Mengapa Ritual Hindu Di Indonesia Berbeda Dengan Hindu Di India
Belajar dan Pembelajaran Adalah Yadnya
Agama Hindu, atau Agama Veda, tidak hanya sekedar suatu Agama. Ia adalah jalan spiritual dan cara hidup. Veda diwahyukan bersamaan dengan kesadaran manusia akan kemampuannya berpikir. Hyang Widhi yang dalam Rg-Veda disebut sebagai Prajapati, telah ber-Yadnya menciptakan semesta dengan inti manusia sebagai ciptaan-Nya yang utama.
Diantara mahluk-mahluk hidup, manusialah yang mempunyai kemampuan berpikir sehingga kepada manusia ajaran-ajaran Veda diwahyukan agar kehidupan semesta dapat terwujud sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia.
Hyang Widhi telah melakukan Yadnya sebagai suatu bentuk pengorbanan yang suci dan tulus ikhlas. Dengan demikian maka manusiapun melakukan yadnya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Pengorbanan itu dapat berwujud dan dapat pula tidak berwujud.
Pengorbanan yang berwujud berupa benda-benda dan kegiatan, sedangkan pengorbanan yang tidak berwujud adalah berupa “tapa” atau pengekangan indria dan pengendalian diri agar tidak menyimpang dari ajaran Veda.
Pentingnya ber-yadnya bagi manusia, tersirat dari Bhagawadgita Bab III.9:
YAJNARTHAT KARMANO NYATRA, LOKO YAM KARMABANDHANAH, TADARTHAM KARMA KAUNTEYA, MUKTASANGAH SAMACARA
Artinya: Selain kegiatan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya lakukan tugasmu ber-yadnya, bebaskan diri dari semua ikatan; lakukan yadnya tanpa memikirkan hasil, dengan tulus ikhlas dan untuk Tuhan.
Juga dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 19 ada disebutkan tentang hal ini:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMASAMKALPAVARJITAH, JNANAGNIDAGDHAKARMANAM, TAM AHUH PANDITHAM BUDHAH
Artinya: Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya dan ia yang kepercayaannya dinyalakan oleh api pengetahuan, diberi gelar Pandita oleh orang-orang yang bijaksana.
Berbagai bentuk yadnya dan nilai-nilai symbolisnya ditemukan dalam Bhagawadgita Bab IV pasal 23 sampai 30 di mana disimpulkan bahwa tiap-tiap usaha yang berakibat mengurangi rasa keakuan dan mengurangi nafsu rendah semata-mata untuk mewujudkan bhakti kepada Hyang Widhi, adalah pengorbanan.
Oleh karena itu maka bentuk yadnya dapat digolongkan kedalam empat besar, yaitu: Widhi Yadnya, Druwya Yadnya, Jnana Yadnya, dan Tapa Yadnya.
WIDHI YADNYA
Widhi Yadnya adalah bentuk yadnya yang diadakan dengan berlatar belakang pada kehidupan manusia yang mempunyai “hutang-hutang” atau Rnam. Rnam itu ada tiga, yaitu Dewa Rnam, Rsi Rnam, dan Pitra Rnam.
Dewa Rnam adalah hutang manusia kepada Hyang Widhi, karena berkat anugrah-Nya atman atau roh dapat ber-reinkarnasi menjadi manusia; Rsi Rnam adalah hutang manusia kepada para Maha-Rsi yang telah menyebarkan ajaran Veda sebagai pangkal ilmu pengetahuan sehingga manusia mempunyai kemampuan meningkatkan kualitas kehidupannya; Pitra Rnam adalah hutang manusia kepada leluhur sebagai yang mengembangkan keturunan.
Manusia yang berbudi hendaknya menyadari adanya Tri Rnam ini serta melakukan yadnya sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-IV (Atha Caturtho Dhayah) pasal 21:
RSI YAJNAM DEVAYADNAM BHUTA YAJNAM CA SARVADA, NRYAJNAM PITRYAJNAM CA YATHACAKTI NA HAPAYET
Artinya: Hendaknya janganlah sampai lupa, jika mampu melaksanakan yadnya untuk para Rsi, para Dewa, kepada unsur-unsur alam (Bhuta), kepada sesama manusia dan kepada para leluhur.
Ajaran ini berkembang di Nusantara sebagai “Panca Yadnya” dengan urutan: Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Tri Rnam “dibayar” dengan Panca Yadnya, sebab ada yadnya-yadnya yang bermakna atau bertujuan sama dalam kaitan Rnam, yaitu: Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya ada dalam kaitan Dewa Rnam; Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya ada dalam kaitan Pitra Rnam, dan Rsi Yadnya khusus untuk Rsi Rnam.
DRUWYA YADNYA
Druwya Yadnya adalah pengorbanan dalam bentuk materi yang diberikan kepada seseorang yang membutuhkan. Dalam keseharian Druwya Yadnya ini dikenal dengan kegiatan me-Dana Punia. Dana Punia yang dilakukan tanpa mengharap balas jasa itulah yang utama sebagaimana disebutkan dalam Bhagawadgita XVII pasal 20:
DATAVYAM ITI YAD DANAM, DIYATE NUPAKARINE, DESE KALE CA PATRE CA, TAD DANAM SATTVIKAM SMRTAM
Pemberian dana yang dilakukan kepada seseorang tanpa harapan kembali, dengan perasaan sebagai kewajiban untuk memberi kepada orang yang patut dalam waktu dan tempat yang patut itulah yang disebut sattvika (baik).
JNANA YADNYA
Jnana Yadnya adalah pengorbanan dalam bentuk kegiatan belajar dan pembelajaran. Bhagawadgita VII membedakan antara Vijnana dengan Jnana sebagai berikut: Vijnana adalah pengetahuan yang berdasarkan pemikiran dan kecerdasan, sedangkan Jnana adalah pengetahuan mengenai ke-Tuhan-an.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa Jnana tidak mungkin diperoleh tanpa Vijnana, karena Vijnana adalah dasar yang kuat untuk meningkatkan pengetahuan rohani. Jnana Yadnya tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga bagi diri sendiri, karena sangat membantu upaya manusia dalam pendakian kesadaran spiritual.
Kegiatan belajar dan proses pembelajaran adalah contoh Jnana Yadnya yang disebut sebagai bentuk Yadnya yang lebih agung, dalam Bhagawadgita IV pasal 33:
SREYAN DRAVYAMAYAD YAJNAJ, JNANAYAJNAH PARAMTAPA, SARVAM KARMA KHILAM PARTHA, JNANE PARISAMAPYATE
Artinya: Persembahan korban berupa ilmu pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apa juapun, sebab segala pekerjaan dengan tiada kecuali memuncak dalam kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengetahuan.
TAPA YADNYA
Tapa Yadnya adalah pengorbanan atau yadnya yang tertinggi nilainya karena berwujud sebagai pengendalian diri masing-masing individu. Tapa Yadnya juga disebut sebagai kegiatan pendakian spiritual seseorang dalam upaya meningkatkan kualitas beragama.
Tahapan-tahapan peningkatan kualitas beragama, menurut Lontar Sewaka Dharma adalah:
- Ksipta, seperti perilaku ke-kanak-kanakan yang cepat menerima sesuatu yang dianggapnya baik tanpa pertimbangan yang matang.
- Mudha, seperti perilaku pemuda: pemberani, selalu merasa benar, kurang mempertimbangkan pendapat orang lain.
- Wiksipta, seperti perilaku orang dewasa, mengerti hakekat kehidupan, memahami subha dan asubha karma.
- Ekakrta, seperti perilaku orang tua, yaitu keyakinan yang kuat pada Hyang Widhi, mempunyai tujuan yang suci dan mulia.
- Nirudha adalah perilaku orang-orang suci, penuh pengertian, bijaksana, segala pemikiran perkataan dan perbuataannya terkendali oleh ajaran-ajaran Agama yang kuat, serta mengabdi pada kepentingan umat manusia.
Tujuan menekuni Agama atau kerajinan melaksanakan ajaran Agama adalah mewujudkan Tapa Yadnya ini dalam kehidupan sehari-hari.
Antara Jnana Yadnya dan Tapa Yadnya ada korelasi yang mutualistik, karena seperti yang diuraikan di atas, tidak mungkin melakukan Tapa Yadnya yang baik tanpa melaksanakan Jnana Yadnya terlebih dahulu.
Bahkan jika dipikirkan lebih jauh, dasar dari seluruh Yadnya adalah Jnana Yadnya, karena dengan proses belajar dan pembelajaran, manusia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang kewajibannya untuk ber-Yadnya.
Sejak zaman Veda, proses belajar dan pembelajaran yang diadakan di setiap sampradaya telah memakai metoda yang demikian terkait sehingga untuk dapat mengajarkan Veda, seorang Guru terlebih dahulu haruslah meningkatkan kualitas dirinya melalui proses belajar yang intensif.
Dalam garis ini tingkat pengetahuan spiritual tertinggi secara hati-hati diturunkan dari seorang Guru kepada muridnya. Guru mempunyai kemampuan yang sedemikian rupa untuk mempengaruhi muridnya tidak hanya dalam perkataan saja, tetapi lebih jauh adalah dalam memberi contoh pola pikir dan berbuat sehari-hari.
Agama Hindu adalah “Sanatana Dharma”, yaitu suatu kebenaran yang abadi. Artinya Veda adalah panduan hidup manusia sepanjang zaman karena Hyang Widhi telah mewahyukannya untuk diikuti oleh seluruh umat manusia.
Veda adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan seluruh topik yang diliput oleh pustaka suci Veda, ia menyediakan cara atau alat bagi suatu kehidupan yang penuh dan seimbang, secara material dan spiritual.
Untuk menjadi yang utama, manusia hendaknya menempuh jalan hidup yang ilmiah. Jalan hidup ilmiah hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan pembelajaran. Siapapun dan dalam kondisi apapun dapat menjadi seorang Hindu dan mempraktekkan serta mendapatkan manfaat dari pengajaran Veda. Ini akan memberi keuntungan dalam berbagai cara.
Salah satu aspek Sanatana Dharma adalah hakekat abadi dari jiwa yang meliputi semua mahluk sehingga dalam kemanusiaan terjadilah proses belajar dan pembelajaran yang sifatnya universal, tidak memilih waktu, tempat, budaya, agama-agama, ras, usia, suku bangsa, gender, dll.
