur Serijong terletak di Banjar Payan, Desa Pakraman Batu Lumbang, Antap Selemadeg. Pura ini berlokasi sekitar 15 km dari Tabanan arah barat atau 45 km dari Denpasar. Pendirian Pura Serijong ini juga memiliki sejarah yang unik. Di mana pada zaman lampau masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar tinggal di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai yang berbatu karang. Di sekitar cahaya itu, dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di tempat itu yang merupakan batu karang dibangunlah sebuah pura oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Pura Luhur Serijong. Maka sangat pantaslah pura yang masih terkait dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra ini berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.

Pura Luhur Serijong menurut beberapa catatan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Rambut Siwi di Jembrana dan Pura Tanah Lot yakni pada abad XVI Masehi yang masih berkaitan dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh. Sebanyak 24 desa pakraman yang terdiri atas ribuan umat Hindu di sekitarnya menjadi penyungsung dari pura ini sejak turun-temurun.

Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan di pura ini yang sangat ditunggu-tunggu oleh krama. Bukan hanya dari daerah Selemadeg, umat dari berbagai wilayah di Bali kerap pedek tangkil ke pura ini. Beberapa pelinggih yang ada di utama mandala pura ini yakni Meru Tumpang Tiga sebagai wahana pemujaan Ida Dang Hyang Dwijendra, Pelinggih Ida Batara Segara, Padmasana, Pelinggih Pasimpangan Rambut Siwi, Pelinggih Ida Batara Rambut Sedana, Pelinggih Taksu Agung dan Pengeruak.

Secara filosofis, selain berupa pemujaan Tuhan dalam wujud cahaya (sinar) pada mulanya, pura ini juga sebagai pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang merupakan guru yang sangat berjasa di Bali dan mampu memberikan penerangan. Pemujaan Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan yang dalam Hindu dikenal dengan Dewa Baruna juga menjadi objek pemujaan di pura ini. Selain itu, adanya Pasimpangan Ida Batara Rambut Sedana sebagai sarana untuk memohon berkah dan kerahayuan. Keheningan dan kesejukan membuat pura ini cocok untuk melakukan pemujaan serta meditasi memuja keagungan-Nya.

Pemangku Gede Pura Serijong I Made Suada menuturkan, ada beberapa versi yang berkembang berkenaan dengan keberadaan Pura Luhur Serijong ini. Tetapi secara umum yang paling diterima oleh masyarakat adalah awal pendirian pura ini pada zaman dahulu ketika masyarakat sekitar melihat sinar terang di tepi laut yang berbatu karang tersebut. Diketahui sebagai suatu pertanda baik, maka di tempat ini didirikanlah pura.

Selain itu dalam perjalanannya, Dang Hyang Dwijendra ketika berkeliling Bali menyebarkan ajaran dharma untuk menata umat beragama di Bali, sempat singgah dan melakukan pemujaan di tempat ini. Masyarakat sekitar sangat terkesan dengan aura kepanditaan beliau, sehingga diputuskan untuk membangun pelinggih sebagai sarana memuja beliau sebagai guru bagi umat manusia.

Hingga kini beliau dipuja pada pelinggih utama berupa Meru Tumpang Telu. Sinar terang pengetahuan, wujud bakti kepada Ida Batara Segara, memohon kerahayuan dan hormat pada guru adalah ciri khas dari pura ini.
Beberapa kali, kata Suada, dilakukan rehab atas pura ini, di antaranya rehab besar dilakukan tahun 1949-1950 dan dilakukan upacara ngenteg linggih tahun 1952. Tahun 1996-2003 pengempon pura kembali melakukan rehab dan dilakukan upacara ngenteg linggih serta mamungkah tahun 2003 lalu. Puri Agung Tabanan merupakan pangrajeg dari pura ini, sementara panganceng adalah Jero Subamia.

Segala aktivitas, baik pembangunan fisik maupun upacara tidak terlepas dari peran Puri Tabanan dan Jero Subamia. Bahkan, penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana yang juga Wakil Bupati Tabanan turut aktif mengkoordinir pembangunan beberapa fasilitas pelengkap dari pura ini. Walau keberadaan pura ini cukup aman, namun abrasi selalu terjadi pada areal tepian pantai akibat besarnya gelombang.

