Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Kisah Dibalik Patung Dewa Ruci

$
0
0

Patung Dewa Ruci yang terletak di lintas persimpangan Nusa Dua, bandara ke Denpasar, Nusa Dua, bandara ke Tanah Lot dan Sanur ke Kuta, sehingga menjadi tempat arus lalulintas yang selalu padat, sehingga sebagian besar wisatawan yang datang untuk liburan ke Bali akan melawati jalur ini, sehingga banyak yang menyebut sebagai Simpang Siur, selalu padat dan menimbulkan kemacetan. Patung Dewa Ruci dibuat oleh pematung hebat putra Bali yang bernama I Wayan Winten, yang mewarisi keahlian ayahnya I Made Pasta. I Wayan Winten mulai menekuni dunia patung semenjak umur 7 tahun, banyak menghasilkan patung dari bahan dasar beton, karena suatu saat kayu akan sulit untuk diperoleh.
Patung Dewa Ruci ini dibangun tahun 1996, nama Dewa Ruci sangat terkenal seperti kapal Dewa Ruci yang dimiliki TNI angkatan laut kita. Patung ini mengisahkan perjalanan Bima (Werkudara) dalam mengambil tirta Amertha. Sehingga kadang orang menyebut patung ini sebagai patung Bima. Bima adalah sosok yang jujur, polos, pembrani, setia kawan dan cenderung lugu, karena kepolosannya dan setia kawan sampai diperalat oleh Kurawa melalui Drona (guru dari Bima) untuk mencari tirta Amertha (tirta kehidupan) yang terletak di dasar laut dan mustahil bisa ditemukan. Setelah perjuangannya masuk ke Samudra Selatan yang dihalangi oleh Naga Neburwana (Naga Baruna) dan naga tersebut berhasil dikalahkan.

Kemudian Bima bertemu dengan makhluk kecil serupa dirinya yang bernama Dewa Ruci, walaupun keci yang membuat aneh dan mengagungkan Bima ternyata bisa masuk ke telinga Dewa Ruci dan menemukan tempat yang damai, nyaman dan berharap tetap tinggal di sini. Kemudian Dewa Ruci menjelaskan makna dari apa yang dilihatnya, dan hanya boleh tinggal di sana setelah berada di dunia lain (kematiannya) dan sekarang dia harus kembali ke dunia melanjutkan perlawananya melawan Kurawa dan kesewenang-wenangan. Kisah ini menginspirasi dari pembuatan patung ini, bagian-bagian patung Dewa Ruci paling atas adalah Sang Hyang Acintya (figur Dewa Ruci), patung manusianya adalah Bima, kemudian Naga Baruna yang sedang marah, paling bawah adalah gelombang air (samudra) dan dikelilingi kolam air mancur yang melambangkan riuhnya samudra saat pertempuran antar Sang Naga dan Bima. —sumber


Legenda Asal Mula Pulau Lembongan dan Ceningan Nusa Penida

$
0
0

Di Nusa Penida zaman dahulu dipimpin seorang Dukuh. Ia bernama Dukuh Jumpungan. Dukuh Jumpungan adalah ahli dibidang aristek, kelautan dan dikenal sakti mandraguna. Ia memiliki putra bernama Aji Dalem Sawang yang kelak menjadi raja di Nusa Penida. Dalem Sawang memiliki putra I Renggan dan I Renggin. Pangeran Renggan dan Renggin mewarisi kedigjayaan Dukuh Jumpungan khususnya dibidang maritim. I Renggan bisa membuat perahu yang bisa membuat daratan yang dilaluinya menjadi lautan.

I Renggan memiliki cita-cita ingin menaklukkan Pulau Bali dengan perahunya sehingga Bali menjadi lautan. Ia pun mempersiapkan perahu saktinya. Maksud I Renggan ingin menaklukkan Bali diketahui Bhatara Toh Langkir. Bhatara Toh Langkir mengeluarkan aji sirep yang membuat Renggan terlelap saat mengemudikan perahu. Karenanya perahu I Renggan melaju tidak terarah dan terdampar menabrak daratan di sekitar Padang Bay Manggis. Menyebabkan terbentuk pulau-pulau kecil yang masih kita Jumpai sampai sekarang, seperti Batu Biye. Sampai sekarang I Renggan dipuja di Pura Dalem Padang Bay.

Setelah mengalami kegagalan pada misi menaklukkan Bali, I Renggan kembali ke Nusa Penida. Karena kurang konsentrasi akibat sirep, perahu I Renggan terdampar di semenanjung Suana. Yang kini dikenal dengan Pura Batu Medahu, pura Perahu I Renggan yang menabrak batu. Pangeran Renggan tidak patah semangat, ia pun menyiapkan perahu yang lebih hebat dengan pasukan yang lebih banyak untuk menaklukkan Bali. Lagi-lagi maksud I Renggan diketahui Bhatara Toh Langkir. Bhatara Toh Langkir membuat gelombang yang besar dengan kutu-kutu yang menyebabkan pandangan I Renggan dan pasukannya terhalangi.

Akhirnya pasukan Perahu I Renggan tenggelam di sebelah barat Nusa Penida. Perahunya membatu menjadi pulau Ceningan, sementara layar perahu (bidak) perahu I Renggan membatu menjadi pulau Lembongan dan Jungut Batu. Dalem Sawang sedih dan marah atas tenggelam putranya dan pasukan Nusa. Dengan kesaktiannya Dalem Sawang menjadikan pasukan I Renggan menjadi wong Samar yang ingin memangsa masyarakat Bali daratan. Tentunya legenda asal mula Pulau Ceningan dan Lembongan ini menjadi epik yang patut diketahui masyarakat. Sehingga bisa menjadi salah satu daya tarik darik cerita rakyat. —sumber

Makna Dan Rangkaian Upacara Mamukur Menurut Hindu Bali

$
0
0

Mamukur merupakan kelanjutan dari upacara ngaben sbg bentuk penyucian atma (roh) fase kedua. Mamukur berasal dari kata bhukur, bhu = alam dan ur = atas. Jadi mamakur adalah penyucian atma agar terlepas dari badan halusnya (suksma sarira) berupa sifat-sifat manusia dan keinginannya sehingga bisa menyatu dengan Sang Pencipta menjadi dewa pitara (roh suci). Ritual ini waktu pelaksanaannya tidak harus setelah ngaben, bisa beberapa tahun kemudian tergantung kemampuan, mengingat biaya yang dikeluarkan berkali-kali lipat dari ngaben.

Dalam prosesi mamukur tidak ada jenazah. Maka dari itu perlu dibuatkan simbol-simbol badan halus dari atma/roh yang akan di-prosesi. Tahapan mamukur sangatlah banyak dan lebih rumit dari ngaben. Pelaksanaan upacara Mamukur dan yadnya lainnya disesuaikan dengan kemampuan Sang Yajamana, yaitu mereka yang melaksanakan upacara tersebut. Secara garis besar dan sesuai dengan kemampuan umat upacara ini dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu yang kemampuannya besar disebut (Uttama), yang kemampuannya menengah disebut (Madhya) dan yang kemampuannya kecil atau sederhana disebut (Kanistama/Nista/ Alit)

Pada Mamukur dengan tingkatan Uttama rangkaian upacaranya terdiri dari :

1. Ngangget Don Bingin, yaitu upacara memetik daun beringin (kalpataru/kalpavriksa) untuk dipergunakan sebagai bahan puspasarira (symbol badan roh) yang nantinya dirangkai sedemikian rupa seperti sebuah tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai (ukiran/lukisan wajah manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna. Upacara ini berupa prosesi (mapeed) menuju pohon beringin diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lainnya. Sebagai alas daun yang dipetik adalah tikar kalasa yang di atasnya ditempatkan kain putih sebagai pembungkus daun beringin tersebut.

