Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Ini Pentingnya Otonan, dan Begini doa – doanya

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Otonan atau hari kelahiran dalam weton Bali, seringkali dianggap sepele dan tidak dilaksanakan. Padahal, ‘ulang tahun’ yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali ini, sangat penting dengan rerentetan banten dan maknanya.

Setiap tahun kita semua merayakan ulang tahun pada tiap tanggal kelahiran. Namun, di Bali juga memiliki prosesi ritual untuk memperingati hari kelahiran. Dalam penanggalan Bali, weton tersebut biasanya jatuh setiap enam bulan sekali.

Sulinggih asal Mengwi, Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa, mengatakan, dalam Lontar Jyotisha dan Pawacakan disebutkan, pada saat weton kelahiran wajib mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, atas diberinya kesempatan sang atman untuk dapat bereinkarnasi kembali. “Otonan itu berasal dari bahasa Jawa kuna dari kata weton dan berubah konsonan menjadi oton yang artinya lahir atau menjelma,” urai Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Nah, berdasarkan apa hari kelahiran ini? ” Dalam tradisi Hindu di Bali, menentukan Otonan harus menggunakan sapta wara, panca wara, dan wuku. Jadi, tidak bisa sembarangan, karena semua itu sangat memengaruhi perilaku serta jalan hidup seseorang,” ujarnya.

Secara etimologi, lanjutnya, Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali. Dalam lontar Pawacakan, Otonan memiliki makna mensyukuri, wara nugraha. “Kita diberikan anugerah dalam bentuk kesempatan untuk bereinkarnasi kembali membayar karma. Dalam upacara piotonan, terdapat byakala atau prayascita yang fungsinya untuk menyucikan diri, melenyapkan kekotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan Bhutakala,” paparnya.

Diakuinya, prosesi Otonan ada kaitannya dengan catur sanak, sebagai simbolisasi atas rasa syukur. “Kita lahir ke dunia bersama empat saudara, yaitu darah, ketuban, placenta, dan ari – ari. Lewat Otonan kita berbagi dan mengingat mereka. Lalu bersyukur pada Tuhan atas hidup yang telah diberikan,” ujarnya. Dalam Otonan, beberapa perlengkapan upakara yang dapat digunakan adalah banten pajati, banten dapetan, sesayut pawetuan, dan segehan. “Banten pajati dihaturkan kepada Bhatara Guru di rong telu, sesayut pawetuan dihaturkan kepada yang manumadi atau numitis. Dan, segehan dihaturkan di bawah kepada Bhutakala,” ujarnya.

Mantram dan Doa Saat Otonan

Mantram Mabyakala atau Byakaon : Om shang bhuta nampik lara sang bhuta nampik rogha, sang bhuta nampik mala, undurakna lara roga wighnanya manusanya. Om sidhirastu Yanama Swaha.

Sesayut Bayu Rauh Sai:
Om sanghyang jagat wisesa,
metu sira maring bayu, alungguh maring bungkahing adnyana sandi
Om Om sri paduka guru ya namah. Om ung sanghyang antara wisesa, metu sira maring sabda,

Mantram Matebus Benang:
Om angge busi bayu premana maring angge sarire

Mantram Masesarik:
Kening : Om sri sri ya nama swaha. Bahu kanan : Om anengenaken phala bhoga ya nama swaha. Bahu kiri : Om angiwangaken pansa bhaya bala rogha ya nama swaha.Telapak tangan : Om ananggapaken phala bhoga ya nama swaha

(bx/tya/yes/JPR) –sumber


Bendu dan Guru Piduka, Mohon Maaf dan Bersihkan Jejak Kotor

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka menjadi pilihan warga Desa Adat Besakih untuk membersihkan ‘jejak kotor’ si bule nekat yang menaiki Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih. Sejatinya, apa itu upacara Bendu Piduka dan Guru Piduka?

Upacara Bendu Piduka, sebelumnya pernah dilaksanakan di Desa Pakraman Dauh Waru, Jembrana. Ketika itu, warga mengalami kabrebehan (kejadian aneh), di mana anggota masyarakatnya meninggal tidak wajar secara berturut – turut. Hal itu terjadi paska pelaksanaan melasti jelang Hari Raya Nyepi tahun lalu. Secara etimologi, Bendu memiliki pengertian kesal , perbuatan buruk dan kecewa.
Sedangkan Piduka berarti berduka. Jadi, Bendu Piduka berarti pembersihan untuk perbuatan buruk yang membuat berduka. Biasanya upacara ini dilakukan untuk menetralisasi leteh atau pengaruh negatif pada suatu tempat atau suatu daerah.

Ida Pandita Mpu Parama Daksa menjelaskan, Bendu Piduka adalah rangkaian prosesi untuk menetralisasi segala sesuatu yang mencemari alam ini, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Baik karena perbuatan maupun karena perkataan.

“Dalam tradisi adat Bali, kita mengenal istilah ngayah. Ngayah itu bentuk dari sebuah pelayanan kita kepada Tuhan dan leluhur, baik itu di pura ataupun sanggah merajan. Mungkin saja ketika kita ngayah ada perkataan kita yang membuat sebuah lokasi atau tempat tersebut menjadi leteh. Bisa juga karena perbuatan, seperti yang terjadi di Jembrana atau Besakih,” ujar Sulinggih asal Mengwi ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), kemarin.

Dikatakannya, Bendu Piduka tertulis dalam lontar Dewa Tatwa yang menyebut bahwa upakara piduka, terdiri dari dua macam, yakni Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Dalam kepercayan umat Hindu mengenai Usadha, lanjutnya, dikatakan penyakit terdiri dari dua penyebab yaitu secara Skala (nyata) dan secara Niskala (tidak nyata atau tidak terlihat). Adapun penyebab penyakit secara skala misalnya penyakit jantung karena pola hidup tidak sehat, terluka karena jatuh. Penyebab penyakit yang diakibatkan secara niskala, di antaranya pekarangan rumah yang angker sehingga keluarga tidak harmonis, adanya kesalahan tindakan yang kurang baik di tempat suci atau sanggah, sehingga menyebabkan terjadinya mala petaka berturut – turut.

“ Yang paling berbahaya itu, ketika kita mengucapkan janji disertai sumpah (sapa atau semaya) dan kita lupa, serta mengingkarinya. Akibatnya, leluhur, para dewa sebagai manifestasinya Tuhan akan marah dengan mengirim bhuta bhuti dan mengganggu kesehatan serta keharmonisan keluarga tersebut. Jadi, jangan macam – macam soal niskala,” ujar Ida Pandita Mpu Parama Daksa. Dalam Lontar Dewa Tatwa dipaparkan, untuk menetralisasi pengaruh negatif akibat kesalahan kesalahan itu, lanjutnya, maka masyarakat dianjurkan untuk menghaturkan banten Maguru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka. Mengapa menghaturkan banten Guru Piduka dan tetebasan Bendu Piduka?

“Sesungguhnya, kedua banten itu hanya sebagai prasarana sementara, sebagai permohonan maaf serta janji untuk melaksanakan upakara yadnya sebagai bentuk permohonan maaf yang tulus,” ujarnya.

Selain menggelar upakara yadnya, dalam lontar Dewa Tatwa juga menganjurkan untuk membuat palinggih baru dengan melinggihkan Ida Bhatara Indra Balaka dan pengayahan leluhur kawitan, dengan tujuan menetralisiasi pekarangan.

Ditegaskannya, menggelar upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka tidak boleh sembarangan. “Ketika kita merasa pekarangan rumah panes atau merasa ada penyebab niskala, lantas menganggap perlu dilakukan upacara tersebut tanpa mempertimbangkan aspek lainnya, dan hal itu tentu saja akan berakibat fatal,” ujarnya.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, tanda – tanda perlunya melaksanakan upakara tersebut adalah adanya kejadian akibat bencana yang menimpa manusia. Seperti Sakit berkepanjangan yang tak kunjung sembuh, banyak orang meninggal dalam waktu singkat, di daerah tersebut banyak terjadi mati salah pati dan ulah pati, juga terjadinya hubungan ‘salah timpal’, yakni hubungan seks antara manusia dengan binatang atau antara binatang yang berbeda jenis. Selain itu, adanya kematian anggota keluarga yang bertepatan dengan piodalan di sanggah merajan, sering terjadi cekcok atau keributan dalam keluarga, tempat suci yang terbakar, baik oleh api maupun oleh halilitar, serta diporak-porandakan angin puyuh.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan: Muah yang ketibenin apui tanpan para, yadnya linus tan pantara mwang telas basmi kayangan ika cihmaning anemu ala sang madrewe khayangan ika, hana sot tan tinawang wenang ngagen sot rigumi piduka.

Artinya, demikianlah pula bila khayangan terjadi kebakaran tanpa sebab, demikian juga angin beliung tanpa sebab, apalgi sampai menghanguskan seluruh bangunan kahyangan. Itulah ciri bahwa yang memiliki kahyangan tersebut mendapat bahasa, karena kaulnya tidak dibayar. Oleh karena itu, sepatutnya agar sot (berjanji) akan membayar kaul dengan mempersembahkan Guru Piduka dan Bendu Piduka.

Ida Pandita Mpu Parama Daksa juga menjelaskan, ada baiknya dalam melaksanakan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka diiringi suara gender atau angklung, terlebih lagi jika tempat pelaksanaan upacara tersebut di pura. Hal ini untuk menjaga keselamatan desa pakaraman. Dalam Widhi Sastra juga dijelaskan, apabila pelaksanaan Guru Piduka dan Bendu Piduka diakibatkan karena tempat suci yang roboh atau terbakar, sebaiknya setiap anggota pemaksa yang menghaturkan ayah dan bakti menggunakan lima keping uang kepeng dalam kwangen yang digunakan ketika menghaturkan sembah.

“Karena upakara Guru Piduka dan Bendu Piiduka ini hanya sebagai janji yang ditunda, maka sebaiknya harus segera disusul upacara yadnya yang sesuai kedurmanggalan,” ujarnya.

Dalam rangkaian upakara, biasanya belum lengkap jika tidak menggunakan prasarana banten, mantra serta tirtha. Begitu pula dalam upakara Guru Piduka dan Bendu Piduka sebagai upaya menetralisasi pengaruh negatif yang disebabkan karena niskala.