Beruntung telah ada beberapa bantuan yang sangat membantu dalam pengamanan pantai dengan tanggul panjang 80 meter dan pemecah gelombang. Abrasi juga mengikis beberapa situs dan peninggalan penting yang terdapat di sekitar areal ini, oleh karena itu perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan. Selain peninggalan purbakala yang terdapat pada beberapa lokasi, pemangku setempat menyatakan juga terdapat beberapa peninggalan kuno yang berupa arca yang disucikan.

Areal lain yang masih menjadi satu areal dengan keberadaan pura ini adalah kawasan disucikan yang menurut legenda dan kepercayaan masyarakat setempat merupakan situs peninggalan Kebo Iwa, patih Bali yang sangat termashyur. Di sana terdapat sebuah batu karang dikelilingi pasir dan air laut, berukuran kurang lebih 3 meter, disebut Payuk Kebo Iwa. Payuk berarti periuk, yang dipercaya milik Kebo Iwo. Di sebelah baratnya, di samping Pura Luhur Serijong, terdapat batu karang yang persis seperti dapur penduduk asli, berukuran lebih kurang 1 x 20 meter. Di sanalah Kebo Iwa diyakini memasak dengan mempergunakan periuknya tersebut.
Di pantai Payan juga bisa dilihat berbagai peninggalan Kebo Iwa yang legendaris. Misalnya dapur, meja, tempat air, tempat duduk, sisa-sisa nasi dan tempatnya bertapa seperti sebuah batu pipih yang sangat halus. Lokasinya di sebelah selatan pura, di kaki jurang yang dalam dan terjal. Peninggalan-peninggalan itu sekarang sudah membatu, untuk melihatnya harus menunggu air laut surut.

Di pantai Payan ini terdapat sebelas kelebutan (mata-air) air tawar warna-warni yang dipercaya bisa membuat awet muda. Juga terdapat pasiraman toya leh yang diyakini tempat permandian Kebo Iwa ketika melakukan misi pengamanan laut. Di bawah pura terdapat goa yang besar dan dalam. Ujungnya tepat berada di bawah Meru Tumpang Telu. Di ujung goa, terdapat batu menyerupai Padmasana, sthana Ida Sang Hyang Widhi. Goa ini berukuran panjang sekitar 40 meter, jauh menjorok ke dalam, lebar 17 meter serta dengan ketinggian sekitar 10 meter pada bibir goa. Goa ini dihuni oleh kelelawar yang keberadaannya tidak pernah diganggu manusia.

Menurut keterangan pemangku setempat, kelelawar di goa ini berjumlah puluhan ribu yang terdiri atas tiga jenis yang dalam bahasa Bali dikenal dengan jempiit, lelawah dan balongan. Pada hari-hari tertentu, kelelawar ini keluar dan melakukan perjalanan hingga menimbulkan barisan yang sangat panjang.

Di tepi goa ini terdapat Pelinggih Biang Sakti dan terdapat beberapa mata air yang dianggap suci. Namun karena ada aktivitas pembuatan tanggul, beberapa mata air sulit untuk ditemukan kembali. Konon, di situlah dulu Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. Pada waktu-waktu tertentu kedua pengawal itu menampakkan diri. Kawasan yang luasnya beberapa kilometer ini merupakan areal yang dijaga kesucian dan kelestariannya. Bukan hanya karena adanya legenda Kebo Iwa, tetapi diyakini bukan merupakan kawasan sembarangan, sehingga tidak ada fasilitas pariwisata yang dibangun berdekatan dengan areal ini.  —sumber

Leak, Bukan Ilmu Yang Menyakiti

$
0
0

Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada? Apa betul leak itu menyakiti? Secara umum leak itu tidak menyakiti. Leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu. Ilmu leak sama dengan ilmu lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.

Jaman dahulu, ilmu leak tidak dipelajari sembarang orang. Ini karena ilmu leak masuk kategori ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia. Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah, otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti.

Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul. Ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat dan seringkali dicap sebagai ilmu leak. Leak itu memang ada dan dibagi sesuai dengan tingkatan ilmunya, termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka sedang latihan atau lagi bercengkrama dengan sesama leak lainnya, baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya ‘endih’ itu pada saat malam hari khususnya tengah malam.

Mengapa ditempat angker?

Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disamaratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana. Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri.