2. Ngajum, setelah daun beringin tiba di tenpat upacara, maka untuk masing-masing perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusuk an dirangkai sedemikian rupa kemudian disebut Sekah. Jumlah Sekah sebanyak roh yang akan diupacarakan, di samping jumlah tersebut, dibuat juga untuk Lingga atau Sangge. Setelah Sekah dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana selengkapnya (berwarna putih), dilakukan upacara Ngajum, yaitu mensthanakan roh pada Sekah tersebut, sekaligus ditempatkan di panggung upacara yang disebut Payajnan (tempat upacara yang khusus untuk itu terbuat dari batang pinag yang sudah dihaluskan).

3. Amet Toya Hening, adalah Rangkaian upacara selanjutnya dapat dilakukan pagi hari menjelang hari H berupa prosesi (mapeed) mengambil air jernih (toya hening) sebagai bahan utama air suci (Tirtha) bagi pandita atau dwijati yang akan memimpin upacara yajna Mamukur tersebut. Toya hening tersebut ditempatkan di bale Pamujaan (Pawedaan) di depan panggung Payajnan.

4. Mapinton atau Mapajati, adalah upacara ini berupa prosesi mapeed bagi puspasarira (roh yang diupacarakan) untuk mempermaklulmkan kepada para dewata yang bersthana pada pura-pura terdekat, utamanya pura untuk pemujaan leluhur (Kawitan).

5. Mapradaksina, upacara ini sering disebut Mapurwadaksina, yaitu prosesi mapeed bagi puspasarira yang dipangku atau dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana serba putih, dilakukan pada hari “H”, setelah upacara Mapinton, mengelilingi panggung Payajnan sebanyak 3 kali dari arah selatan kea rah timur mengikuti jejak lembu putih yang dituntun oleh gembalanya, di atas hamparan kain putih, dilakukan secara khusuk, diiringi gamelan gambang, saron atau slonding, gong gede, kidung kakawin, pembacaan parwa (Mahabharata) dan Putrupasaji (bisa oleh Walaka senior).

6. Puncak Upacara, bersamaan dengan upacara Mapradaksina atau Mapurwadaksina seseorang atau beberapa pandita ?Sulinggih yang memimpin pelaksanaan upacara juga melakukan upacara:

6.1. Melaspas bukur atau madya atau padma anglayang, alat untuk mengusung puspasarira yang telah disucikan (di-pralina) berupa meru (beratap bertumpang) dihias dengan hiasan kertas emas, kemudian ditempatkan di dekat panggung Payajnan.

6.2. Ngaliwet yaitu upacara menanak nasi sebagai saji tarpana (penek/pulung-pulung kecil) disebut panda, sebanyak 108 buah dipersembahkan kepada roh yang diupacarakan, disamping dipersembahkan kepada para dewata dan leluhur. Memasaknya dilakukan di depan Sanggar Tawang (depan panggung Paajnan) ipimpin oleh pandita. Beras yang dipersiapkan diatas nyiru berisi lukisan padma dan wijaksara (hurup suci) tertentu dituangi empehan (susu) dan madu (madhuparka).
6.3. Ngenyitin Damar Kurung yang ditempatkan di sebelah panggung Payajnyan atau di pintu masuk areal upacara.

6.4. Ngilenan Padudusan yaitu melaksanakan upacara panyucian dutujukan kepada Sanggar Tawang (Sanggar Surya) untuk memohon perkenan para dewa/dewata turun menyaksikan dan menganugrahkan keberhasilan Yajna tersebut di panggung Payajnan untuk menyucikan roh-roh yang diuparakan.
6.5. Muspa yaitu upacara persembahyangan yang didahului pemujaan kepada Sang Hyang Surya sebagai saksi agung alam semesta, kemudian kepada para dewata dan leluhur, serta sembah untuk pelepasan roh (Atma) dari ikatan Sukma Sarira yang diikuti oleh Sang Yajamana dan seluruh keluarga besarnya.

6.6. Pralina yaitu upacara tahap akhir dilakukan oleh pandita (Sulinggih) sebagai symbol pelepasan Atma dari ikatan Sukma Sarira.
6.7. Papendetan yaitu mempersembahkan tari-tarian, bahwa tapa pelepasan roh telah dilaksanakan, para leluhur sesaat lagi akan menuju alam sorga.

6.8. Ngeseng Puspalingga yaitu membakar puspasarira (wujud roh) di atas dulang dari tanah liat atau dulang perak, dengan sarana sepit, penguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh pandita pemimpin upacara. Upacara ini sangat baik dilakukan pada dinihari saat dunia dan segala isinya dalam suasana hening guna mengkondisikan pelepasan Atma dari keduniawian.
6.9. Sekah tunggal. Selesai upacara Ngeseng maka arang/abu dari puspasasrira dimasukkan de dalam degan (kelungah) kelapa gading dibungkus kain putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya aisthanakan di dalam bukur di atas padma anglayang atau dalam bokor perak diikuti dengan persembahyangan oleh keluarga.

7. Nganyut Sekah ke Segara. Upacara ini merupakan tahap terakhir dari upacara Mamukur, dapat dilakukan pagi hari selesai upacara Ngeseng Sekah disebut upacara Ngirim. Setelah tiba di tepi pantai, arang/abu yang ditempatkan didalam kelapa gading dikeluarkan dan ditebarkan di tepi pantai yang didahului dengan upacara persembahyangan sesajen kepada Sang Hyang Baruna, sebagai penguasa laut, sekaligus permohonan penyucian rethadap roh yang diupacarakan dan diakhiri dengan persembayhangan oleh keluarga.

8. Dewapitra Praistha (ngelinggihan Dewapitra/Dewapitara), Upacara ini bukan merupakan bagian dari upacara Mamukur, melainkan merupakan upacara kelanjutan dari upacara Mamukur. Upacara ini sering disebut Ngalinggihang Dewa Hyang, merupakan tradisi lebih lanjut dari mendharma-kana leluhurnya pada pura kawitan masing-masing yang dirangkai pula dengan upacara Nyegara-Gunung atau Maajar-ajar, seperti ke Goalawah dan pura Dalem Puri serta Penataran Agung Besakih. —sumber

Pengertian Pura Prajapati dan Mrajapati

$
0
0

Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang Widhi, di mana istilah itu terdiri dari dua kata bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya ‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya ‘inti’ sehingga secara harfiah prajapati disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu ‘atman’ (roh) yang sama dengan/ pecahan brahman (Sanghyang Widhi). Saat roh masih dalam status Preta yang keluarganya belum menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan artikel Parisada Hindu Dharma Indonesia, Pura Jenggala Hulu Prajapati di Bali.

Pura Prajapati sebagai bagian dari pura kahyangan tiga, disebutkan dalam Babad Bali dibangun pada hulun setra, berbentuk Padma, dan sebuah bentuk Bebaturan Linggih Sedahan Setra.

Selain pemujaan kepada Dewi Durga, dalam Tri Mandala Pura Besakih, Pura Prajapati / Pura Jenggala disebutkan juga sebagai stana Hyang Panca Maha Bhuta yang membentuk unsur-unsur alam semesta kita ini.

Mrajapati atau Merajapati terdiri dari dua kata bahasa Kawi (jawa kuno) di mana ‘meraja’ artinya ‘menjadi penguasa’ sedangkan ‘pati’ seperti penjelasan di atas artinya ‘roh’. Jadi ‘meraja pati’ artinya ‘penguasa roh’. Menurut tradisi beragama Hindu di Bali atau Hindu-Bali, maka roh si mati yang jasadnya dikuburkan, dipercaya masih dikuasai oleh Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Bhatara Merajapati.

Pelinggihnya ada di ‘ulun sema’ berbentuk ‘padma capah’ Itulah sebabnya bila upacara pitra yadnya, di saat mungkah sang Sulinggih memohon kepada Bhatara Merajapati untuk diijinkan membebaskan roh si mati untuk di aben dan seterusnya agar bisa ‘mantuk ke sunia’.