Dalam lontar Dewa Tatwa disebutkan, bentuk bebantenan Guru Piduka secara sederhana, yakni Suci soroh, Sesayut pangambeyan salaran bebek dan ayam yang masih hidup. Tetegenan, sesantun, soda putih kuning, makembaran, sesayut dirgayusa gumi, dan dilengkapi Tatebasan Guru Piduka. Sedangkan untuk bebantenan Tatebasan Bendu Piduka,

tumpeng 1 , matatakan kulit sesayut iwaknia rerasmen, sudang, tulung 1, canang pawitra maraka jaja bendu, mwang woh wohan sampian nagasari. Tujuan mempersembahkan Tatebasan Bendu Piduka adalah sebagai bentuk permohonan maaf kepada Hyang Kawitan yang telah menurunkan kedukaan, dikarenakan keingkaran si penghuni rumah atau masyarakat yang menempati daerah tersebut. Uacara Bendu Piduka sering juga disebut banten paneduh pada waktu ‘meneduh’ di desa pakraman.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Ini Pernikahan Ideal Menurut Agama Hindu

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam kitab suci Weda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda menjelaskan,makna perkawinan juga tertulis jelas dalam Manawa Dharmasastra IX. Yang berbunyi:

“Anyonyasyawaya bhicaro ghaweamarnantikah

Esa dharmah samasenajneyah Stripumsayoh parah”

Artinya:

“Hendaknya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, Hal itu harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”

Perkawinan dalam Agama Hindu dianggap suci dan sakral. Lantas perkawinan seperti apa yang dianggap ideal dalam ajaran Agama Hindu? Dalam Kitab Manawa Dharmasastra III disebutkan ada empat bentuk perkawinan yang dapat dikatagorikan ideal yaitu:

· Brahma Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada laki – laki yang berkelakuan baik dan dapat mengerti ajaran Weda.

· Daiwa Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan menikahkan anak perempuannya dengan seorang pendeta yang biasa memimpin upacara keagamaan.

· Prajapatya Wiwaha : adalah bentuk perkawinan yang menyerahkan seorang putri dengan didahului restu dari sang ayah. Sang ayah biasanya memberikan restu, doa dan wejangan kepada kedua mempelai dan mengucapkan “Semoga kalian berdua dapat melaksanakan dharma dalam menjalani hidup”.

· Gandharva Wiwaha : Adalah bentuk perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan cinta sama cinta. Dimana pihak orang tua hanya mengetahui dan merestui dan tidak ikut campur dalam pernikahan tersebut.

“Tentu pada kenyataannya yang saat ini sering terjadi adalah Perkawinan Gandharva. Perkawinan yang terjadi karena sama sama cinta. Sudah jarang orang tua mau melakukan perjodohan kepada anaknya. Bahkan anak muda sekarang relatif lebih berani. Buktinya banyak yang isi duluan saking sama sama cintanya,” sindirnya.

(bx/tya/adi/yes/JPR) –sumber

Begini Alasan Sepulang dari Bepergian Disarankan Masuk Dapur Dulu

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Dapur dalam bahasa Bali disebut Paon atau Puwaregan ini, tak hanya menjadi tempat memasak. Namun, punya fungsi khusus menurut keyakinan Hindu.

Di Bali, dapur memiliki beberapa nama, yakni Pawaregan, Peratengan, dan Paon. Ketiga sebutan tersebut sangat lazim didengar telingan masyarakat Bali. Kata Pawaregan berasal dari kata wareg yang berarti kenyang (tidak lapar). Agar mampu terhindar dari rasa lapar, maka manusia harus makan, dan tempatnya adalah di dapur. Selanjutnya adalah Peratengan yang berasal dari kata matang yang artinya masak.

“Seperti diketahui bahwa aktivitas memasak untuk membuat olahan menjadi matang adalah di dapur,” ujar Budayawan Denpasar I Gede Anom Ranuara yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Denpasar Rabu (28/6/2017).

Lebih lanjut kata Anom, khusus untuk kata Paon adalah sebuah istilah yang paling sering didengar. Kata ini sesungguhnya berasal dari istilah Pa Abuan yang artinya tempat abu. Tentu dengan demikian sangat mengena dengan konsep memasak masyarakat Bali zaman dahulu. Di mana sebagian besar menggunakan bungut paon atau tempat memasak yang berasal dari batu bata atau tanah liat. Di bungut paon inilah nanti abu sisa pembakaran kayu bakar akan terkumpul, sehingga dikenal dengan sebutan paon.

Selain dikenal sebagai tempat untuk memasak, dapur di Bali memiliki banyak makna, baik untuk upacara agama maupun sebagai tempat penyucian diri. Hal tersebut dikaitkan dengan Dapur sebagai Stana Dewa Brahma. “Jadi, untuk memohon panglukatan kepada Dewa Brahma, masyarakat diharapkan memohon di pelangkiran dapur,” ujarnya.

Dalam lontar Wariga Krimping disebutkan bahwa, Dewi Saraswati yang merupakan sakti dari Dewa Brahma sebagai dewa yang memberikan penyucian diri. Ketika seseorang mengalami sebel atau cuntaka setelah melakukan upacara Pitra Yajna, dapat memohon panglukatan kepada Dewa Brahma di pelangkiran dapur.

Selain itu, dalam lontar Dharma Kahuripan dan lontar Puja Kalapati, dijelaskan bahwa bahwa tahapan upacara matatah disebutkan, dalam rangka magumi padangan, upacara ini juga di sebut masakapan kepawon dan dilaksanakan di dapur.

Dalam pertamanan tradisional Bali berlandaskan unsur satyam, siwam, sundaram, religi dan usada, juga disebutkan bahwa tanaman untuk keperluan dapur dan tanaman obat-obatan untuk keluarga (toga) biasanya ditanam di dekat dapur. Pohon kelor (Moringaoleivera L) sebagai penangkal dan menghancurkan kekuatan negatif. Tanaman buah-buahan sebaiknya ditanam di areal ‘teba’ (tegalan) dekat dapur atau di bagian luar natah lainnya.

Selain sebagai tempat memasak atau pun tempat makan, ternyata dapur juga menetralisasi ilmu hitam atau pun butha kala yang mengikuti sampai ke rumah. Pernyataan tersebut tertuang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi.

Oleh karena itu, anggota keluarga yang berpergian hendaknya mengunjungi dapur terlebih dahulu, sebelum ke bangunan utama rumah ketika sudah pulang atau datang dari luar.

Tak jarang di Bali muncul mitos bila penghuninya tidak ke dapur terlebih dahulu, ketika sampai di rumah, maka bhuta kala atau segala ilmu hitam mengikutinya sampai di dalam kamar. “Sampai akhirnya penghuni rumah tersebut mengalami perasaan tidak tenang (seperti dihantui) dan tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yan pasti,” tuturnya.

Hal tersebut menandakan bahwa jalanan juga dilalui oleh mahluk niskala (gaib). Namun, pada dasarnya manusia tidak semuanya dapat melihat mahluk gaib tersebut, karena hanya orang-orang tertentu yang memiliki indera keenam yang dapat melihatnya. Tidak jarang juga mahluk gaib itu mengikuti manusia ketika dalam perjalanan sampai ke rumah , sehingga perlu adanya upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Selain itu, beberapa upacara Yadnya di Bali sangat berkaitan erat dengan Puwaregan atau dapur, seperti Ngalukat Bobotan untuk melenyapkan atau melebur segala noda kotoran (leteh) suatu kandungan. Juga ritual Pangelepas Awon untuk bayi berumur 12 tahun. “Dengan banten pacolongan untuk upacara kambuhan untuk membebaskan dari pengaruh-pengaruh negatif tri mala.” katanya.

(bx/gus /yes/JPR) –sumber

Begini Makna di Balik Dua Patung di Setiap Pintu Gerbang Pura

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Jika hendak masuk ke tempat suci di Bali, tak jarang dua patung berwujud seram menyambut di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang. Dua patung ini umumnya memiliki ekspresi yang unik, yakni mata melotot, taring panjang dan tajam, namun dibarengi senyum tipis. Dan, salah satu lengannya memegang senjata berupa gada. Siapakah sebenarnya sosok makhluk ini?

Masyarakat Hindu di Bali tidak asing dengan keberadaan dua patung ini. Mereka berdua disebut Dwarapala, yakni sosok penjaga pintu gerbang. Ekspresinya yang seram menyimpan kesan ketegasan dan peringatan bagi siapa pun agar tidak sembarangan masuk ke tempat yang dimaksud. Namun demikian, senyumnya tetap menyiratkan keramahan.

Masing-masing dari patung ini bernama Nandiswara yang terletak di sebelah kanan (kiri pintu gerbang) dan Mahakala yang terletak di sebelah kiri (kanan pintu gerbang). Keberadaan keduanya dikaitkan dengan kekuatan Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan dalam Agama Hindu.

Berdasarkan pustaka Uttara Kandha, diceritakan ketika Dewa Indra bertapa di gunung Kailasa bersama para dewa lainnya, datanglah Rahwana untuk mengganggu. Dengan kehebatannya, Rahwana mengangkat Gunung Kailasa sehingga tapa para dewa menjadi gagal.

Saat yang sama, di gunung tersebut ada manusia dengan kepala seperti kera bernama Nandiswara. Nandiswara kemudian menekan gunung sehingga Rahwana terjepit dan kesakitan. Nandiswara bersedia mengampuni Rahwana, asal bersumpah kelak dirinya dikalahkan prajurit berkepala kera.

Berkenaan dengan itu, Dewa Indra berpesan, jika ingin mendapat kesucian, agar mendirikan Candi Kurung atau Kori Agung pada pintu masuk tempat suci dan pekarangan. Candi kurung atau kori agung adalah lambang Gunung Kailasa. Sementara Nandiswara diberikan pesan agar selalu menjaga orang-orang yang mencari kesucian, dengan wujud Dwarapala. Untuk mendampinginya, diwujudkanlah Mahakala.