Bentuk ‘endih leak’ ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada yang berwujud seperti bola atau kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai). ‘Endih’ atau sinar Leak di Bali ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya. Endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Bagi yang pernah melihatnya, ‘endih’ berjalan sesuai dengan arah mata angin. Endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam. Warnanya pun berbeda-beda. Kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan berjalan sedangkan, sinar penerangan biasa hanya satu warna dan diam. Endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet.

Ilmu leak tidak menyakiti

Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas.`Bersikap sewajarnya saja.`Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas. Endih juga tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat ‘niskala’ atau gaib, tidak bisa dijamah.

Pada dasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu).
Filosofi Leak Ngendih di Bali Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.

– Si adalah mencerminkan Tuhan
– Wa adalah anugrah
– Ya adalah jiwa
– Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
– Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa

Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api). Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ‘ngelekas’ atau ‘ngerogo sukmo’. Kata ‘ngelekas’ artinya kontaksi batin agar badan astra kita bisa keluar.

Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut ‘angeregep pengelekasan’. Sampai di sini roh bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut ‘endihan’.

Bola cahaya melesat dengan cepat. Endihan ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya. Sebab tidak semua orang bisa melihat endihan. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak.

Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati. Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya. Begini bunyi doa leak memberikan berkat : ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.

Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu. Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan. Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian? Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit.

Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa.

Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan. Di Jawa tradisi ini disebut tirakat. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak, yaitu :

  1. Leak barak
  2. Leak bulan
  3. Leak pemamoran
  4. Leak bunga
  5. Leak sari
  6. Leak cemeng rangdu
  7. Leak siwa klakah. Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.

Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi bagi yang mempelajarinya sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.

Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut ‘penestian’. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.

Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, se

perti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri.

‘Pengiwa’ banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di laboratorium rumah sakit. Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali. —sumber


Legenda Desa Tampak Siring

$
0
0

Desa Tampaksiring merupakan Desa yang cukup tua di Bali, namun catatan sejarah berupa angka tahun atau tahun candra sangkala mengenai kapan daerah ini bernama Tampaksiring belum ada secara pasti. Untuk itu dalam menyusun profil Desa ini disusun berdasarkan berdasarkan cerita rakyat tentang Maya Danawa,Babad Danawantaka, dan Usana Bali. Dari sumber itulah asal usul Desa Tampaksiring dapat dijelaskan.

Bertahtalah seorang Raja besar bernama Sri Mayadanawa di Kerajaan Bedahulu, Bali. Beliau adalah seorang Raja yang sangat sakti, namun kesaktiaannya digunakan untuk melakukan perbuatan Adharma. Pada masa pemerintahannya rakyat tidak diperbolehkan melakukan persembahayangan ke Pura Besakih melainkan harus menyembah Raja sendiri (Maya Danawa). Keadaan demikian membuat rakyat Bali sangat menderita, tidak tentram, dan kacau balau, untuk mengatasi hal tersebut maka para Dewa Nawa Sanga mengadakan samuan agung di Besakih. Hasil dari pesamuan tersebut disampaikan kepada Sang Hyang Pasupati, maka diutuslah Sang Hyang Indra untuk memerangi Mayadanawa yang telah banyak melakukan kekacauan serta menentang ajaran-ajaran Dharma(Agama). Terjadilah peperangan antara pasukan Sang Hyang Indra dengan prajurit Mayadanawa.

Perang pertama terjadi disebelah utara kerajaan Bedahulu, korban banyak berjatuhan, mayat bertumpukan seperti gunung, maka tempat ini namai Dusun Sawa Gunung. Perang terus berlangsung pasukan Mayadanawa dihadang, maka tempat ini sekarang dinamai Cagahan (berasal dari kata cegah), Mayadanawa kemudian lari dan bersembunyi dihutan dapdap sehingga tempat ini dinamai Dusun Dapdap. Dari hutan dapdap Mayadanawa lari kehutan kelapa yang letaknya disebelah utara disana ia menyamar menjadi daun kelapa muda (busung) tempat ini sekarang dikenal dengan nama Dusun Blusung.