Disebutkan pula bahwa, Pura Mrajapati sebagai tempat pemujaan alam kosmis yang sangat erat kaitannya dengan pura dalem dan setra sehingga untuk menetralisir kekuatan positif dan negatif yang ditimbulkan oleh praktik-praktik ajian Durga tersebut dilakukan dengan aktivitas ritual dan persembahan sebagai bentuk yadnya di pura dalem sebagai stana dewa siwa yang bertujuan untuk mendapatkan kerahayuan dan terhindar dari pengaruh negatif dua kekuatan tersebut, yakni mrajapati dan setra.

Demikianlah disebutkan Pura Rajapati ini sebagai stana Dewi Durga dan Hyang Panca Maha Bhuta, yang juga dijelaskan dalam Lontar Anda Bhuwana, Pura Rajapati sebagai tempat bersemayamnya Bhatara Paramestiguru dan Bhatari Durga apabila Beliau turun ke dunia ini. —sumber

Mengenal Setra Ganda Mayu

$
0
0

Setra Ganda Mayu (Gandamayu) adalah setra sebagai titik awal perjalanan bagi sang atman ke alam baka atau alam halus bhwah loka yang sebagaimana disebutkan majalah hindu raditya dalam mitos pohon angker dan kuburan, Setra Ganda Mayu berasal dari suku kata sansekerta yaitu :

  • Setra artinya kuburan, 
  • ganda berarti harum dan 
  • mayu berarti mayat. 

Jadi Setra Ganda Mayu artinya, sebuah tempat di mana mayat (jenazah) manusia diperlakukan sedemikian rupa, sehingga di tempat inilah mayat-mayat dimuliakan atau diperlakukan dengan menghormatinya, sehingga roh dari mayat-mayat tersebut akhirnya memperoleh keharuman (kebahagiaan) di alam sana. 

]Inilah sebabnya, mengapa sesungguhnya setra atau kuburan merupakan tempat suci. Di setra menjadi salah satu tempat, di mana para keluarga dari orang yang meninggal dunia mendoakan roh atman orang tersebut supaya mendapat tempat di alam yang terang.  Dengan demikian, setra dalam konsep Hindu Dharma bukanlah tempat membuang jenazah saja sebagaimana dapat dilihat dari penampakan fisik, tetapi setra juga merupakan titik awal perjalanan bagi sang roh ke alam baka yaitu alam halus bhwah loka).

 
Meskipun setra sejatinya merupakan areal yang disucikan, toh secara umum masyarakat menganggap tempat semacam itu sebagai tempat angker, entah itu di dunia Timur maupun Barat sekalipun. Paling tidak di belahan dunia Barat, kepercayaan akan kuburan kuno yang angker sering bisa kita saksikan dalam tayangan – tayangan film. Sementara di Nusantara, sebagian besar masyarakatnya memang mengasosiasikan kuburan sebagai tempat yang menyeramkan.

Di Bali, kuburan menjadi pusat berbagai ritual rahasia para praktisi ilmu gaib, terutama dari disiplin tantrik. 

  • Vidya tantrik sebagai sebuah sadhana spiritual untuk mencapai pembebasan rohani, maupun 
  • avidya tantrik yang mengembangkan magis destruktif, sama-sama menjadikan kuburan sebagai “laboratoriumnya.”

Dalam falsafah murni tantrik atau tantra, kuburan sebagai tempat berguru terbaik, 

  1. Di mana ruang ini memberikan manusia suatu kesadaran, bahwa manusia pada akhirnya menjadi tulang-belulang yang setara dengan seonggok sampah. 
  2. Dengan kesadaran, bahwa tubuh merupakan suatu materi yang tak kekal, maka para pengikut tantris melakukan perenungan (yoga sadhana) di kuburan untuk mencari hakikat yang lebih dalam dari fisik. 
  3. Dengan perenungan ini, seorang praktisi tantrik kemudian menemukan kesadaran rohani, sebagai suatu yang lebih mulai melampaui badan dan seluruh perhatian pun kemudian dipusatkan kepada keberadaan dan pertumbuhan rohani ini.

Dalam lontar-lontar disebutkan, kalau sejumlah orang suci mencapai pencerahan di kuburan, misalnya Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Mpu Bradah, dan lain-lain. Kuburan sangat baik di dalam membantu manusia menumbuhkan rasa pasrah dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dengan kepasrahan dan ketulusan ini, sadhana spiritual bisa berhasil lebih cepat. 

Inilah keutamaan kuburan. Hanya saja, karena di Bali mungkin dalam sejarahnya, yang melakukan ritual yadnya rahasia di kuburan lebih sering para penganut avidya tantrik, atau mereka yang termotivasi berbuat jahat, akhirnya citra kuburan sebagai tempat suci berubah menjadi tempat menyeramkan, leteh (cuntaka), sumber kejahatan dan sebagainya. 

Citra kuburan sebagai tempat angker juga dipengaruhi pengalaman sejumlah orang yang pernah melihat hantu kuburan dan menjadi sumber ketakutan bagi banyak orang.

Sesungguhnya hantu kuburan ini adalah badan etheris dari jazad orang yang meninggal dan baru dikubur, 

  • Badan etheris terbentuk dari bahan yang amat halus yang tak dapat ditangkap dengan indra biasa. 
  • Badan etheris ini merupakan pasangan badan fisik dan bentuknya pun serupa. 
  • Bila seseorang masih hidup, maka badan etheris bisa dipisahkan dengan badan fisik, tetapi tak bisa berada jauh dari tubuh fisik. 
  • Pada saat kematian, atman (sang aku; sarira kosha) ke luar badan bersama-sama dengan badan etheris. 
  • Dan seseorang benar-benar dikatakan meninggal dunia, bila benang penghubung (sutratman) antara badan fisik dan badan etheris terputus dan jika belum terputus, badan etheris inilah yang sering nampak sebagai hantu kuburan yang bisa dilihat oleh orang yang peka. 

Selama benang penghubung (sutratman) antara badan fisik dan badan etheris belum terputus, maka selama itu pula orang yang walaupun sudah dikatakan mengalami proses kematian, dia dapat hidup kembali, pada detik terputusnya tali sutratman inilah kita mati dan tidak mungkin lagi untuk hidup kembali. Bersamaan dengan putusnya tali sutratman tadi yang dalam upacara ngaben disebutkan menggunakan tirtha pengentas sebagai pemutus ikatan tersebut sehingga prana di ubun-ubun juga buyar, kembali kepada samudera besar energi prana (kehidupan) yang universal. Maka hal ini sangatlah prinsip dalam perjalanan suci sang atman ke alam baka. —sumber

Mitos Bunga Kamboja Kelopak 4, 6, Dan 9

$
0
0

Selain bunga jepun atau bunga kamboja yang memiliki banyak khasiat untuk kesehatan ternyata bunga kamboja juga dihubung hubungkan dengan mitos yang terbilang mistis, diantara mitos yang populer yang sering didengar adalah mitos bunga kamboja dengan kelopak berjumlah 4, kelopak 6 dan kelopak 9. Pada umumnya bunga kamboja memiliki kelopak yang berjumlah lima, tapi dalam berbagai kasus, semeton semua pasti pernah menemukan bunga kamboja dengan klopak 4, berkelopak 6 dan mungkin juga berkelopak 9.

Kejadi ini memang terbilang langka bila dibandingkan mungkin 1000 :1 dimana dalam 1000 kelopak bunga kamboja mungkin hanya terdapat 1 bunga dengan kelopak yang tidak semestinya. Karena kelanggkaannya ini muncullah mitos mitos yang menebutkan kalau bunga kamboja dengan kelopak 4 bisa mendatangkan rezeki bagi penemunya. Sejauh ini belum ada yang bisa membuktikan mitos mitos ini, tapi percaya atau tidak mitos ini benar adanya tergantung sejauh mana bunga ini bisa mengsugesti anda untuk memperoleh banyak rezeki.

