Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Pura Gedong, Pura Tanpa Palinggih di Tengah Goa

$
0
0

BALI EXPRESS, TABANAN – Pada umumnya sebuah pura memiliki palinggih tempat berstananya Ida Betara, namun tidak demikian dengan pura yang berada di Banjar Pangkung, Desa Pejaten, Kecamatan Kediri, Tabanan yang bernama Pura Gedong. Pura ini tidak memiliki palinggih, dan hanya menggunakan dulang sebagai pengganti palinggih tersebut.

Bagian Pura Gedong seperti pura biasanya, di mana memiliki tiga bagian pura, yakni jaba sisi atau nista mandala, kemudian jaba tengah atau madya mandala, dan utama mandala.

Di utama mandala inilah terdapat lima buah dulang yang diletakan secara berjejer lengkap dengan pajengnya di natar pura. Utama mandala pura tersebut juga terletak di dalam goa yang ada di bawah pohon beringin besar. Akar dari pohon beringin inilah yang menjadi pintu masuk ke dalam goa tersebut. Dari luar pintu masuk ke dalam goa nampak sangat sempit, hanya sekitar satu meter, setiap orang yang masuk harus menunduk, namun ketika sampai di dalam, ternyata ukuran goa lumayan besar, dengan tinggi sekitar tiga meter dan lebar lima meter.

Menurut Jero Mangku Pura Gedong, I Ketut Badra, 58, hingga saat ini belum ada yang tahu pasti sejak kapan Pura Gedong itu dibangun dan siapa yang membangunnya. “Dulu saya pernah tanyakan kepada kakek saja, tetapi beliau pun tidak tahu secara pasti,” ungkapnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Senin (1/5/2017).

Dijelaskannya, dari lima dulang yang difungsikan sebagai palinggih tersebut, masing-masing merupakan tempat berstananya Ida Betara Pura Gedong, Mekel, Ratu Mas Alit, dan dua lainnya merupakan pasimpangan Dukuh Sakti dan Dukuh Sari. “Menurut cerita kakek dan ayah saya dulu, pasimpangan Dukuh Sakti dan Dukuh Sari merupakan sameton (saudara) dari Pura Gedong. Pura Dukuh Sakti ada di Banjar Wanasara, Desa Bongan, Tabanan, sedangkan Pura Dukuh Sari ada di Banjar Kukuh, Desa Pejaten, Kediri, Tabanan,” imbuhnya.

Kemudian di Jaba tengah atau Madya Mandala hanya terdapat dua buah patung macan yang dipercaya menjadi penjaga pura. Sementara di jaba sisi atau nista mandala terdapat Padma, linggih Ida Betara Wisnu, Bale Gong, Puwaregan, serta Gedong Panyimpenan.

Jero Mangku Badra menceritakan, jika sebelum tahun 2013, pura tersebut tidak memiliki panyengker karena konon Ida Betara Pura Gedong yang berstana di Pura Gedong tidak menghendaki pura tersebut dibuatkan panyengker. Karena secara niskala Pura Gedong sudah memiliki panyengker berupa batas wilayah suci dan wilayah kotor. Namun, sejak mengalami bencana angin ngelinus pada 24 Februari 2013 silam, pura ini kemudian direnovasi dan dibuatkan panyengker dengan tujuan menahan tebing agar tidak longsor ketika hujan deras. “Saat itu cabang dari pohon beringin ada yang patah dan menimpa Bale Gong hingga hancur, dan akhirnya kita renovasi dan nunas baos untuk membangun panyengker,” lanjutnya.

Lokasi Pura Gedong terletak di dekat persawahan warga, dari pertigaan Banjar Pangkung, kita hanya perlu menyusuri jalan menuju arah Barat sampai menemui sebuah gang kecil dari beton menuju ke Selatan. Sekitar 700 meter dari jalan hotmix tersebut, kita akan menyusuri jalan turunan sampai menemukan sebuah pura dengan beji yang ada di sisi kanan dan kiri pura. Air nan jernih akan menyambut kedatangan setiap orang yang hendak bersembahyang. Tak sedikit pula warga yang datang untuk sekadar nunas toya di beji tersebut. “Toya beji ini bersumber dari klebutan yang pusatnya ada di jaba sisi Pura Gedong,” terangnya.

Sekitar 100 meter di sebelah Barat pura juga terdapat campuhan yang merupakan pertemuan antara Sungai Tukad Yeh Dati dan Sungai Tukad Yeh Paneng.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber


Begini Makna dan Tujuan Manuk Dewata Digunakan Dalam Prosesi Ngaben

$
0
0

BALI EXPRESS, SINGARAJA – Saat melaksanakan upacara Ngaben, sarana upakara seperti Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih berperan sangat vital. Apa sejatinya fungsi burung langka asal Indonesia Timur ini?

Manuk Dewata yang memiliki bulu indah berwarna-warni ini, digunakan saat prosesi palebon di atas bade atau wadah.

Manuk Dewata merupakan sekumpulan spesies burung yang dikelompokkan dalam famili Paradisaeidae. Burung yang hanya terdapat di Indonesia bagian timur, Papua Nugini dan Australia timur ini terdiri atas 14 genus dan sekitar 43 spesies. 30-an spesies di antaranya ditemukan di Indonesia.

Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag, yang akrab disebut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata ketika upacara Ngaben sangat diwajibkan. Sebab, secara filosofis, Manuk Dewata adalah wahana sang Atman menuju alam Swah Loka agar perjalanannya lancar tanpa hambatan. Burung Cendrawasih sendiri dalam mitologi Hindu Bali dianggap sebagai burungnya para dewa atau disebut Manuk Dewata.

“Manuk Dewata itu wajib ada saat upacara pangabenan. Manuk Dewata itu sebagai burung kadewatan yang menjadi wahana untuk mengantarkan Sang Atman dari berbagai rintangan untuk menuju Swah Loka. Ini hanya khusus ngaben saja penggunaan Manuk Dewata, ” ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin di Singaraja.

Dikatakannya, hakikat digelarnya upacara Ngaben adalah untuk melepaskan unsur-unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra dari badan kasar manusia yang meninggal. Sehingga nantinya setelah diaben, Atma tersebut benar-benar terlepas dari unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra sebagai sumber kehidupan.
“Kelima unsur ini yang sebelumnya menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh Atma (roh). Ketika manusia meninggal, yang mati adalah badan kasar saja. Sedangkan Atmanya tidak,” terangnya.

Nah, upacara Ngaben, lanjutnya, merupakan proses penyucian Atma saat meninggalkan badan kasar. “Burung Cendrawasih ini sebagai simbol pelepasan roh dari Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra untuk menuju sumbernya masing-masing,” bebernya.

Kalaupun saat Ngaben tidak menggunakan bade atau wadah, lanjut Jro Anom, penggunaan Manuk Dewata juga tetap diperlukan. Sebab, sesuai esensinya, Manuk Dewata inilah yang mengantarkan sang Atman menuju alam Swah Loka. Dan, saat berangkat ke setra itulah Manuk Dewata digunakan. Pada umumnya orang yang naik wadah atau bade tersebut merupakan keluarga terdekat orang yang meninggal, baik itu anak, cucu, kerabat, maupun saudara. Kerabat mendiang inilah yang akan membawa ubes-ubes yang bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata.

“Saat itulah ubes-ubes yang merupakan sebuah tongkat dan bermahkotakan Burung Cendrawasih atau Manuk Dewata dipergunakan. Manuk Dewata ini diminta pula sebagai pemandu bagi arwah mendiang untuk pergi ke alam sana,” ujar Dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja.

Lalu, mengapa mesti Burung Cendrawasih yang dipergunakan? Jro Anom menegaskan jika Burung Cendrawasih merupakan burung Surga. Sebab keindahan yang dimiliki burung tersebut tiada duanya. Terutama yang jantan, memiliki bulu-bulu yang indah, layaknya bidadari yang turun dari Surga (kayangan).

“Karena keindahan yang tiada tandingannya ini membuat Burung Cendrawasih dinobatkan sebagai burung Surga,” terangnya. Ditekankannya, dalam filosofi Hindu banyak menggunakan simbol yang dijadikan sarana upakara sebuah yadnya. Salah satunya adalah Burung Cendrawasih yang merupakan simbol dari penunjuk jalan Atma menuju Surga.

Lebih lanjut pria asal Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, memaparkan, penggunaan sarana Burung Cendrawasih sebagai sarana upakara sebenarnya sudah tersurat dalam kitab Manawadharmasastra V.42.

“Tuhan itu menciptakan binatang dan tumbuhan untuk tujuan upacara-upacara kurban, dengan maksud untuk kebaikan bumi. Jadi, penggunaan Manuk Dewata atau Burung Cendrawasih untuk sarana upakara memang dibenarkan dalam ajaran Hindu,” ungkapnya.

Meski sangat dibutuhkan dalam upacara Ngaben, namun tidak semua orang bisa memiliki Manuk Dewata karena satwa yang dilindungi. “Karena ini burung langka dan dilindungi, jadi tidak semua bisa memiliki Manuk Dewata. Selain langka juga harganya sangat mahal. Paling didominasi oleh griya khususnya para sulinggih. Nanti jika ada pengabenan barulah umat bisa meminjam untuk sarana upakara. Tempat menyimpan Manuk Dewata pun harus dibuat khusus, tidak sembarangan,” katanya.

Jro Anom menambahkan, tak jarang Manuk Dewata dihias dengan berbagai aksesoris sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, aksesoris emas di badan burung kerap dipasang agar mempercantik tampilan dari Manuk Dewata ini sebagai pengantar roh yang telah meninggal.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Madana Punia Tak Perlu Menunggu Kaya

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemberian tulus ikhlas, tanpa mengharapkan timbal balik merupakan kewajiban kita sebagai makhluk hidup. Jadi, tidak perlu menungu kaya untuk melaksanakannya. Apalagi, madana punia tidak dipatok berapa dan apa yang akan dipuniakan.

Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Pinandita Pasek Swastika mengatakan, selain pemberian secara ihklas saat madana punia, juga dilakukan semampunya.

“Kita punya kekayaan atau penghasilan sebaiknya dibagi tiga. Pertama untuk dimakan, ke dua untuk disimpan, dan ke tiga untuk dipuniakan,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin.

Pinandita Pasek Swastika mencontohkan, kalau seseorang memiliki uang Rp 100 ribu, Rp 40 ribu untuk makan, Rp 30 ribu untuk disimpan, dan 30 ribu untuk dipuniakan.

Pria asal Jembrana tersebut menambahkan, materi yang dipuniakan tersebut tidaklah secara terus menerus, yakni dipuniakan ketika dibutuhkan.
Dipuniakan kepada perorangan, kepada orang yang sakit atau untuk pembangunan, dan lainnya.

Terkait dengan erupsi Gunung Agung, lanjutnya, semestinya setiap orang ikut peduli dengan cara mapunia kepada saudara kita yang terkena dampak erupsi. “Jangan kita madana punia menungu kaya ,” paparnya.