Mayadanawa dengan kesaktiannya yang luar biasa biasa hilang secara tiba-tiba dan muncul tiba-tiba (maya-maya) namun Sang Hyang Indra selalu dapat melihatnya, sekarang tempat ini dinamai Dusun Laplapan. Kemudian Mayadanawa menyamar menjadi Ayam Brumbun dan tempat ini bernama Dusun Mancawarna. Pengepungan yang dilakukan Sang Hyang Indra tidak henti-hentinya dilakukan, pada suatu tempat Sang Hyang Indra kehilangan jejak, hanya bekas jejak kaki yang miring dilihat oleh Beliau. Sang Hyang Indra curiga dengan hal ini, maka Beliau bersama pasukannya terus melacak jejak-jejak kaki yeng terlihat miring tersebut dan ternyata memang benar dugaan Sang Hyang Indra bahwa itu merupakan bekas jejak kaki Mayadanawa yang dimiringkan dengan tujuan untuk mengelabui Sang Hyang Indra, maka tempat ini sekarang dikenal dengan sebutan Tampaksiring. Kata ini berasal dari kata “Tampak” yang artinya bekas pijakan kaki di tanah, dan “Miring” yang berarti kelihatan sebagian, mengikuti. Jejak inilah yang terus diikuti oleh Sang Hyang Indra, oleh karena hari sudah larut malam pengepungan dihentikan untuk istirahat (anguling), maka tempat ini sekarang dikenal dengan nama Pura Gulingan.

Pada saat pasukan sang Hyang Indra tidur pasukan Mayadanawa mengatur siasat dengan cara menciptakan air mala (air beracun), setelah bangun dari tidur karena merasa lelah dan haus pasukan Sang Hyang Indra mencari air, kemudian mereka menemukan air yang sangat jernih dan meminumnya beramai-ramai, namun malang bagi mereka setelah meminum air tersebut mereka keracunan. Sang Hyang Indra merasa sedih melihat keadaan tersebut, kemudian Beliau berpindah tempat untuk menenangkan pikiran, tibalah Beliau disuatu tempat yang dipenuhi dengan pohon cemara, maka tempat ini dekenal dengan Pura Cemara, disinilah Beliau melakukan semadi dan mendapatkan pawisik untuk menciptakan air penawar racun, kini air ini dikenal dengan nama Tirta Empul. Tirta Empul berasal dari kata “tirta” yang artinya air suci, dan “empul” yang berarti keluar, mengepul, ciptaan dengan kekuatan bathin. Sehingga tempat ini juga dinamai dengan Pura Tirta Empul.

Dengan bantuan air tersebut maka pasukan Sang Hyang Indra diselamatkan. Setelah semua kembali seperti semula, maka Sang Hyang Indra melakukan perundingan dengan bala tentaranya kemudian menemukan tempat yang kini dikenal dengan nama Pura Semut di Desa Maniktawang. Dalam perundingan tersebut disepakati untuk membagi-bagi diri dalam kelompok dalam bergerak, maka tempat ini dikenal dengan nama Pura Belahan. Daerah tersebut telah dikepung dari segala arah sehingga ruang gerak Mayadanawa dibatasi oleh pasukan Sang Hyang Indra, maka tempat ini bernama Dusun Bantas (batas, membatasi), sambil mengurung Mayadanawa panglima-panglima Sang Hyang Inra melakukan rembuk guna mengakhiri peperangan tersebut (tempat ini sekarang bernama Pura Gumang) akan tetapi tiba-tiba saja Mayadanawa menghilang dan hanya buah labu besar yang terlihat disana, maka timbul kecurigaan bahwa labu tersebut menjadi tempat persembunyian Mayadanawa dan patihnya yang bernama Kalawong, tempat ini sekarang bernama Teluk Tabu.