Veda mengajarkan kesadaran universal yang berpangkal dari kesadaran individu bahwa individu adalah bagian dari alam semesta sehingga mikrokosmos adalah mewakili makrokosmos. Pelajaran yang sempurna mengenai astronomi Veda mengungkapkan bahwa bentuk universal juga terdapat dalam diri individu.
Oleh karena semesta adalah ciptaan Hyang Widhi, maka proses belajar dan pembelajaran juga merupakan kewajiban setiap individu, dengan tujuan agar tercapainya kesadaran universal itu. Di sini terbukti bahwa ajaran Veda mengembangkan pola pikir tentang kepedulian yang sungguh-sungguh terhadap semesta khususnya ke seluruh umat manusia.
Dalam Vanashrama Veda tegas-tegas disebutkan bahwa jenjang kualitas manusia dinilai dari kemampuan intelektual dan spiritualnya, dan bukan dari hal-hal yang bersifat material lainnya.
Setelah melalui proses belajar dan pembelajaran dalam filosofi Veda, manusia akan dapat membuat perubahan kualitas kehidupan yang nyata dapat dirasakan, dan juga meluasnya lingkaran pengaruh individu kepada lingkungannya. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip Sanatana Dharma, maka kualitas kehidupan manusia dari zaman ke zaman akan semakin membaik seiring dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. –sumber
Tujuan Hidup Menurut Hindu
Sering kali kita bertanya dalam diri kita sendiri prihal kehidupan ini, seperti: apa tujuan hidup ini?, Untuk apa hidup ini? kemana kita pergi setelah kehidupan ini? Dan sebagainya. Dalam agama Hindu yang menjadi tujuan hidup utama manusia di dunia ini tertuang dalam ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat tujuan untuk mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat. Yang diantaranya : dharma, artha, kama dan moksa.
Dharma yaitu ajaran-ajaran suci yang mengatur, memelihara atau menuntun umat manusia untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman bhatin. Dharma juga berarti agama dan kewajiban, kemuliaan, kebajikan serta kebenaran. Dharma merupakan pegangan hidup umat Hindu yang dilaksanakan dalam aspek kehidupan sehari-hari baik dalam ucapan, pikiran dan dalam berprilaku sehari-hari dirumah maupun dalam masyarakat dan lingkungan.
Segala tindakan mesti didasari dengan dharma atau kebenaran. Dalam kitab Sarasamuscaya dinyatakan :
Yan Paramarthanya, yan arthakama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning artha kama mene tan paramartha wi katemwaning arthakama dening anasar sakeng dharma (12) Artinya : kesimpulannya, kalau artha dan kama yang dituntut, maka seharusnya dharma dilakukan lebih dahulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti, tidak akan ada artinya jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma. Jadi dalam petikan kitab Sarasamuscaya tadi ditekankan bahwa dharma mesti dilaksanakan, maka artha dan kama datang dengan sendirinya.
Dalam kitab Sarasamuscaya juga dinyatakan bahwa : segala yang diajarkan oleh sruti dan smerti adalah dharma. Jadi dharma dalam ajaran agama Hindu menduduki tempat yang amat penting dalam kehidupan ini. Dan dalam kitab manu samhita dikatakan : Weda Pramanakah sreya sadhanam dharmah (1) yang artinya : di dalam ajaran suci weda dharma dikatakan sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan.
Artha yaitu harta benda atau kekayaan/uang. Dalam dunia modern ini uang memegang peranan penting. Uang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup ini. Tanpa artha/uang/materi yang memadai hidup ini akan terasa sulit. Kesulitan hidup cendrung membuat orang bertindak adharma seperti mencopet, mencuri, merampok, menipu, merampas, membohongi orang dan sebagainya. Jadi memiliki artha/material yang layak/memadai merupakan salah satu penunjang untuk berbuat dharma.
Ajaran agama Hindu sangat memperhatikan kedudukan dan fungsi artha dalam kehidupan ini. Mencari dan memiliki artha bukanlah sesuatu yang dilarang malahan merupakan sesuatu hal yang diajurkan. Asalkan semuanya itu diperoleh berdasarkan dharma, dan digunakan untuk kepentigan dharma pula. Ajaran agama Hindu menegaskan bahwa artha sebenarnya bukanlah merupakan tujuan, namun hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Sebagai mana telah diuraikan bahwa tujuan hidup yang terakhir menurut ajaran agama Hindu adalah untuk mencapai kebahagiaan dalam penunggalan dengan Sang Hyang Widhi, yang disebut juga moksa atau kelepasan.Harta yang diperoleh atau dimiliki dalam penggunaan harus dibagi menjadi tiga :
1. Sadhana ri kasiddaning dharma; yang artinya Artha dipakai untuk memenuhi dharma. Sebagai contoh adalah untuk melakukan kewajiban-kewajiban hidup sebagai manusia, pelaksanaan Panca Yadnya dan sebagainya.
2. Sadhana ri kasiddaning kama; yang artinya Artha dipakai untuk memenuhi kama. Sebagai contoh adalah untuk kegiatan kesenian, olah raga, rekreasi dan sebagainya.
3. Sadhana ri kasiddaning artha; yang artinya Artha dipakai untuk mendapatkan harta kembali. Sebagai contoh untuk kegiatan memproduksi sesuatu, kegiatan ekonomi dan sebagainya.
kegunaan dari harta atau kekayaan itu juga untuk disedekahkan. Karena pahala dari bersedekah yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas tersebut adalah tak ternilai harganya. Dalam ajaran agama Hindu berkali-kali ditekankan bahwa harta kekayaan itu tidak akan dibawa mati. Yang akan meringankan dan menuntun pergi ke akhirat adalah perbuatan baik atau buruk. Karenanya harta kekayaan itu hendaknya disedekahkan, dipakai dan diabdikan untuk perbuatan dharma. Hanya dengan demikianlah harta tersebut mempunyai nilai yang utama.
Kama:yaitu nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup manusia. Kepuasan atau kenikmatan tersebut memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia, karena manusia mempunyai dasendriya atau 10 indriya. Kesepuluh indriya tersebut menyebabkan manusia berbuat sesuatu. Indriya sering diumpamakan seperti kuda liar, kalau dapat dikendalikan akan merupakan kekuatan yang luar biasa. Kama atau kesenangan menurut ajaran agama tidak akan ada artinya jika diperoleh menyimpang dari dharma. Karenanya dharma menduduki tempat di atas dari kama dan menjadi pedoman didalam pencapaian kama.
Moksa : yang merupakan tujuan terakhir dan tertinggi dari manusia. Moksa disebut juga mukti atau nirwana yang berarti kebebasan atau kelepasan, maksudnya adalah suatu kebahagiaan dimana atma dapat lepas dari pengaruh maya dan ikatan subha asubha karma, serta bersatu kembali dengan asalnya yaitu Brahman. Pada hakekatnya setiap manusia mendambakan kebahagiaan yang kekal abadi (sat cit ananda), namun kebahagiaan seperti itu tak kunjung dirasakan karena menurut ajaran agama Hindu kebahagiaan yang sejati atau kebahagiaan yang kekal abadi itu hanya didapat dalam penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi kebahagiaan seperti inilah yang disebut dengan moksa. (*) –sumber
Keunggulan Veda – Kronologi Pewahyuan dan Penulisan Veda
Menurut beberapa sumber, veda pertamakali diwahyukan kedunia kira2 155,52 Triliun Tahun SM. Yang pertama kali diturunkan melalui sabda, sehingga weda tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Vedasruti. Sabda suci ajaran – ajaran Veda (Vedasruti) terutama diterima oleh tujuh orang Rsi yang dikenal dengan sebutan Sapta Rsi. Adapun rsi tersebut diantaranya:
- Rsi Grtsamada
- Rsi Visvamitra
- Rsi Vamadewa
- Rsi Atri
- Rsi Bharadvaja
- Rsi Vasistha
- Rsi Kanva.
Catur Veda
Merupakan Veda paling pokok/utama (Veda Sruti) yang menggunakan bahasa Daivivak (bahasa para dewa) yaitu bahasa yang tidak digunakan lagi dalam kehidupan manusia saat ini. Bahasa Daivivak sering juga disebut bahasa Sansekerta Veda. Catur Veda (Rgveda, Yayurveda, Samaveda dan Atharvaveda) tersusun dari 20.378 mantra/sloka.
Kemudian, tersebutlah beberapa sloka yang mewajibkan para Maharsi tersebut untuk mengajarkan Veda ini untuk keselamatan dunia. Adapun salah satu dari sloka tersebut adalah:
“Dari Tuhan Yang maha Agung dan kepadanya umat manusia mempersembahkan berbagai yadnya dan daripada-Nya muncul Rgveda dan Samaveda. Daripada-Nya muncul Yayurveda dan Atharvaveda” – Yayurveda 3.7.
“Bunga padma yang muncul dari bagian pusar Sri Visnu memuat konsep jasmani gabungan dari semua mahluk hidup. Brahma yang bermuka empat yang mengetahui keempat kitab suci Veda (catur veda), terwujud dari bunga padma tersebut” – Brahma-samhita sloka 22.
yathemam vacam kalyanim avadani janebyah, Brahma rajanyabhyam sudraya caryaya, Ca svaya caranaya ca – Yayurveda 26.2.
“hendaknya disampaikan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, cendikawan, rohaniawan, raja, pemerintah, masyarakat, para pedagang, petani, buruh, kepada orang – orangKu dan kepada orang asing sekalipun”
Setelah turunnya sloka tersebut, kira-kira 1,9 milyar tahun SM, barulah para Maharsi menuliskan semua wahyu yang diterimanya. Saat ini Wahyu Veda yang telah ditulis oleh para maharsi tersebut dikenal dengan nama Veda Smrti. Secara umum dapat dikatakan bahwa Veda Smrti merupakan penjelasan mendetail dari Veda Sruti dan juga terdiri dari bagian – bagian yang merupakan panduan dalam melagukan/mengucapkan mantra – mantra dalam Veda.
Veda Smrti ditulis dengan menggunakan bahasa sansekerta. Adapun bagian dari Catur Veda tersebut adalah:
- Rgveda, merupakan pengetahuan spiritual yang mencakup Biologi dan pengetahuan tentang kehidupan. Dari sinilah kemudian diturunkan pula “Ayurveda” mencakup ilmu yang berhubungan dengan kedokteran / pengobatan dan kehidupan.