Keberadaan sosok Dwarapala tidak hanya di Pulau Dewata, namun juga di tempat lain, yang dulunya merupakan pusat-pusat perkembangan ajaran Siwa-Buddha juga terdapat patung ini. Pulau Jawa misalnya. Tidak jarang ditemukan patung Dwarapala pada situs-situs peninggalan kerajaan yang menganut ajaran Siwa-Buddha pada masanya. Bahkan di Singasari, Malang, Jawa Timur, ditemukan pula patung Dwarapala dengan tinggi sekitar 3,7 meter. Selain itu, patung sejenis juga ditemukan di Keraton Yogyakarta, Kamboja, hingga Thailand. Meski sudah berusia ratusan tahun, namun patung-patung tersebut tetap berdiri kokoh.

Kembali ke Patung Dwarapala di Bali, pada hari suci tertentu, umat Hindu menghaturkan sesajen di depannya sebagai ucapan terima kasih kepada sosok penjaga tersebut. Meski terkadang tidak ada patungnya, namun masyarakat Bali biasanya menyediakan kolong di bagian depan sebelah kanan dan kiri gerbang untuk meletakkan sesajen bagi Sang Nandiswara dan Mahakala.

Sementara pada Lontar Widhi Tattwa dan Bhuana Kosa juga disebutkan terkait keberadaan Dwarapala sebagai pancaran kekuatan Tuhan Yang Maha Esa, yakni dinamakan Sang Hyang Panca Kala sebagai penjaga alam semesta. Dalam miniaturnya, konsep ini ditanamkan di pekarangan tempat suci atau rumah. Di sebelah kanan gerbang dinamakan Sang Maha Kala, Sebelah kiri Sang Adi Kala, tepat di pintu masuk Sang Kala, di depan pintu Sang Sunia Kala, dan pada aling-aling Sang Dora Kala.

Menurut Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M.Fil.H, keberadaan sosok Dwarapala ini memang akrab dengan kehidupan umat Hindu di Bali. Tak hanya di tempat suci, namun terkadang beberapa rumah juga memajang patung Dwarapala di sebelah kanan dan kiri gerbang. “Tentunya patung ini bukan sekadar pajangan. Namun seperti yang kita tahu, senantiasa ada makna di balik benda-benda yang dibuat dan diletakkan oleh umat Hindu di Bali. Apalagi patung ini yang kerap ditemui di pintu masuk tempat suci,” ujarnya.

Selain mitologi yang berkaitan dengan sosok penjaga pintu masuk, Dwarapala dikatakannya merupakan cerminan manusia yang hendak masuk ke tempat suci. Dari raut muka Dwarapala, manusia dikatakannya diingatkan untuk mengintrospeksi diri sebelum masuk ke pura, sanggah merajan, atau bertamu ke rumha orang. “Jadi, patung tersebut ibaratnya cerminan bagi kita. Sebelum masuk ke tempat suci, hendaknya mengintrospkesi diri. Apakah kita sudah membersihkan diri, pikiran, perkataan, maupun tindakan. Artinya, begitu masuk tempat suci, kita harus melepaskan sifat-sifat keraksasaan kita,” terangnya.

Lebih lanjut, kata pria yang akrab disapa Jro Dalang Nabe Roby ini, patung tersebut hendaknya memang dihormati dan bisa diberikan sesajen. Namun perlu diingat, konsentrasi umat bukan kepada wujud fisik patung tersebut, melainkan makna ketuhanan di balik sosok patung tersebut. Dalam hal ini, kekuatan Tuhan sebagai penjaga dunia. “Jadi, seperti arca atau patung lainnya, konsentrasi kita adalah tetap kepada kemahakuasaan Tuhan yang salah satu kekuatan-Nya disimbolkan berbentuk sosok penjaga. Ini yang penting,” tegas dosen IHDN Denpasar tersebut.

Sementara, kini di depan pintu gerbang rumah umat Hindu di Bali tak jarang dipasang patung berupa tokoh pewayangan seperti Sangut-Delem, Tualen-Merdah, atau binatang tertentu seperti singa, macan, bahkan anjing. Hal itu menurutnya tentu memiliki makna yang tak jauh berbeda. Sangut-Delem dan Merdah-Tualen adalah simbol rwabhineda atau dua hal berlainan yang tak dapat dipisahkan. Misalnya, baik-buruk, benar-salah, langit-bumi, positif-negatif, dan sebagainya.

Selain itu, mereka ada sosok parekan atau abdi yang biasa menjaga dan mendampingi tokoh-tokoh kerajaan. Sedangkan patung berbentuk binatang tentunya juga memiliki makna sebagai sosok penjaga. Dengan demikian, diharapkan si pemilik lebih terlihat berwibawa dan keadaan rumah senantiasa aman.

(bx/adi/yes/JPR) –sumber

Janger, Kesederhanaan dalam Seni Kerakyatan

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam kesenian hal terpenting bukanlah kemegahan ataupun kemewahan, karena berkesenian tersebut perlu kesederhanaan. Terlebih dalam kesenian tari janger meerupakan seni kerakyatan yang sederhana. Hal tersebut terungkap saat pengamat seni, Prof.Dr. I Made Mandem, MA usai menyaksikan pementasan janger dari SMKN Bali Mandara dan SMKN 3 Sukawati di kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar Sabtu malam (28/4).

Pementasan janger tersebut terkait dengan Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya III. “SMK Negeri Bali Mandara memang lebih sederhana, tetapi banyak kreasi lagu yang ditampilkan. Kalau mereka tampil lagi mereka bisa mengambil elemen janger dari menyali sehingga ada style atau gaya khusus,” tandas Bandem.

Sedangkan pada penampilan janger SMKN 3 Sukawati tak kalah apik dibandingkan penampilan SMKN Bali Mandara. “Untuk SMK 3, Potensi anak-anaknya semua kuat, komposisi apik dan energi yang prima. Namun dalam seni kerakyatan perlu kesederhanaan,” tuturnya. Pada intinya, menurut Bandem, bahwa kedua sekolah kejuruan ini sama-sama memiliki ciri khas untuk sebuah seni pertunjukan.

Meski demikian tidak serta-merta membuat Kepala SMK Negeri Bali Mandara, I Wayan Agustiana, S.Pd., M.Pd. besar kepala. Namun, Agustiana pun merendah. Ia mengaku belum maksimal seperti diharapkan, itu semua karena keterbatasan waktu persiapan. Walau begitu siswa-siswa dan guru tetap semangat mencoba tampil baik saat pentas janger. Menurut Agustiana kehidupan sehari-hari anak didiknya yang tinggal di asrama menjadi inspirasi dalam penggarapan janger tersebut.

“Sehari-hari mereka hidup di asrama, kehidupan berasrama ada asmara, cemberut, suka cita dan inilah yang ditangkap pembina sehingga jadilah garapan ini,” papar Agustiana.

Garapan jangernya tersebut berjudul Gitaning Den Bukit, menceritakan kehidupan remaja yang bernanung di Kabupaten Buleleng. Sejumlah empat lagu baru menjadi pengiring janger kreasi 12 pasang penari janger. “Dalam garapan ini kami mengajak generasi muda Bali untuk siap mengahadapi perubahan global ini,” imbuhnya.

Kepala SMKN 3 Sukawati, I Gusti Ngurah Serama Semadi mengatakan ide garapan anak didiknya juga berdasarkan kehidupan sehari-hari remaja. “Yohana Jayantika, kemenangan seorang remaja. Jadi sebagai remaja jangan melempem, harus semangat dan kreatif dalam menggali sesuatu,” tegas Serama.

(bx/ade/yes/JPR) –sumber

Pura Dalem Segara, Ada di Tengah Laut, Munculnya Saat Purnama Kapat

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Purnama kapat, yang kali ini jatuh pada Sabtu (15/10/2016) menjadi hal yang spesial bagi pengempon Pura Dalem Segara di Pantai Karang, Sanur. Pasalnya, pada saat purnama kapat itulah, Pura yang ada di laut tersebut muncul. Dan, munculnya pun saat dini hari, antara pukul 02.00 hingga 05.00.

Saat prosesi tersebut, angin laut berhembus sangat kencang. Maklum, hari sudah lewat tengah malam. Meski dingin menyelimuti pesisir Pantai Karang, tak mengurangi semangat pemedek untuk melaksanakan ritual ngaro di Pura Dalem Segara.

Ritual ngaro yang dilaksanakan ini memiliki keunikan tersendiri. Pasalnya mulai dari persiapan upacara dan bahan yang dipergunakan harus dipersiapkan saat matahari mulai tenggelam. Sehingga seluruh banten yang digunakan masih segar.

Seperti apa upacara ngaro yang diselenggarakan setahun sekali ini? Menurut Pengempon Pura dalem Segara, Nyoman Sunarta, ngaro ini adalah ritual yang diselenggarakan setahun sekali setiap Purnama Kapat (atau Purnama bulan keempat pada sistem Kalender Bali, Red).

“Ritual ngaro ini sering disebut sebagai piodalan di Pura Dalem Segara. Pura Dalem Segara ini adalah Pura Dalem yang terletak di tengah Samudra dan akan terlihat ketika air surut, dan puncak surutnya adalah ketika Purnama Kapat, sehingga saat itulah diselenggarakan upacara ngaro,” jelasnya.

Adapun makna dari ritual ngaro ini disebutkan Sunarta adalah suatu bentuk ungkapan rasa terima kasih warga Madura yang ada di Sanur kepada Dewa Baruna sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widi sebagai penguasa lautan atau samudera.

Untuk asal usul dari ritual ngaro ini sendiri dikatakan Sunarta tidak terlepas dari perjalanan Mpu Baradah dan Sang Hyang Yogi Swara ke Bali sehingga menurunkan warga Madura di Desa Sanur.

Dijelaskan, Sang Hyang Yogi Swara datang ke Bali sekitar abad ke-10 dengan tujuan untuk menyelamatkan bumi Nusantara. Karena pada masa tersebut Kerajaan Singasari sudah runtuh.

Dalam perjalannya ini, tibalah Sang Hyang Yogi Swara di sisi timur Kota Denpasar dan mendapati sebuat kawasan rawa-rawa yang luas. Sementara Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke barat dan membangun beberapa pura di wilayah barat Desa Sanur. Sedangkan Hyang Yogoi Swara melakukan Tapa Semadi di tengah lautan.