Dibawah ini ada beberapa mitos khasiat bunga kamboja kelopak 4, kelopak 6 dan kelopak 9:

1. Jika mendapatkan bunga klopak 6 dan beberapa hari setelah mendapatnya dia diterima untuk bekerja di hotel berbintang 5 dengan gaji yang terbilang tinggi

2. Jika mendapatkan bunga kamboja kelopak 4, simpan di dompet agar rejeki lancar.

3. Bunga dengan jumlah kelopak 4 digunakan untuk pengasihan,

4. Bunga kamboja dengan kelopak 6 dan bunga tersebut digunakan sebagai jimat dibungkus dalam kain putih yang bertuliskan aksara suci om (hurup simbol Tuhan dalam agama Hindu)

Nah bagaimana menurut kalian, apakah kalian pernah mendapatkan bunga dengan kelopak 4, kelopak 6 dan kelopak 9? kalau pernah anda bisa berbagi pengalaman tentang khasiat bunga kamboja kelopak 4, kelopak 6 dan kelopak 9. —sumber

Filosofi Bija

$
0
0

Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).

Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivi-sampat dan Asuri-sampat.

Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.

Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata “bhas” dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras.

Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera. Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa). —sumber

Pengertian dan Makna Upacara Ngulapin atau Pengulapan

$
0
0

Upacara Ngulapin atau Pengulapan adalah upacara yang wajib dilakukan umat Hindu setelah mendapatkan musibah hal ini dimaksudkan agar orang tersebut tidak lagi di bayangi oleh kejadian yang sudah dialaminya dan lebih tenang ketika dia akan menjalani aktivitasnya setelah melewati pintu rumahnya. Ngulapin juga dapat bermakna menenangkan jiwa raga dan pikirannya.

Ngulapin atau sering juga disebut dengan Pengulapan adalah upacara yang bertujuan untuk menormalisasi kehidupan seseorang setelah mengalami kejadian yang mengejutkan. Karena jika seseorang mengalami suatu kejadian yang mengejutkan, hal ini akan berdampak pada kehidupannya. Jika dibiarkan tanpa dilakukan suatu upacara, dapat membuat kehidupan seseorang menjadi tidak normal. Ngulapin juga biasanya berfungsi untuk memulihkan kembali kekuatan atau unsur-unsur kestula sariranya. Bilamana yang sudah dijelaskan bahwa orang yang pernah mendapat sengkala atau jatuh berarti salah satu kekuatan atau unsur badan wadagnya berada di tempat kejadian.

Namun jika dilihat dari arti katanya, Ngulapin berasal dari kata Ulap (bahasa Jawa kuna dan juga bahasa Bali), yang artinya silau. Silau yang dimaksudkan di sini adalah seperti keadaan mata ketika menatap atau memandang sinar matahari. Ulap-ulap dalam bahasa Bali  berarti suatu alat yang berbentuk empat persegi panjang/bujur sangkar, terbuat dari secarik kain putih yang berisi tulisan hurup-hurup keramat yang menurut agama Hindu dikatakan mempunyai kekuatan yang magis.

Biasanya itu diletakan pada halaman depan dari sebuah bangunan, dibawah atap pada kolong rumah,pada waktu memberi upacara ngulap ngambe dari suatu bangunan tersebut. Maksudnya adalah untuk memohon kehadapan Tuhan yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi, agar supaya jika ada unsur-unsur yang ingin mengganggu, menjadi silau.

Jenis-jenis Upacara Ngulapin
Seperti kita ketahui Upacara Ngulapin merupakan bagian dari upacara Manusa Yadnya. Biasanya upacara ngulapin ini lebih sering dijumpai ketika ada seseorang yang mengalami kecelakaan. Karena ketika kecelakaan dikatakan bahwa  bayu yang ada pada diri manusia akan terlepas. Ini tentu akan berdampak negatif karena bayu menjadi penggerak kehidupan manusia. Upacara pengulapan inilah yang akan mengembalikan bayu, sehingga hidup orang yang bersangkutan bisa kembali normal seperti sedia kala. Upacara pengulapan bisa dilakukan di perepatan terdekat, karena tujuannya untuk memanggil bagian diri yang tertinggal di tempat kejadian. Adapu jenis-jenis Upacara Ngulapin yang paling sering dilakukan adalah:

  • Ngulapin Pretima. Yang dimaksud dengan upacara ngulapin ini ialah apabila pretima itu pernah jatuh, disebabkan karena disenggol oleh binatang, seperti kucing tat kala ada upacara di sekitar pratima itu, jatuh karena tempatnya tidak baik, dibawa oleh manusia, selain dari itu mungkin pratima itu pernah dicuri atau dimasuki oleh pencuri.
  • Ngulapin Orang baru Sembuh dari Penyakit. Adapun maksudnya disini adalah supaya orang yang diupacarai ini bisa makan segala macam makanan, maksudnya tidak terpengaruh oleh makanan yang menyebabkan sakitnya kumat/kambuh, dalam bahasa Bali disebut dengan betus. Kendatipun ia sudah sehat tapi kalau belum diadakan upacara pengulapan ia tidak boleh makan sewenang-wenang seperti makan jotan, daging guling dan lain sebagainya, dan juga tidak diperkenankan keluar rumah.
  • Ngulapin Pitra. Mula pertama dari proses pembakaran mayat, adalah upacara ngangkid atau ngulapin di setra. Yang dimaksud dengan upacara ini adalah mencari galih atau tulang yang akan diaben. Setelah pelaksanaan ini selesai maka terjadilah macam-macam versi, ada juga yang diajak pulang untuk sembahyang pada sanggah kemulan Ring Bhatara Yang Guru.

Sarana dalam Upacara Ngulapin atau Pengulapan
Upacara Ngulapin atau Pengulapan tentunya menggunakan sarana. Adapun sarana upakara yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
Medasar antuk tetempeh masusun antuk taledan gede, dagingin raka who-wohan jangkep, tumpeng alit 11 bungkul dados a ceper, untek 22 bungkul dados aceper, wewakulan masampyan nagasari, sasedep tepung tawar, lis peselan, padma 1, sangga urip, tegteg, canang pahyasan, coblong 1, payuk pere 1. kojong rangkadan, Daksina 1, ketipat kelanan, ajuman/sodaan alit, tulung sesayut, peras alit, dan penyeneng alit.

Waktu Pelaksanaan Upacara Ngulapin atau Pengulapan
Biasanya pelaksaan Upacara Ngulapin atau Pengulapan tidak dilaksanakan sembarang. Dalam artian harus memperhatikan hari-hari baik. Hal ini dimaksutkan agar upacar yang kita lakukan dapat berjalan lancar sesuai harapan. Mencari hari baik (Dewasa) harus berdasarkan bantuan orang suci atau pemangku adat agar tidak salah waktu. —sumber


Filosofi Dan Makna Lis Tirta

$
0
0

Lis adalah sarana yang digunakan untuk mencipratkan atau memercikkan tirtha atau air suci sebagai penyucian diri guna menjauhkan diri dari kekuatan negatif yang dapat mengganggu manusia dan tentunya bertujuan untuk kekuatan dan kesucian lahir bathin. Dalam tingkatan upacara yang lebih besar biasanya digunakan lis ageng/lis gede sedangkan dalam upacara biasa/kecil digunakan lis alit atau lis padma.