- Yayurveda, merupakan pengetahuan spiritual mencakup purusa artha, kewajiban, perbuatan, ilmu militer dan sipil. Dari sini kemudian diturunkan pula “Dhanurveda” mencakup ilmu tentang pertahanan, militer, tata pemerintahan dan sipil/kemasyarakatan.
- Samaveda, merupakan pengetahuan spiritual yang mencakup tata cara sembahyang dan seni melantunkan Veda. Dari sini diturunkan “Ghandarwa Veda” yang mencakup ilmu tentang seni, music dan social.
- Atharvaveda, merupakan pengetahuan spiritual yang mencakup ilmu astronomi, matematika, geometri, keteknikan, ekonomi dan politik. Dari sini turun “Shilpaveda” yang mencakup tentang astronomi, keteknikan dan ekonomi.
Pewahyuan Veda sendiri tidak berakhir hanya dengan pewahyuan Catur Veda, tetapi tetap berlangsung melalui beberapa cara yaitu:
- Svaranada, vibrasi suara yang diterima oleh para Maharsi
- Upanisad, penerimaan pengajaran dari Paramaatman
- Darsana, berlangsung secara gaib / spiritual
- Avatara, penjelmaan tuhan kedunia dengan mengambil lila tertentu dengan tujuan menjaga kemurnian ajaran Veda dengan menyabdakan secara langsung.
Setelah diturunkan Catur Veda tersebut kemuadian barulah turun atang tubuh dari Veda tersebut, adapun secara garis besarnya antara lain:
- Shikshaa, merupakan ilmu artikulasi/pengucapan dan pelafalan
- Kalpa, merupakan uraian/penjelasan dari Veda
- Nirukta & Nigantu, merupakan pengetahuan etimologi
- Prathisakhya/vyakaran, merupakan ilmu tata bahasa (grammer)
- Chanda, merupakan ilmu tentang sajak/puisi dan tata cara pengucapan mantra veda
- Jyotisha, merupakan ilmu astronomi dan astrofisika.
Dari kitab – kitab diatas berulah diturunkan kitab veda lainnya.
Kira –kira pada tahun 129,5 juta tahun SM, diturunkan Kitab Suci Veda Smrti yang berisikan tentang hukum, criminal, norma, perdata dan aturan – aturan kehidupan social manusia melalui seorang Rsi yang dikenal dengan nama Vaivasvat Manu. Kitab ini kemudian sering disebut Manusastra.
Konsep pengajaran Veda adalah melalui garis parampara/perguruan yang tidak terputus. Selama jutaan tahun Veda diajarkan secara lisan dan tertulis dari guru ke murid – muridnya.
Pada tahun 3138 SM diwahyukan Bhagawadgita oleh Sri Krisnha. Beliau adalah Avatara tuhan yang turun saat berakhirnya Dvapara Yuga. Melalui Itihasa (epos) Mahabharata, Maharsi Vyasa menyusun kembali kitab tersebut.
Pada akhir “Dvapara Yuga” atau awal “Kali Yuga” Maharsi Vyasa mengkondisikan dan menulis ulang mantra – mantra Veda. Ini dimaksudkan karena, beliau menyadari bahwa ingatan manusia pada jaman Kali yuga ini akan sangat merosot. Beliau memimpin langsung penulisan kembali kitab suci Veda. Beliau dibantu oleh para murid beliau antara lain:
- Rgveda, disusun oleh Rsi Pulaha (Rsi Paila)
- Yayurveda, disusun oleh Rsi Vaisampayana
- Samaveda, disusun oleh Rsi Jaimini
- Atharvaveda, disusun oleh Rsi Sumantu.
Demikianlah kronologi pewahyuan Kitab Suci Veda, yang merupakan kitab suci terbesar, terpanjang dan terlengkap yang mencakup seluruh kehidupan dunia saat ini. Bila ada yang mengklaim bahwa ada kitab lain yang terlengkap, bisa dibandingkan dengan kebesaran kitab suci Veda. Selamat mencari kebenaran…
-Om a no bhadrah kratawo yantu wiswatah –
semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru..
-Om namo narayana, Om saraswati jaya-
Sembah kepada penguasa alam, semoga pengetahuan murni semakin jaya
Subha dan Asubha Karma
Pada dasarnya sesuai dengan siklus rwabhineda, perbuatan itu terjadi dari dua sisi yang berbeda, yaitu perbuatan baik dan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan baik ini disebut dengan Cubha Karma, sedangkan perbuatan yang tidak baik disebut dengan Acubha Karma. Siklus cubha dan acubhakarma ini selalu saling berhubungan satu sama lain dan tidak dipisahkan.
Demikianlah perilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalur yang berbeda itu, sehingga dengan kesadarannya dia harus dapat menggunakan kemampuan yang ada di dalam dirinya, yaitu kemampuan berfikir, kemampuan berkata dan kemampuan berbuat. Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum rwabhineda, yakni cubha dan acubhakarma (baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya), namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada çubhakarma (perbuatan baik). Karena bila cubhakarma yang menjadi gerak pikiran, perkataan dan perbuatan, maka kemampuan yang ada pada diri manusia akan menjelma menjadi prilaku yang baik dan benar. Sebaliknya, apabila acubhakarma yang menjadi sasaran gerak pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, maka kemampuan itu akan berubah menjadi perilaku yang salah (buruk).
Berdasarkan hal itu, maka salah satu aspek kehidupan manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah membeda-bedakan dan memilih yang baik dan benar bukan yang buruk atau salah.
Manusah sarvabhutesu
vartate vai cubhacubhe,
achubhesu samavistam
cubhesveva vakaravet.
(Sarasamuccaya 2)
Dari Demikian banyaknya mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat melakukan perbuatan baik buruk itu; adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya jadi manusia.
Untuk memberikan batasan tentang manakah yang disebut tingkah laku baik atau buruk, benar atau salah, tidaklah mudah untuk menentukan secara tegas mengenai klasifikasi dari pada baik dan buruk itu adalah sangat sulit. Sebab baik dan buruk seseorang belum tentu baik atau bauruk bagi orng lain. Hal ini tergantung tingkat kemampuan dan kepercayaan serta pandangan hidup seseorang itu sendiri. Akan tetapi menurut agama Hindu disebutkan secara umum bahwa perbuatan yang baik yang disebut Cubhakarma itu adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir bathin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan perbuatan yang buruk (acubhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang menyimpang dan bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas.
Untuk lebih jelasnya, manakah bentuk-bentuk perbuatan baik (cubhakarma) dan bentuk-bentuk perbuatan yang tidak baik (Acubhakarma) menurut ajaran agama Hindu sebagaimana disjelaskan berikut ini:
Subhakarma (Perbuatan Baik)
1. Tri Kaya Parisudha
Tri kaya Parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berfikir yang bersih dan suci (manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Jadi dari pikiran yang bersih akan timbul perkataan yang baik dan perbuatan yang jujur. Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu 3 macam berdasarkan pikiran, 4 macam berdasarkan perkataan dan 3 macam lagi berdasarkan perbuatan. Tiga macam yang berdasarkan pikiran adalah tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikiran buruk terhadap mahkluk lain dan tidak mengingkari adanya hukum karmaphala. Sedangkan empat macam yang berdasarkan atas perkataan adalah tidak suka mencaci maki, tidak berkata kasar kepada makhluk lain, tidak memfitnah dan tidak ingkar pada janji atau ucapan. Selanjutnya tiga macam pengendalian yang berdasarkan atas perbuatan adalah tidak menyiksa atau membunuh makhluk lain, tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda dan tidak berjina.
2. Catur Paramita
Catur Paramita adalah empat bentuk budi luhur, yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Maitri artinya lemah lembut, yang merupakan bagian budi luhur yang berusaha untuk kebahagiaan segala makhluk. Karuna adalah belas kasian atau kasih sayang, yang merupakan bagian dari budi luhur, yang menghendaki terhapusnya pendertiaan segala makhluk. Mudita artinya sifat dan sikap menyenangkan orang lain. Upeksa artinya sifat dan sikap suka menghargai orang lain. Catur Paramita ini adalah tuntunan susila yang membawa masunisa kearah kemuliaan.
3. Panca Yama Bratha
Panca Yama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam hubungannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin. Panca Yama Bratha ini terdiri dari lima bagian yaitu Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh makhluk lain dengan sewenang-wenang, Brahmacari artinya tidak melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu, dan berarti juga pengendalian terhadap nafsu seks, Satya artinya benar, setia, jujur yang menyebabkan senangnya orang lain. Awyawahara atau Awyawaharita artinya melakukan usaha yang selalu bersumber kedamaian dan ketulusan, dan Asteya atau Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda milik orang lain.
4. Panca Nyama Bratha
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, adapun bagian-bagian dari Panca Nyama Bratha ini adalah Akrodha artinya tidak marah, Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat-nasehat guru, Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum, dan Apramada artinya taat tanpa ketakaburan melakukan kewajiban dan mengamalkan ajaran-ajaran suci.
5. Sad Paramita
Sad Paramita adalah enam jalan keutamaan untuk menuju keluhuran. Sad Paramita ini meliputi: Dana Paramita artinya memberi dana atau sedekah baik berupa materiil maupun spirituil; Sila Paramita artinya berfikir, berkata, berbuat yang baik, suci dan luhur; Ksanti Paramita artinya pikiran tenang, tahan terhadap penghinaan dan segala penyebab penyakit, terhadap orang dengki atau perbuatan tak benar dan kata-kata yang tidak baik; Wirya Paramita artinya pikiran, kata-kata dan perbuatan yang teguh, tetap dan tidak berobah, tidak mengeluh terhadap apa yang dihadapi. Jadi yang termasuk Wirya Paramita ini adalah keteguhan pikiran (hati), kata-kata dan perbuatan untuk membela dan melaksanakan kebenaran; Dhyana Paramita artinya niat mempersatukan pikiran untuk menelaah dan mencari jawaban atas kebenaran. Juga berarti pemusatan pikiran terutama kepada Hyang Widhi dan cita-cita luhur untuk keselamatan; Pradnya Paramita artinyaa kebijaksanaan dalam menimbang-nimbang suatu kebenaran.