Setelah melakukan tapa semedi tersebut, akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu BAradah bertemu. Tempat pertemuan itulah yang disebut dengan Madura yang beradal dari dua kata yakni Madu yang artinya bertemu dan Ara yang artinya ari. Jadi Madura ini berarti pertemuan daratan dan air laut. “Sehingga rawa-rawa tempat pertemuan tersebut disebut sebagai wilayah Madura dan keturunan Hyang Yogi Swara di tempat tersebut disebut dengan Warga Madura. Dan sampai sekarang tempat wilayah ini disebut dengan Banjar Madura,” ungkapnya.

Setelah memiliki wilayah dan memiliki keturunan ini, maka Hyang Yogi Swara memerintahkan kepada keturunannya untuk membuat suatu persembahan bagi Sang Hyang Baruna dan dihaturkan di tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi ketika air laut surut. Selanjutnya ritual menghaturkan persembahan tersebut disebut dengan nama ngaro.

Adapun bentuk persembahan yang dihaturkan ketika upacara ngaro ini berupa banten sederhana yang terdiri dari buah-buahan dan dua jenis bubur. Yakni bubur merah dan bubur putih. Seluruh perlengkapan upacara ini dikatakan Sunarta dipersiapkan pada malam hari sebelum upacara ngaro dilaksanakan.

“Untuk buah-buahan yang digunakan adalah buah lokal. Termasuk juga bunga yang digunakan adalah bunga jepun putih dan bunga jepun merah,” paparnya.

Hal ini menurut Sunarta untuk menjaga nilai kesucian dari bahan baku dan proses yang digunakan dalam pembuatan sesajen untuk upacara ngaro. Selain bahan baku yang digunakan dipersiapkan pada malam harinya, seluruh proses pembuatannya juga tidak menggunakan teknologi modern.

Seperti dalam membuat tepung. Beras yang digunakan harus ditepung dengan lumpang dan proses memasaknya pun harus menggunakan kayu bakar. Selain itu proses pembuatannya juga tidak boleh dikerjakan oleh orang yang sedang cuntaka ataupun ibu menyusui. Karena bisa mengurangi nilai spiritual dari bebantenan tesebut.

Setelah banten selesai dibuat, selanjutnya banten dibawa ke Segara dan seharusnya upacara ngaro dilakukan tanpa mengunakan penerangan dari lampu. Karena ketika upacara ngaro berlangsung sinar bulan dikatakan Sunarta sedang menyinari bumi dengan maksimal, karena posisi bulan tepat berada di atas Katulistiwa.

Upacara Ngaro ini diselenggarakan sekitar pukul 02.00 dini hari dan berakhir pada pukul 05.00 pagi, ini karena menjelang pagi air laut sudah mulai pasang dan lokasi Pura sudah mulai tertutup air. “Sehingga waktu untuk menyelenggarakan upacara cukup singkat,” tambahnya.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber

Ini Sejarah Tradisi Ngaro Warga Madura Sanur di Pura Tengah Laut

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Beragam tradisi keagamaan dilakukan turun temurun oleh umat Hingu di Bali, sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Tradisi Ngaro misalnya, yang dilaksanakan di lautan oleh warga Madura.

Tradisi Ngaro yang digelar warga Madura di Desa Sanur ini, dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat, Jumat (15/10/2016) lalu di Pura Dalem Segara. Sesuai dengan namanya, Pura Dalem Segara memang berada di lautan, yakni sekitar 150 meter dari bibir pantai. Jika air laut pasang, kawasan yang disucikan tersebut seperti ditelan lautan.

Menurut Pangempon Pura Dalem Segara, Nyoman Sunarta, tradisi Ngaro yang dilaksanakan warga Madura yang tinggal di Desa Sanur ini, merupakan tradisi yang sudah diselenggarakan secara turun temurun dari leluhur warga Madura sebelumnya. “Tradisi Ngaro yang diselenggarakan pada Purnama Kapat ini sudah diselenggarakansejak abad ke-10 silam, sebagai ungkapan terima kasih leluhur kami kepada Dewa Baruna sebagai penguasa Samudra,” jelas Sunarta.

Dikatakan Sunarta, sejarah dari tradisi Ngaro ini erat kaitannya dengan perjalanan tokoh suci Mpu Baradah dan Hyang Yogi Swara ke Pulau Bali. Ketika runtuhnya Kerajaan Singasari pada abad ke -10 lalu, kondisi keamanan dan wilayah di Kerajaan Singasari sangat kacau, sehingga Sang Hyang Yogi Swara yang merupakan seorang pendeta kerajaan bersama dengan Mpu Baradah memutuskan untuk berlayar ke wilayah timur Pulau Jawa. Setelah menyeberangi Pulau Jawa, akhirnya Mpu Baradah dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di sisi utara Pulau Bali. Di tempat pertama kalinya berlabuh itu, Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Beradah mendirikan tempat pemujaan yang akhirnya dinamai Pura Dalem Sari yang terletak di Bukit Gondol, Singaraja. “Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan ke arah Timur dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di Tulamben dan di tempat ini juga mendirikan pura dengan nama Pura Manik Sakti di Tulamben,” paparnya.

Setelah beberapa lama tinggal di Tulamben akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke arah barat melalui samudera, hingga sampailah di Kawasan Sanur. Sesampainya di Desa Sanur ini, Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi di tengah lautan di Sanur. Sedangkan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke daratan dan mendirikan banyak pura di wilayah Sanur dan Kabuparen Badung, hingga akhirnya juga mendirikan sebuah Pura, yakni Pura Dalem Madura di Desa Cemagi, Kabupaten Badung.

Setelah melakukan tapa semedi, akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah bertemu lagi. Tempat pertemuan itulah yang disebut dengan Madura yang beradal dari dua kata, yakni “Madu” yang artinya bertemu dan “Ara” yang artinya ari. Jadi, Madura ini berarti pertemuan daratan dan air laut. “Sehingga rawa-rawa tempat pertemuan tersebut disebut sebagai wilayah Madura dan keturunan Hyang Yogi Swara di tempat tersebut disebut dengan warga Madura, dan sampai sekarang tempat wilayah ini disebut dengan Banjar Madura,” ungkapnya.

Setelah memiliki wilayah dan akhirnya punya keturunan, Sang Hyang Yogi Swara memerintahkan kepada keturunannya untuk membuat suatu persembahan bagi Sang Hyang Baruna dan dihaturkan di tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi ketika air laut surut. Selanjutny, ritual menghaturkan persembahan tersebut disebut dengan nama Ngaro. Sedangkan tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan pemujaan di tengah segara dijadikan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Baruna. Dan, hingga saat ini tempat tersebut dinamai sebagai Pura Dalem Segara, dan secara turun temurun tempat tersebut digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual Ngaro setiap Purnama Kapat. Adapun bentuk persembahan yang dihaturkan ketika upacara Ngaro adalah banten sederhana yang terdiri dari buah-buahan dan dua jenis bubur, yakni bubur merah dan bubur putih. Seluruh perlengkapan upacara ini, lanjut Sunarta, dipersiapkan pada malam hari sebelum upacara Ngaro dilaksanakan. “Untuk buah-buahan yang digunakan adalah buah lokal, termasuk juga bunga yang digunakan adalah bunga jepun putih dan bunga jepun merah,” paparnya. Hal ini menurut Sunarta untuk menjaga nilai kesucian dari bahan baku dan proses yang digunakan dalam pembuatan sesajen untuk upacara Ngaro. Selain bahan baku yang digunakan dipersiapkan pada malam harinya, seluruh proses pembuatannya juga tidak menggunakan teknologi modern. Seperti membuat tepung, beras yang digunakan harus ditepung dengan lumpang dan proses memasaknyapun harus mengunakan kayu bakar. Setelah banten selesai dibuat, selanjutnya banten dibawa ke segara (laut). Saat upacara Ngaro dilakukan, tanpa perlu mengunakan penerangan dari lampu, karena ketika upacara Ngaro, sinar bulan menyinari bumi dengan maksimal, karena posisi bulan tepat berada di atas katulistiwa.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber


Bayi Rentan Diganggu Makhluk Halus, Ini Alasan dan Solusinya

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Menjaga bayi adalah pekerjaan yang gampang-gampang sulit. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dan ketelatenan. Meski demikian, terkadang sebagai pengasuh, terutama orang tua, bisa saja mengalami hal yang membingungkan. Misalnya bayi tiba-tiba menangis tak wajar pada jam-jam tertentu, khususnya tengah malam. Ketika dicek secara medis, ternyata si bayi sehat walafiat. Namun, tetap saja setiap malam si bayi menangis tidak karuan, seperti ketakutan. Bagaimana cara menangkalnya?

Sebagai masyarakat nusantara, khususnya Bali, fenomena semacam itu tak jarang dialami keluarga yang baru dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, bayi orang Bali diperlakukan dengan sangat ketat, terutama dari segi ritual. Perlakuan bayi, ari-ari, dan sang ibu yang baru melahirkan, sangat spesial.

Salah satu akademisi Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr. I Made Adi Surya Pradnya atau yang populer dengan nama Jro Dalang Nabe Roby, tak menampik ada kepercayaan masyarakat Bali terhadap fenomena gaib yang terjadi pada bayi. Masyarakat Bali yang lekat dengan budaya religius magis, kata dia, percaya jika bayi rawan diganggu oleh makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam.

“Dalam Kanda Pat Rare, bayi disebut orang yang masih suci. Jadi, orang yang masih suci menjadi ‘makanan empuk’ dari orang-orang yang mengamalkan ilmu gaib secara negatif,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (30/5/2017) lalu.

Konon, makhluk halus atau orang yang mengamalkan ilmu hitam, lanjutnya, mencium aroma bayi yang baru lahir seperti masakan yang lezat. “Jadi, baunya sangat enak, seperti masakan,” ungkapnya.