Sebagai salah satu bagian penting dari sekelompok banten karena merupakan alat pensucian, makna simbol dari setiap susunannya sebagai berikut :

  1. Tangga menek sebagai lambang dan permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga hal-hal yang bersifat kebaikan selalu meningkat.
  2. Tangga tuwun sebagai lambang dan permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga hal-hal yang bersifat keburukan berkurang atau hilang.
  3. Jan sesapi: terbuat dari reringgitan janur sebagai lambang dan permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi semoga tujuan me-yajnya tercapai.
  4. Lilit linting sebagai lambang kebulatan tekad untuk berbhakti kepada-Nya.
  5. Lawat buah sebagai lambang permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi, semoga yajnya yang diselenggarakan mendapat pahala kebaikan.
  6. Lawat nyuh: terbuat dari reringgitan janur, berbentuk buah kelapa, ditandai dengan menyisipkan secuil sabut kelapa, sebagai lambang permohonan kepada Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Bhatara Brahma sang Maha Pencipta, semoga penyelenggaraan yajnya ini direstui dan berjalan lancar.
  7. Tepung tawar sebagai lambang dari keseimbangan hidup manusia, terutama perwujudan rwa bhineda, misalnya: siang-malam, baik-buruk, lelaki-perempuan, dst.
  8. Daun dapdap, dalam Lontar Taru Pramana disebut sebagai don kayu sakti. sebagai lambang kekuatan untuk menjaga keseimbangan-keseimbangan tri hita karana dan keseimbangan-keseimbangan rwa bhineda.

Selain sebagai perlengkapan tetandingan banten seperti durmangala dll, penggunaan pada waktu piodalan di sanggah kemulan atau di Pura atau dalam rentetan upacara Panca Yadnya disebutkan dalam serba serbi Hindu Bali digunakan banten lis senjata sakti ketika Ida Pemangku/Ida Pedanda mepuja. —sumber

Mengapa Leak Identik Dengan Kuburan

$
0
0

Seperti kita ketahui bahwa Leak Identik dengan Kuburan. Sehingga sering disalah artikan bahwa Leak adalah pemakan mayat dan Ilmu untuk meningkat ilmu hitam. Padahal itu adalah kesalahan besar. Leak sangat di Identikan dengan kuburan karena Kuburan adalah tempat yang ideal, karena selain sepi, kuburan juga adalah tempat suci. Ajaran Tantra umumnya adalah ajaran sangat rahasia, sehingga orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi.

Kuburan adalah tempat suci dimana para roh berkumpul dalam pergolakan bathin dan pergolakan berbagai macam energi.  Karena itulah dalam tradisi leak, seorang guru menginiasi dan merajah muridnya di kuburan. Siapapun kita, orang kaya-miskin, terhormat-hina, cerdas-bodoh, sukses-gagal semuanya akan berakhir di kuburan. Sehingga salah satu tugas praktisi Tantra adalah melakukan meditasi kematian di kuburan.

Kalau kita rajin meditasi kematian, merenungkan kematian, melepas roh dari tubuh, kita bukan saja akan menemukan makna kehidupan disana, tapi sekaligus juga ketika kita mati kita sudah benar-benar sangat siap menyambut kematian. Di Jawa, tradisi Tantra ini di sebut tirakat. Salah satu tugas dharma praktisi Tantra adalah membimbing roh-roh yang kebingungan di alam kematian menuju cahaya (jyoti) yang bisa mengantarnya ke alam-alam luhur. Sehingga ketika ada orang baru meninggal, praktisi Tantra  wajib datang ke kuburan untuk setidaknya memberikan berkah doa kepada yang meninggal.

Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikkan sebagai tirta, praktisi leak memberi berkah doa :

“ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta, mulihan kene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahutama, ong rang sah, prete namah”.

Seperti halnya perkumpulan spiritual lainnya, pada hari-hari tertentu umumnya malam kajeng kliwon para shakta aji pangliyakan akan berkumpul untuk mengadakan puja bakti bersama memuja Shiva, Durga dan Bhairawi. Ini biasanya dilaksanakan di Pura Dalem, Pura Prajapati atau di Kuburan. Ini sering disalahpahami oleh orang awam sebagai sangkep leak. —sumber

Asal Mula Lawar Merah

$
0
0
Lawar Merah hingga kini belum diketahui secara pasti dari mana asal usul dari makan khas Bali tersebut. Namun beberapa cerita mengemukakan bahwa Lawar Merah berasal dari para pemuja Bhairawa. Dimana saat itu, para pemuja Bhairawa melakukan pemujaan terhadap Shakti dari bhairawa dan para pengikutnya memuja aspek feminine dari Bhairawa yang terkenal dengan sebutan Bhairawi, sebagai Ibu Shakti dan di Bali sering disebut Dewi Durga.

Pada jaman itu para pengikut Bhairawa melakukan pemujaan terhadap Bhairawa dengan melakukan yadnya, misalnya dalam upacara mereka masih memakai persembahan daging mentah, ada persembahan darah lewat Sambleh.  Begitu juga mengenai makanan yang dibuat saat berpesta ada persembahan Lawar yaitu campuran sayur dengan daging ditambah darah mentah dari binatang. Hal semacam ini mirip dengan pemujaan yang dilakukan oleh pengikut Kapalika pada suku bangsa Dravida.

Walaupun tradisinya hampir mirip dengan masyarakat kita di Bali, namun suku bangsa Dravida pengikut Bhairawa Kapalika tidak mengakui adanya sistem kasta. Dan dalam perkembangan selanjutnya Bhairawa dan Bhairawi melahirkan para Bhuta-bhuti, serta makhluk-makhluk yang menyeramkan lainnya. Para Bhuta-bhuti ini merupakan aspek kemarahan atau krodha.

Kelompok dari aspek ini adalah makhluk-makhluk yang mencerminkan kemarahan seperti raksasa, yaksa, naga, yatudhana dan pisaca dan golongannya sering disebut krodhawangsa. Lontar Bumi Kamulan disebutkan sebagai berikut, karena kesalahan sang Dewi Uma maka beliau dikutuk oleh Dewa Siwa dalam wujud lima Bhairawi, yaitu:

1.    Sri Durga,
2.    Raji Durga,

3.    Suksmi Durga,
4.    Dahri Durga,
5.    Dewi Durga.

Dari masing-masing Durga inilah terlahir berbagai jenis makhluk menyeramkan seperti Kalika-kaliki, Bhuta Dengen, Jin, Setan, Bragala-bragali, Bebai, dan sebagainya. Kendati para pengikut Bhairawa-Bhairawi melakukan pemujaan dengan cara yang kurang biasa dalam jaman yang beradab ini, tetapi tujuan pemujaan mereka juga untuk mencapai Tuhan. Dari sinilah mungkin berasal Lawar Merah yang berkembang di Bali hingga sekarang. Kendati demikian belum ada catatan berupa buku yang menjelaskan tentang asal usul lawar merah.–sumber

Upacara Agnihotra Untuk Hindu Bali Atau India?

$
0
0

Dewasa ini seringkali kita mendengar upacara Agnihotra. Dalam Weda disebutkan bahwa upacara Yadnya Agnihotra adalah Yadnya tertinggi. Jadi, bagaimana sebenarnya pengertian dari Agnihotra?

Menurut Sir Monier William tahun 1988, Agnihotra adalah istilah teknis upacara agama yang berasal dari bahasa sanskerta yang diberikan batasan sebagai berikut, Agnihotra adalah pengorbanan suci kepada api.

Menurut Benyamin Walker, Agnihotra adalah suatu upacara Weda yang terpenting yang merupakan bentuk upacara yang paling sederhana sebagai persembahan susu setiap pagi dan sore hari ke dalam api oleh suatu keluarga.