6. Catur Aiswarya
Catur Aiswarya adalah suatu kerohanian yang memberikan kebahagiaan hidup lahir dan batin terhadap makhluk. Catur Aiswarya terdiri dari Dharma, Jnana, Wairagya dan Aiswawarya. Dharma adalah segala perbuatan yang selalu didasari atas kebenaran; Jnana artinya pengetahuan atau kebijaksanaan lahir batin yang berguna demi kehidupan seluruh umat manusia. Wairagya artinya tidak ingin terhadap kemegahan duniawi, misalnya tidak berharap-harap menjadi pemimpin, jadi hartawan, gila hormat dan sebagainya; Aiswarya artinya kebahagiaan dan kesejahteraan yang didapatkan dengan cara (jalan) yang baik atau halal sesuai dengan hukum atau ketentuan agama serta hukum yang berlaku di dalam masyarakat dan negara.
7. Asta Siddhi
Asta Siddhi adalah delapan ajaran kerohanian yang memberi tuntunan kepada manusia untuk mencapai taraf hidup yang sempurna dan bahagia lahir batin. Asta Siddhi meliputi: Dana artinya senang melakukan amal dan derma; Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (ketuhanan); Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar; Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketntraman dalam semadhi; Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik; Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan, gila, dan sebagainya. Adi Boktika artinya dapat mengatasi kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti; dan Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.
8. Nawa Sanga
Nawa Sanga terdiri dari: Sadhuniragraha artinya setia terhadap keluarga dan rumah tangga; Andrayuga artinya mahir dalam ilmu dan dharma; Guna bhiksama artinya jujur terhadap harta majikan; Widagahaprasana artinya mempunyai batin yang tenang dan sabar; Wirotasadarana artinya berani bertindak berdasarkan hukum; Kratarajhita artinya mahir dalam ilmu pemerintahan; Tiagaprassana artinya tidak pernah menolak perintah; Curalaksana artinya bertindak cepat, tepat dan tangkas; dan Curapratyayana artinya perwira dalam perang.
9. Dasa Yama Bratha
Dasa Yama Bratha adalah sepuluh macam pengendalian diri, yaitu Anresangsya atau Arimbhawa artinya tidak mementingkan diri sendiri; Ksama artinya suka mengampuni dan dan tahan uji dalam kehidupan; Satya artinya setia kepada ucapan sehingga menyenangkan setiap orang; Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti makhluk lain; Dama artinya menasehati diri sendiri; Arjawa artinya jujur dan mempertahankan kebenaran; Priti artinya cinta kasih sayang terhadap sesama mahluk; Prasada artinya berfikir dan berhati suci dan tanpa pamerih; Madurya artinya ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun; dan Mardhawa artinya rendah hati; tidak sombong dan berfikir halus.
10. Dasa Nyama Bratha
Dasa Nyama Bratha terdiri dari: Dhana artinya suka berderma, beramal saleh tanpa pamerih; Ijya artinya pemujaan dan sujud kehadapan Hyang Widhi dan leluhur; Tapa artinya melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang buruk agar dapat mencapai ketenangan batin; Dhyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Hyang Widhi; Upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu birahi (seksual); Swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci khususnya, juga pengetahuan umum; Bratha artinya taat akan sumpah atau janji; Upawasa artinya berpuasa atau berpantang trhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang oleh agama; Mona artinya membatasi perkataan; dan Sanana artinya tekun melakukan penyician diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan sembahyang.
11. Dasa Dharma
Yang disebut Dasa Dharma menurut Wreti Sasana, yaitu Sauca artinya murni rohani dan jasmani; Indriyanigraha artinya mengekang indriya atau nafsu; Hrih artinya tahu dengan rasa malu; Widya artinya bersifat bijaksana; Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran; Akrodha artinya sabar atau mengekang kemarahan; Drti artinya murni dalam bathin; Ksama artinya suka mengampuni; Dama artinya kuat mengendalikan pikiran; dan Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.
12. Dasa Paramartha
Dasa Paramartha ialah sepuluh macam ajaran kerohanian yang dapat dipakai penuntun dalam tingkah laku yang baik serta untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi (Moksa). Dasa Paramartha ini terdiri dari: Tapa artinya pengendalian diri lahir dan bathin; Bratha artinya mengekang hawa nafsu; Samadhi artinya konsentrasi pikiran kepada Tuhan; Santa artinya selalu senang dan jujur; Sanmata artinya tetap bercita-cita dan bertujuan terhadap kebaikan; Karuna artinya kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup; Karuni artinya belas kasihan terhadap tumbuh-tumbuhan, barang dan sebagainya; Upeksa artinya dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk; Mudhita artinya selalu berusaha untuk dapat menyenangkan hati oranglain; dan Maitri artinya suka mencari persahabatan atas dasar saling hormat menghormati.
Açubhakarma (Perbuatan Tidak Baik)
Acubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dengan Cubhakarma (perbuatan baik). Acubhakarma (perbuatan tidak baik) ini, merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu segala bentuk perbuatan yang selalu bertentangan dengan susila atau dharma dan selalu cenderung mengarah kepada kejahatan. Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini. Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma ini menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita. menurut agama Hindu, bentuk-bentuk acubhakarma yang harus dihindari di dalam hidup ini adalah:
1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku manusia yang sangat kotor, yaitu Kasmala ialah perbuatan yang hina dan kotor, Mada yaitu perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, dan Moha adalah pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan jenis karma yang menjadi sumbernya yang dilakukan oleh manusia yaitu Pataka yang terdiri dari Brunaha (menggugurkan bayi dalam kandungan); Purusaghna (Menyakiti orang), Kaniya Cora (mencuri perempuan pingitan), Agrayajaka (bersuami isteri melewati kakak), dan Ajnatasamwatsarika (bercocok tanam tanpa masanya); Upa Pataka terdiri dariGowadha (membunuh sapi), Juwatiwadha (membunuh gadis), Balawadha (membunuh anak), Agaradaha (membakar rumah/merampok); Maha Pataka terdiri dari Brahmanawadha (membunuh orang suci/pendeta), Surapana (meminum alkohol/mabuk), Swarnastya (mencuri emas), Kanyawighna (memperkosa gadis), dan Guruwadha (membunuh guru); Ati Pataka terdiri dari Swaputribhajana (memperkosa saudara perempuan); Matrabhajana (memperkosa ibu), dan Lingagrahana (merusak tempat suci).
3. Panca Bahya Tusti
Adalah lima kemegahan (kepuasan) yang bersifat duniawi dan lahiriah semata-mata, yaitu Aryana artinya senang mengumpulkan harta kekayaan tanpa menghitung baik buruk dan dosa yang ditempuhnya; Raksasa artinya melindungi harta dengan jalan segala macam upaya; Ksaya artinya takut akan berkurangnya harta benda dan kesenangannya sehingga sifatnya seing menjadi kikir; Sangga artinya doyan mencari kekasih dan melakukan hubungan seksuil; dan Hingsa artinya doyan membunuh dan menyakiti hati makhluk lain.
4. Panca Wiparyaya
Adalah lima macam kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa disadari, sehingga akibatnya menimbulkan kesengsaraan, yaitu: Tamah artinya selalu mengharap-harapkan mendapatkan kenikmatan lahiriah; Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat kekuasaan dan kesaktian bathiniah; Maha Moha artinya selalu mengharap-harapkan agar dapat menguasai kenikmatan seperti yang tersebut dalam tamah dan moha; Tamisra artinya selelu berharap ingin mendapatkan kesenangan akhirat; dan Anda Tamisra artinya sangat berduka dengan sesuatu yang telah hilang.
5. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yaitu Kama artinya sifat penuh nafsu indriya; Lobha artinya sifat loba dan serakah; Krodha artinya sifat kejam dan pemarah; Mada adalah sifat mabuk dan kegila-gilaan; Moha adalah sifat bingung dan angkuh; dan Matsarya adalah sifat dengki dan irihati.
6. Sad Atatayi
Adalah enam macam pembunuhan kejam, yaitu Agnida artinya membakar milik orang lain; Wisada artinya meracun orang lain; Atharwa artinya melakukan ilmu hitam; Sastraghna artinya mengamuk (merampok); Dratikrama artinya memperkosa kehormatan orang lain; Rajapisuna adalah suka memfitnah.
7. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh macam kegelapan pikiran yaitu: Surupa artinya gelap atau mabuk karena ketampanan; Dhana artinya gelap atau mabuk karena kekayaan; Guna artinya gelap atau mabuk karena kepandaian; Kulina artinya gelap atau mabuk karena keturunan; Yowana artinya gelap atau mabuk karena keremajaan; Kasuran artinya gelap atau mabuk karena kemenangan; dan Sura artinya mabuk karena minuman keras.
8. Dasa Mala
Artinya adalah sepuluh macam sifat yang kotor. Sifat-sifat ini terdiri dari Tandri adalah orang sakit-sakitan; Kleda adalah orang yang berputus asa; Leja adalah orang yang tamak dan lekat cinta; Kuhaka adalah orang yang pemarah, congkak dan sombong; Metraya adalah orang yang pandai berolok-olok supaya dapat mempengaruhi teman (seseorang); Megata adalah orang yang bersifat lain di mulut dan lain di hati; Ragastri adalah orang yang bermata keranjang; Kutila adalah orang penipu dan plintat-plintut; Bhaksa Bhuwana adalah orang yang suka menyiksa dan menyakiti sesama makhluk; dan Kimburu adalah orang pendengki dan iri hati. –sumber
Panca Mahabhuta Sebagai Anasir Dasar Penyusun Alam Semesta
Kalau kita perhatikan segala sesuatu yang ada di sekitar kita maka beraneka ragam benda, pemandangan yang indah dan mahluk hidup yang dapat kita lihat. Kesemuanya itu merupakan isi alam semesta atau Buana Agung yang dapat menimbulkan sebuah pertanyaan sederhana yang selalu menggelitik hati kita yaitu “Dari manakah asal mula segala sesuatu yang ada di alam semesta ini atau lebih sederhana lagi dan mana asal mula alam semesta ini yang dikenal pula sebagai Buana Agung dalam Agama Hindu?”.
Sejauh ini sains (ilmu pengetahuan modern) telah mempelajari segala sesuatu yang ada di alam raya ini (Bhuana Agung) dari berbagai aspek tapi belum dapat menjawab pertanyaan sederhana tersebut di atas. Telah dikemukaan berbagai teori tentang terbentuknya alam raya dan asal mahkluk hidup. Seperti Big Bong, Teori Generasio Spontania dan lain sebagamnya, semuanya itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan di atas.