Berkenaan dengan hal itu, bayi menurutnya harus mendapat perlakuan ekstra, tak hanya secara medis, juga secara ritual. Tak hanya si bayi, namun berdasarkan ajaran Kanda Pat, seorang lahir ke dunia bersama Catur Sanak atau empat orang saudara. Yang paling tua berwujud fisik yeh nyom (air ketuban) dan dinamakan Anggapati. Kedua berwujud fisik getih (darah) dengan nama Mrajapati. Ketiga berwujud fisik ari-ari (plasenta) dengan nama Banaspati. Sedangkan yang keempat berwujud fisik lamas (lapisan lemak yang membungkus janin) dengan nama Banaspati Raja. Keempat saudara inilah yang dipercaya menemani dan menjaga manusia selama hidupnya, meski kelak tak ada lagi wujud fisiknya, sehingga harus diperlakukan dengan hati-hati.

Salah satu yang biasanya dibawa pulang ke rumah dan dikubur di pekarangan adalah ari-ari. Ari-ari tersebut pun tak sekadar dikubur, namun diberikan ritual dan dijaga dengan berbagai benda, seperti ditutup dengan batu, diberi pandan berduri, dan ditutup dengan keranjang. Bahkan, setiap hari diberikan sesajen dan diberikan penerangan berupa lampu minyak. “Menjaga Sang Catur Sanak ini penting, karena untuk menyerang si bayi, bisa saja melalui nyama patnya,” jelas doktor termuda IHDN tersebut.

Selain itu, biasanya distanakan pula Sang Hyang Kumara di pelangkiran. Seperti yang tercantum dalam mitologi, Sang Hyang Kumara atau Sang Hyang Rare Kumara adalah putra Dewa Siwa yang bertugas menjaga bayi.

Nah, jika segala perlakuan secara medis maupun ritual telah dilaksanakan, namun si bayi menangis setiap sandi kala (pergantian waktu), khususnya pada sore hari menjelang malam atau pada tengah malam, maka tidak menutup kemungkinan ada hal gaib yang mengganggu.

“Bayinya sehat, mengapa menangis terus. Padahal, susu juga sudah diberikan, ternyata tetap menangis. Pasti ada faktor lain,” ujarnya.

Dengan demikian, Jro Dalang Nabe Roby mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Sang Hyang Rare Kumara setiap hari harus dibantenin (diberikan sesajen) dan diisi mainan. Demikian pula ari-arinya. “Apabila si bayi masih menangis setiap jam 12 malam, maka perlu dibuatkan segehan kepelan berisi nasi wong-wongan yang dihaturkan di bawah tempat tidur si bayi. Itu dihaturkan sebagai upah, agar tidak si bayi yang diganggu,” paparnya.

Selanjutnya, ia mengatakan, ada cara lainnya, yakni dengan air klebutan atau air yang diambil dari mata air langsung atau sumur. Selanjutnya air tersebut dilemparkan ke atap dapur dan air yang jatuh ditadah dengan kukusan dan diwadahi panci tanah liat.

“Air tersebut kemudian dipercikkan sebagai tirtha kepada bayi. Itu panugerahan Brahma Geni. Jadi, itu yang dipakai ngeseng (membakar) energi negatif,” jelasnya.

Selain itu, Jro Dalang mengatakan, perlu juga pengecekan pekarangan. “Sebelum bayi dibawa ke rumah, rumah harus dibersihkan dahulu. Terutama di panunggun karang, harus ngatur piuning dan menyampaikan bahwa akan ada anak kecil di rumah itu dan agar ikut menjaga,” bebernya.

Dari semua itu, ia menegaskan, yang paling penting untuk menenangkan bayi adalah sentuhan dan pelukan seorang ibu. Tidak bisa dipungkiri, antara bayi dan ibu ada ikatan jiwa dan emosional yang sangat kuat. “Jadi, sentuhan dan pelukan seorang ibu sangatlah penting,” tandasnya.

(bx/adi/yes/JPR) –sumber

Begini Makna Suara Tetimpug Saat Pawiwahan

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam rangkaian upacara Pawiwahan (Pernikahan) adat Hindu, ada tiga buah bambu yang dibakar hingga meletup yang disebut Tetimpugan. Sejatinya, apa makna dan fungsi Tetimpugan?

Pernikahan merupakan saat – saat yang paling dinanti. Fase Grahasta dalam ajaran Catur Asrama ini haruslah dilaksanakan sesuai tata cara yang benar. Itulah sebabnya, upacara Madengen-dengen atau Makala-kalaan yang memiliki makna dan tujuan ‘membersihkan dan menyucikan’ merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara pernikahan adat Bali. Dalam rangkaian upacara Pawiwahan terdapat tiga buah bambu yang dibakar dan meletup yang disebut Tetimpugan.

Tetimpug merupakan sarana yang juga dipergunakan dalam upacara Makala-kalaan.

Pemangku asal Desa Keramas, Jero Mangku Made Puspa, mengatakan, Tetimpugan erat kaitannya dengan Bhatara Brahma yang disimbolkan sebagai api. “Sarana yang digunakan untuk memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma dalam upacara yadnya umumnya disimbolkan dengan bambu tiga batang yang dibakar dengan api danyuh kelapa,” ujar Mangku Made Puspa.

Dikatakannya, Tetimpug umumnya berupa tiga buah bumbu mentah yang masih ada kedua ruasnya. Lalu diberi minyak kelapa kemudian diberi sasap yang terbuat dari janur. Biasanya bambu ini, akan dibakar sebelum memulai upacara, sehingga terdengar bunyi letusan tiga kali.

“Di Gianyar, dalam rangkaian upacara Pawiwahan, membunyikan Tetimpugan justru merupakan saat yang ditunggu – tunggu. Konon, katanya jika Tetimpugan itu berbunyi lebih dari tiga kali, maka pasangan tersebut akan dikaruniai banyak anak. Jika kurang dari tiga kali letupan, kami khawatir mungkin ada kekurangan dalam bantennya,” ujar Jero Mangku Made Puspa.

Dalam upacara Bykala (wiwaha), lanjutnya, sudah terkandung tiga macam saksi yang dikenal dengan istilah Tri Upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi, dan Bhuta Saksi. Dewa Saksi adalah saksi Dewa ( Ida Hyang Widhi Wasa) yang dimohonkan untuk menyaksikan Pawiwahan tersebut. Manusa Saksi adalah semua orang yang datang menghadiri Pawiwahan tersebut dapat dikatakan sebagai saksi, utamanya Bendesa, Kelian Dinas, pemangku yang muput upacara tersebut dan lainnya. Saksi dari para Bhutakala disebut dengan Bhuta Saksi.

Tetimpugan dikatakan sebagai rangkaian dari Bhuta Saksi. “Kita membakar Tetimpug, sehingga menimbulkan suara letupan. Suara letupan tersebut merupakan simbol untuk memanggil Bhutakala agar hadir pada upacara tersebut. Kemudian diberikan suguhan supaya tidak menggangu jalannya upacara,” ungkap Jero Mangku Made Puspa.

Ditegaskannya, perkawinan di Bali dianggap belum sah, jika tidak disaksikan oleh Tri Upasaksi.

Dalam Wiwaha Samsara, Tri Upasaksi adalah tiga saksi yang dihadirkan untuk menyaksikan rangkaian upacara Pawiwahan, yaitu Dewa Saksi, Manusia Saksi, dan Bhuta Saksi.

Dewa saksi biasanya dalam bentuk upakara dan bebantenan. “Dewa saksi, meliputi upakara dan upacara perkawinan kedua mempelai, yang dipuput oleh pedanda,” ujarnya. Sedangkan Manusia Saksi umumnya diwakilkan oleh bendesa adat serta prajuru desa. “Bhuta Saksi biasanya disimbolkan dengan upacara yang dibuatkan untuk kedua mempelai, sebagai wujud menetralisasi Sapta Timira,” tandasnya.

Ditambahkannya, dalam Wiwaha Samskara disebutkan, Tetimpug berfungsi sebagai alat komunikasi, baik niskala maupun sakala. Secara niskala, Tetimpug berfungsi untuk memberitahukan Bhutakala yang akan mendapat persembahan, bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai. Secara sekala, Tetimpug juga mempunyai fungsi untuk memberitahukan kepada warga sekitar bahwa upacara Makala-kalaan segera dimulai.

Tetimpug tidak hanya digunakan dalam upacara pernikahan, tetapi juga digunakan dalam rangkaian upacara lain, seperti Padudusan, Pacaruan Rsi Gana, Labuh Gentuh, dan pacaruan lainnya. “Tetimpugan itu fungsinya sangat vital. Bahkan, dalam berbagai kegiatan upakara, Tetimpugan sering digunakan. Ngodalin, Macaru pasti ada Tetimpug,” ungkapnya.

Pemangku Pura Masceti ini mengungkapkan, baiknya menggunakan bambu dengan jumlah ganjil. “Seharusnya berjumlah ganjil, di mana ruas bambu yang berjumlah ganjil juga. Tiga buah bambu Tetimpug melambangkan Tri Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina,” terangnya. Jika yang menggunakan lima buah Tetimpug, upacara caru tersebut sudah berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut melambangkan Panca Mahabhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa.

Diakuinya, penjelasan Tetimpug seringkali berbeda – beda, sesuai desa kala patranya. “Jika di daerah Ubud, Tetimpug dikatakan sebagai sarana untuk mengundang kekuatan sebagai pelaksana sebuah upacara yadnya,” paparnya.

Konon, tetimpug menjadi sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. “Jika Tetimpug tidak bersuara, maka kala itu tidak datang. Begitu juga sebaliknya, jika bersuara, kala itu datang dan merasa terpanggil,” tandasnya.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Tanya Jawab Pelaksanaan Tri Sandya

$
0
0

Om Swastiastu
PERTANYAAN:

1. Apa dasar pelaksanaan Tri Sandhya itu? Apakah langsung dari Weda, lontar, atau apapun itu yang tersurat atau tersirat mohon diinformasikan. Dan disampaikan juga kepada saya sumber yang menyatakan untuk melaksanakan Tri Sandhya tersebut.
2. Waktu Pelaksanaan Tri Sandhya sebaiknya jam berapa saja?
3. Tata cara pelaksanaan Tri Sandhya? Apakah setiap saya akan Tri Sandhya harus mandi dulu. Bagaimana pakaian yang dianjurkan? Apakah harus menggunakan “senteng”?
4. Bagaimana jika saya berada di Kantor, di mana saya harus melaksanakan Tri Sandhya? Kalo di rumah, Tri Sandhya dilakukan di mana sebaiknya: Kamar Tidur (di atas tempat tidur), kamar suci tersendiri, di Merajan, Depan Plangkiran.
5. Apakah wajib pake dupa?
6. Seandainya saya tidak melaksanakan Tri Sandhya pada siang hari, apakah bisa dirapel pada sore harinya?