Sementara menurut Musna tahun 1994, Agnihotra adalah upacara persembahan terhadap Dewa Agni.  Sedangkan menurut beberapa sumber lain mengatakan bahwa upacara yadnya Agnihotra adalah persembahan suci kepada Sanghyang Agni atau dewa api suci. Agnihotra juga merupakan sebuah upacara yang mengelilingi api biasanya dilaksanakan pada hari Saraswati. Memohon kekuatan Dewa Agni sebagai saksi saat dimulainya Upakara persembahan atau kegiatan suci sebagai contoh Upakara apa saja yang dipakai sarana api itu, pasti dinamakan Agnihotra. Dan juga Agnihotra merupakan ritual Homa yang sangat penting dalam Weda dan merupakan persembahan kepada dewa Agni. Dalam sloka Manawa Darmasastra disebutkan bahwa seorang Grahastin diwajibkan untuk melakukan Agnihotra.

Menurut tulisan I Wayan Jendra dalam buku jurnal Raditya edisi 1 Oktober 1995, ritual Agnihotra belakangan ini kurang mendapat perhatian di kalangan umat Hindu di Indonesia atau di Bali. Kalau Yadnya di Bali, apinya sudah pasti memakai Pasepan atau dupa, atau juga dari  serabut kelapa yang dibakar dan diberi gula, cendana, dan menyan. Upacara Agnihotra bersumber pada Weda dan umum dilakukan di India. Di Bali juga ada tetapi kita di Bali ada unsur adat dan tradisi yang mempengaruhi cara beragama. Dulu di pura gunung Kawi Tampaksiring Gianyar dan di pura Kehen Bangli pernah dilaksanakan ritual Agnihotra. Sayangnya pernah terjadi kebakaran dahsyat sehingga ritual Agnihotra pernah diberhentikan. Lalu sekarang muncul lagi dengan gaya yang lebih modern.

Upacara Agnihotra adalah bagian dari Tat Purusa {Samasa} yang berarti sebuah persembahan {aslinya adalah susu} untuk Agni atau api yang disucikan sebagai simbol dewa Agni. William Monier menyatakan bahwa hal ini pertama kali disebutkan dalam kitab Atharwaweda{1000 BC} meskipun penuangan Gee dalam api ritual lebih dulu terdapat dalam Reg Weda {1400 BC}

Menurut Profesor Titib, upacara Homa hampir sama dengan upacara Agnihotra, sumbernya adalah Atharwaweda 6-97-1 dan di Regweda 10-66-8. Homa adalah upacara selamatan kepada dewa-dewa dengan menaburkan Ghrita pada api suci. Tujuan Agnihotra adalah untuk menetralisir alam semesta dari pengaruh dan tendensi duniawi. Barangsiapa yang menghalangi pelaksanaan Homa suci ini maka dalam hidupnya tidak akan dapat menumbuhkan dan merasakan kedamaian. –sumber

Perceraian Menurut Hindu Di Bali

$
0
0

Hindu sebenarnya sangat melarang adanya perceraian antara suami dan istri, kecuali suami atau istri berkhianat dan tidak setia. Itupun tergantung pada konteksitas terhadap pelanggaran Satyeng Lhaki atau Satyeng Wadon. Menurut Reg Weda, sudah sangat salah kalau kita bercerai atau berpisah. Karena sudah melanggar Yadnya yang sangat susah dilakoni secara materiil, moril, dan spiritual. Perlu Mulat Sarira atau intropeksi diri antara suami dan istri yang berkhianat dan tidak setia.

Kalau istri membuat kesalahan fatal dan melanggar Dresta { adat }, agama, serta norma hukum formal, menurut Nitisastra hal itu yang seharusnya dibuang, justru dipelihara kita akan semakin berdosa. Masa lalu dan hari ini adalah sebuah kenyataan akumulasi dari Karma { perbuatan } sebagai pelajaran. Hari esok adalah harapan. Jangan kau hancurkan ladang harapan dengan benih masa lalu yang sudah usang. Kasihan anak-anak, sekarang sudah dapat pelajaran, bukan? Maka harus berhati-hati menjawab soal ujian supaya lulus dalam mencari pengganti.

Perceraian sangat merugikan beberapa pihak diantaranya anak jadi terlantar karena akan diasuh oleh ibu tiri. Dalam ajaran Hindu menyarankan jangan bercerai karena saat melangsungkan perkawinan, kita telah berjanji pada orang tua, leluhur, dewa dan pada guru sebagai saksi. Karena sebelum melangsungkan perkawinan, kita juga harus mencari hari baik dengan seksama dan memadukan dengan beberapa Wariga [ hari baik } Dalam ajaran Hindu juga ada konsep Catur Asrama, Perkawinan { Grahasta } salah satunya. Kalau bercerai artinya mereka gagal dalam tahafan tersebut.

Hindu sangat fleksibel, Mereka yang memilih Brahmacari sampai tua juga dihormati. Tidak ada yang salah, manusia sepenuhnya memilih dan menerima akibatnya. Adil, bukan? Di Bali, perceraian merupakan pilihan terakhir. Jika bisa, sedapat mungkin harus dihindari karena kesan dan akibatnya kurang baik. Grahasta sudah anda lakoni, soal berhasil atau tidak, itu urusan lain. Asalkan bukan anda penyebabnya. Sama seperti orang kuliah, tidak semua yang berhasil menjadi sarjana.

Apakah orang tua berhak mencampuri urusan rumah tangga anaknya? Boleh mencampuri asalkan untuk memperbaiki keadaan. Mengenai pilihan untuk pendamping hidupnya, keputusa mutlak hak anak tidak boleh diambil oleh siapapun. Memang orang tua harus mencampuri urusan rumah tangga anaknya tapi hanya sebatas diluar. Kecuali masalah hati intern rumah tangga hanya tuhan yang boleh campur tangan. Dengan demikian, kalau sudah berumah tangga harus mandiri dan berpisah dari orang tua. Mencampuri urusan rumah tangga anak sebenarnya sangatlah tidak baik. Harus memberi kemandirian agar anak bisa bertanggung jawab tentang sesuatu dan harus memberi dukungan yang baik pada anak.

Bagaimana caranya agar perkawinan kita bisa abadi? Si lelaki harus bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta si lelaki harus sabar. Nomer dua adalah keterbukaan, apa adanya, saling menerima kekurangan dan kelebihan, saling menghargai, dan komit dengan tujuan berkeluarga.–sumber

Asal Mula Metajen

$
0
0

Judi, merupakan hal yang sering dilakukan oleh manusia, selain karena hobby, juga ada yang menggunakannya sebagai sumber percarian kehidupan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, judi mulai diberantas. Salah satunya yakni sabung ayam. Namun tahukah anda dari mana asal mulanya sabung ayam tersebut?

Dahulu kala sabung ayam tidak pernah dikenal umat Hindu. Sabung ayam merupakan pergeseran budaya dimana yang semula adalah upacara adu antara dua kelapa, dimana upacara ini terdapat dalam umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali.

Dalam adu kelapa tersebut biasanya ada telur ayam dan juga cengkeh sebagai sarana upacara. Mengapa ada upacara adu kelapa? Asal usul upacara adu kelapa ini sebenarnya berasal dari cerita Mahabharata, dimana Ibu Kunti mengorbankan salah satu anaknya yaitu Bima untuk membunuh raksasa yang meresahkan masyarakat saat itu.

Dari kisah itulah untuk memperingati kejadian itu maka dikorbankanlah kelapa (adu kelapa) dimana disimboliskan pertarungan antara Kebenaran melawan Kejahatan. Disatu sisi, Sadewa juga dikorbankan oleh Ibu Kunti untuk membunuh raksasa ditempat lain. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, terjadilah pergeseran upacara. Dimana adu kelapa diganti dengan adu ayam (sabung ayam).  Karena Kunti menggunakan anak kesangannya (Bima) dan anak kesayangan Madri alias Sadewa, sehingga jika melakukan sabung ayam maka harus menggunakan ayam peliharaan kesayangan.–sumber

Memahami Makna Caru (Tawur)

$
0
0

Caru adalah kurban suci yaitu upacara yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit maupun bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.