Segala sesuatu yang ada dan yang akan ada di alam raya ini semuanya bersumber atau disebabkan oleh penyebab pertama atau sering disebut causa prima, itulah yang
dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Sada Siwa Tattwa bahwa Sada Siwa merupakan kesadaran kedua setelah Paramasiwa, ia bersifat wyapara yang berstana dalam padmasana yang disebut cadhusakti, dengan saktinya ia menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya. Jadi causa prima itu adalah Sada Siwa.
Alam raya atau Bhuana Agung ini disusun dan anasir dasar Panca Mahabhuta, yaitu prethiwi, apah, teja, bayu dan akasa, yang menentukan keberadaan alam semesta beserta isinya.
Penciptaan Panca Mahabhuta
Panca Mahabhuta sebagai penyusun alam semesta (Buana Agung) bersumber dari dua azas yang sangat sukma, gaib dan abadi yaitu Cetana dan Acetana yang juga disebut sebagai sebab mula terciptanya segala yang ada (causa prima). Cetana berkedudukan di atas, berwujud kesadaran tertinggi dan Acetana berkedudukan di bawah berwujud maya (lupa). Azas yang di atas dapat masuk menyusupi dan melingkupi azas yang di bawah. Pertemuan Cetana dan Acetana menciptakan Purusa dan Pradana yang merupakan sumber roh dan materi. Pertemuan purusa dan Pradana menghasilkan (menciptakan) Citta Guna. Citta merupakan perwujudan dan Purusa dan Guna perwujudan dan Pradana, Guna sebagai sifat Citta dan tiga yaitu : satwan, rajas dan tarnas. Akibat ketertarikan Citta pada Guna maka terciptalah Buddhi. Buddhi demikian banyaknya dalan rupa yang beraneka sifatnya seperti Catur Aiswarya, Astuti, Asthasiddhi, kebalikan Catur Aiswarya dan Panca Wretaya Citta yang begitu lekat dengan sifatnya maka terbentuklah Ahengkara. Ahengkara yang merupakan ego atau kekuatan bertemu bertemu dengan gunanya (Tri Guna) maka menjadi tiga yaitu Si Wekreta, Si Tejasa dan Si Bhutadi.
Si Bhutadi yaitu merupakan pertemuan buddhi dengan tamah dapat menciptakan Panca Tan Matra merupakan lima keadaan yang sangat halus yaitu:
1. Sabda tan matra
2. Sparsa tan matra
3. Rupa tan matra
4. Rasa tan matra
5. Ganda tan matra
yang merupakan badan atma yang berwujud wasana.
Dari Panca Tan Matra melahirkan Panca Mahabhuta yaitu:
1. Akasa lahir dan sabda tan matra melalui manab
2. Bayu lahir dan soarsa tan matra melalui akasa
3. Teja lahir dan rupa tan inatra melalui bayu
4. Apah lahir dan rasa tan matra melalui teja
5. Perthiwi lahir dan ganda tan matra melalui apah
Panca Mahabhuta Sebagai Anasir Dasar Penyusun Alam Semesta (Buana Agung)
Panca Mahabuta yaitu akasa, bayu, teja, apah dan perthiwi merupakan lima anasir dasar yang dijadikan penyusun alam semesta ini, keberadaannya berstruktur dan yang paling atas yaitu akasa paling halus makin bawah yaitu bayu, teja, apah semakin kasar dan perthiwi yang paling di bawah paling kasar.
1. Akasa
Akasa paling diatas merupakan Panca Mahabhuta yang paling halus berupa ruang kosong yang hampa, sunya tidak berwujud dan tidak tampak. Akasa sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai ruang wahana atau tempat keberadaan segala yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Alam raya ini terbentuk dan satu ruang yang kosong yang hampa yang tak terbatas luasnya dimana semua isi alam semesta ini seperti planet-planet dan mataharinya, semua materi atau benda-benda yang ada dan semua mahluk hidup berada di dalamnnya. Akasa merupakan ruang kosong pembentuk alam semesta.
2. Bayu
Bayu inipun masih halus, karena rupa, tapi ada tanda-tanda yang dapat menerangkannya misalnya, benda bergerak maka gerakan benda itu sendiri adalah tanda adanya bayu dalam benda itu. Dibandingkan dengan akasa bayu lebih kasar karena letaknya lebih di bawah, Bayu sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai tenaga penggerak (energi) semua peroses yang terjadi dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, seperti benda-benda yang ada di sekitar kita sampai bend a planet yang ada diluar angkasa semua bergerak tidak ada yang diam. Gerakannya bermacam-macam ada gerak rotasi, gerak translasi, gerak vibrasi dan sebagainya. Semua gerakan itu disebabkan oleh bayu sebagai tenaga penggeraknya.
3. Teja
Teja berada di bawah bayu maka lebih kasar daripada bayu. Teja keberadaannya berupa sinar atau cahaya yang tidak berwujud sehingga tidak dapat disentuh jadi masih halus tapi sudah tampak atau dapat dilihat sedangkan bayu keberadaannya tidak dapat dilihat.
Teja sebagai anasir dasar pembentuk alam semesta berperan sebagai pembentuk sinar yang menyinari segala benda atau isi alam materi yang ada di alam ini dapat dilihat (tampak) dengan mata.
Segala sesuatu yang dapat bersinar di alam ini dominan sebagai pembentuk alam ini, misalnya matahari yang bersinar terang merupakan benda (isi) alam semesta yang dapat mengeluarkan teja yang amat besar dan dalam dirinya demikian juga isi alam lainnya yang besinar.
4. Apah / Jala
Apah sudah kasar karena sudah dapat berwujud walau wujudnya dapat berubah-ubah sesuai dengan tempatnya. Apah sebagai anasir dasar penyusun alam semesta berperan sebagai pembentuk cairan yang menyusun alam semesta beseta isinya. Segala yang cair seperti air, minyak, alkohol, cairan pada tubuh dan lain-lain yang berada di alam ini merupakan peran apah sebagai pembentuk alam semesta.
5. Perthiwi
Perthiwi paling bawah sehingga paling kasar, wujudnya sudah tetap (padat). Perthiwi sebagai anasir dasar paling kasar penyusun alam semesta keberadaannya berperan untuk menentukan wujud benda-benda atau isi alam dan wujudnya padat yang tetap.
Demikian alam semesta ini disusun dan lima anasir dasar Panca Mahabhuta, tetapi yang paling dominan adalah perthiwi sehingga batu itu padat, air juga demikian yang paling dominan anasir dasar Panca Mahabhuta adalah apah, matahari anasir Panca Mahabhuta yang dominan adalah teja, udara anasir Panca Mahabhuta yang dominan adalah akasa dan bayu dan sebagainya. Kandungan akasa yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk ruang, menyebar. Kandungan bayu yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk gerak atau benda bergerak. kandungan apah yang dominan menyebabkan keberadaan sesuatu dalam bentuk benda padat. Kandungan yang dominan itu bisa lebih dan satu anasir Mahabhuta dalam suatu benda atau isi alam, misalnya kandungan apah dan prethiwi yang dominan menyebabkan keberadaan dalam bentuk padat cair (kental). Demikian keberadaan beraneka ragam isi alam ini ditentukan oleh kandungan yang berbeda-beda dan anasir Panca Mahabhuta.
Panca Mahabhuta sebagai anasir dasan penyusun alam semesta atau Buana azas Agung diciptakan oleh causa prima (Tuhan Yang Maha Esa) melalui proses penciptaan yang merupakan pertemuan antara dua azas yaitu azas kesadaran dengan maya yang bertingkat dan atas ke bawah yang berperan mentukan keberadaan alam semesta bèserta isinya. –sumber
Dasa Awatara Dari Zaman ke Zaman
Awatara dalam agama Hindu adalah reinkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana. Berikut 10 Awatara dari zaman ke zaman :
1. Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari :मत्स्य; IAST: matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
Kisah dengan tema serupa juga dapat disimak dalam kisah Nabi Nuh, yang konon membuat bahtera besar untuk melindungi umatnya dari bencana air bah yang melanda bumi. Kisah dengan tema yang sama juga ditemukan di beberapa negara, seperti kisah dari penduduk asli Amerika dan dari Yunani.
2. Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa).
Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mangaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih. Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.
3. Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam “lautan kosmik,” suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
4. Narasimha Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.
5. Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali, seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali.
Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan “Upendra.”
6. Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna “Rama yang bersenjata kapak”. Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna “keturunan Maharesi Bregu”. Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga.
Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
7. Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sanskerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga.
Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya “Manusia Sempurna”. Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
8. Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu.
Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiy Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
9. Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Beliau disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti “Dia yang mendapat pencerahan” dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
Berbeda dengan ajaran Hindu, ajaran Gautama Buddha tidak menekankan keberadaan “Tuhan sang Pencipta” sehingga agama Buddha termasuk bagian dari salah satu aliran nāstika (heterodoks; secara harfiah berarti “Itu tidak ada”) menurut aliran-aliran agama Dharma lainnya, seperti Dwaita. Namun beberapa aliran lainnya, seperti Adwaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya
10. Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि; IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Nama kalki seringkali dipakai sebagai metafora untuk kekekalan dan waktu. Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki muncul.
Penggambaran yang umum mengenai Kalki yaitu Beliau adalah awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta [anugerah Dewa] dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali kemudian menegakkan kembali dharma dan memulai zaman yang baru. –sumber
Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha adalah bagian dari etika/susila agama Hindu. Timbulnya kata Tri Kaya Parisudha berasal dari sebuah semboyan dharma yang berbunyi : “ paropakaran punya ya, papaya, para piadanam “ mempunyai pengertian yaitu dari Tri artinya tiga, Kaya artinya gerak atau perbuatan dan parisudha artinya suci. Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak atau perbuatan yang harus disucikan.
Kalam kehidupan ini kita mengenal 4 zaman, dan sekarang berada pada zaman yang ke – 4 dimana kejahatan lebih banyak dari kebaikan ( 75 % kejahatan dan 25 % kebaikan).