JAWABAN:

1. Puja Trisandya disusun di Bali pasca G-30-S (1967) oleh beberapa tokoh/ pemuka agama antara lain:

I Gst Bagus Sugriwa (alm)
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm)
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (alm)
I Ketut Bangbang Gde Rawi (alm)

dengan mengambil sumber dari: Gayatri Mantram (bait 1), Narayana Upanisad (bait 2), Weda Parikrama (bait 3,4), dan Lontar Siwa Tattwa Purana (bait 5,6).

Oleh karena berbentuk campuran antara beberapa mantram Weda dan Wedangga, maka disebut “Puja”.

Puja Trisandya dianjurkan ke masyarakat untuk meningkatkan srada yang ketika itu sedang porak-poranda oleh gerakan komunis. Maka mulailah didengungkan ke sekolah-sekolah, Pura, dll. Kini sudah memasyarakat.

2. Tidak ada ketentuan jam, hanya berdasarkan “dauh” yakni, pagi: antara jam 05.30 – jam 6.30, siang: 11.30 – 12.30, malam: 17.30 – 18.30

3. Tata cara pelaksanaan Tri Sandhya

Cuci kaki, tangan, muka, kumur-kumur, dengan mantram-mantram (lihat website saya: Doa Sehari-hari Menurut Hindu).
Kalau di rumah/ Pura berpakaian adat (untuk etnis Bali), kalau di tempat lain, menurut keadaan.

4. Di Kantor, cari tempat yang tenang. Sedang di perjalanan, sikap duduk biasa, ucapkan dalam hati atau kalau mungkin boleh bersuara

5. Kalau memungkinkan bagus, kalau tidak nggak apa-apa tanpa dupa

6. Boleh. Keleluasaan itu mungkin mengherankan dan berbeda menurut ajaran agama lain. Ini karena Hindu bukanlah “agama doktrin” tetapi Hindu itu agama yang sangat toleran dan fleksibel.

Om Santih, Santih, Santih, Om –sumber

Pura Campuhan Windhu Segara, Padukan Beragam Aliran untuk Lebur Mala

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pura Campuhan Windhu Segara, salah satu pura unik yang ada di Denpasar. Kawasan suci yang berlokasi di pinggir Pantai Padang Galak, Sanur ini, merupakan perpaduan dari beragam kultur dan aliran kepercayaan yang menyatu dalam satu tempat persembahyangan. Kenapa belakangan begitu mencuat namanya?

Pura Campuhan Windhu Segara diyakini sebagai tempat bagus untuk Malukat (membersihkan fisik dan nonfisik) dan memohon rezeki. Tak hanya pada hari tertentu, bahkan hampir setiap hari tempat ini penuh dipadati pamedek yang ingin sembahyang dan Malukat. Walaupun keberadaan pura ini tergolong cukup baru ( mulai dibangun 7 Juli 2005), namun tempat Malukat ini cepat dikenal. Mengapa begitu populer? Pemangku sekaligus pendiri pura, Jro Mangku Gede Alit Adnyana memaparkan, pura ini memadukan berbagai kultur aliran, seperti siwa dengan linggamnya, ada juga patirtaan Dewi Subadra dan palinggihan Dewi Nyai Roro Kidul.

“Mungkin karena menjadi perpaduan dari beragam aliran dan budaya itu, yang membuat banyak masyarakat yang tertarik,” papar Jro Mangku Adnyana kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Pura Campuhan ini terletak di tepi Pantai Padang Galak, karena campuhan sendiri berarti campuran. Campuran yang dimaksud adalah campuran atau pertemuan antara air laut dan sungai. Begitu juga dengan Pura Campuhan Windhu Segara yang lokasinya ada di pinggir pertemuan antara air laut Padang Galak dan air tawar yang mengalir dari aliran Sungai Ayung yang populer dengan atraksi rafting atau arung jeram.

Dikatakannya, pura ini berawal dari kisah dari seorang pemangku yang bernama Jro Mangku Gede Alit Adnyana, yang sempat menderita panyakit gagal ginjal. Upaya untuk berobat sudah dilakukan ke berbagai daerah, dan telah dilakukan dengan beragam cara. Namun, sakitnya tak kunjung sembuh, bahkan sempat putus asa dan pasrah.

Pemangku yang memiliki nama lain sebagai Mahaguru Hatria Narayanam ini, mengatakan,
pembangunan pura ini terjadi secara tidak sengaja, berawal saat ia mengalami putus asa akan kehidupannya.

Suatu ketika, Jro Mangku Adnyana menemukan sebatang kayu di pinggir Pantai Padang Galak, dan anehnya kayu tersebut mengeluarkan asap. Ia berkeyakinan api tersebut pertanda akan kebesaran Tuhan.

Setelah kejadian itu, ia juga mendapat pewisik (petunjuk gaib) untuk membangun parahyangan Ida Bhatara di tempat kayu tersebut ditemukan. “Saya berusaha untuk menyanggupi dan ajaibnya penyakit saya sembuh,” paparnya. Tempat ditemukan kayu tersebut kini digunakan sebagai tegak (tempat) mendirikan palinggih.

Setelah melalui perjuangan panjang, pada 7 Juli 2005 Pura Campuhan Windhu Segara akhirnya mulai dibangun. Dukungan dari berbagai pihak mengalir. Tidak hanya dari umat Hindu saja yang berpartisipasi, umat agama lain, seperti umat Islam, Budha dan Kristen turut memberikan sumbangan, sebagai wujud tolerenasi beragama .

“Nah di situ letak keunikannya. Selain pencampuran antara air laut dan air sungai, dan juga perpaduan kultur, di sini juga bebas dalam perpaduan keyakinan. Siapa saja boleh datang untuk malukat dan sembahyang. Yang penting mereka percaya. Siapapun di terima, tanpa harus membawa banten apa pun,” ujarnya.

Memang benar, tak hanya masyarakat lokal Bali yang memadati pura tersebut, masyarakat luar daerah serta tamu mancanegara pun datang untuk Malukat serta sembahyang.

Hal senada dipaparkan Rusmini, warga Klaten, Jawa Tengah ini datang untuk nyekar di Palinggih Nyai Roro Kidul yang terdapat di Pura Campuhan Windhu Segara.

Pura Campuhan Windhu Segara ini akhirnya dibuatkan prasasti, berisi tanggal berdiri pura, 7 Juli 2005 oleh Mahaguru Altreya Narayana yang sekaligus sebagai pangawit. Dan, selanjutnya diresmikan 9 September 2016 oleh Gubernur Bali I Made Mangku Pastika dan diketahui juga oleh Ida Dalem Semaraputra sebagai wakil dari Puri Klungkung. Adapun palinggih yang ada di kawasan Pura Campuhan Windhu Segara adalah Palinggih Betara Wisnu, Padmasana, Rambut Sedana, Kanjeng Ratu, Dewi Kwam In, Pusering Jagat, Panglukatan, Ratu Bagus Padang Galak, Ratu Manik Segara, Ratu Gede Dalem Ped, Siwa Budha, Taksu Agung, Hyang Baruna, Tajuk Kiwa dan Tengen.

Selain pujawali ataupun piodalan di Pura Campuhan Windhu Segara, dilakukan juga beberapa upacara unik seperti masakapan pasih untuk merayakan pertemuan antara air laut dan air sungai. Selain itu, juga ada upacara matatah, seperti halnya upacara yang dilakukan kepada manusia.

“Sebenarnya tirta panglukatan di sini fungsinya sebagai tirta pangleburan mala. Biasanya buang sial, kekotoran dalam diri. Namun itu kembali lagi ke pribadi, ” urai Mahaguru yang seempat diciduk polisi hutan ketika melaksanakan tapa brata di hutan Buleleng, beberapa bulan lalu.

Dia mencontohkan, ada yang datang untuk nunas di Patirtan Dewi Badra , biasanya untuk mereka yang berjualan. Nah ada juga yang ingin memohon kesehatan. Banyak juga yang memohon jodoh, diberkati anak dan rezeki. Ingin Malukat?

Ada beberapa sarana yang diperlukan saat bersembahyang dan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara, pertama adalah banten pajati. Minimal satu buah pajati untuk di tempat panglukatan Ida Bhatara Wisnu dan satu buah bungkak (kelapa gading). Kalau membawa pajati lebih dari satu, bisa dihaturkan di tempat Malukat berikutnya, yaitu di Pura Beji dan Penataran Utama Pura.

Kelapa gading biasanya sudah dijual di lokasi dan sudah dibuka (kasturi). Namun, agar lebih aman karena bisa saja kehabisan, bungkak nyuh gading sebaiknya dibawa dari rumah dan siapkan pisau untuk membukanya.

Urutan Malukat di Pura Campuhan Windhu Segara

1. Panglukatan di tempat pemujaan Ida Sang Hyang Wisnu dengan sarana pajati dan nyuh gading. Pamedek akan dilukat (diruwat) oleh Jro Mangku dengan guyuran air suci, kemudian dilanjutkan malukat dengan bungkak kelapa (nyuh) gading.

2. Panglukatan berikutnya di Pantai Padang Galak, tepatnya di lokasi Campuhan atau tempat bertemunya air laut dengan air sungai.

3. Panglukatan di Pura Beji. Di pura ini ada tiga tahap penglukatan, yaitu di Tirta Darmada, Tirta Dewi Gangga, dan Tirta Linggam. Setelah selesai Malukat, pamedek melakukan persembahyangan di natar (halaman) Pura Beji.