Dan dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari sebagai bagian dari upacara Butha Yadnya,  Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan. Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.Jenis-jenis Caru dan Tawur:Caru Palemahan Bumi Sudha berfungsi untuk mengharmoniskan sebuah tempat. Dalam Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:
  1. Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
  2. Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
  3. Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa Adat, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
  4. Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.

Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru dan Tawur.
Yang termasuk Caru : 

  • Eka Sata,
  • Segehan Panca / Manca Warna,
  • Panca Sata, kestabilan 5 arah mata angin
  • Panca Sanak, disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin.
    • Panca nak-madurga,
  • Ngeresigana (Resi Gana).
  • Carun Dewasa,
    • dengan dilengkapi tetandingan banten pamarisudha mala dewasa untuk menetralisir pengaruh padewasan yang buruk.

Yang termasuk Tawur: 

  • Manca Kelud, berfungsi untuk ngelinggihang dewa di parhyangan.
  • Balik Sumpah,
  • Tawur Gentuh,
  • Panca wali krama,
  • Eka Bhuwana,
  • Tri Bhuwana,
  • Eka Dasa Rudra.
  • dll

Semua beburon / hewan sebelum diupacarai dimandikan terlebih dahulu kemudian dikenakan kain menurut warna pengider-iderdisertai kalungan uang kepeng manut urip. Alat-alat yang ikut diupacarai: blakas, golok, taledan, lumpyan, pane, lesung, tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok, katikan sate, cubek. Juga disertai lakar base genep.Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar Sudamala dan Lontar Kala Tattwa)

  • Ayam manca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun – Bhuta Tiga Sakti
  • Ayam biying kuning, untuk Bhuta Jingga
  • Ayam ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
  • Ayam Ijo, untuk  Bhuta Ijo
  • Ayam klawu, untuk Bhuta Ireng
  • Ayam wangkas, untuk Bhuta Lambukan
  • Angsa putih, untuk Korsika
  • Asu bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
  • Banteng, untuk Bhuta Ijo
  • Bawi palen,untuk Mahakala
  • Bebek belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
  • Bebek bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan
  • Godel, untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
  • Kambing coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
  • Kambing coklat, untuk Bhuta Jingga
  • Kambing selem, untuk Kurusya, Banaspati Raja
  • Kambing sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggah Tawang
  • Kebo yusmerana, untuk Bhuta Ireng
  • Kidang, untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
  • Manjangan, untuk Bhuta Ijo
  • Penyu (punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri
  • (Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan beberapa binatang kurban untuk di-“somya”)

Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban sebagai tuntunan ngebat.

  • Kinelet melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh.
  • Winangun urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang punggung, tulang kaki dan tulang ekor.
  • Urab/Reramesan barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan barak) Getih matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan, diiisi lontar nama hewannya.
  • Sate (jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan tubuh hewan termasuk dengan aksara suci Ang – Ung – Mang.
  • Gayah: punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan senjata Dewata Nawa Sanga, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya candra, tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh, don, jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.

Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan
(Lontar Sudamala)
Bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis:

  • Mataya; bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak berem, tuak.
  • Mantiga; hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
  • Maharya; hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing.

Penempatan warna bulu hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.

Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa)
Warna-warna: bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider:

  • Sweta (putih),
  • Dumbra (merah muda),
  • Rakta (merah),
  • Rajata (oranye),
  • Pita (kuning),
  • Syama (hijau),
  • Kresna (hitam),
  • Biru (abu-abu),
  • dan sarwa suwarna (campuran)

Warna-warna itu selain sebagai identitas para dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia:

  • Putih: suci;
  • Merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan;
  • Merah : marah;
  • Oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi;
  • Kuning: nafsu;
  • Hijau: serakah;
  • Hitam: iri-hati;
  • Abu-abu: iri-hati yang terselubung.

Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan.Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana. Dengan demikian sifat-sifat buruk asubha karma manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad (sifat kedewataan)Urip Wewaran pada caru dan tawur (Lontar Warigha Bhagawan Gargha)Penggunaan urip wewaran / neptu pada caru yang dasarnya panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni: :

Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut Satha Pata Brahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan bhuwana agung.Penggunaan urip pada tawur pada dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan asta wara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan:

  • Guru urip 8 di tenggara,
  • Rudra urip 3 di barat daya,
  • Kala urip 1 di barat laut
  • dan Sri urip 6 di timur laut.

Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanggha) Urip Wewaran tersebut digunakan dalam banten caru / tawur untuk antara lain jumlah :  tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll. Demikian dijelaskan dalam Dokumen Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara.

Banten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.Berkaitan dengan penggunaan binatang dalam upacara caru / tawur ini juga sesuai dengan sastra weda khususnya juga disebutkan dalam beberapa lontar seperti Siwa Purana dan Markandhya Purana. Demikianlah caru ini disebutkan dan dilaksanakan untuk keharmonisan alam semesta ini.


Filosofi Mepeed

$
0
0

Mepeed (atau Mapeed) merupakan tradisi parade iring-iringan sebagai salah satu rangkaian kegiatan upacara yadnya seperti halnya dalam beberapa kegiatan seperti Upacara Ngangget don bingin, diawali dengan tedung agung, mamas, bandrang dan lain-lain. Iring-iringan dengan gebogan dalam rangka piodalan di pura sebagai tempat suci umat Hindu.

Lebih lanjut, mepeed dalam rangka piodalan tersebut bertujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih umat Hindu Bali kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana disebutkan pariwisatatab, tradisi mepeed di Bali yang bertujuan untuk menghanturkan persembahan suci tersebut yaitu dengan parade yang beriringan diikuti oleh para perempuan Bali yang mengusung Gebogan sebagai rasa syukur atas rejeki yang kita nikmati. Sesampainya di pura, Gebongan yang sudah dibawa oleh peserta kemudian disucikan oleh pemangku setempat. Setelah pensucian dengan memercikan air suci yang disebut Tirtha, barulah persembahyangan dimulai.

Perlu Anda ketahui, untuk menjaga kekhusyukkan biasanya wisatawan yang datang dilarang meliput. Namun tidak perlu khawatir karena bagian yang dilarang diliput hanyalah areal persembahyangannya saja.

Jadi, wisatawan hanya diperbolehkan mengambil gambar dari luar tembok yang dikenal Panyengker atau tembok pagar pura.  Ritual Mapeed ini memang sangat menarik perhatian wisatawan baik domestik maupun mancanegara.  Selain tempat pelaksanannya yang indah dengan hamparan sawah yang mengelilinginya, Mepeed dalam panorama Bali disebutkan memang sangat unik dan menarik untuk disaksikan. —sumber

Sesangi, Berjanji Di Bali

$
0
0

Sesangi atau bahasa gaulnya disebut KAUL atau bahasa kerennya  disebut dengan JANJI. Sesangi sering dilakukan oleh krama Bali untuk maksud tertentu biasanya penuh harapan, bilamana harapan atau tujuannnya terkabul maka akan mempersembahkan/mengaturkan sesuatu. Sesangi sesungguhnya suatu transaksi niskala, transaksi oleh krama kepada yang diminta tolong , disini mengandung unsur kesepakatan pada diri sendiri.

Kesepakatan dalam mesesangi adalah kesepakatan sepihak, dimana hanya dilakukan oleh si pemohon saja, sebab yang diajak atau yang akan diminta (tolong) tidak pernah memberi jawaban secara terbuka. Jadi SESANGI mengandung keyakinan dan suatu perbuatan yang berisi PAMRIH.

Sesungguhnya dasar pelaksanaan SESANGI adalah rasa bhakti, rasa syukur atas anugrah atau atas tekabulnya doa atau keinginan, dan sesungguhnya bukalah PERJANJIAN  kepada Tuhan atau Ratu Batara.
Sesangi  merupakan JANJI kepada diri sendiri untuk selalu atau senantiasa bersyukur atau mensyukuri atas segala karunia dari Tuhan.