Di zaman seperti ini sangat sulit untuk menemukan orang yang berbudi pelerti luhur, oleh sebab itu kita harus selalu menanamkan ajaran – ajaran kebaikan pada anak kita, adik kita, ataupun semua orang sedini mungkin. Kita mengenal bahwa Tri Kaya Parisudha adalh tiga perbuatan yang baik, maka dari ajaran Tri Kaya Parisudha ini dapat menjadi pedoman untuk kita mempelajari arti kebaikan pada akhirnya berujung pada tingkat kehidupan yang tinggi yaitu “ Moksa “
Dengan adanya pikiran yang baik akantimbul perkataan yang baik sehingga mewujudkan perbuatan yang baik. Tri Kaya Parisuda sebagai bagian dari ajaran etika dalam agama Hindu akan memberikan tuntunan dan jalan menuju pada kedamaian. Serta keharmonisan kehidupan di dunia dan akhirat. Kaya, Wak dan Mana dalam kehidupan sehari – hari sering disebut dengan Tri Kaya, yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kaya, Wak dan Mana harus diarahkan pada hal – hal menuju kebaikan karena hanya manusia yang dapat merubah prilaku yagn tidak baik kearah yang baik. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa menjelma menjadi manusia dengan kelebihan Sabda, bayu, idep merupakan suatu pahala keberuntungan dan sekaligus merupakan suatu keutamaan bagi manusia untuk berbuat baik ( subha karma )
Jika kita melakukan perbuatan jahat maka hasil yang diterima juga buruk, sebaliknya jika kita melakukan perbuatan baik maka hasilnya juga baik seperti semboyan yang mengatakn :
Ala ulah ala tinemu : perbuatan buruk hasilnya juga buruk
Ayu pikardi ayu pinanggih : perbuatan baik hailnya juga baik.
1.2 Makna Bagian – bagian Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha terdiri dari tiga bagian yaitu
Kayika Parisudha, yaitu perbuatan atau laksana yang baik
Wacika Parisudha, yaitu perkataan yng baik
Mnacika Parisudha, yaitu pikiran yang baik, dimaksudkan dari pikiran yang baik akan timbul kesucian diri.
A. KAYIKA PARISUDHA
Kayika parisudha adalah perbuatan atau laksana yang baik merupakan pengamalan dari pikiran dan perkataan yang baik. Perbuatan yang baik dapat dilakukan dari adanya pengendalian pada tingkah laku, utamanya terhadap HIMSA KARMA yaitu perbuatan menyakiti, menyiksa, atau membunuh mahluk yang tidak berdosa/bersalah. Himsa Karma hanya diperkenankan untuk keperluan yadnya. Pedoman tata susila menuntun kita kearah menyatukan dan tidak memecah belah. Adapun yang dituntut adalah perasaan manusia kearah keselarasan antara sesama manusia dan mahluk hidup lainnya. Sifat – sifat manusia menyelaraskan untuk berbuat baik adalah menekankan menjalankan dharma, untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Dalam melakukan perbuatan , jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran kebenaran maka sudah tentu perbuatan yang dilakukan adalah baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar disebut Tri Kaya Parisudha. Setiap orang selagi ia masih hidup, selamanya ia akan berbuat dan melakukan suatu perbuatan. Dengan berbuat berarti telah melakukan karma, dari perbuatan karma inilah akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam masa kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan untukl kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu, orang – orang yang sadar akan hal ini, akan berusaha dalam kehidupan ini berbuat yang baik daripada masa – masa terdahulu. Sebab setiap orang mengharapkan adanya kehidupan yang baik dan lebih menyenangkan di masa – masa yang akan datang.
Sebagai contoh pelaksanaan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari – hari yaitu :
– Tidak menuyiksa atau membunuh mahluk lain misalnya : menyakiti hewan hingga mati dipakai dalam permainan.
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda, termasuk benda – benda yang tidak habis untuk di curi. Seperti : udara, air dan lain sebagainya secara paksa untuk memenuhi keinginannya.
- Tidak melakukan pemerkosaan / berzinah tekanan atau paksaan terhadap orang yang lebih lemah dan menuruti hawa nafsu, misalnya berjudi, minum – minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya.
B. WACIKA PARISUDHA
Perkataan yang baik, manis di dengarkan oleh setiap orang . perkataan itu patut timbul dari hati yang tulus, lemah lembut penyamapaiannya dan menyenangkan hati pendengarnya. Untuk dapat berkata yang baik patut dipikirkan terlebih dahulu. Terlanjurnya berkata – kata akan sulit ditarik kembali. Kata – kata merupakan saran komunikasi yang paling cepat diterima di dalam pergaulan, perhubungan, pendidikan, penyuluhan, penerangan dan lain sebagainya. Pustaka Manusmrta IV. 256 menyatakan perkataan itu menguasai segala sesuatu yang disebutkan sebagai berikut :
“ Warcyartha niyatah sarve wang mule wagwinih
Srtah, tam ta yah stenayedwacam sah sarwate
Yakrnnatah”.
Maksudnya :
Segala sesuatu dikuasai oleh perkataan, perkataanlah
Akar dan asal sesuatu orang tidak jujur dalam
Kata – kata, sesungguhnya tidak jujur dalam segalanya.
Mengeluarkan kata – kata patut disadari sebab ada empat hal yang akan diperoleh seperti dinyatakan dalam pustaka Nitisastra dalam bentuk kekawin pada Sargah V sebagai berikut :
Wasita nimittanta menemu laksmi
Wasita nimittanta pati kepangguh
Wasita nimittanta menemu duhka
Wasita nimittanta menemu mitra
Artinya :
Oleh perkataan engkau akan medapat kebahaiaan
Oleh perkataan engkau akan medapat kematian
Oleh perkataan engkau akan medapat kesusahan
Oleh perkataan engkau akan medapat sahabat
Perkataan yang baik diusahakan untuk akawe suka wong len yaitu : Mengusahakan kesenangan untuk orang lain, karena orang lainlah yang akan mendengar dan merasakannya
Perkatan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum dikeluarkan karena perkataan merupakan alat yang penting bagi kita, guna menyampaikan segala isi hati dan maksud seseorang. Dari kata – kata kita dapat pula memperoleh suatu pengetahuan, mendapatkan suatu hiduran, serta nasehat – nasehat yang sangat berguna baik bagi kita maupun orang lain. Dengan kata – kata, orang dapat membuat susah orang lain.
Sebagai contoh pelaksanaan Wacika Parisudha dalam kehidupan sehari – hari, ada empat hala yang disebutkan yaitu :
Tidak berkata – kata buruk yang dapat menyakiti hati / perasaan misalnya : mencaci maki, menghina, mencela, mengejek, dan lain – lain
Tidak berkata kasar kepada mahluk lain, misalnya mengancam, menghina, menghardik
Tidak memfitnah misalnya tidak mengadakan atau membuat laporan palsu untuk mengadu teman supaya bercekcok.
Tidak ingkar pada janji atau ucapan, misalnya menepati waktu sesuai dengan janji yang telah diucapkan, tidak berkata bohong.
C. MANACIKA PARISUDHA
Manacika berarti perilaku yang berhubungan dengan pikiran. Manacika Parisudha adalah berpikir yang benar dan suci. Diantara Tri Kaya Parisudha ini, pikiranlah yang menentukan dan memegang peranan. Apa saja yang terdapat dalam pikiran akan tercetus dalam kata – kata, dan terwujud pula dalam perbuatan. Pikiran adalah sumber segala apa yang dilakukan oleh seseorang. Baik buruk perbuatan seseorang merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan suci pikiran seseorang, maka sudah tentu perbuatan dan segala penampilan akan bersih dan baik. Apabila diperhatikan benar – benar tentang segala perbuatan manusia di dunia ini, semuanya berpangkal pada pikiran. Dalam Pustaka kekawin Ramayana Sarah 1,4 disebutkan :
“ Ragadi musuh mapara, ri hati ya tong wanya
Tan madoh ring awak “…….
Artinya :
Hawa nafsu dan lain – lainnya adalah musuh yang dekat.
Di dalam hati tempatnya tidak jauh dari diri sendiri.
Kehidupan manusia dihadapkan dengan berbagai maslah dalam kesempatan hidupnya. Maslah – masalah itu akan bisa dihadapi, bila hati atau pikiran dapat dikendalikan terhadap hawa nafsu – hawa nafsu yang mempengaruhinya.
Pikiranlah yang merupakan pangkalnya perbuatan. Dari pikiran yang terkendali baik, akan menimbulkan perbuatan yang baik dan dari pemikiran yang buruk akan menimbulkan perbuatan yang tidak baik.
Ajaran Manacika Parisudha menuntun manusia untuk berpikir yang baik, berusaha menolong dirinya dengan mengendalikan pikirannya sebelum akan berkata – kata dan berbuat. Mereka yang kuat mengendalikan pikirannya sehingga tidak mengumbar hawa nafsunya akan lebih mudah mencapai cita – citanya. Mereka tidak banyak digoda atau diperbudak oleh hawa nafsunya. Demikian sebaliknya mereka yang kurang mampu mengendalikan hawa nafsunya sulit akan mencapai cita – citanya sebab itu diperbudak, pikirannya terbelenggu hingga lupa apa yang dilakukan. Dalam hubungan ini ada benarnya nasihat orang – orang tua kita yang ering berpesan
“ Pikirkan baik – baik terlebih dahulu sebelum akan berbuat
Jangan sampai keburu nafsu, sebab apa yang telah lewat
Sulit akan dikejar “.
Contoh lain dapat kita ambil dari cerita Arjuna Wiwaha, dimana Arjuna berhasil melaksanakan tapanya, karena pikirannya terkendali kuat, melawan berbagai macam godaan nafsu. Rasa marah atau Krodha yang sering dapat dirasakan oleh setiap orang. Berpangkal pada pikiran dan hal itu patut dikendalikan agar kita tidak sampai kehilangan rasa keseimbangan dalam diri. Apabila kita tidak kuat mengendalikan pikiran inilah kemudian yang dapat menimbulkan sakit, bingung, marah, benci, stress, gila, tidak ingin makan dan minum, tidur akibat pikirannya terganggu.
Sebagai contoh pelaksanaan Manacika Parisudha dalam kehidupan sehari – hari, ada tiga hal disebutkan yaitu :
1. Tidak mengingini sesuatu yang tidak kekal.
Misalnya : – tidak ingin kepada hal – hal yang terlarang
– tidak meras iri maupun dengki pada kepunyaan ( milik orang lain.
2. Tidak berpikir buruk terhadap mahluk lain
Misalnya : – Tidak mempunyai niat marah terhadap sesama manusia.
– Tidak mempunyai niat marah terhadap mahluk – mahluk lain
3. Tidak mengingkari Karma Phala
Misalnya : – Percaya dan yakin akan adanya hukum karma ( hasil perbuatan ) itu.