Pasek Swastika mengungkapkan, punia tersebut tidak saja berupa uang atau benda, tapi juga berupa tenaga, pikiran dan kemampuan fisik untuk membantu.”Inti tujuannya adalah membantu sesama, karena lewat dana punia terdapat silih asih,” urainya.

Pada saat dewa yadnya, pelaksanaan dana punia tidak saja saat piodalan dengan cara menghaturkan banten maupun sesari yang banyak.

“Membersihkan pura dari rumput-rumput liar yang ada di tembok atau sekeliling pura juga bisa dikatakan sebagai punia. Nah apa yang dipuniakan, yaitu tenaga ataupun pikiran kita untuk berinisiatif untuk ngayah di sana,” urainya.

Sedangkan pada pitra tadinya, lanjutnya, tidak dilakukan pada saat pangabenan saja untuk madana punia.

Pasek Swastika mengatakan, dana punia tidak jauh beda dengan sumbangan sukarela. Di mana bisa dengan benda, tenaga, pikiran dan diri.

Diakuinya, pada zaman sekarang sudah sangat jarang, bahkan tidak ada yang madanapuniakan raga atau dirinya mau dijadikan tumbal. “Sekarang itu kan sudah tidak mungkin. Maka dari itu, sebaiknya kita mapunia dengan barang, tenaga atupun pikiran yang kita miliki untuk kepentingan orang banyak,” imbuhnya.
Ia juga mengakui, ketika madana punia nantinya pasti akan mendapatkan pahala. Tetapi ia menekankan jangan berharap, dikarenakan pahalanya bisa saja dari orang lain datangnya.

Terkait madana punia di pura dan ada pencatatan nominal atau barang yang dipuniakan, lanjut Pasek Swastika, itu tidak salah. Karena sebagai pertanggungjawaban nantinya.

Ketika ada seseorang yang menyodorkan untuk mencatat nama dan nominal yang dipuniakan, wajib mengisinya untuk membantu pangayah untuk tertib administrasi agar nantinya dapat diinformasikan ke pamedak sumber punia dan alokasinya.
Secara niskala, lanjutnya, Ida Sang Hyang Widhi sudah ‘mencatat’ apa saja yang dilakuka seseorang.

Terkait sesari dari umat, lanjutnya, setelah terkumpul maka terbagi tiga. Satu bagian untuk pemeliharaan pura, ada yang dikelola oleh panitia, dan ada yang ditujukan untuk pemangku. Bahkan, semuanya itu harus tetap ada pertanggungjawabannya. “Keliru jika ada pemangku yang mematok sesari maupun madana punia,” pungkasnya .

Dikatakannya, manfaat dari madana punia telah dijelaskan dalam berbagai kitab suci agama Hindu. “Semua itu sudah terkadung dalam Atharwa Weda, Reg Weda, Lontar Manawa Dharmasastra, maupun kitab suci yang lainnya,” terangnya.

Ia juga mengatakan, terdapat tiga jenis yang termasuk dalam dana punia, yakni Dharmadana memberikan budi pekerti yag luhur dalam ajaran dharma. Selanjutnya Widyadana, yaitu memberikan ilmu pengetahuan kepada seseorang, dan ke tiga adalah Arthadana, yakni memberikan materi atau harta benda yang dibutuhkan oleh seseorang. Tentunya semua itu, lanjut Pasek Swastika, harus didasari dengan rasa tulus dan ikhlas, seperti yang termuat dalam lontar Manawa Dharmasastra IV. 226.

“Sraddhayestam ca purtam ca nityam kuryada tandritah, craddhakrite hyaksaye te bhawatah swagatairdhanaih.” Maksudnya, hendaknya tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan memberikan hartanya dan mempersembahkan sesajen dengan penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan didermakan akan memperoleh tempat tertinggi, yaitu Moksa.

Secara garis besar ia mengungkapkan bahwa dana punia merupakan kewajiban sebagai umat. Sedangkan sesari adalah pelengkap dalam suatu persembahan.
Pada tempat berbeda, Jero Mangku Ni Wayan Sari mengaku sering melakukan dana punia, meski tak banyak.

“Namanya saja dana punia, saya tidak pernah menghitung besar atau kecil jumlahnya. Karena berapapun yang dipuniakan semestinya dengan hati yang bersih,” papar Mangku Sari.

(bx/ade/yes/JPR) –sumber

Begini Makna dan Filosofis Segehan dalam Agama Hindu

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Setiap sarana upakara di Bali tentunya bukan sesuatu yang ada begitu saja. Tentu setiap komponen atau unsur yang digunakan selalu disertai dengan makna filosofisnya. Bagaimana sejatinya makna dari unsur yang terdapat pada Segehan?

Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki makna filosofi di dalamnya. Mulai dari penggunaan alas dari daun atau taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. Taledan segi empat yang melambangkan arah mata angin. Nasi putih dua kepal, yang melambangkan rwa bhineda. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas.

Semangat dibutuhkan oleh manusia, tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat, tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek).

“Garam adalah sebuah bumbu yang memiliki PH-0, artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisasi berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin),” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, tepat di atasnya disusun canang genten. Tetabuhan arak, berem, tuak, berbagai jenis alkohol ini diyakini secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran.

“Matabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang dan mati,” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran .

(bx/gus /yes/JPR) –sumber

Tradisi Nyadegan untuk Mempererat Persaudaraan

$
0
0

BALI EXPRESS, NUSA PENIDA – Tradisi, adat dan budaya yang dimiliki Bali memang tak akan pernah habis untuk ditelusuri. Selalu ada keunikan disetiap sisinya. Seperti halnya tradisi Nyadegan di Desa Pekraman Batununggul, Nusa Penida, Klungkung.

Dari pantauan di lapangan, tradisi tersebut hampir sama dengan Magibung yang ada di Karangasem. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Menurut Kelian Banjar Pakraman Batununggul I Dewa Ketut Anom Astika, tradisi Nyadegang ini dilaksanakan menjelang upacara Ida Bhatara Pelawatan Barong dan Randa nyejer selama 4 hari tepatnya pada rahina Purnama Sasih Kewulu.

“Krama dan sekaa teruna tumpah ruah menggelar tradisi ini. Menyiapkan dan menikmati bersama-sama sajian yang dihidangkan dalam tradisi ini,” paparnya Rabu (31/1).

Ditambahkan oleh tokoh masyarakat setempat, I Dewa Ketut Suarya, tradisi Nyadegang sejauh ini memang tidak seterkenal Magibung di Karangasem. Kendatipun tradisi ini memiliki banyak kesamaan, hanya saja yang membuatnya berbeda adalah dari cara menyajikan dan jumlah peserta.

“Kalau di Karangasem umumnya pesertanya berjumlah 8 orang, tempat makanan menggunakan dulang, dan lauk pauk disajikan tahap demi tahap,” lanjutnya.

Ia menambahkan, Nyadegang berarti duduk secara bersama-sama menikmati hidangan yang disajikan sebagai ungkapan terima kasih atas karunia Tuhan yang sudah berikan. Tradisi ini juga bisa digelar saat acara adat Pelebon, Pawiwahan, Ngotonin dan lainya.

“Dan untuk menggiring pemuda agar bangga dengan tradisinya, maka kita melibatkan mereka langsung dalam tradisi tersebut, memberi dia tanggung jawab mengerjakan step by step acara tersebut,” sambung Suarya.

Menurutnya, selain untuk tetap melestarikan tradisi yang ada, kegiatan ini juga dapat memupuk rasa kebersamaan di antara anggota krama dan pemuda karena kegiatan yang bersifat tradisi biasanya membutuhkan orang banyak untuk mengerjakannya.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber

Begini Cara Pembersihan Niskala setelah Rumah Diterjang Bencana

$
0
0

BALI EXPRESS, SINGARAJA – Bencana banjir dan tanah longsor belakangan ini membuat warga kelimpungan. Masalahnya, tak hanya soal keselamatan, kerugian materi, tapi ada urusan yang tak kalah penting yakni mengembalikan energi kebersihan sekala dan niskala rumah yang ditempati.

Bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang yang terjadi di sejumlah lokasi di Buleleng sepekan terakhir turut merusak ratusan rumah milik warga. Selain merusak rumah, warga juga harus mengungsi karena halaman rumah terendam air setinggi dua meter.

Masalah tidak hanya berhenti di sana. Rumah yang sempat terendam banjir tentu memerlukan waktu berhari-hari agar pulih dan bisa ditempati kembali seperti semula. Rupanya, banjir yang sempat merendam rumah dan seisinya, selain menimbulkan kekotoran secara skala (nyata), juga menimbulkan kekotoran niskala.

Lalu, bagaimana menetralisasi secara niskala rumah yang sempat dihantam bencana? Menurut Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom, bila rumah sempat diterjang bencana banjir ataupun tanah longsor, maka wajib hukumnya dibuatkan upacara ngulapin. Tujuannya untuk memarisudha (menyucikan) pekarangan rumah beserta isinya agar kembali bersih secara niskala.

“Itu wajib dibuatkan upacara pacaruan dan ngulapin. Nah, guna memarisudha pekarangan itu, dibuatkan banten caru eka sata,” kata Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (1/2) kemarin di Singaraja.

Beragam jenis kotoran sampah yang terbawa arus banjir, lanjut Jro Anom, akan menimbulkan cemer (kotor) bagi pekarangan. “Jika sudah kotor, maka Ida Bhatara Wiswakarma yang bersthana di bangunan rumah diyakini bisa saja meninggalkan rumah tersebut,” terangnya.

Ditegaskannya, jika rumah sudah tidak besrthana Bhagawan Wiswakarma, maka rumah akan rentan dihuni Bhutakala. Otomatis, si penghuni rumah akan merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan berdampak terhadap psikologis penghuninya.

“Kalau rumah sempat diterjang banjir, maka Ida Bhatara Bhagawan Wiswakarma akan enggan berstana di rumah itu. Makanya, melalui upacara ngulapin inilah harus dilakukan sehingga Bhatara Wiswakarma berkenan bersthana kembali. Kalau rumah tidak dinetralisasi pasca terkena bencana, rentan ditempati Bhutakala,” ungkapnya.

Disinggung terkait prosesinya, Jro Anom menyebut rentetan upacara ngulapin diawali dengan upacara Pacaruan Eka Sata. Ciri banten Caru Eka Sata ini menggunakan ayam brumbun. Selanjutnya pacaruan ayam brumbun diikuti dengan banten beakala, durmanggala prayascita, sesayut sapuh lara, sesayut kala meraradan, banten tadah kala dan banten segehan agung. “Banten itu khusus untuk caru Eka Sata saja atau marisudha karang,” jelasnya.

Penggunaan caru Eka Sata ini, sebut Jro Anom, disebabkan karena jangkauannya sempit hanya di lingkungan rumah saja. Berbeda jika melakukan pacaruan di pura atau di tingkat desa, maka wajib menggunakan caru Panca Sata.