Perang terus berlanjut tetapi tiba-tiba Mayadanawa kembali menghilang dan berubah menjadi ayam besar, tempat ini sekarang bernama Manukaya. Manukaya berasala dari kata “manuk” berarti ayam, dan “raya” berarti besar. Perang semakin panas, Pasukan Sang Hyang Indra terus mengejar dimana saja gerak Mayadanawa, dan daerah ini dikenal dengan nama Tegal Pengejaran. Mayadanawa terus berlari dan akhirnya berlindung dibalik sebuah batu namun Sang Hyang Indra tidak ingin Mayadanawa meloloskan diri, maka batu tersebut dipanah oleh Sang Hyang Indra sehingga kaki Mayadanawa terpeleset, tempat ini dikenal dengan nama Sebatu, berasal dari kata “sauh” berarti terpeleset, dann “batu” berarti batu Kekalahan demi kekalahan dialami pasukan Mayadanawa bersama patih Kalawong, pada suatu tempat kembali Mayadanawa menyamar menjadi seorang bidadari cantik namun tetap diketahuai oleh Sang Hyang Indra, tempat ini dinamai Dusun Kendran. Walaupun dalam keadaan terkurung namun Mayadanawa dapat melumpuhkan kekuatan patih Sang Hyang Indra dengan mematahkan tangannya sehingga keahlian didalam memanah tiada lagi. Daerah ini dikenal dengan nama Dusun Saraseda, “sara” berarti panah, dan “seda” berarti lumpuh,mati.

Keadaann yang demikian tidak mempengaruhi pasukan Mayadanawa dann Beliau pun dapat membunuh Patih Kalawong. Kemudian Mayadanawa berlari hingga pada suatu tebing ia tidak dapat melarikan diri lagi, hal tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh Sang Hyang Indra dengan Panah Badjra terbunuhlah Mayadanawa. Daerah ini dikenal dengan nama Tanah Pegat. Darah dari Mayadanawa mengalir ke sebuah sungai yang mengakibatkan sungai tersebut berwarna merah (mala), kemudian air sungai tersebut oleh Sang Hyang Indra tidak boleh digunakan oleh manusia selama 1700 tahun, baik digunakan untuk keperluan sehari-hari maupun untuk sarana yadnya. Sekarang sungai ini dikenal dengan nama Sungai Petanu, berasal dari kata “peta” yang berarti suara, dan “nu” berarti daerah. Sedangkan tempat dimana Mayadanawa dikubur dinamai Dusun Taulan. —sumber

Kenapa Saat Gempa Orang Bali Berteriak “Idup..Idup..!!”

$
0
0

Dahulu ketika jama kerajaan, ada seorang janda beranak dua, laki-laki dan perempuan. Pada waktu itu Danau Bratan belum ada. Singkat cerita, sang ibu mempunyai hubungan dengan siluman ular besar, atau ular Naga yang berdiam di dalam lubung padi di dekat rumahnya. Lama kelamaan sang anak mulai menaruh curiga, kenapa ibunya setiap pulang dari hutan selalu naik ke lumbung.

Pada suatu saat, ketika ibunya pergi ke hutan, dia naik ke lumbung. Di dalam lumbung dilihatnya ada tumpukan telur yang ukurannya lebih besar dari telur ayam. Di tengah tumpukan telur tersebut terdapat sebuah telur aneh. Telur tersebur diambil dan dimasak lalu dimakan oleh anaknya yang laki.

Seketika wujud kakaknya berubah menjadi ular. Karena kuatir akan menimbulkan keributan di dalam kampung, mereka pergi ke hutan mencari ibu mereka. Lalu oleh sang adik, kakaknya tersebut digendong lari ke dalam hutan. Di dalam hutan mereka bertemu dengan ibu mereka yang sedang menjalin kasih dengan seekor ular naga. Lalu marahlah mereka, karena menganggap gara-gara Naga tersebut, si kakak menjadi seperti itu. Ditantangnya ular naga tersebut berkelahi. Akhirnya sang kakak yang telah berubah wujud menjadi ular berhasil mengalahkan ular naga tersebut. Namun sayang ibu mereka pun turut meninggal dalam perkelahian itu.

Kemudian mereka berjalan sampai ke arah Bukit Lesung. Sesampainya disana, sang kakak berpikiran dia harus masuk ke perut bumi, sebab dia telah menjadi Naga, yaitu Naga Gombang. Supaya adiknya tidak kaget, dia lalu menyuruh adiknya mengambil air dengan keranjang. Tujuannya agar ketika dia masuk ke perut bumi, adiknya tidak melihat dan kaget.

Ketika adiknya sibuk mengambil air dengan keranjang tersebut, sang kakak masuk ke dalam kawah gunung. Saat adiknya kembali dari mengambil air, sang kakak telah berada di perut bumi. Sang kakak berkata, jangan kau tangisi, kakakmu memang sudah takdirnya berada di dibawah (perut bumi). Sesampainya dibawah, sang kakak yang telah menjadi ular Naga tersebut melingkar, seperti posisi ular sedang tidur.