Setelah proses Malukat di Pura Beji dan melakukan persembahyangan di natar Pura Beji, pamedek bisa ganti pakaian memakai pakaian kering atau tetap bisa memakai pakaian basah tersebut, untuk melanjutkan persembahyangan di natar utama Pura Campuhan Windhu Segara. Setelah selesai melakukan persembahyangan di Palinggih Utama Pura Campuhan Windhu Segara, selanjutnya melakukan persembahyangan di Palinggih Kanjeng Ratu di sebelah selatan (kanan) palinggih utama.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Benarkah Sugihan Jawa-Bali Terkait Asal Orang Bali? Ini Penjelasannya

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Enam hari menjelang Hari Raya Galungan, umat Hindu mengadakan upacara yang disebut Sugian. Dalam pelaksanaannya, Sugihan dibagi menjadi dua waktu berbeda, yakni Sugihan Jawa pada Wheraspati wage sungsang, sedangkan Sugihan Bali pada Jumat kliwon wuku sungsang. Lantas, benarkah yang merayakan Sugihan Bali adalah keturunan Bali asli, sedangkan yang melaksanakan Sugihan Jawa keturunan pelarian Majapahit?

Secara umum Sugihan Jawa dan Bali, pelaksanaannya dilakukan sebagai simbolisasi pembersihan alam semesta (Bhuana Agung) hingga Bhuana Alit, sehingga pelaksanaan Galungan berjalan sesuai dengan harapan, terwujudnya harmonisasi alam semesta beserta isinya.

Jika dilihat dari arti katanya, Sugian Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa artinya luar. Jadi, Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk membersikan Bhuana Agung atau alam semesta (makrokosmos), baik sekala maupun niskala. Sedangkan Sugihan Bali, disebutkan berasal dari kata ‘wali’ yang artinya ‘bagian dalam’. Secara harfiah, artinya ‘pembersihan bagian dalam diri manusia’ (pembersihan dari dalam diri sendiri).

Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan, ketika Wuku Sungsang, yakni Kamis Wage Sungsang dinamakan Parerebwan atau disebut juga Sugihan Jawa. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan pula mengapa hari itu disebut Sugihan Jawa. “Mitos yang selama ini berkembang di masyarakat itu, tidak sepenuhnya benar. Bukan karena hari khusus bagi mereka yang berasal dai Jawa Majapahit,” ujar Sastrawan yang juga Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum, ketika ditemui Bali Express ( Jawa Pos Group) di sela – sela seminar Calonarang di Art Center pekan lalu.

Dijelaskan Suarka, latar belakang dinamakan Sugihan Jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan rerebu di Sanggar dan di Parhyangan, disertai pangraratan dan pangresikan untuk Bhatara serta kembang wangi.

Menurutnya, hari yang jatuh pada Kamis Wage, Wuku Sungsang tersebut sangat baik digunakan untuk kegiatan spiritual. “Hari itu adalah hari di mana para Bhatara dan Sasuhunan kita pulang, dan turun ke dunia. Bagi yang mengetahui, pasti mereka akan memanfaatkannya untuk melaksanakan meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Karena secara niskala dalam lontar dikatakan itu adalah hari yang sangat baik,” ujar Suarka.

Bahkan, dalam Lontar Sundarigama dipaparkan, Sungsang, wrehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jnana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan

“ Jelas diuraikan, tentang betapa murninya hari itu. Karena Bhatara turun ke dunia diiringi dewa serta leluhur untuk ikut menikmati sesajen persembahan umat, hingga sampai pada hari Galungan,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa kalinggania pamrastista Bhatara kabeh (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua Bhatara). Sedangkan Sugihan Bali bermakna, Kalinggania amrestista raga tawulan, yang artinya oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing (mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan atau panglukatan.

Jika ditarik garis perbedaannya, Sugihan Jawa dan Bali sama – sama hari yang dtujukan sebagai hari pembersihan dalam rangka menyambut Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Perbedaannya terletak dalam filosofi maknanya.

“Jadi, di hari Sugihan Jawa kita semua diajarkan untuk melakukan ritual pembersihan di eksternal diri kita, pembersihan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan,” ungkapnya.

Selain itu, ia menambahkan, pembersihan bisa dilakukan dengan melakukan pacaruan ekasata di rumah masing-masing. Bila tidak sempat melakukan pacaruan, maka cukup dengan bungkak nyuh gading yang dipercikkan ke semua penjuru rumah atau pekarangan yang sebelumnya sudah dihaturkan agar dapat menjadikan rumah dan lingkungan menjadi bersih.

Sedangkan Sugihan Bali adalah panyucian Bhuana Alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan panglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma. Umumnya Sugihan jatuh pada hari yang berbeda. Sugihan Bali dilaksanakan keesokan hari setelah Sugihan Jawa.

Ketika ditanya, Apakah dilaksanakan salah satu atau keduanya secara bergiliran? Sastrawan Jawi Kuno ini mengatakan, dalam mitologi Bhutakala diceritakan bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan, Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda manusia. Untuk mencegah hal itu, disarankan untuk melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan diri sendiri (Bhuana Alit) pada Sugihan Bali. Dengan begitu, akan mampu lebih menjauhkan diri dari godaan para Bhuta yang dapat merugikan diri.

Sehingga, pada Hari Galungan nanti akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma. “ Ya sebaiknya dilaksanakan keduanya. Ini kan pembersihan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Jika hanya dilaksanakan salah satunya, tentu akan terasa kurang. Ini bukan lagi soal asal usul kita, tapi soal pembersihan kita menyambut Hari Raya Galungan,” ujarnya.

Bebantenan dan Tatacara Upacara Sugihan

Berdasarkan Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa, yakni hari panyucian semua Bhatara. Apa saja bebantenan yang digunakan dalam melaksanakan Sugihan Jawa?

Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bebantenan yang digunakan adalah Banten Pangresikan, yaitu Pabyakaonan, Durmanggala, Prayascita dan Pangulapan. Banten Pasucian, Wangi – wangian,Tigasan, Toya(Tirta), Sesayut,Tutwan, Sodan (Rayunan).

Sesuai Lontar Sundarigama, banten tersebut dihaturkan di merajan serta lingkungan rumah tempat tinggal.

“Banten itu sesungguhnya sebagai simbolis saja, simbol dari pembersihan Bhuana Agung, yang dilanjutkan dengan malukat keesokan harinya. Sebagai simbol dari pembersihan bhuana Alit. Jadi baiknya harus dilakukan keduanya secara beriringan,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

TRI KAYA PARISUDHA ADALAH KESUKSESAN

$
0
0

Om Swastiastu
Om Awignamastu

Semeton hindu yg terhormat, jaman sekarang banyak buku buku motivasi menyarankan untuk selalu berpikir positif untuk meraih kesusksesan. Saya sangat bersyukur ternyata di Hindu tidak hanya diajarkan untuk berpikir positif tapi juga berkata dan berbuat yg positif. Positif disini artinya kebaikan. Ajaran ini disebut Tri Kaya Parisudha.

Berpikir, berkata, dan berbuat yg baik adalah keselarasan yg menghantarkan kita pada kesuksesan hidup sekala dan Niskala. Jika pikiran tdk sama dgn perkataan maka kita berbohong, jika perkataan tidak sesuai dgn perbuatan maka kita tidak setia dgn ucapan dan membuat kita tdk dipercayai oleh siapapun bahkan Dewa sekalipun.

Oleh karena itu Semeton marilah kita belajar selaraskan Tri kaya kita agar parisuda sehingga kita menjadi orang yg jujur dan dipercaya, niscaya kesuksesan akan dapat diraih. Rahayu 😇

Kutipan Kitab Sarasamuscaya : Sloka 77

“Yang membuat orang dikenal adalah hasil perbuatannya, perkataannya, dan pikirannya. Melalui ketiganya ini orang mengetahui kepribadian diri. Maka dari itu biasakanlah untuk berpikiran baik, berkata benar, dan berbuat bajik”

Om Santih Santih Santih Om –sumber

Cara Mendekatkan Diri Dengan KANDAPAT

$
0
0

Oleh : Bhagawan Dwija

Om Swastyastu,

Kanda Pat adalah Empat Teman: Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana. Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

Usia Manusia Kanda 1 Kanda 2 Kanda 3 Kanda 4
Kandapat Rare:
Embrio Karen Bra Angdian Lembana
Kandungan 20 hari Anta Prata Kala Dengen
Kandungan 40 minggu Ari-ari Lamas Getih Yeh-nyom
Lahir, tali pusar putus Mekair Salabir Mokair Selair
Kandapat Bhuta:
Bayi bisa bersuara Anggapati Prajapati Banaspati Banaspatiraja
Kandapat Sari:
14 tahun Sidasakti Sidarasa Maskuina Ajiputrapetak
Bercucu Podgala Kroda Sari Yasren
Kandapat Atma:
Meninggal dunia Suratman Jogormanik Mahakala Dorakala
Kandapat Dewa:
Manunggal (Moksa) Siwa Sadasiwa Paramasiwa Suniasiwa

Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih, dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.

Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:

Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu, yaitu:
1. Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
2. Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
3. Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
4. Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.

Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa “pelangkiran” di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.

Kandapat namanya selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan manusia, karena pengaruh Panca Indria kepada Roh/ Atma juga berubah-ubah. Jadi nama yang berubah untuk memberi batasan pada masing-masing tingkat kekuatan pengaruh panca indria sejalan dengan pertumbuhan manusia. Panca Indria dapat menyebabkan keterikatan atman oleh karena itu atman perlu dilindungi. Yang bisa membantu manusia melindungi dirinya dari godaan panca indria adalah Kandapat.

Jika jalinan/ hubungan manusia dengan Kandapat terhambat atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali (“tusing pati rungu”) maka perlindungan Kandapat-pun berkurang atau tidak ada. Seperti lagunya Bimbo saja: …”Engkau dekat, Aku dekat, engkau jauh, Aku jauh”… begitu kira-kira logikanya. Orang-orang kebathinan biasanya mulai dengan menguatkan Kandapatnya ini dengan cara selalu ingat dan membagi suka/ duka dengannya. Jika sudah dekat, Kandapat bisa jadi guru dan penuntun karena pada hakekatnya Kandapat itu juga Manifestasi Hyang Widhi.

Kandapat adalah manifestasi Brahman (Hyang Widhi) yang Esa; jadi ia akan selalu ada dan selalu sama pada penjelmaan-penjelmaan manusia berikutnya.