Sedangkan untuk banten ngulapin adalah banten suci, banten peras pejati, banten pangulapan pangambean, banten pasupati, banten sesayut pangenteg sari, dan yang paling penting adalah banten tegteg atau daksina sebagai sthana Bhagawan Wiswakarma.“Setelah karang dinetralisasi, barulah Bhagawan Wiswakarma dipanggil melalui upacara ngulapin. Sehingga Bhagawan Wiswakarma kembali berstana,” bebernya.

Saat bencana menerjang, tentu tak hanya pekarangan dan rumah saja yang terdampak. Bagaimana dengan palinggih panunggun karang yang terkena banjir? Dosen STAHN Mpu Kuturan ini kembali menjelaskan, jika sanggah kemulan dan merajan alit terkena bencana harus dibuatkan banten Guru Piduka Alit (permohonan maaf). selain itu, ada juga banten Peras Pajati.

Upacara pacaruan dan ngulapin ini, sebut pria kelahiran Desa Kekeran, Kecamatan Busungbiu ini, tepat dilaksanakan saat Kajeng Kliwon atau bertepatan Tilem. Menurutnya, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan tri wara kajeng dengan pancawara kliwon. Pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon, diyakini sebagai saat energi alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya.

“Rahina Kajeng Kliwon diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama, dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Maka, sangat tepat melaksanakan pacaruan sekaligus memarisudha pekarangan saat hari ini,” ujarnya.
Waktu ini dikatakan tepat, lanjutnya, karena merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tiga Bhucari.

“Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar),” pungkasnya.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Ini Aura yang Muncul dari Tanaman Pekarangan Berdasarkan Penempatannya

$
0
0

BALI EXPRESS, GIANYAR – Keyakinan akan apa yang baik dan buruk ditanam di pekarangan rumah, sampai saat ini memang masih dianut masyarakat Bali. Karena di satu sisi ada tanaman yang bisa membawa aura positif, di sisi lain ada juga yang malah membawa aura negatif.

Sampai saat ini kerap terucap dari para orang tua, ketika melihat ada tanaman Ketapang atau Saba yang tumbuh di pekarangan rumah. “Kenapa menanam ketapang di pekarangan rumah. Nanti dihuni mahluk halus loh.” Nada protes seperti itu pun biasanya tak hanya untuk jenis tanaman Ketapang, namun juga untuk jenis tanaman lainnya. Menilik kata-kata para orang tua dulu, sebenarnya tak hanya jenis tanaman tertentu yang ‘dilarang’, karena sebaliknya juga menganjurkan untuk menanam jenis tanaman lainnya di pekarangan rumah.
Alasannya tentu beda, tanaman tersebut akan membawa damuh atau rezeki dan bisa juga menjadi pelindung bagi penghuni rumah.

Ida Bagus Putu Adi Suparta, pemilik Pasraman Upacara, Pasraman Taman Prakerti Buana di Beng, Gianyar, yang dihubungi Bali Express (Jawa Pos Group), akhir pekan kemarin, mengakui, memang ada jenis-jenis tanaman yang cocok ditanam di pekarangan rumah, dan ada pula yang tidak. Bahkan, menurut dia, tidak hanya ditentukan mana jenis tanaman yang cocok ditanam di pekarangan rumah semata, tapi juga jenis tanaman yang cocok ditanam di areal merajan, hingga di depan pekarangan rumah, diwangan (di luar) atau di samping angkul-angkul.

“Betul, secara keyakinan umat Hindu, khususnya di Bali, keyakinan seperti itu memang ada. Itu jelas tertuang dalam lontar Taru Premana. Bahkan di dalam lontar tersebut dengan jelas tertulis, mana jenis tanaman atau kayu jenis pohon tertentu yang cocok digunakan untuk bahan sanggah, atau untuk tapakan sasuhunan, semisal barong. Jadi, di lontar itu lengkap memuatnya,” ucapnya.

Dia pun membeber beberapa jenis tanaman yang menurut keyakinan hanya cocok ditanam di tempat tertentu.

Dijelaskannya, khusus untuk jenis tanaman yang paling cocok ditanam di areal merajan atau sanggah, ada beberapa jenis. Mulai dari jenis pohon Naga Sari, yang disebutkan dapat membawa aura sangat positif bagi pekarangan rumah, dan tentunya bagi keluarga yang menghuninya, seperti bisa membawa keselamatan, keamanan hingga kerukunan. Kemudian ada juga segala jenis tanaman Tunjung, yang juga disebut mengandung aura positif.

“Intinya segala jenis tanaman yang bunganya bisa digunakan untuk sembahyang, secara keyakinan sangat cocok untuk ditanam di merajan, termasuk Jepun. Karena secara aura, jenis tanaman ini membawa aura positif bagi rumah dan keluarga yang menghuninya,” paparnya.

Namun, khusus untuk jenis tanaman Jepun, lanjutnya, disarankan untuk tidak ditanam di halaman rumah, apalagi di depan bale daja. Larangan yang sama juga berlaku untuk jenis tanaman Kembang Kertas, sebab bisa membawa aura negatif. Berbeda jika Jepun dan Kembang Kertas ini ditanam di halaman merajan, yang malah akan membawa aura positif.

Nah, jika tanaman Jepun maupun Kembang Kertas menurut pria ini tak baik ditanam di depan bale daja di pakarangan rumah. Khusus untuk jenis Anggrek, dia sarankan untuk lebih banyak ditanam di halaman rumah. Lantaran Anggrek memiliki aura kesejukan, yang akan membawa kerukunan dan kesejukan dalam rumah tangga.

Selain Jepun (Kamboja) dan Kembang Kertas, Kaktus pun dia ingatkan juga tidak baik untuk ditanam berlebihan di pekarangan rumah. Lantaran Kaktus bisa membawa efek negatif, seperti sering menimbulkan gejolak dan ribut dalam rumah tangga.

“Terus untuk jenis tanaman berbuku juga tidak baik ditanam di halaman rumah, karena dapat menghambat rezeki. Apalagi kalau ditanam dalam jumlah yang berlebihan. Kalau untuk satu dua tanaman sih masih tidak terlalu masalah, asalkan tetap harus diimbangi dengan tanaman yang cocok, seperti tanaman bunga-bunga tadi,” bebernya.

Menurut pria yang juga pegawai di Dinas Pariwisata Gianyar ini, untuk jenis tanaman Kaktus ini malah akan membawa aura positif jika ditanam di depan rumah atau di sekitar depan angkul-angkul rumah. “Apalagi untuk jenis Kaktus Blatung Gada karena memiliki fungsi melindungi jika ada sesuatu, termasuk melindungi dari serangan negatif. Termasuk semua tanaman yang berduri, semisal Mawar, Kem, itu juga bagus untuk di luar rumah sebagai penjaga,” bebernya.

Diakui olehnya, bahwa aura sebuah pekarangan akan sangat positif, jika tanaman ditanam di lokasi yang sesuai. Misalnya ada tanaman Nagasari dan Tunjung di halaman merajan. Lalu di pekarangan rumah dilengkapi dengan Anggrek dan tanaman Semar Manjangan. Auranya pun semakin positif jika di depan rumah ditanami dengan tanaman berduri.

“Maka dengan kelengkapan itu, secara keyakinan akan sangat membawa atau merukunkan dalam sebuah rumah tangga yang hidup di dalam rumah dan pekarangan itu,” ungkapnya.

“Cuma saya ingatkan, kalau jenis Tunjung masih boleh di dua sisi. Artinya ditanam di merajan dan halaman rumah bisa. Kalau Nagasari memang khusus harus di merajan. Begitu juga jenis Kaktus itu juga harus diwangan (depan rumah),” tegasnya lagi.

Ida Bagus Putu Adi Suparta tak menyanggah mengenai beberapa jenis tanaman yang di masyarakat ‘pantang’ ditanam di halaman rumah, di antaranya Saba, Pule, Bingin, Keluh, lantaran diyakini bisa menjadi tempat untuk dihuni mahluk ‘lain’, seperti wong samar, jin, dan lainnya.

Dia mengatakan, untuk jenis pohon besar seperti Saba, Pule, Bingin, Kepuh, termasuk Ketapang memang menurut keyakinan tak baik ditanam di pekarangan rumah. Karena selain bisa menjadi hunian mahluk halus, dapat mengganggu penghuni rumah. Pohon-pohon jenis tersebut auranya lebih cocok ditanam di tempat umum, semisal pura, hingga kuburan. Lalu, bagaimana kalau ditanam di atas pot?

“Kalau ditanam di pot, aura negatifnya memang berkurang, karena tidak menyentuh langsung ibu pertiwi. Tapi, tetap saja aura negatifnya masih ada. Makanya, lebih baik memang ditanam di tempat umum,” bebernya.

Pada dasarnya, lanjutnya, semua pohon mengandung aura negatif dan positif. “Cuma aura positifnya akan besar jika ditanam di tempat yang tepat. Begitu juga sebaliknya aura negatifnya akan semakin besar, jika ditanam di tempat yang tidak tepat,” pungkasnya.

(bx/wid/ima/rin/yes/JPR) –sumber

Bhoma, Sosok Penjaga yang Pantang Diaplikasikan Sembarangan, Kenapa?

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Ornamen berupa kepala raksasa yang dinamai Karang Bhoma, kerap ditemui pada ukiran tempat suci umat Hindu di Bali, terutama di bagian atas gelung kori. Siapakah sesungguhnya sosok raksasa bertaring tajam, mata melotot, dan dua tangan di kanan kirinya, seolah siap mencengkeram ini?

Berdasarkan mitologi, Bhoma konon adalah putra dari Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi. Ia lahir dari pertemuan Sang Dewa dan Sang Dewi dalam sebuah misi pemutaran Gunung Mandara atau Mandara Giri untuk mendapat Tirtha Amrita. Saat itu, Dewa Wisnu mendapat tugas untuk mencari pangkal dari lingga milik Dewa Siwa.

Guna memudahkan misinya, Dewa Wisnu mengubah wujud menjadi seekor babi hutan dan mulai melakukan penggalian di tanah. Nah, saat itulah ia bertemu dengan Dewi Pertiwi yang merupakan penguasa tanah. Dari pertemuan itu lahir Bhoma yang memiliki wujud menyeramkan. Sang Bhoma kemudian dikenal sebagai penguasa hutan belantara.

Dari mitologi tersebut, Bhoma tak lain adalah tumbuhan itu sendiri. Ia tumbuh dengan subur pada tanah (Pertiwi) yang mendapatkan air (Wisnu) yang cukup. Mitologi tersebut juga berpengaruh pada misi pelestarian hutan. Pasalnya,masyarakat tradisional percaya hutan rimba adalah salah satu tempat yang angker karena ada penguasanya. Di Bali sendiri, sosok penjaga hutan belantara disebut dengan Banaspati.

Bhoma kerap disandingkan dengan kata Bhauma dalam Bahasa Sansekerta, dengan arti sesuatu yang tumbuh dari bumi atau pertiwi. Dengan demikian, konotasinya mengarah pada tumbuh-tumbuhan.
Kisah tentang Bhoma juga diutarakan dalam Kakawin Bhomântaka atau Kakawin Bhomakawya yang berbahasa Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan salah satu yang terpanjang dalam Sastra Jawa Kuno, yakni mencapai 1.492 bait.