1.3 Manfaat dan makna pelaksanaan tri kaya parisudha dalam kehidupan sehari – hari.
Apabila Tri Kaya Parisudha tersebut dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari – hari, maka manfaat dan maknanya akan dapat dirasakan baik secara pribadi maupun golongan atau kelompok secara keseluruhan.
Manfaat – manfaat yang diperoleh adalah dari :
Kayika Parisudha.
– Setiap orang tidak berani menyiksa, manyakiti, dan membunuh mahluk lain.
– Setiap orang tidak berani mempergunakan kekerasan ( secara paksa ) untuk merebut benda yang diinginkannya dari orang lain.
– Setiap orang tidak berani memaksa orang lain untuk berjudi, minum – minuman keras, mengisap ganja, narkotik dan lain – lain
Wacika Parisudha
– Setiap orang selalu berusaha berkata –kata yang baik ( tidak menyinggung perasaan )
– Setiap orang takut berkata – kata kasar, tidak menghina, mengancam, dan menghardik
– Setiap orang tidak berani memfitnah, mengadakan laporan palsu untuk mengadukan teman
– Setiap orang selalu satia wacana, yaitu menepati janji dan tidak berani berbohong.
Manacika Parisudha
– Seseorang akan selalu berpikir untuk memperoleh sesuatu secara halal.
– Selalu berpikir baik terhadap mahluk lain yang didasari oleh semua mahluk adalah ciptaan Tuhan.
– Mempercayai dan meyakini adanya hukum karma yaitu semua perbuatan pasti memperoleh hasil.
Makna yang diperoleh dari pelaksanaan Tri Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari – hari adalah :
setiap orang akan selalu berpikir telebih dahulu sebelum berkata ataupun berbuat.
Setiap orang akan menjadi sopan santun dalam kehidupannya
Kehidupan manusia di dunia ini akan tertib sehingga keadaan menjadi aman, tentram dan damai.
Setiap orang tidak merasa was – was, takut ataupun curiga, karena masing – masing dapat mengendalikan dirinya.
Di awal kita sudah membahas bahwa dengan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang baik sehingga mewujudkan karma yang baik pula. Dan dari perbuatan yang buruk akan dihasilkan karma yang buruk pula. Jadi segala sesuatu yang kita perbuat akan ada karmanya. Untuk itu kita akan mengenal yang namanya KARMA PHALA. (foto: vadinmanusudhana0436.blogspot.co.id) –sumber
Secangkir Kopi Kebahagiaan
Suatu hari Nasrudin jiwanya resah dan gelisah. Di sini salah di situ musibah. Jangankan tetangga yang marah-marah, bahkan Tuhan pun terlihat salah di mata Nasrudin. Macam-macam keluhan yang dikemukakan Nasrudin kepada Tuhan. Konon gara-gara keluhan menumpuknya Nasrudin, Tuhan jadi tidak bisa tidur.
Maka di suatu pagi Tuhan berbisik lembut kepada Tuhan: “Din, agar tidur saya nyenyak, minta apa saja, asal tiga kali akan saya penuhi”. Mendadak saja Nasrudin gembira tidak terkira, secara spontan ia meminta agar istrinya segera wafat. Masih menurut Nasrudin, gara-gara istrinya rumahnya jadi neraka membara.
Di hari berikutnya benar saja istri Nasrudin wafat. Dan tetangga pun berdatangan lengkap dengan komentarnya. Ada yang berguman begini: “wanita yang sangat menyayangi keluarga”. Tetangga lain menyebut istri Nasrudin wanita yang rajin beribadah. Dan yang membuat Nasrudin menangis, ada yang berbisik begini: “memang, kalau orang baik cepat dipanggil Tuhan”.
Mendengar komentar terakhir, Nasrudin lari ke belakang rumah memanggil-manggil nama Tuhan. Setelah Tuhan muncul, pria yang sedang berduka ini meminta janji Tuhan yang ke dua agar istrinya dihidupkan kembali. Beberapa hari kemudian, sadar kalau janji Tuhan tinggal satu, ia tanya ke sana ke mari apa yang sebaiknya diminta ke Tuhan untuk terakhir kalinya.
Tetangga pertama menyebutkan: “mintalah uang Din, dengan uang kamu bisa beli apa saja”. Tetangga ke dua bilang: “apa gunanya uang kalau kamu sakit-sakitan. Mintalah kesehatan. Tetangga yang ketiga lebih rumit lagi: “apa gunanya uang dan kesehatan kalau kamu mati. Mintalah kehidupan tanpa kematian”. Ujungnya, Nasrudin kembali pada kebingungan di awal. Semuanya serba salah.
Merasa diri sedang dikerjain Tuhan, kali ini Nasrudin ngambek tidak memanggil Tuhan. Ditunggu sampai 11 tahun ia tetap diam seribu bahasa, di tahun ke 11 giliran Tuhan yang mendatangi Nasrudin: “Din, saya masih hutang satu sama kamu, kenapa tidak diminta?”. Dengan tidak menoleh Nasrudin menjawab: “serba salah Tuhan. Sekarang menyangkut permintaan terakhir, semuanya diserahkan pada Tuhan saja”.
Sambil tersenyum lembut Tuhan bergumam lembut: “benar Din, apa kamu tidak menyesal?”. Lagi-lagi Nasrudin mengangguk yakin. Kali ini Tuhan berbisik pelan meyakinkan: “mintalah hati yang penuh dengan rasa syukur”. Tentu saja Nasrudin bingung dan bertanya kenapa. Dengan tatapan mata yang lembut Tuhan menjawab: “dengan hati yang bersyukur, ke mana pun kaki melangkah jiwa akan terasa indah”.
Kisah Nasrudin ini adalah kisah banyak sekali manusia. Memulai perjalanan dengan kebingungan, serta berakhir di kebingungan yang sama. Jangankan orang desa yang tidak disentuh pendidikan, bahkan sebagian orang yang disentuh pendidikan tinggi pun berputar di lingkaran kebingungan yang sama.
Tidak ada yang melarang orang untuk memiliki ijazah yang tinggi, tidak ada yang melarang orang untuk memiliki pencapaian material dan spiritual yang juga tinggi. Tapi tanpa rasa syukur yang mendalam, ijazah yang tinggi dan pencapaian yang tinggi akan memperpanjang daftar panjang kegelisahan yang sudah panjang.
Itu sebabnya jiwa-jiwa yang dalam lebih tertarik dengan menemukan kebahagiaan pada setiap kekinian. Semua kekinian – dari makan, kerja, doa, hingga minum secangkir kopi – dilihat dari sisi-sisi yang membahagiakan. Bagi jiwa jenis ini, hidup penuh dengan hujan berkah. Keinginan yang tidak terkendali yang merubahnya menjadi hujan musibah. –sumber
Doa Ibu
Kisah Nyata yang memilukan
Semoga bermanfaat, terutama bagi kaum ibu!!!�
�
Akibat ungkapan kemarahan seorang ibu, yg telah terlupa dgn doanya selama 25 tahun..!
Aku sedang membersihkan rumah. Tiba2 anak lelakiku yang masih kecil berlari ke arahku..! Ia terlanggar satu pot bunga yang dibuat daripada kaca..! Pecah hancur berantakan..!
Aku benar2 marah karena pot itu memang mahal harganya. Tanpa ku sadari, aku telah melontarkan kata2:
“Matilah kamu ..! Semoga kamu ditimpa dinding bangunan dan tulang-belulang kau hancur..!”
Tahun demi tahun berlalu..! Anak lelakiku membesar, aku sdh lupa akan doa itu. Aku pun tak anggapnya penting dan aku tak tahu bahwa doa itu telah naik ke langit..!
Anak lelakiku dan adik2nya yang lain tumbuh menjadi besar..! Dia anak sulung yang paling aku sayangi dari anak2ku yang lain. Dialah anak yang rajin dan pandai menghormati aku dan berbakti kepadaku dibandingkan adik2nya yang lain..!
Kini dia telah menjadi seorang insinyur.! Tak lama lagi dia akan menikah. Tak sabar rasanya aku ingin menimang cucu..!
Ayahnya punya sebuah bangunan yang sdh lama dan ingin direnovasi. Maka pergilah anak aku bersama ayahnya ke gudang itu. Para pekerja sudah ber siap2 untuk merobohkan satu dinding yang sudah usang.
Sementara pekerja sedang bekerja, anakku pergi ke belakang bangunan tanpa diketahui oleh siapa pun. Dengan tak di sangka2 dinding bangunan itu roboh menimpanya..!
Kedengaran suara berteriak di dalam runtuhan itu sehingga suaranya tak kedengaran lagi..!
Semua pekerja berhenti. Heran suara siapa..? Mereka berlari ke arah reruntuhan itu..! Mereka mengangkat dinding yang menghimpit anakku dengan susah payah dan segera memanggil Ambulan.
Mereka tidak dapat mengangkat badan anakku. Ia remuk seperti kaca yang jatuh pecah ber keping2..!
Sebahagian mereka mengangkat badan anakku yang hancur dengan ber hati2 dan segera membawanya ke Unit gawat darurat di Rumah Sakit..!
Ketika ayahnya menghubungiku, se akan2 Tuhan menghadirkan kembali kata2ku padanya semasa ia masih kecil dahulu..!
Aku menangis hingga pingsan, setelah aku sadar, aku berada di Rumah Sakit dan aku meminta untuk melihat anakku..! Ketika melihatnya, aku seakan mendengar suara yang berkata,
“INI DOAMU KAN..? Sudah AKU kabulkan..! Setelah sekian lama engkau berdoa, sekarang Aku akan mengambilnya..!”
Ketika itu, jantungku seakan berhenti berdetak. Anakku menghembuskan nafasnya yang terakhir..! Aku berteriak dan menangis sambil berkata,
“Ya Tuhan..! Selamatkanlah anakku.! Jangan pergi nak.”
Seandainya, lidah ini tidak mendoakan kejelekan 25 tahun yang lalu..!
Andaikan..! Andaikan..! Andaikan..! Tetapi kalimat ‘andaikan’ ini tidak berguna lagi waktu ini..!
Cerita ini dari satu kisah nyata!
Pesanku pada para ibu..!
Jangan se kali2 ter buru2 mendoakan KEBURUKAN anakmu ketika kamu sedang marah..!
Berlindunglah kepada Tuhan dari godaan iblis..!