Konon katanya, kalau sang kakak gelisah ingin tau kabar adiknya di atas, dia akan bergerak, yang mengakibatkan bumi menjadi bergoyang. Karena itulah ketika terjadi gempa, masyarakat Bali akan berteriak “idup, idup” sambil membunyikan kentongan, untuk memberitahu sang kakak bahwa adiknya masih hidup di atas.

Dongeng Raja Gobleg Yang Melihat Naga Gombang

Dahulu kala, Raja Gobleg pergi berburu ke Hutan di sekitar Bukit Lesung. Sang Raja diiringi oleh para pengawal dan anjing pemburu yang sangat bagus. Pada saat mengejar kijang buruan, anjing sang raja jatuh ke kawah tempat ular Naga gombang tadi berdiam. Lalu sang Raja memerintahkan kepada pengawalnya mencari rotan yang banyak. Dengan diikat rotan, sang raja lalu turun ke kawah untuk mencari anjing kesayangannya yang jatuh tersebut. Sebelum turun ke bawah, beliau berpesan kepada pengawalnya, kalau nanti rotannya ketika ditarik terasa ringan berarti beliau telah dimakan ular di dalam kawah itu.

Kemudian sang raji turun ke kawah. Setelah diulur beratus-ratus meter, rotan tiba-tiba terasa ringan. Seketika para pengawal teringat pesan sang raja. Menangislah semua pengawal karena menganggap raja mereka telah mati dimakan ular. Akhirnya mereka kembali ke desa Gobleg membawa kabar duka.

Kembali ke dasar kawah, ternyata sang raja tidak dimakan ular. Tetapi dia menemui suatu tempat seperti kehidupan di atas bumi. Sang raja disana bertemu seorang tua. Sedangkan anjingnya diikat di sebelah rumah. Orang tua tersebut kemudian menegur sang raja, “anjing seperti ini aja kamu cari sampai harus mempertaruhkan nyawamu. Sekarang anjing ini untuk saya saja.”

Sang raja karena ketakutan hanya bisa pasrah, “Saya hanya ingin tahu bagaimana nasib anjing saya. Kalau kakek memang menghendaki, silahkan ambil anjing saya ini” jawabnya.

Selama di dasar kawah tersebut, sang raja dijamu dengan baik oleh si kakek. Diajak jalan, diberi makanan yang enak-enak. Selama di sana, sang raja melihat ada seekor Ular Naga besar. Oleh sang Kakek diceritakan, inilah Naga Gombang. Kala

u ia ingin tau nasib adiknya di atas sana, maka ia akan bergerak. Akibatnya kalian diatas sana akan goyang (gempa).

Setelah 3 hari berada di dasar kawah, sang raja disuruh kembali ke atas oleh sang Kakek. Sesampainya di istana, sang raja disambut oleh masyarakatnya. Lalu sang raja menceritakan pengalamannya selama di dasar kawah. Termasuk ketika ia melihat naga besar. Raja memberitahu kepada rakyatnya, apabila sang Naga tersebut lah yang meyebabkan bumi ini goyang (atau gempa). Karena ia bergerak-gerak dibawah sana untuk mengetahui kabar adiknya di muka bumi. —sumber

Pura Gua Lawah, Persemayaman Kepala Sang Naga Basuki

$
0
0

Tepat menghadap laut di Kusamba, sisi selatan Klungkung, terdapat sebuah pura kuno bernama Gua Lawah yang telah berusia 10 abad. Seperti namanya, Pura Gua Lawah berwujud sebuah gua alam yang dikelilingi beberapa bangunan pelinggih. Statusnya sebagai satu dari sembilan pura penyangga mata angin atau Pura Kahyangan Padma Bhuwana menjadikan pura yang terletak di Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung, ini salah satu pura terpenting bagi masyarakat Bali. Pura Gua Lawah dalam kepercayaan Hindu Bali diposisikan sebagai Pura penyangga arah tenggara (gneya) dari daratan Bali.