Terkait dengan ukiran Karang Bhoma yang terdapat di gelung kori atau beberapa bagian tempat suci di Bali, tidak terlepas dari kepercayaan perlindungan dari Sang Hyang Bhoma. Oleh karena itu, ukiran tumbuhan pada pusatnya kerap berisi ukiran Karang Bhoma. “Ini tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana, khususnya harmonisasi hubungan manusia dengan alam,” ungkap Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par kepada Bali Express (Jawa Pos Group), belum lama ini.

Dosen IHDN Denpasar tersebut mengatakan, ukiran Karang Bhoma bukan sebatas dekorasi pada tempat suci, namun memiliki makna di baliknya. Hal ini sejalan dengan konsep bangunan yang tertera pada Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi. “Apapun yang ada di Bali tidak hanya sebatas dekorasi. Demikian pula Bhoma ini, yang dipercaya sebagai sosok pelindung di tempat suci dan penolak hal-hal negatif yang hendak masuk ke dalamnya,” terangnya.

Apalagi, lanjut mantan jurnalis ini, bangunan yang dibuat oleh masyarakat Bali melewati prosesi ritual, baik penyucian dan ‘penghidupan’ atau yang biasa disebut pasupati. Dengan demikian, ukiran Karang Bhoma dipercaya memiliki kekuatan magis yang ada di dalamnya.

Meski begitu, kata Sumadi, ukiran Karang Bhoma tak bisa diaplikasikan di sembarang bangunan. Biasanya, ukiran Karang Bhoma hanya diaplikasikan di tempat suci. “Mengingat Bhoma adalah salah satu sosok yang disakralkan, secara umum ukiran Karang Bhoma diaplikasikan di tempat suci, seperti pura,” ujarnya.

Bagimana jika diaplikasikan di rumah? Pria ramah dan murah senyum ini mengatakan tidak sepatutnya. Pasalnya, kekuatan Bhoma yang telah dipasupati cukup besar dan efeknya tak hanya bagi sesuatu di luar tempat suci, namun juga di dalamnya. Oleh karena itu, jika diaplikasikan di rumah, maka kesalahan perlakukan penghuni rumah bisa berakibat fatal. “Kalau untuk di rumah, orang menghindari menggunakan Bhoma, karena dia bisa ‘makan’ diri kita sendiri. Kalau bisa, hindari itu. Bahkan ‘just decoration’ atau hanya hiasan juga keliru,” tegasnya.

Dengan demikian, Sumadi kembali menegaskan, ukiran Karang Bhoma hendaknya sebatas diaplikasikan di tempat suci, khususnya pura. “Hanya dipakai di tempat suci, khususnya di pura. Biasanya diletakkan di gelung kori. Kalau orang yang berpikiran negatif, bisa dilindas,” tegasnya.

Dikatakannya, belakangan ini dekorasi yang dibuat untuk acara seremonial juga tak sepatutnya berisi ukiran kepala Bhoma. Hal itu terkait dengan Bhoma sebagai salah satu simbol suci, selaku sosok penjaga dan penindak tegas orang-orang yang memiliki pikiran, perkataan, atau perbuatan negatif di tempat suci. “Itu sesuai dengan totem. Totem adalah kepercayaan tradisional terhadap binatang yang memberikan perlindungan dan juga membahayakan jika kita salah menempatkan,” terangnya.

Namun, jika ukirannya hanya sebatas tumbuhan, tanpa kepala Bhoma, kata dia tak masalah. “Lebih baik cukup ukiran bun (tumbuhan menjalar). Jangan sampai ada kepala Bhoma,” tandasnya.

(bx/adi/yes/JPR) –sumber


Begini Hukuman Bagi Umat Hindu yang Bunuh Diri

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Bunuh diri terus terjadi, bahkan dilakukan anak belasan tahun dengan berbagai latar belakang masalah. Di awal tahun sudah tercatat lima orang di Bangli mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Bagaimana melihat kasus ini dalam sastra Hindu?

Kasus bunuh diri kembali terjadi di Kintamani, Bangli, Senin malam (29/1) bulan lalu di Desa Bunutin, Kintamani. Aksi nekat ini dilakukan I Ketut Tirtayasa, 18, yang diduga dilatarbelakangi motif sakit menahun yang tidak kunjung sembuh.

Di awal tahun 2018 ini sudah lima orang kehilangan nyawa karena bunuh diri di Kintamani dari total enam orang di seluruh Bangli. Kasus bunuh diri di Bangli tergolong tinggi. Sepanjang 2017 lalu, kasus bunuh diri baik dengan cara gantung diri maupun menceburkan diri ke Danau Batur tercatat mencapai 17 orang. Sedangkan sejak awal tahun ini, kasus bunuh diri baik dengan cara gantung diri dan minum racun telah merenggut lima nyawa. Angka tersebut nyaris sepertiga dari total kasus bunuh diri yang terjadi sepanjang 2017 lalu.

Manusia memang kadang punya perasaan dan keinginan aneh. Sudah diberikan hidup, malah ingin mati. Padahal, kalau sudah mati, tak bakalan bisa hidup lagi. Tapi, tetap saja satu keinginannya mau mati. Memang,kecenderungan ingin bunuh diri ini dilatarbelakangi mulai dari kecewa atau putus asa, patah hati, hingga di-bully. Caranya pun beragam, mulai dari gantung diri, meracuni diri, membakar diri, hingga melompat dari ketinggian gedung. Khusus untuk di Bali, model yang menjadi ‘favorit’ adalah gantung diri dengan tali. Dan, cara ini ternyata kemudian diadopsi oleh sejumlah wisatawan ‘bermasalah’ yang berkunjung ke Bali.

Sungguh sangat memprihatinkan kasus bunuh diri ini. Tercatat selama sembilan bulan terakhir tahun 2017 (Januari-September), sedikitnya ada 80 kasus bunuh diri terjadi di Bali. Bila dibagi per bulan, berarti ada orang yang bunuh diri rata-rata 9 orang per bulan.

Pemerhati sosial Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani, Sp.KJ (K) , mengaku sangat prihatin tentang kasus bunuh diri yang mulai marak sejak tahun 2000. Berdasar penelitian dan data yang diperoleh di Kabupaten Buleleng, Karangasem, dan Denpasar, pendiri Suryani Institute for Mental Health Foundation ini, mendapati penyebab bunuh diri banyak diakibatkan oleh gangguan berat, depresi, stres, kelainan fisik, dan faktor ekonomi. Situasi ini sangat memprihatinkan, apalagi sudah merambah sejumlah remaja.
“Setiap membaca berita kejadian orang bunuh diri, nyali menjadi kecil seraya mencakupkan tangan kepada Hyang Parama Kawi, Tuhan Yang Maha Esa semoga saya, keluarga, teman-teman, orang-orang dekat saya, juga kenalan dan seluruh umat manusia tidak didatangi oleh bahaya itu,” papar tokoh spiritual kelahiran Padangtegal Ubud, Rasa Acharya Prabhuraja Darmayasa kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin di Denpasar.

Diakui President World Divine Love Society ini, berita bunuh diri telah menjadi hiasan tetap bagi setiap koran di dunia. Dan, ternyata cukup banyak kejadian seperti itu terjadi di masyarakat. Bukan hanya terjadi di Bali, melainkan juga di seluruh dunia. Dunia Barat pun tidak terbebas dari bahaya bunuh diri. “Seorang teman saya yang warga Inggris telah kehilangan saudara terkasihnya. Saudaranya adalah orang sukses dan sangat terkenal, bahkan di dunia. Tetapi, rupa-rupanya ia kehilangan keseimbangan kesadarannya sehingga memilih jalan bunuh diri,” tutur pria yang sudah menulis ratusan buku spiritual ini.

Murid tunggal Maestro Kundalini India Acharya Kamal Kishore Goswami ini, mengimbau setiap orang agar menyebarluaskan di lingkungan masing-masing, bahwa bunuh diri merupakan jalan tidak tepat, tergesa-gesa, jalan yang salah, selain tindakan dosa besar. “Kesalahan tersebut akan membawa orang ke neraka yang paling gelap,” urainya.

Ditegaskan Darmayasa, dalam Skanda Purana, Kashi (Pu.12.12-13) disebutkan :
Andhantamovisheyuste Ye Caivatma-Hano Janah. Bhuktva Nirayasahadram Te Ca Syur Grama-Sukarah. Maksudnya : Orang-orang yang bunuh diri (setelah meninggalkan badan wadagnya alias setelah mati) pergi ke neraka yang paling gelap. Setelah menikmati ribuan hukuman berat di neraka, ia akan terlahirkan menjadi babi.

Tindakan konyol, lanjutnya, biasanya dilakukan tergesa-gesa tanpa pertimbangan baik, disebabkan kegelapan yang menutupi batin seseorang.

Dijelaskannya, kitab suci Upanishad memberikan doa-mantra untuk membantu diri kita terbebaskan dari kegelapan, agar kegelapan tidak menjejali kesadaran batin kita. “OM, tamaso ma jyotir gamaya.
Ya Tuhan, jauhkanlah kami dari kegelapan dan tuntunlah kami menuju jalan terang. Selain ia merupakan sebuah doa, renungan untuk realisasi spiritual, ia juga merupakan sebuah mantram. Mrityor ma gamaya, Ya Tuhan mohon janganlah hamba diantarkan kepada kematian, tetapi amritam gamaya, bimbinglah hamba kepada kekekalan,” urainya.

Dikatakan Darmayasa, di depan kita ada dua jalan, satu jalan kematian dan satu jalan kehidupan atau kekekalan. Satunya adalah mrita dan satunya lagi amrita. Di Bali, diakuinya sedikit bergeser artinya. “Titiang nunas merta yang artinya saya minta makanan. Tetapi, kalau didekatkan ke arti asalnya yaitu Sanskerta, kalimat tersebut seharusnya diterjemahkan saya minta racun, saya minta kematian.Ternyata kata amerta yang berarti nectar berganti menjadi merta,” bebernya.

Darmayasa mengaku mempunyai seorang teman bernama Merta, dan setelah mendengar arti yang agak keseleo tersebut akhirnya ia mengganti namanya dalam panggilan menjadi Amrita.
Jalan merta adalah jalan kematian. Di dunia ini, sepanjang kita tidak mendasari segala sesuatu yang kita cari dengan dasar spiritual, lanjutnya, semuanya adalah membimbing kita ke jalan kematian, jalan tidak kekal, juga jalan kesengsaraan.

Kadang jalan kesengsaraan itu bisa dalam bentuk kehidupan yang indah menarik dan menyenangkan dihias oleh berbagai pujian. Namun, jika ia tidak dalam sentuhan spiritual, segala kemewahan dan keindahan tersebut tidak lain hanyalah jalan turun yang menyenangkan. “Nah, Upanisad tidak menganjurkan kita meniti jalan seperti itu. Oleh karena itulah kita diajarkan doa ‘mrityor ma gamaya’, janganlah hamba dibimbing menuju jalan kematian, jalan khayalan, jalan kehidupan tanpa arti spiritual,” bebernya.