Beberapa cara mendekatkan diri (roh dalam diri) dengan Kandapat :

1. Membuat pelangkiran dari kayu di atas tempat tidur, sebagai stana Kandapat, sedangkan Kandapat diwujudkan dalam bentuk daksina lingga, yakni sebuah daksina yang dibungkus dengan kain putih/kuning. Kemudian dihaturi banten tegteg-daksina-peras-ajuman (pejati) dan setiap bulan purnama dibaharui/diganti, daksina lingganya tidak perlu diganti (biarkan selamanya di situ)

2. Setiap hari dihaturi banten saiban/jotan

3. Setiap mau meninggalkan rumah pamit ke Kandapat dan pulangnya membawa oleh-oleh makanan/kuwe, dll. sekedarnya saja, tanda ingat.

4. Setiap mau tidur sembahyang, seraya memohon Kandapat menjaga kita selama tidur.

5. Permohonan lain dapat juga diajukan di Kandapat itu.

6. Kalau gajian/mendapat hasil uang, dihaturkan dahulu di situ, biarkan semalam, keesokan harinya baru ‘dilungsur’ (tapi hati-hati pada pencuri, artinya pintu kamar dikunci)

Om Santih, Santih, Santih, Om –sumber


Ini Makna dan Ritual Saat Hari Pemacekan Agung

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.

“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).

Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.

Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.

Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.

Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.

Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.

Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber

Diyakini Sebagai Titik Sentral, Baik untuk Rapat Saat Pemacekan Agung

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Kegiatan masyarakat Hindu di Bali sangat kental dengan makna filosofis. Tidak hanya kegiatan besar, kegiatan kecil sehari-hari pun biasanya menggunakan makna filosofis sebagi acuan dalam pelaksanaannya.

Tanpa kita sadari, Pemacekan Agung jatuh tepat di tengah-tengah rentetan pelaksanaan Hari Suci Galungan. Rentetan pelaksanaan hari suci galungan dimulai sejak Tumpek Pengatag dan berakhir ketika Buda Kliwon Pegatwakan tiba. Selama rentang waktu tersebut terhitung ada 60 hari. Dan hari ke-30 yang merupakan titik sentral perayaan Hari Suci Galungan adalah hari Pemacekan Agung.

“Sehingga ada 30 hari setelah Tumpek Pengatag, dan 30 hari menuju Buda Kliwon Pagatwakan,” ujar Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana.

Lebih lanjut dijelaskan, adanya makna keseimbangan dan titik sentral dari sebuah perayaan hari besar membuat kebanyakan masyarakat Hindu Bali menggunakannya sebagai hari baik untuk melaksanakan Rapat atau Peparuman. “Karena dengan adanya makna filosofis tersebut diharapkan hasil rapat menjadi seimbang dan tidak berat sebelah,” tandasnya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber

Kepongor Jika Banten Seadanya Mitos atau Bukan? Ini Penjelasannya

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Kepongor adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan halangan atau musibah yang akan datang, jika melaksanakan yadnya dengan banten yang tidak dibuat oleh tukang banten khusus. Mitos ini jadi momok tersendiri bagi kaum wanita karir.

Lantaran waktu yang terbatas untuk melaksanakan yadnya, akhirnya seseorang terpaksa membeli bebantenan sebagai solusi terbaik. Salahkah bila itu terjadi? Ida Pandita Jaya Acharya Nanda mengatakan, mitos kepongor tersebut hanyalah isapan jempol semata.

“Mitos itu salah kaprah. Namun, bukan berati sepenuhnya salah. Memang benar jika sebuah banten dibuat oleh seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang banten, dipastikan ada yang kurang atau melenceng dari pakemnya. Dengan kondisi seperti itu, pasti akan timbul masalah di belakang,” ujarnya.

Namun ia menambahkan, bukan berarti juga bebantenan itu harus selalu dibuat oleh ahli banten. “Jika kita mau dan memiliki waktu, ada baiknya kita membuat seluruh ornamen bebantenan itu sendiri. Selain kita yakin bahwa bahan yang digunakan itu sukla (bersih), kita juga dapat mengerti apa saja makna yang terkandung dalam bebantenan yang kita buat. Jika beli, belum tentu kan bahan – bahannya benar benar sukla atau suci dan bersih,” paparnya.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber

Banten Bagi Umat Hindu adalah Buah Pemikiran Lengkap dan Bersih

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat Bali (Hindu) sangat lekat dengan bebantenan. Banten dikatakan sebagai prasarana dalam mewujudkan bhakti ke pada Tuhan. Benarkah?

Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba memaparkan, banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten, lanjut sulinggih
dari Griya Agung Siwa Gni Manuaba ini, merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti karena telah dilimpahi wara nugeraha.

“Secara mendasar banten dalam agama Hindu juga adalah bahasa agama. Karena sesungguhnya, banten itu hanya salah satu dari sekian banyak cara untuk berkomunikasi dengan sang pencipta. Bukan berarti tidak penting, itu cukup penting hanya saja itu lebih seperti bahasa agama,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Menurutnya, ada dua buah lontar yang dapat menjadi acuan dalam menelaah makna dari bebantenan, yaitu Lontar Yajña PrakrtI dan Lontar Tegesing Sarwa Banten. Dalam lontar Tegesing Sarwa Banten dikatakan, banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang.
Artinya, banten itu adalah buah pemikiran yang lengkap dan bersih.

Sedangkan dalam lontar Yajña PrakrtI disebutkan :
Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana.

Maksudnya, semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung atau alam semesta.

(bx/tya/bay/yes/JPR) –sumber

Ngelawang Itu Pengeruwat Jagat, Bukan “Ngamen”, Ini Penjelasannya

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Ngelawang sudah menjadi budaya secara turun temurun. Namun keberadaannya saat ini mulai bergeser. Jika dulu ritual ngelawang, jelas dengan tujuan menetralisir aura negatif atau pengeruwat jagat. Saat ini sekaa ngelawang, bak orang ngamen. Banyak yang ngelawang namun kering makna.

Menurut Pengamat Budaya Prof Made Bandem, Ngelawang adalah suatu tradisi yang pementasan keliling desa yang jika dilihat dari idiologinya, ngelawang berkaitan erat dengan ritual Agama Hindu. “Secara filosofis, ngelawang bertujuan untuk menetralisir kekuatan bhuta agar menjelma kekuatan dewa. Barong merupakan simbol kekuatan dewa yang hendak menyucikan dunia,” jelas mantan Rektor STSI Denpasar (ISI Denpasar) ini.

Adapun jadwal dari Ngelawang ini adalah pada hari Raya Galungan (Buda Kliwon Dunggulan) hingga Buda Kliwon Pahang. Kenapa ngelawang dilakukan pada rentang waktu tersebut? Bandem mengatakan ngelawang harus dilakukan pada rentang waktu tersebut, karena pada rentang waktu tersebut masyarakat Bali dikenal sebagai hari Rahinan Jagat (Hari Raya untuk bumi), sehingga harus dilakukan perayaan yang diisi dengan beragam kegiatan, seperti hiburan dan ritual keagamaan.

Karena akan dilakukan upacara besar, maka harus dilakukan penyucian bumi dari bhuta kala yang memiliki sifat negatif tersebut dengan melakukan penyucian yang dilakukan oleh Barong yang merupakan manifestasi dari Tuhan dalam bentuk kebendaan yang sudah dipasupati atau disucikan.

Sehingga sarana yang digunakan untuk ngelawang seperti barong, tapel dan gambelan dapat memiliki kekuatan spiritual sehingga dapat berfungsi sebagai pengeruwat jagat. Simbulnya adalah dengan melakukan kirab berbagai barong yang dimiliki Desa Adat yang ada di Bali seperti Barong Macan, Barong Bangkung, Barong Kedingkling, Wayang Wong dan lain sebagainya. “Barong ini bisa disesuaikan dengan kepercayaan yang ada di desa adat tersebut, seperti barong Menjangan, Barong Kedingkling yang berfungsi sebagai simbol pengusir Butha Kala,” lanjut Bandem.

Sementara jika dilihat idiologinya, ngelawang harus berpatokan pada Siwam, Satyam dan Sundaram. Yang artinya kesucian, Etika dan Keindahan. Sehingga dalam penampilannya, ngelawang harus memiliki keindahan baik dari segi gerak tarian dan keindahan ritme dari tetabuhan yang digunakannya, etika pementasan dan kesucian property yang digunakan untuk ngelawang.

Pada waktu kirab ini, Barong yang ngelawang memang bisa diberikan sesajen sebagai wujud syukur masyarakat. Sehingga lungsuran dari prani tersebut bisa dinikmati oleh orang yang mementaskan barong. “Hal itu wajar, karena penari ini dizinkan untuk menikmati lungsuran dari persembahan tersebut,” tambah Bandem.

Seiring dengan perkembangannya, tradisi memberikan sesajen kepada barong sudah tidak dilakukan lagi saat ini, karena fenomena ngelawang saat ini layaknya mengamen atau nari kemudian ambil uang. Karena ngelawang diberikan upah berupa uang dan atraksi ngelawang saat ini tidak melibatkan barong yang sudah dipasupati, tetapi dilakukan oleh kelompok anak-anak yang dengan barong biasa.

Terkait fenomena tersebut, Bandem mengakui jika fenomena tersebut memang ada, terkait fenomena ini, Bandem mengaku jika hal tersebut perlu dilakukan pengaturan kembali. “Karena jika sudah ngelawang bertujuan untuk mendapatkan upah, maka sudah tidak sesuai dengan filosofi dari ngelawang itu, maka diperlukan pengaturan dan penertiban,” paparnya.

Hal ini dikatakannya karena ngelawang tidak boleh dilakukan setiap hari dan sepanjang tahun. Karena ngelawang itu harus ada artistik integritas, bagaimana barong itu bisa menari dengan baik, mulai dari tariannya, lakonnya, gambelannya yang bagus. “Jangan kemudian ngelawang menjadi akses untuk semata, itu sudah menyalahi idiologi dari ngelawang, maka diperlukan pengaturan yang lebih baik lagi,” harapnya.

Tentang Ritual Ngelawang

1. Ngelawang untuk pengeruwat bumi

2. Dipentaskan Galungan hingga Buda Kliwon Pahang

3. Tidak bisa dilakukan sepanjang hari

4. Ngelawang bukan ngamen

5. Diadopsi dari atrasi sirkus China pada abad ke VII-abad ke X

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live