Menurut beberapa catatan sejarah, antara lain Lontar Usana Bali dan Lontar Babad Pasek, Pura Goa Lawah didirikan sekitar abad 11 Masehi. Pura ini didirikan pada tahun 929 Saka atau 1007 Masehi atas prakarsa Mpu Kuturan, penasihat Raja Anak Wungsu. Disebutkan pula bahwa pada abad ke-14 Masehi, pura ini mengalami pemugaran dan perluasan kompleks. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lorong gua ini terhubung dengan mulut Gua Raja di Kompleks Pura Besakih yang berjarak sekitar 30 kilometer. Hanya saja, pada tahun 1917, lorong tersebut runtuh akibat gempa besar.

Salah satu hal menarik dari Gua Lawah adalah kawanan kelelawar yang memenuhi lorong gua ini. Kelelawar-kelewar ini dilindungi oleh aturan adat setempat dan terlarang untuk diburu atau ditangkap. Hal ini membuat keriuhan suara koloni hewan nokturnal ini menjadi salah satu fenomena tersendiri yang dapat disaksikan para pengunjung. Selain itu, keberadaan relief kelelawar di salah satu gerbang/Candi Gelung yang memisahkan halaman tengah (jaba tengah) ke halaman dalam (jeroan) pura menjadi simbol bahwa hewan ini mendapat kedudukan yang khusus di pura ini.

Gua Lawah memiliki korelasi yang sangat erat dengan Pura Besakih di lereng Gunung Agung yang merupakan pura induk (mother temple) bagi seluruh umat Hindu Bali. Menurut Lontar Prekempa Gunung Agung, Pura Gua Lawah merupakan representasi kepala dari Naga Basuki, sedangkan Pura Gua Raja di Kompleks Pura Besakih merepresentasikan ekornya. Dalam mitologi Hindu, Naga Basuki merupakan salah satu dari tiga naga jelmaan dewa yang diturunkan untuk menyelamatkan bumi. Naga Basuki menjadi simbol dari keseimba

ngan siklus yang terjadi di alam. Air menguap dari laut dan turun ke bumi menjadi hujan di gunung (daratan) yang pada akhirnya kembali ke laut.

Konsep keseimbangan alam yang berkaitan erat dengan eksistensi Gua Lawah menjadikannya pusat pemujaan terhadap Bhatara Tengahing Segara, representasi Tuhan dalam wujud pemelihara lautan. Di samping itu, Gua Lawah juga menjadi tempat pemujaan Dewa Maheswara yang merupakan penguasa arah mata angin tenggara dalam mitologi Hindu Bali. Selain karena latar belakang mitologis tersebut, korelasi erat Gua Lawah dengan Pura Besakih juga terjadi karena prosesi upacara Ngaben. —sumber

Perhitungan Bali Untuk Memprediksi Sifat Anjing

$
0
0

Lontar Carcan Asu menjelaskan tentang warna, ciri, dan pengaruh si anjing terhadap  kehidupan pemiliknya. Pertama adalah mengukur panjang dari ujung hidung anjing (moncong) sampai ke ujung ekornya. Kemudian, ukur jarak antara moncong dengan titik di antara mata. Penggunaan alat ukur yang lentur akan membuat pengukuran lebih akurat.

Selanjutnya, membagi hasil pengukuran moncong ke ekor berdasarkan panjang jarak moncong ke titik di antara mata, sambil mengulang kata guna-jaya-paksa-ketek-kiul.

Adapun artinya adalah sebagai berikut :

Guna: Jika perhitungan berakhir pada guna, maka diperkirakan bahwa anjing ini memiliki banyak guna. Mereka adalah jenis anjing yang penurut dan mudah dilatih. Anjing ini akan semakin bermanfaat apabila mereka benar-benar dilatih.

Jaya: Anjing yang berdasarkan perhitungan berakhir di Jaya, artinya anjing tersebut adalah anjing yang selalu ingin berjaya. Mereka memilki karakter untuk menjadi penguasa, sehingga mereka lebih cenderung atraktif. Karena atraktif dan cenderung manja, anjing ini, sama seperti guna, membutuhkan pemilik yang punya waktu luang untuk melatih dan memanjakan si anjing. Anjing ini juga kurang cocok untuk dijadikan penjaga rumah, karena jika dipelihara secara dilepas, ia akan lebih senang berkeliaran dan memperluas area kekuasaannya.

Paksa: Anjing ini dipaksakan menjadi peliharaan. Mereka adalah jenis anjing liar yang cenderung galak dan agresif. Anjing jenis ini sulit untuk diajak bermain dan harus dipaksa dulu untuk mengikuti perintah. Namun, anjing jenis ini terkenal setia pada tuannya dan merupakan penjaga rumah yang bisa diandalkan.