Jalan amrita adalah jalan yang dianjurkan untuk ditempuh karena merupakan jalan kebenaran, jalan yang menuntun kepada kehidupan yang kekal. Kebahagiaan sejati, lanjutnya, hanya berada pada kehidupan yang kekal, bukan kepada kehidupan yang tidak kekal.

“Kesenangan dalam hiasan apa pun yang berada di lingkungan jalan tanpa sentuhan spiritual, kesenangan tersebut pastilah sebuah kesenangan yang hanya mengikat kita pada kehidupan khayal. Memang, ketika mengkhayalkan sesuatu, untuk sementara kita sempat dibawa melayang-layang pada seolah nyata mengalami. Begitulah, sepintas saja kita akan tertawa bergembira, sebentar lagi akan disusul oleh tangisan yang lebih lama (sukhasyanantaram duhkham),” urainya.

Bunuh diri di Bali sejatinya bukan hal asing, bila menengok ke belakang saat zaman kerajaan yang dikenal dengan Masatya, menceburkan diri ke api. Namun, hal itu dilakukan murni karena dilatarbelakangi harga diri membela pertiwi dan tak rela jadi budak pemberontak. Di Jepang pun tradisi bunuh diri itu ada.

Bahkan, Jepang mencatatkan rekor angka bunuh diri paling tinggi sepanjang sejarah pada 2003. Sebanyak 34.427 orang mati akibat bunuh diri pada tahun tersebut, atau hampir 100 orang bunuh diri setiap harinya.

Angka tersebut mengalami penurunan beberapa tahun setelahnya. Pada tahun 2004, jumlah bunuh diri di Jepang turun sekitar 2.000 orang, yaitu 32.325 dalam setahun. Setelah adanya kampanye pencegahan bunuh diri yang digalakkan pemerintah Jepang, angkanya menunjukkan penurunan. Pada 2012, angka bunuh diri mencapai 27.858 orang. Angka tersebut kembali turun menjadi 27.283 di 2013, dan turun kembali menjadi sekitar 25.000 di 2014. Sedangkan pada 2015, angkanya mencapai 24.025 orang.
Meskipun kini terus terjadi penurunan secara drastis, bunuh diri bagi bangsa Jepang adalah hal lumrah. Bahkan, cenderung dianggap sebagai cara terhormat mengakhiri hidup.

Harakiri atau bunuh diri sebagai hukuman mulai populer di masa Kekaisaran Tokugawa pada zaman Edo (1600-1867). Umumnya, motif bunuh diri ketika itu adalah untuk memperlihatkan kesetiaan kepada majikan atau sebagai ungkapan rasa malu karena kekalahan dalam peperangan.

Ditegaskannya, untuk membedakan jalan ‘mrita’ (kematian) dengan jalan ‘amrita’ (kekekalan) memang perlu selalu memantapkan diri pada kesadaran spiritual. Banyak orang tidak membedakan hidup keagamaan dengan hidup spiritual Sesungguhnya spiritual itu berbeda dengan kehidupan keagamaan. “Spiritual adalah tujuan dari segala praktik agama yang dilakukan. Agama tidak mengajarkan kita untuk tetap berada dalam kesadaran religius. Sejati kita adalah spiritual maka objek kita juga adalah spiritual. Inilah yang dinamakan tingkat adhyatmika siddhi, tingkat di mana kita akan sepenuhnya terlindungi oleh kesadaran sat cit ananda,” paparnya.

(bx/rin/ima/yes/JPR) –sumber

Begini Ceritanya Bungkak Punya Daya Magis Bagi Umat Hindu Bali

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Bungkak atau buah kelapa muda kerap dijadikan sarana pengobatan secara medis (sekala) dan non medis (niskala). Apa istimewanya sehingga bungkak menjadi bagian penting dari proses pengobatan dan sarana ritual?

Jero Dalang dan tokoh masyarakat Desa Sayan, Ubud, Gianyar, I Made Tragia, tak menyanggah bahwa bungkak jadi bagian vital untuk proses pengobatan maupun pembersihan, seperti untuk panglukatan untuk urusan niskala. Khusus untuk yang sekala, lanjutnya, ketika seseorang yang mabuk karena minuman keras juga bisa diatasi dengan minum air bungkak untuk menyadarkan kembali.

Menurutnya, berdasarkan Lontar Siwa Gama, bungkak berasal dari salah satu kepala Ida Bhatara Brahma. Awalnya Bhatara Brahma mintonin Sang Hyang Gana dan Bhatara Wisnu, sehingga Bhatara Wisnu dilindungi oleh Sang Hyang Brahma Makusara. “Saat itu datanglah Sang Hyang Gana dari linggih Ida Sang Hyang Gana untuk mencari kejelasan. Ketika diketahui ada permasalahan seperti itu, mereka bertaruh kalau Brahma kalah akan mau menjadi murid Sang Hyang Gana,” jelas Jero Tragia kepada Bali Expresss (Jawa Pos Group) di Desa Sayan, Ubud Gianyar, pekan kemarin.

Sedangkan jika sebaliknya yang terjadi, maka Sang Hyang Gana akan dimakan oleh Brahma.
Karena diketahui bahwa Brahma memiliki empat kepala yang disembunyikan dalam perutnya sendiri, Sang Hyang Gana lantas mencuri kepalanya Brahma dengan tangan kirinya Dewa Siwa. ” Hal itu mengakibatkan Brahma tidak dapat menunjukkan kepalanya lagi satu, karena kepalanya dicuri secara misterius. Makanya, ketika akan memperlihatkan kepalanya lagi satu, hanya keluar darah saja dari bahu Brahma,” urainya.

DikatakanTragia, darah yang keluar itu menjadi satus sakutus, yakni 108 butha. Lantaran banyaknya keluar butha yang menyerbu, Sang Hyang Ghana kalah. Maka sebelum bernama Catur Muka, lanjutnya, ada sebutan Panca Brahma, karena merasa jengah Sang Siwa dan hadirnya Panca Rsi yang terdiri atas Korsika, Garga, Matri, Kurusya, dan Patanjala.

Tragia mengatakan, kepala Brahma sebelumnya dibuang ke samudra yang mengakibatkan meluapnya air laut. Maka diproteslah kejadian itu oleh Ida Sang Naga Baruna dan kemudian diambil kembali untuk dibuang ke tanah. Hal itu juga membuat tanah menjadi berlubang dan diprotes kembali oleh Naga Bhasuki yang kemudian dibuang ke udara. Karena mengakibatkan suhu udara menjadi panas, maka diambil kembali dan dibawa ke Gunung Kampud di wilayah Pulau Jawa.

“Di sana kemudian ditanam di bawah Gunung Mahameru, yang sekarang disebut dengan Gunung Jembada Geni. Lama-kelamaan di sana muncullah pohon kelapa yang pertama kali. Karena semua bagian tumbuhannya dapat berfungsi untuk kelangsungan hidup dan upacara, maka disebut pohon sudamala,” urianya.

Tragia mengungkapkan pohon kelapa itu muasalnya merupakan kepala Brahma. Disebut pohon Sudamala karena dari ujung pohon sampai akarnya berfungsi untuk kehidupan di dunia ini.
Selain itu, bhuta yang berjumlah 108 itu juga dikalahkan oleh Panca Rsi. Brahma kemudian memohon kepada Hyang Adi Suksma dan akhirnya diberikan lugraha atau tempat, yang diberi nama Sang Hyang Catur Muka. Sedangkan bhutanya sampai saat ini ada banten segan yang jumlahnya 108.

“Sampai saat ini Catur Muka berada di titik nol,sebagai pusat. Baik pusat kegiatan atau pusat pertemuan dari segala arah. Sedangkan pada perempatan penyacah disebut dengan Catur Bhuana,” tandasnya.

Ia mengatakan, Sudamala berasal dari Panyudamala yang berarti bisa digunakan apa saja.
Disinggung soal penggunaan bungkak gading dan gadang, Tragia mengaku tak ada bedanya, karena disesuaikan dengan penggunaan dan tempat. “Setiap penggunaan bungkak dijadikan obat, disesuaikan dengan arah ataupun kegunaan dari tempat malukat ataupun tempat berobat,” urainya.

Secara sekala, lanjutnya, mengonsumsi air bungkak bermanfaat bagi badan, yaitu untuk menetralkan panas yang ada dalam tubuh. Biasanya ketika petani bekerja di sawah, untuk menghilangkan dahaga dan capek, mereka minum bungkak yang langsung dicari di pohonnya. Air bungkak dapat juga mengurangi dehidrasi saat bekerja di bawah panas teriknya matahari. Sedangkan tuahnya secara niskala, penggunaan bungkak di Bali sudah lumrah sebagai media penyembuhan. Dikarenakan setiap banten hampir selalu menggunakan kelapa, dan dianggap menjadi bahan penting dan utama. Tragia mencontohkan dapat digunakan sebagai daksina, panglukatan, prayascita, bahkan simbol para dewa.

“Bungkak memiliki filosofi yang sangat dalam, apalagi dipergunakan dalam yadnya. Terdiri atas air yang berarti sukla, sebagai sumber kekuatan tirtha Mahamerta, juga sebagai sumber nyomia kekuatan Sad Ripu atau enam sifat buruk yang ada di diri manusia yang bersifat keraksasaan, di samping sebagai kekuatan Dewa Brahma dan juga Dewa Wisnu,” ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Tragia, setelah dibuangnya kepala Brahma tersebut, menjadikan kekuatan sendiri pada unsur Tri Lokha karena terjadi penyucian terhadap alam bawah atau bhur loka, alam tengah atau bwah loka, dan alam atas yang disebut dengan swah loka. Sehingga, hal tersebut juga mengartikan sebagai perantara guna manyomia (menyeimbangkan) Panca Mahabuta ke asalnya masing-masing. Pemahaman seperti ini, lanjutnya, perlu diperdalam oleh umat Hindu, termasuk soal asal-usul sarana dan ritualnya. “Jadi, tidak ada kata-kata yang muncul bahwa semuanya nak mula keto,” bebernya.

Tragia mengatakan kelapa memiliki peranan dalam setiap upacara Hindu, dapat dikaitkan dengan makna magis dan mistik karena secara tidak langsung kelapa telah melewati rangkaian upacara. Baik itu dari asal-usulnya yang bisa sampai tumbuh dan semua unsurnya dapat dipergunakan.
“Ini juga yang menyebabkan para balian atau praktisi dalam dunia kesehatan tradisional menggunakan bungkak sebagai sarana pengobatan. Karena memiliki kekuatan kedewataan dan energi positif,” pungkasnya.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber

Begini Sejarah Pura Luhur Sri Rambut Sedana di Jatiluwih

$
0
0

BALI EXPRESS, TABANAN – Setiap hari kita berdoa memohon keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Hal itu juga dilakukan pamedek bila nangkil di Pura Luhur Sri Rambut Sedana.