Kapan dan dimana biasanya SESANGI dilakukan ?

Sesangi biasanya dilakukan pada saat-saat dan momen tertentu seperti misalnya Dalam keadaan Sakit, mohon di suatu tempat agar diberikan kesembuhan, bila sembuh akan menghaturkan Banten Guling dan sebagainya.
Bisa juga pada anak sekolahan, anak kulihan, bila lulus ujian berjanji MEGUNDUL dan lain sebagainya. —sumber

Upacara Pemelepeh Linuh

$
0
0

Upacara Pemelepeh Linuh adalah yadnya yang dilaksanakan untuk :

  • memohon keselamatan alam beserta isinya yang berkaitan dengan terjadinya gempa bumi (linuh)
  • yang bertujuan untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Ananta Boga agar melimpahkan keseimbangan alam dan kesejahteraan umat manusia.

Upacara ini sebagaimana yang dilaksanakan oleh kabupaten Badung Gelar Upacara Pemelepeh Linuh yang mengandung suatu maksud bahwa adanya kejadian di Bhuana Agung (alam semesta) akan memberikan pengaruh kepada Bhuana Alit manusia.

Upakara Pemelepeh Linuh ini terdiri dari upakara caru dan banten lainnya.

  • Caru sampai tingkatan menggunakan Asu Bang Bungkem dengan kelengkapan wewalungan yang lainnya letaknya di Jaba Pura Lingga Bhuwana, di Utama Mandala Lingga Bhuana menghaturkan upakara berupa Prayascita dan tebasan Durmanggala, sedangkan
  • Caru Panca Sata dilaksanakan di Pura Dalem masing-masing Desa Adat dan di rumah masyarakat dilaksanakan Caru Sasih di masing-masing lawang/lebuh.

Setelah melaksanakan persembahyangan, para Bendesa nunas tirta yang akan dipakai untuk melaksanakan upacara di masing-masing Desa Adat —sumber

Wayang “Leak”, Wayang Calonarang

$
0
0

Wayang Calonarang juga sering disebut sebagai Wayang Leak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari cerita Calonarang.

Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan, wayang Calon arang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (Wayang parwa). Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari:

  • 1 orang dalang
  • 2 orang pembantu dalang
  • 9 orang penabuh

Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Calonarang ini adalah:

  • Katundung Ratnamangali
  • Bahula Duta
  • Pangesengan Beringin

Kekhasan pertunjukan wayang Calonarang terletak pada tarian sisiya-nya dengan teknik permainan ngalinting dan adegan ngundang-ngundang di mana sang dalang membeberkan atau menyebutkan nama-nama mereka yang mempraktekkan pangiwa. Hingga kini wayang Calon arang masih ada di beberapa Kabupaten di Bali walaupun popularitasnya masih di bawah wayang parwa.

Wayang calon arang biasanya diselenggarakan pada hari odalan, di daerah-daerah yang oleh masyarakat suku Bali diperkirakan sering dikunjungi leak, misalnya di dekat kuburan atau tempat ngaben. Leak adalah semacam makhluk halus dalam mitologi Bali. Dalam bentuk Wayang Kulit, Wayang Calon Arang menampilkan bentuk-bentuk tokoh makhluk menakutkan. Untuk mempergelarkan Wayang Calon Arang, diperlukan beberapa bebanten atau sesaji yang khusus. —sumber

Cerita Ilmu Leak “Silur Bangbang”, Pengganti Kuburan

$
0
0

Silur bangbang (pengganti kuburan) merupakan rangkain ritual di Bali tatkala kuburan orang yang akan diaben dibongkar kembali untuk mengambil tulang yang yang bersangkutan. Ketika sudah selesai pekerjaan penggalian kuburan tersebut, maka di dalam kuburan dimasukkan, biasanya ayam hitam dan sesajen, sebagai penukar dari wadag (mayat) yang sudah di gali.

Ada suatu keanehan tatkala masyarakat melakukan pengabenan yaitu semua sambah yang terbuat dari tanah liat langsung akan hilang begitu ritual tersebut berakhir. Orang tua-tua bilang bahwa itu disebabkan oleh pasukan rerencangan Ida Bethara yang melakukan kerja bakti malam hari begitu upacara tersebut selesai. Nah hal itu yang akan menjadi titik tolak dari kisah yang akan diceritakan berikut ini.

Ada sebuah kisah dari seseorang yang bernama Nyoman M, cerita ini dikutip dari puragunungsalak.com. Nyoman M merupakan orang yang sangat lugu, pekerjaannya serabutan sebagai petani atau pemanjat pohon kelapa. Beliau sangat penasaran akan kisah tentang rerencangan Ida Bethara yang melakukan kerja bakti di malam hari begitu ritual pengabenan selesai. Oleh sebab itu waktu diadakan acara penggalian kuburan maka Nyoman M segara masuk ke kuburan sebagai silur bangbang. Dia tidak menghiraukan larangan keluarganya karena rupanya rasa penasarannya lebih besar untuk mengetahui hal sebenarnya.

Setelah semua orang pulang dari kuburan, tinggallah Nyoman M sendirian di dalam kuburan dengan hanya ditutupi tikar dan banten di atasnya. Dia sengaja membuat celah untuk dapat mengintip kejadian yang berlangsung di sekitarnya. Suasana malam itu sangat sepi, maklum penduduk sudah pada kelelahan, hanya lolongan anjing yang terdengar di sana sini. Nyoman M dengan tekad yang bulat berkonsentrasi untuk dapat menangkap apa gerangan yang akan terjadi nanti.

Tepat tengah malam, terdengar suara-suara yang aneh seperti suara orang banyak atau pasukan yang sedang bergerak di setra (kuburan) tersebut. Suara itu makin lama makin keras ditimpali oleh lolongan anjing yang sangat menyayat hati dan suara jengkrik yang bersahutan. Nyoman M merinding sekali menghadapi situasi tersebut, namun karena tekadnya sudah bulat maka perasaan takut dikesampingkan oleh Beliau.

Tiba-tiba Nyoman M melihat gerakan-gerakan yang terjadi di setra tersebut, makin lama makin jelas terlihat mahluk-mahluk yang bentuknya aneh-aneh seperti raksasa besar hitam, ada juga yang sudah tua, anak-anak dan endihan juga terlihat di sana sini jumlahnya sangat banyak. Ada seorang pemipin mahluk tersebut yang bentuknya hitam besar sekali. Mahluk-mahluk tersebut secara kompak mengadakan kerjabakti mengambil sampah-sampah yang terbuat dari tanah liat dan membawanya ke suatu tempat. Karena keterbatasan sudut pandang, Nyoman M tidak secara jelas melihat tujuan dari mahluk-mahluk tersebut.

Kerjabakti tersebut berlangsung sangat ramai dipenuhi oleh suara-suara mahluk yang sangat aneh dan dalam waktu singkat setra tempat pengabenan tersebut menjadi bersih kembali. Dalam hatinya Nyoman M baru mempercayai perkataan orang tua-tua bahwa sehabis pengabenan akan ada kerja bakti untuk membersihkan areal setra tersebut.

Setelah setra menjadi bersih, maka tiba-tiba pemimpin mahluk tersebut menjadi beringas dan menoleh kanan kiri serta menggerakkan hidung seperti mencium sesuatu. Penglihatan mahluk tersebut akhirnya tertuju pada kuburan dimana Nyoman M telah menjadi silur bangbang. Mahluk tersebut langsung berujar ” Matah Bonne” (bau manusia). Pas saat itu Nyoman M mengedipkan matanya, waktu dia membuka matanya tiba-tiba dia melihat setra tersebut sudah menjadi sepi sekali, tidak ada satu pun mahluk yang bisa dia lihat. Akhirnya Nyoman M terbangun dari kuburan dan menuju ke sungai utnuk mandi sebelum menuju ke rumahnya.–sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live