Ketek: Ketek artinya asal betek (yang penting kenyang). Mereka adalah jenis yang sangat terlihat sifat hewaninya. Mereka cenderung kotor, suka menggali tanah, suka mengorek-ngorek sampah, dan susah dimandikan, sehingga sangat tidak cocok buat anda yang ingin memelihara anjing di dalam rumah.

Kiul: Jika berakhir di kiul, artinya karakter dominan anjing ini adalah pemalas. Mereka tidak terlalu menuntut untuk diajak bermain karena lebih suka makan dan tidur, sehingga cocok untuk anda yang tidak punya banyak waktu untuk anjing anda.

Untuk memprediksi sifat anjing menggunakan perhitungan ini tidak ada batas minimal atau maksimal usia anjing, karena yang diukur adalah morfologi anjing yang perbandingannya akan tetap sama sekalipun tubuh si anjing makin besar. Namun kita mungkin akan kesulitan mengukur anjing yang terlalu kecil, terutama jarak hidung dan mata. Anjing yang sudah terlalu besar pun akan susah jika disuruh diam untuk diukur.

Prediksi sifat anjing Bali yang diturunkan dari leluhur kita di Bali ini sungguh mengagumkan. Ternyata sejak dulu mereka sudah bisa melakukan penelitian ke anjing, hingga terciptalah rumus prediksi sifat anjing ini. —sumber

Pantangan Memakan Daging Anjing Dan Kucing Dalam Hindu

$
0
0

“Haywa mamukti sang sujana kasta picita tilaren. Kasmalaning carira ripu wahya ri dalem aparek, Lwirnika kasta mangsa musika cregala wiyung ula Krimi kawat makadinika papara hilangaken”.(Niti Sastra sloka 12)

Artinya:

Orang baik-baik tidak boleh makan daging yang tidak suci. Ia harus menjauhi segala yang mengotorkan badan dan segala yang mendekatkan seteru lahir batin kepadanya. Adapun yang termasuk daging yang tidak baik yaitu: Daging Tikus, Anjing, Katak, Ular, Ulat dan Cacing. Semua itu makanan terlarang, sebab itu elakkan.

Peraturan tentang makanan bagi pemeluk Hindu, selain ada dalam Niti Sastra, juga ada di Manawa Dharmasastra Buku kelima (Atha Pancamo Dhyayah). Pada garis besarnya pemeluk Hindu tidak dibolehkan makan makanan yang terlarang, karena akan berakibat tidak suci dan berumur pendek.

Asu bang bungkem adalah anjing dengan bulu tubuh berwarna krem dan moncongnya berwarna hitam. Digunakan dalam upacara pecaruan bagi pemeluk Hindu di Bali. Segala jenis caru bertujuan antara lain untuk “nyomia bhuta” yaitu menghilangkan hal-hal negatif terutama yang bertentangan dengan tri hita karana, menuju ke hal-hal positif.

Sesajen untuk bhuta seharusnya tidak dimakan karena manusia adalah mahluk yang berderajat paling tinggi dalam pandangan ke-Tuhanan Hindu. Disamping itu, daging anjing adalah jenis yang dilarang dimakan sesuai Manawa Dharmasastra tersebut diatas karena anjing makanannya kotor.

Kucing adalah binatang yang makanannya kotor, misalnya ketika melahirkan ia menjilat dan memakan plasenta. Daging kera juga tidak boleh dimakan karena Kera adalah binatang yang berjari lima. Memakan binatang kodok/katak dan tikus dilarang dalam Parasara Dharmasastra XI.12.  Maka jika anda ingin menjaga kesucian dan berumur panjang, hati-hatilah memakan sesuatu karena jenis makanan sangat menentukan perilaku, pikiran, kesehatan lahir-bathin. Kutipan dari Atharva Veda XV.14.24 : Brahmana annadena annam atti. Artinya : Dia pilih makanannya dengan hati-hati dan kemudian dia memakannya.

Bila terlanjur memakan sesuatu yang dilarang, pemeluk Hindu harus melakukan puasa yang disebut Kricchara selama sehari semalam setiap bulan purnama. —sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live