Pura yang terletak di Kabupaten Tabanan, ini juga dipercaya sebagai tempat untuk memohon kesejahteraan, kemakmuran dan kesuburan. Pura Luhur Sri Rambut Sedana berlokasi di lereng Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Pekraman Jatiluwih, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Pura ini dipercaya termasuk dalam situs purbakala karena keberadaannya yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tak sulit untuk menemukan pura yang satu ini. Pamedek tinggal menuju Desa Jatiluwih kemudian mengikuti petunjuk arah menuju pura. Suasana di sekitar pura masih sangat asri karena dikelilingi perkebunan warga dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.

Kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Jero Mangku Gede Pura Luhur Sri Rambut Sedana, I Nengah Sukra, menuturkan jika menurut cerita turun temurun dari para panglingsir, pura ini sudah ada sejak tahun 1400-an, di mana pada waktu itu pura diempon oleh warga dari Desa Buduk, Badung yang mengalami kekalahan ketika melawan Raja Mengwi sehingga warga Buduk melarikan diri ke kawasan Desa Jatiluwih, yang saat itu belum bernama Jatiluwih. “Sampai di kawasan Desa Jatiluwih mereka mencari nafkah penghidupan, termasuk dengan mengembangkan perkebunan di wilayah pura, sampai akhirnya mereka menemukan tumpukan batu-batu yang diyakini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran,” ujarnya.

Hal itu terbukti ketika warga menyembah tumpukan batu tersebut dan warga kemudian mendapatkan rezeki. Sejak saat itu, tempat tersebut disucikan oleh warga yang masuk dalam Pasek Badak, kemudian semakin banyak didatangi oleh warga untuk memohon kesejahteraan dari warga pasek lainnya sehingga warga satu Desa kemudian mensucikan tempat tersebut.

Pura ini memiliki konsep Nyegara Gunung. Seiring berjalannya waktu, masyarakat membangun satu buah palinggih untuk pangayatan Ida Betara Segara yang lebih dikenal dengan pasimpangan Ida Betara Batu Ngaus sebagai wujud penghormatan terhadap laut dan ikan yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Selain itu juga dibangun palinggih Gerombong Nakaloka sebagai wujud penghormatan kepada hutan dan gunung.

Keberadaan Pura Luhur Sri Rambut Sedana yang dikabarkan sudah ada sejak zaman dahulu, kembali dikuatkan dengan ditemukannya ribuan uang kepeng yang tertanam di bawah pohon kelapa pada tahun 2004, saat dilakukan Pemugaran. Dipercaya uang itu tertanam bersama kelapa yang pada tahun 1933 digunakan saat Karya Ngenteg Linggih di pura tersebut. “Akhirnya uang kepeng kuna itu dipindahkan dan diletakkan pada palinggih pokok di Palinggih Rambut Sedana,” imbuhnya.

Adapun pura ini terdiri dari Tri Mandala, di Utama Mandala terdapat Palinggih Utama atau Palinggih Rambut Sedana, dan di belakangnya terdapat Jemeng linggih Ida Betara Sri. Kemudian ada Palinggih Pasimpangan Betara Luhur Batu Ngaus, Pasimpangan Ida Betara Gerombong Naga Loka, Pasimpangan Ida Betara Suranadi, Gedong Simpen, Gedong Jemeng, Gedong Suranadi, Pungsing Panyimpangan, Bale Piasan Ageng, dan Bale Pelaspas.

Kemudian di Madya Mandala terdapat Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan yang berfungsi memberikan izin kepada pamedek yang datang untuk melanjutkan persembahyangan ke palinggih utama. Bale Pasayuban Pamebek dua buah dan Apit Lawang. Terakhir di Nista Mandala terdapat Bale Pasamuhan, Lumbung Agung, Bale Kulkul, Bale Gong, Dapur Suci, Bale Panegtegan, Palinggih Ida Betara Surya dan Ida Betara Candra.

Jero Mangku Gede menambahkan, selain sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, ada pula Palinggih Taksu tempat memohon kebijaksanaan. Di mana sekitar tahun 2007 silam, seekor burung hantu pernah bertengger pada Palinggih Taksu tersebut, kemudian tiba tiba mati, dan langsung dikubur di lokasi tersebut. Saat ditanyakan kepada orang pintar, ternyata burung hantu atau celepuk itu menyimbolkan kebijaksanaan, sehingga hingga saat ini Palinggih Taksu dipercaya sebagai tempat memohon kebijaksanaan. “Jadi, jika pamedek yang tangkil ke sini, pertama-tama bersembahyang di Palinggih Ratu Nyoman dan Ratu Wayan untuk memohon izin. Setelah itu, lanjut bersembahyang di Palinggih Taksu untuk memohon kebijaksanaan, baru kemudian bersembahyang di palinggih utama,” tegasnya.

Jika dilihat dari etimologi Sri Rambut Sedana, kata Sri artinya cantik, makmur dan subur serta kemuliaan, sedangkan Sedana berarti memberi sehingga Ida Betara Sri Sedana dapat diartikan sebagai beliau pemberi kemuliaan, kemamuran, kesuburan. Maka tak heran banyak pedagang atau pelaku usaha yang pedek tangkil ke pura ini untuk memohon kemakmuran. “Jadi, bisa dikatakan yang terkait keuangan banyak yang tangkil dan mapunia ke sini. Pedagang, pengusaha, instansi keuangan, bank. dan lainnya,” ujar Jero Mangku Gede.

Tak sedikit juga pengusaha yang tangkil ketika dm mendapatkan pawisik dan bercerita jika usahanya sedang carut marut, sehingga memohon petunjuk di pura ini.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber

Hanya Yang Telah Tercerahkan Mampu Menyinari

$
0
0

SULUH BALI, Matahari menjadi hal sangat penting bagi hidup dan kehidupan di bumi. Matahari memberi sinar terang, mengusir kegelapan. Matahari memberi energi. Menjadi sumber hidup bagi semua makhluk.

Dalam tradisi dan budaya Bali pun matahari ditempatkan pada posisi yang sangat penting. Matahari juga menjadi penentu dalam menempatkan lokasi tempat suci atau pelinggih. Dipuja dalam doa saat melaksanakan persembahyangan. Saat sembahyang Panca Sembah misalnya, akan diawali dengan sarana bunga warna putih setelah “sembah puyung”.

Bunga warna putih itu sebagai simbol doa kehadapan Ida Sanghayang Widhi Wasa dalam wujud Beliau sebagai Sinar Suci. “Itu sebagai simbol, doa kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar kita senantiasa dilimpahkan sinar suci. Jalan terang dalam hidup ini,” begitu makna yang kerap disampaikan Jero Mangku usai sembahyang tentang sarana
bunga warna putih tersebut.

Matahari juga jadi penunjuk apabila kita tidak tahu arah mata angin di suatu tempat. “Apabila di suatu tempat kamu bingung, sing nawang kangin kauh (tidak tahu arah mana timur mana barat), maka lihat posisi matahari. Maka akan diketahui arah timur dan barat itu. ,” pesan seorang kakek suatu ketika kepada saya.

Karena kemuliaan, keagungan, manfaat, sekaligus identifikasi matahari sebagai sifat-sifat ke-Dewata-an tersebut, maka sosok seorang pemimpin pun diharapkan mampu meniru atau seperti matahari. Asta Brata, tentang 8 sifat kepemimpinan salah satunya ada disebut Surya Brata. Menyebutkan seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat Surya atau
Matahari. Bagaimana sifat-sifat pemimpin yang seperti matahari itu ?

Pemimpin hendaknya mampu menyinari dengan adil terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mampu membuat terang (widya) menghilangkan kebodohan (awidya) rakyatnya. Dengan hilangnya kebodohan itu, maka akan terbangun adanya kesejahteraan serta budi pekerti yang tercerahkan.

Begitupula seorang pemimpin harus mampu berbuat adil, tanpa membeda-bedakan tempat untuk menerangi. Menyinari tanpa membedakan asal-usul, kelompok, golongan, maupun status dari mereka yang dipimpin. Mampu memberi arah tujuan bagi kebaikan semuanya.

Kemudian, seperti juga sifat matahari yang selalu tetap dan tepat akan kehadirannya. Teguh berketetapan menepati janji. Ini sebagai sikap satya wacana dari seorang pemimpin. Apa yang dijanjikan, itulah yang mesti diwujudkan. Meski saat pagi hari langit nampak mendung, namun di tempat lain langit nampak terang. Mendung bukan berarti matahari tidak berketetapan hadir menyinari. Matahari selalu ada dan hadir untuk
menyinari.

Itulah sebagaian dari sifat-sifat matahari yang diharapkan ditiru, dilakoni oleh sosok seorang pemimpin. Namun kemampun sosok pemimpin seperti itu, hanya mampu dihadirkan oleh pemimpin yang telah tercerahkan. Tercerahkan oleh kesadaran, bahwa dirinya seperti halnya matahari itu. Meski ada tinggi “diatas” namun memberi sinar terang,
sekaligus memberi energi hidup semua rakyat “dibawah” yang dia pimpin.

Kegelapan tidak akan mampu memberi terang apalagi menyinari sekitar. Hanya pemimpin yang telah tercerahkan yang akan mampu menyinari rakyat yang dipimpinnya. Dia (pemimpin tersebut) akan memberi arah tujuan bagi kebaikan, menyemangati, selalu hadir untuk membuat terang yang berujung pada kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh rakyatnya. (SB-Rk). –sumber

Begini Asal-Usul Ular Suci Pura Luhur Tanah Lot

$
0
0

BALI EXPRESS, TABANAN – Tanah Lot tidak hanya dikenal dengan Pura Luhur Tanah Lot yang berada tepat di atas karang di tengah laut yang membuat para wisatawan lokal dan mancanegara terpukau. Namun juga terkenal dengan ular sucinya. Maka tak heran jika para wisatawan yang datang tidak hanya menikmati pemandangan namun juga melihat langsung keberadaan ular suci tersebut.

Bagi masyarakat Pulau Dewata, ular yang ada di Pura Luhur Tanah Lot ini sudah tidak asing lagi. Ular dengan warna belang hitam-putih atau poleng tersebut dipercayai sebagai ular suci yang menjaga Pura Luhur Tanah Lot dan biasa disebut Duwe.

Keberadaan ular suci itu sendiri dapat disaksikan oleh para wisatawan dengan hanya mengaturkan dana punia sukarela di sebuah goa yang tentunya dijaga oleh seorang pawang ular.

Di dalam goa bertuliskan “Ular Suci/Holy Snake” tersebut siapa pun dapat menyaksikan bahkan menyentuh ular suci jenis ular laut berekor pipih dengan nama ilmiah bungarus candidus tersebut. bungarus candidus sendiri merupakan sejenis ular berbisa dari suku elapidae dan merupakan salah satu ular paling berbisa di dunia. “Menurut cerita dari zaman dulu, bisa atau racun dari ular suci itu sangat mematikan,” ungkap terang Jero Mangku Wati, Pemangku di Pura Luhur Tanah Lot.

Meskipun memiliki bisa mematikan, hingga saat ini Mangku Wati mengatakan jika tidak pernah ada orang yang digigit entah itu dari pawang ataupun wisatawan. Karena memang ular suci tersebut tidak akan menggigit selama dirinya merasa aman dan nyaman. “Yang saya tahu dan saya dengar selama ini, hingga detik ini tidak pernah ada orang yang digigit oleh ular suci itu, meskipun katanya ular itu sangat berbisa. Siapa pun yang digigit akan menemui ajalnya dengan sekejap,” imbuhnya.

Keyakinan bahwa bisa atau racun ular sui tersebut sangat mematikan dikuatkan dengan sebuah cerita dari para leluhurnya terdahulu. Konon dulu ular suci pernah bertarung dengan seekor musang. Musang tersebut kemudian digigit oleh ular suci dan dalam beberapa saat musang itu pun melepuh. Ditambahkan lagi, karena tidak pernah menggigit orang maka tidak ada seorang pun yang tahu apa obat penawar jika tergigit oleh ular suci tersebut.

Ular suci yang ada di Pura Luhur Tanah Lot itu dijelaskan bahwa ada dua warna, satu berwarna poleng (hitam-putih) dan satu lagi berwarna abu-abu kehitaman. “Kebanyakan yang berwarna poleng, tetapi kadang-kadang muncul yang berwarna belang abu-abu kebiruan itu. Katanya itu bisanya lebih mematikan lagi,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Jero Mangku Wati menceritakan jika menurut kepercayaan dan cerita Agama, ular suci tersebut merupakan jelmaan dari selendang milik Dang Hyang Nirartha ketika menginjakkan kaki di Pantai Tanah Lot.

“Ketika Dang Hyang Nirartha tiba di Pantai Tanah Lot sekitar abad ke-14 Beliau mendirikan pasraman dan bersemedi. Nah ketika itu agar tidak ada gangguan, Beliau kemudian merobek kain poleng yang Beliau gunakan seukuran selendang. Dan selendang itulah berubah menjadi ular suci yang hingga saat ini dipercayai adalah sebagai penjaga Pura Luhur Tanah Lot,” terang Mangku Wati.

Terlebih lagi Mangku Wati menuturkan jika sebelum tahun 1960-an, ular suci di Pura Luhur Tanah Lot berjumlah ratusan. Bahkan ketika pujawali ular-ular tersebut akan meliuk-liuk di Pura Luhur Tanah Lot dengan bebas. “Ular-ular itu akan berkeliaran bebas, dan mereka sangat jinak. Jadi orang yang bersembahyang juga tidak takut karena kalau kita tidak mengganggu ular itu maka ular itu juga tidak akan mengganggu kita. Jadi kita bisa berdampingan,” ujar Mangku Wati lagi.

Namun setelah pariwisata semakin pesat, perlahan keberadaan ular suci itu berkurang. Bahkan kini sudah sangat sulit untuk menemukan ular suci berkeliaran seperti dahulu kala. Dan tak jarang Mangku Wati melihat ada ular suci yang meregang nyawa. “Terakhir saya lihat ada ular suci yang mati lemas di pagar Pura,” tuturnya.

Berkurangnya populasi ular suci di Pura Luhur Tanah Lot diyakini karena eksploitasi terhadap ular suci yang dimanfaatkan untuk bisnis. “Dulu ular banyak dan gampang untuk dipertontonkan kepada pengunjung. Sekarang sudah sedikit jadi ular suci dicari-cari untuk dapat diperlihatkan kepada pengunjung,” ungkap sumber yang enggan dikorankan namanya tersebut.

Kata dia, kesucian ular tersebut telah terkikis oleh kepentingan bisnis sehingga kini populasi ular berkurang. Hal ini tentu saja menjadi pro dan kontra. “Tidak tahu nanti kalau ular suci benar-benar sudah tidak ada lagi. Jadi serba salah di sini, soalnya semua sama-sama cari makan,” pungkas sumber.

(bx/ras/yes/JPR) –sumber

Pedoman Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940 Provinsi Bali

$
0
0

Sehubungan dengan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940 yang jatuh pada Hari : Sabtu, Tanggal : 17 Maret 2018, Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali memandang perlu menyampaikan pedoman pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940.

Berikut adalah link untuk download dokumen Pedoman Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Saka 1940 yang di keluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali

DOWNLOAD

 

Sasih Kasanga, Masa Tergelap dan Terkotor Sepanjang Tahun, Benarkah?

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Saat bulan mati, tepatnya pada Tilem kasanga yang jatuh pada sasih kasanga, dikenal sebagai malamnya para penekun ilmu hitam. Apakah benar momen ini merupakan malam tergelap dan terkotor?

Dalam penanggalan Bali, banyak terdapat hari – hari khusus untuk ritual keagamaan. Seperti purnama, tilem, wuku wayang, serta bhuda cemeng. Penanggalan tersebut telah ada sejak zaman dahulu. Dan, dibuat berdasarkan perbintangan, perubahan musim serta perubahan alam. Perubahan musim dan alam biasanya dikaitkan dengan mitos dan legenda di masyarakat. Misalnya saja Tilem kasanga yang jatuh pada sasih kasanga, sangat identik dikenal sebagai malamnya para penekun ilmu hitam (Black Magic). Benarkah mitos tentang Tilem kasanga ini?

Menurut penyusun kalender Bali, Gede Sutarya, Kamis (1/3) lalu kepada Bali Express (Jawa Pos Group), setiap malam yang ada pada sasih kasanga adalah malam yang sangat gelap. Dan, puncaknya ada pada Tilem kasanga. “Seperti yang kita tahu sasih kasanga adalah sasih dengan masa gelap yang lebih panjang dibanding sasih lainnya. Perputaran matahari kan ada periodenya. Nah, ketika sasih kasanga memang lebih lama malamnya dibanding siangnya,” terang pria asal Bangli ini.

Jadi, lanjut Sutarya, Tilem Kasanga lebih gelap dibanding sasih yang lain. “Puncaknya pada Tilem kasanga, makanya diadakan pangrupukan untuk mencegah pengaruh bhutakala terhadap kita,” papar dosen pascasarjana IHDN Denpasar ini.

Sutarya memaparkan, adanya prinsip Rwabhineda akan selalu berimbang di dunia. Maka siang dan malam akan selalu bergantian memengaruhi kehidupan. “Yah namanya Rwabhineda, ada yang baik dan jahat, siang dan malam. Saya tidak memungkiri pada saat puncak masa tergelap, pengaruh kegelapan memang dirasa sangat memengaruhi manusia,” bebernya.

Sutarya mencontohkan, amarah, benci, dengki semua sifat raksasa tersebut akan jauh terlihat di sasih kasanga. Dalam filosofi Hindu, diyakini sasih kasanga ( bulan kesembilan) dalam hitungan kalender Bali, merupakan masa tergelap dan puncak terkotor.

“Sebenarnya sasih ini adalah sasih peralihan antara masa gelap dan terang. Nah, untuk dapat melewati masa gelap dan meredam pengaruh bhutakala dalam diri, kita mengadakan prosesi pangerupukan. Tujuannya, agar kita dapat melewati masa tergelap dan siap menyongsong masa terang,” ujarnya.

Sebelum melaksanakan Taur Kasanga, Sutarya juga mengimbau melakukan pacaruan untuk mencegah gangguan itu datang dan memengaruhi kehidupan. “Biasanya sih diadakan pacaruan ya di areal rumah dan lingkungan sekitar,” ungkapnya.

Ketika disinggung, apakah pada sasih kasanga akan banyak kecelakaan serta wabah penyikit akibat pengaruh gelapnya sasih kasanga? Sutarya menjelaskan, pada sasih kasanga memang biasanya diiringi dengan perubahan musim dari hujan ke kemarau. Wabah penyakit, biasanya memang sering terjadi pada perubahan musim. “Seperti yang kita tahu ketika pancaroba, banyak wabah penyakit. Kita tak bisa menyangkutpautkan semua hal niskala, walaupun memang masih ada pengaruhnya secara niskala,” paparnya.

Malam Tilem kadang kerap dikaitkan, bahkan jadi malam favorit bagi mereka penekun ilmu hitam di Bali. Menurut Dosen Institute Negeri Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, penganut ilmu hitam memang ada, seperti hukum Rwabhineda, yakni adanya keseimbangan di dunia akan adanya baik dan buruk. Dirinya tidak memungkiri memang ada aliran ilmu tertentu yang melakukan ritual khusus pada saat Tilem kasanga.

“Yah seperti hukum Rwabhineda, saya tidak memungkiri memang hal itu ada. Tapi saya tidak tahu pasti seperti apa ritualnya, dan bagaimana mereka melakukannya. Namun, sebaiknya kita sebagai umat beragama mempersiapkan diri ketika masa tergelap itu datang,” sarannya. Caranya? Rajin sembahyang, mengontrol sifat sifat keraksasaan, amarah dan dengki.

Ia juga mengungkapkan, masyarakat terkadang masih salah kaprah, mengenai pengusiran bhutakala. “Bhutakala itu ada pada setiap diri manusia. Itu ibaratnya sisi buruk kita sebagai manusia. Tidak mungkin diusir kan? Nah ritual pacaruan dan Tawur Agung itu tujuannya agar sifat keraksasaan kita tidak mendominasi kita di waktu tergelap sekalipun ,” pungkas Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda. (tya)

(bx/ima/yes/JPR) –sumber


Ini Makna Sanggah Surya dan Tawang dalam Upacara Hindu di Bali

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Umat Hindu di Bali secara tidak langsung memberikan posisi penting bagi salah satu dari 33 Dewa yang tertuang dalam Rg. Weda, yakni Dewa Surya. Hal ini dibuktikan dengan menempatkan Sanggah Surya dalam aktivitas Yadnya, minimal dalam posisi tinggi yang menggambarkan linggih atau kehadiran Dewa Surya.

Sanggah Surya di beberapa daerah di Bali, juga sering disebut dengan Sanggah Agung. Keduanya bermula dari dua kata, yakni Sanggah yang mengandung arti sumber, sedangkan Agung menekankan kewibawaan Sang Hyang Siwa Raditya yang tak lain adalah Dewa Surya.

Ukuran Sanggah Surya biasanya lebih tinggi dari pinggang manusia, bahkan ketika dilaksanakannya upacara Yadnya, sanggah ini dibuat lebih tinggi dari dasar bangunan tempat dilaksanakannya upacara Yadnya.

Menurut Budayawan Kota Denpasar, I Gede Anom Ranuara, Sanggah Surya dibuat dengan menggunakan empat batang bambu yang ditancapkan di sisi Timur Laut atau arah kaje kangin. Posisi ini mengacu kepada pembagian pekarangan berdasarkan Asta Kosala- kosali. Di mana arah kaje Kangin merupakan pertemuan antara utama dengan utama, sehingga sering disebut arah Dewata. Untuk diketahui bahwa Sanggah Surya hanya memiliki satu ruangan saja dan dibatasi menggunakan ancak saji.

Lebih lanjut Anom mengatakan, Sanggah Surya sangat penting ketika pelaksanaan upacara yadnya, khususnya yang menggunakan banten Bebangkit yang dipuput oleh seorang Sulinggih. Ketika tidak ada Sanggah Surya yang merupakan stana Sang Hyang Siwa Raditya, maka dikatakan suatu upacara yadnya belum lengkap. Hal ini sesuai dengan prabhawa Sang Hyang Surya sebagau Upasaksi. Kebiasaan ini bisa dilihat ketika hendak melaksanakan Panca Sembah, di mana setelah pelaksanaan sembah puyung dilanjutkan menggunakan bunga putih sebagai persembahan kepada Dewa Surya sebagai saksi dari persembahyangan. “Begitu halnya upacara yadnya, Panca Sembah kan juga yadnya, namun skalanya lebih kecil,” jelas pria asal Kesiman ini kepada Bali Express (Jawa Pos Group) Denpasar.

Selain Sanggah Surya, di Bali juga dikenal dengan adanya Sanggah Tawang. Kata Sanggah berarti sumber, dan Tawang memiliki penekanan arti awing-awang yang dapat diartikan sebagai kesunyian atau sepi. Jadi, Sanggah Tawang dapat diartikan sebagai sumber kesepian, di mana kesepian dan kesunyian tak lain adalah Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Sanggah Tawang dibuat dari bambu berbentuk segi empat panjang yang memiliki pinggiran yang disebut dengan ancak saji. Sama halnya seperti Sanggah Surya, Sanggah Tawang tidak menggunakan atap, namun terdiri dari tiga ruang atau rong telu yang merupakan simbol Dewa Surya dalam tatanan Tri Sakti , yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Penggunaan Sanggah Tawang ini biasa dijumpai ketika dilaksanakannya upacara dengan tingkatan Utama. Beberapa di antaranya yakni Tawur Agung, Padudusan Agung.

Dengan demikian, Sanggah Tawang mempunyai makna sebagai simbol stananya Sang Hyang Widhi sebagai simbol manifestasinya yang merupakan permohonan umat Hindu dalam suatu upacara agama. Dalam Pustaka Bhuwana disebutkan kosa 1.2.10 ‘Sunyasca Nirbhanadhika, Siwanga Twe Raniksyate, Kutah Tad Wakyama Tulam, Srutwa Dewo Watista, yang artinya ada alam sunia yang dianggap sakti, itulah yang disebut dengan Sang Hyang Siwa.

Dengan melihat sloka tersebut, dapat diartikan bahwa Sanggah Tawang yang menggunakan tiga ruangan sebagai simbol Tri Purusa, yakni Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa.

“Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan Tri Sakti dan Tri Murti,” pungkasnya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber

Dewasa Pawiwahan Tahun 2018; Hindari Wuku Rangda Tiga

$
0
0

BALI EXPRESS, SINGARAJA – Upacara Pawiwahan sangat disakralkan di Bali. Sebab, cikal bakal kehidupan dimulai dari sebuah pawiwahan yang bertujuan untuk mendapatakan keturunan yang suputra. Jadi, jangan salah menentukan momennya.

Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata Pawiwahan berasal dari kata dasar wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan kata Wiwaha berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti pesta pernikahan, perkawinan atau dalam Bahasa Bali disebut Nganten.

Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram, yaitu masa menjalani kehidupan berumah tangga yang wajib dijalani.

Agar prosesi Pawiwahan berjalan lancar, wajib hukumnya harus memperhatikan padewasan (hari baik). Padewasan yang ditentukan berdasarkan wariga. Bahkan, penentuan hari baik untuk pelaksanaan Pawiwahan ditentukan oleh berbagai unsur.
Menurut Penyusun Kalender Bali, Gede Marayana, penentuan dewasa Pawiwahan didasari oleh perhitungan berbagai unsur. Di antaranya wewaran, pawukon, tanggal, sasih, dan dauh. “Artinya wewaran harus baik, pawukon harus baik, tanggalnya juga baik, sasih harus baik dan dauhnya juga baik,” ujar Gede Marayana kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

Wewaran yang baik dikatakan Gede Marayana adalah menitikberatkan pada saptawara (hari-hari dalam seminggu). Di antara saptawara yang dipilih di antaranya Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. “Itu mengandung unsur kebaikan,” tegasnya.

Sedangkan perhitungan pawukon yang wajib dihindari jika ingin menggelar upacara Pawiwahan adalah Ingkel Wong, Was Panganten, Rangda Tiga, Nguncal Balung, dan paling dihindari adalah Wuku Wayang. “Itu wajib dihindari. Apalagi Wuku Wayang dianggap cemer (kotor),” kata pria pensiunan pegawai Dinas PU ini.

Rangda Tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat Rangda Tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian. “Rangda itu artinya janda atau duda. Rangda Tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda. Artinya pernikahan akan selalu gagal,” kata Marayana.

Kemudian Was Panganten merupakan hari-hari tertentu seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.

Sedangkan Nguncal Balung, yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan. Marayana menegaskan, pada hari itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngawangun seperti ngaben dan pernikahan.

Begitupun dengan Ingkel Wong artinya hari-hari naas bagi manusia. “Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan” imbuhnya.

Lebih lanjut, Gede Marayana menjelaskan, tanggal yang dianggap baik dalam melaksanakan upacara pernikahan adalah tanggal 1, 2, 3, 5,7, 10, dan 13. Deretan tanggal tersebut, lanjut Marayana, merupakan tanggal yang direkomendasikan saat puncak prosesi upacara perkawinan digelar. “Selain tanggal itu jangan. Sebisanya diabaikan,” pungkasnya.

Selain itu, perhitungan sasih tidak boleh diabaikan dalam menentukan hari baik melaksanakan upacara perkawinan. Disebutkan Marayana, dari 12 sasih dalam setahun, umat Hindu di Bali meyakini pelaksanaan upacara panca yadnya hanya boleh dilaksanakan dari Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kaulu, Kasanga, dan Kadasa. Sedangkan untuk Sasih Jyestha dan Sadha dikatakan sasih sebel, sehingga dihindari untuk menggelar upacara panca yadnya, termasuk Pawiwahan.

Tetapi untuk melaksanakan Pawiwahan, sasih yang direkomendasikan adalah Sasih Katiga, Kapat, Kalima, Kapitu, dan Kadasa. “Sasih Katiga itu bulan Agustus-September, Kapat itu bulan September-Oktober, Sasih Kalima adalah Oktober-November, Sasih Kapitu Desember-Januari, dan Sasih Kadasa antara bulan Maret-April, ” beber Marayana.

Konkritnya, untuk di tahun 2018, Marayana merinci ada beberapa tanggal yang direkomendasikan untuk melaksanakan upacara Pawiwahan. Sebut saja di bulan Maret, yang merupakan Sasih Kedasa. Tanggal yang direkomendasikan adalah 10, 13, 26, dan 29 Maret.

Kemudian di bulan Agustus atau Sasih Katiga, tanggal yang bagus untuk melaksanakan Pawiwahan adalah tanggal 5, 13, 16, dan 24. Selanjutnya, dewasa ayu menggelar Pawiwahan di bulan September atau Sasih Kapat juga bisa ditemukan pada tanggal 1, 3, 10, dan 12 September.

Nah, jumlah padewasan paling banyak justru ditemukan di pengujung tahun 2018, yakni di bulan Desember. Menurut Marayana, pada Sasih Kapitu ini ada delapan tanggal yang tepat untuk melaksanakan Pawiwahan, yakni tanggal 3, 7, 10, 12, 13, 14, 17, dan 20 Desember.

Namun, Marayana kembali menegaskan, jika tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. “Nanti akan menyesuaikan jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Kembali ke iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu), ” tutupnya.

(bx/dik/yes/JPR) –sumber

Makna dan Filosofi Tumpek Landep Yang Tidak Boleh Dilupakan

$
0
0

Inputbali,- Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki seribu pura, tradisi dan budaya yang saling mengisi dan melengkapi dengan ajaran agama Hindu. Bagi warga Bali yang mayoritas Hindu memiliki sebuah tradisi yang dinamakan Tumpek Landep. Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.

Makna Tumpek Landep

Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari Sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.

Dewasa kini, senjata lancip itu sudah meluas pengertiannya. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh disalah artikan, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.

Filosofi Tumpek Landep

Dalam Tumpek Landep, Landep yang diartikan tajam mempunyai filosofi yang berarti bahwa Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai – nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Tumpek landep merupakan tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran – ajaran agama. Pada rerainan tumpek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.

Menurut Dharma Wacana dari Ida Pedanda Gede Made Gunung, Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.

Jadi bisa disimpulkan menurut pendapat kami bahwa Pada Rahina Tumpek Landep hal yang paling utama yang tidak boleh dilupakan ialah hendaknya kita selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan kita dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan serta mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.

(sumber: Ida Pedanda Gede Made Gunung, Hindu Nusantara) –sumber

Banten Tumpek Landep Dalam Tradsi Hindu Bali

$
0
0

Inputbali,- Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.

Berikut ini jenis-jenisnya (sorohan) banten yang sederhana, karena harus disesuaikan lagi dengan kebiasaan setempat :

Sesayut Jayeng Perang
Kulit sesayut dari daunan dong, tumpeng putih memuncuk barak 2 buah. Tumpeng selem memuncuk putih 1 buah. Medasar beras triwarna (injin, baas barak, baas biasa). Be ati bungkulan, yeh asibuh, muncuk dadap 11, tulung urip apasang (2), kewangen 3 (tiga) sekar pucuk bang tirta asuhun keris mewadah sibuh.

Sesayut Kesuma Yuda
Beras mepisela padma medasar beras barak, kulit sesayut busung nyuh gading, penyeneng nagasari, nyuh gading ring tengah pinaka agung, tindakan sekar mancawarna, bawang putih padang kasna, prayascita dikelilingi antuk tumpeng pancawarna metanceb pucuk bang lima katih. Getih megoreng atakir, ati dan batukan (betukan ayam) megoreng pada metakir tirta pasupati, tirta betara, tirta sulinggih sesari 76.500 kepeng, tetebusan benang hitam.

Sesayut Pasupati
Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati.

Segehan Agung Pasupati
Peras barak sodan barak (sampeyan canang don andong). Daksina tampi serobong, ketipat kelan, nasi kepelan 9 kepel metatakan don andong medaging ulam jeroan matah 9 takir raung ring sowang-sowang. Asep 9 katih, nasi wong-wongan barak 5, api takep 5.

Sesayut Guru
Kulit sesayut beras akulak metatah kain putih tampelan tetebu jinah 11 kepeng. Tumpeng guru, tulung 2, kewangen 1, peras alit, pesucian, pembersihan, penyeneng, sampeyan nagasari, meulam ayam putih mulus.

Banten lain
Ayaban, suci, byakawon +prayascita (anggen mereresik). Yening membanten ring mobil, genahang jayeng perang atanding.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang lengkap, mohon dikoreksi bersama. Suksma…

(sumber : Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda ) –sumber

Ini Dia Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu?

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. “Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan,” papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar – besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru.

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.

“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu,” bebernya.

Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. “Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda,” urainya.

Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. “Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.

Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.

Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.

Ornamen – ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. “Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.

Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol ‘Kamerta pangurip jagat’. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. “Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.

Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.

Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya

Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
“Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, ” ujarnya.

Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda – benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

(bx/tya/bay/yes/JPR) –sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live