Jika kamu ingin memukulnya, pukul sajalah..! Tapi jangan kamu mendoakannya dengan yang bukan2 sehingga kamu akan menyesal sepertiku…!
Sungguh aku menulis ini dengan airmataku yang turut mengalir..!
Wahai anakku..! Aku rela rohku turut bersamamu..! Hingga aku boleh beristirahat dari kepedihan yang aku rasakan setelah kepergianmu..!
Tolong sebarkan cerita ini kepada semua wanita..! Doakanlah yang baik2 saja untuk anak2..! Doa itu pasti akan terjawab walaupun untuk sekian lama..! Tunggulah dan Tuhan pasti mengabulkan. -sumber:wa_group
Diah Tantri – Dongeng Hindu
Siklus kehidupan, dari usia kanak-kanak sampai renta, bagi mahkluk hidup terutama manusia, secara pribadi merupakan misteri yang tiada pernah terungkap sampai sekarang. Untuk mengungkap, mereka dibatasi umur. Disebut kanak-kanak sampai umur sekian.
Usia remaja, dewasa…bla…bla…bla… tua dan mati. semua peristiwa yang dialaminya sirna terbakar api, tergerus angin dan larut dalam catatan air. Bagi sebagian orang, bertambahnya usia, adalah siksaan. Ketakutan terhadap dewi maut yang selalu mengintip, menjemput dirinya adalah siksa.
Selain usia, cinta pun misteri. Kadangkala, cinta datang, singgah sebentar lalu pergi tak pernah terpikirkan. Kendati gejalanya, terasakan sampai ke akar nadi. Namun, penyelesaiannya selalu melalui proses yang panjang untuk menuntaskannya. Cinta juga merupakan siksa.
Usia dan cinta, selalu berjalan beriringan. Namun, kadangkala saling menyimpang. Semua itu, karena kepuasan yang tak punya batas.
Kerajaan Patali, di daratan Jambu Warsa memang sangat disegani oleh pemerintahan apenage dibawah kekuasaannya. Tak terkira, aliran upeti setiap tahun diterima oleh rajanya, Sri Ari Dara. Kendati aliran upeti, emas dan permata yang melimpah ruah, ia tetap tak terpengaruh oleh kenikmatan dunia itu. Sehingga tak diragukan lagi, benar adanya, para bhagawanta istana, menjuluki beliau dengan gelar Sri Singapati yaitu orang besar yang telah mampu menaklukkan panca indra. Pasalnya, sedari muda ia begitu rajin belajar menekuni sastra Wedha.
Sekian tahun dalam hitungan hari umur buana bertambah. Seiring pula perjalanan usia sang penguasa Patali, yang ditunjukkan sengan raut yang mulai keriput, rambut mulai berwarna. Hatinya mulai gusar, apalagi melihat permaisurinya tidak lagi berkulit kencang. Guratan ketuaan memancar dari wajahnya. Untuk menghilangkan kegundahannya itu, ia pun mengadakan pesta pora untuk rakyatnya tercinta.
Tatkala pesta tiba, baginda raja merasa cemburu melihat pasangan muda dan mudi Patali berduyun-duyun datang ke alun-alun. Betapa mesra mereka di pesta itu. Angannya, menerawang masa mudanya. Api asmara itu menggelegar kembali, membunuhi perasaan tua. Ia merasa perjaka kembali. Namun saat ia menoleh ke arah permaisuri di sebelahnya. Uph! Binar jiwanya meredup. “Istriku tiada lagi menarik…” pekik bathinnya.
Rombongan undangan yang memadati upacara pesta rakyat semakin bertambah. Agak jauh dari singgasananya, duduk sosok sepuh penuh wibawa. Beliau dikenal dengan nama Rakryan Patih Bandeswarya. Di sebelahnya duduk istrinya yang bernama Diah Pinatih. Mereka tak bergeming menyaksikan tampilan tarian yang diiringi oleh gamelan Semar Pagulingan yang bersuara merdu.
Dari luar alun-alun, menyeruak di antara rimbunan penonton. Seorang dara manis diiringi dua orang dayang-dayang menuju ke arah Ki Patih. Orang tua sepuh itu tersenyum, lalu telunjuknya mengarah ke singgasana raja. Bersamaan Ki Patih bangun sembari membimbing lengan sang istri, si dara manis tergopoh-gopoh membuntutinya.
“Daulat Tuanku. Maafkan hamba yang rendah ini menghadap bersama keluarga di hadapan Tuanku.”
Raja menoleh ke arah Ki Patih. Ia pun tersenyum, dipandanginya wajah-wajah dihadapannya. Tatkala, sepasang matanya menumbuk mata sayu Diah Tantri. Gemuruh badai menghantam jiwanya. Ia merasakan hal yang luar biasa. entahlah, mahluk apa yang bersemayam sehingga imannya runtuh. Lama ia bengong. Layaknya, melihat bintang jatuh tepat di hadapannya.
“Tuanku, ia putri hamba. Namanya, Diah Tantri.”
Raja mengangguk, wajahnya merah menahan malu.
“Ki Patih, janganlah duduk berjauhan. Di sebelahku masih banyak kursi kosong. Silahkan, ambil tempat yang lebih dekat lagi….”
“Ba…baik. Tuanku….”
Ki Patih Bandeswaryapun mengambil tempat di sebelah kanan raja. Acara pertunjukan berlalu, namun mata raja selalu saja sempat mencuri pandang ke arah Diah Tantri. Ia tak pernah menikmati atraksi seniman yang menyuguhkan keindahan padanya.
Seminggu kemudian, tidak biasanya raja memanggil Ki Patih secara dadakan dan tanpa protokoler. Ia hanya mengutus pengawal, tanpa surat. Pangawal itu, hanya menyampaikan sepatah kata “Raja hendak membicarakan sesuatu yang sangat rahasia”.
Pikiran Ki Patih tak mampu menduga, apa yang akan disampaikan raja. Secara tergesa-gesa ia pun menuju pendopo istana.
“Daulat, Tuanku. Patih menghadap, apa yang hendak baginda sampaikan ?”
“Ki Patih….! hendaknya Ki Patih memahami apa yang hendak aku sampaikan.
Dalam pemujaanku setiap hari pada Dewata, aku selalu menggunakan sarana bunga dan dupa yang baru. Sangat nista sekali pemujaan itu, andaikata saja aku menggunakan bunga yang layu. Apalagi, bunga yang sudah kupersembahkan kupakai lagi. Ukh ! Betapa hina rasanya. Begitu pula, seorang gadis tak boleh duakali melayani di pelaminan. Ibarat bunga layu, sangat nista rasanya. Aku kembalikan kepadamu. Apakah raja yang megah dan agung, maha utama ditengah masyarakatnya nyatanya nista belaka ?”
Otak Ki Patih Bandeswarya yang cerdas mengolah kalimat junjungannya. Akhirnya, ia menyimpulkan, junjungannya mengalami masa puber kedua. Ia tak bisa menolak. Keputusan raja adalah utama. Apapun itu, ia harus melaksanakan.
“Baiklah, Tuanku. Hamba paham, seluruh gadis Patali adalah milik Tuanku. Hamba akan berusaha mencarikan yang Tuanku kehendaki setiap hari……”
Ki Patih pulang. Esoknya, Ki Patih mulai berburu gadis ‘ABG’ di desa itu. Jauh sampai ke pelosok perkampungan. Awalnya, sih mudah. Namun, semakin hari ternyata kian berat. Sedangkan raja tak mau menerima andaikata Ki Patih mengatakan gadis-gadis sudah mulai berkurang. Coba saja, selama kurun enam bulan ini, puluhan gadis telah menjadi korban sang raja yang penuh nafsu. Ia jadi pusing melihat kelakuan tuannya. Bayangkan saja, satu hari satu orang gadis. Habis melayani lalu dibuang.
Ki Patih yang mulanya ceria. Kini, mulai murung. “Andaikata gadis-gadis di negeri Patali telah habis, tinggal putriku Diah Tantri. Orang tua macam apa aku ini, kalau saja rela menyerahkan putri semata wayangku pada raja angkara ?”
Sepulang dari istana, ia hempaskan tubuhnya di balai payogan. Tanpa bersalin pakaian, langsung tidur, lagaknya seperti orang yang frustasi saja. Gelagat buruk ini ditangkap oleh Diah Pinatih istrinya. Ia pun memanggil Diah Tantri, putrinya.
“Aduh, Ibu, ada apa memanggil Nanda ?”
Diah Pinatih menatap wajah putrinya lekat. Betapa terkejut dirinya, kulit kemayu itu pucat, seolah tiada dialiri darah, “Nanda, kamu sakit ?”.
Menguneng Ragi dan Rarasati, embannya saling toleh. Lalu Manguneng Ragi menjawab, “junjungan hamba tidak sakit, Gusti. Hanya kecapaian, bayangkan saja setiap malam harus menghapal sastra yang diajarkan Dang Guru…..”
“Bayangkan saja,” potong Rarasati, “sastra yang dihafal tiga sergah, sembilan puluh sloka, serta tigaratus sepuluh penjelasannya. Belum lagi yang lain. Andaikata otak saya yang diperintah begitu, pasti saya sudah semaput, Gusti,” lanjutnya terkagum-kagum.
“Sudahlah, Bibi. Jangan dilanjutkan … saya senang melakukannya,” ujar Diah Tantri.
Ibunya tersenyum. “Bunda bangga padamu. Bunda cuma ingin menyampaikan sesuatu, tentang ayahandamu. Lihatlah perilakunya, setiap hari seperti orang linglung. Bunda jadi kasihan. Cuma kamu yang bisa menghiburnya. Tanyakan apa yang telah terjadi ?”.
“Baiklah, Bunda…”
Esok harinya, saat ayahandanya masih lelap dalam tidurnya, Diah Tantri sembari membawa pecanangan – tempet sirih – mengunjungi ayahandanya. Ia menunggu, sabar, di samping balai.
Saat ayahandanya mengendus, ia terperanjat.
“Oh, putriku. Sudah lama?”
“Baru saja, ayah….”
“Tidak biasanya, ananda ke mari. Adakah sesuatu yang kurang ? Andaikata ya, ayahanda akan membelikan apapun itu. ”
“Tidak, ayah. Justru sebaliknya ada apa dengan ayah ? Tidak biasanya, ayahanda berubah jadi pemurung, jarang bicara dan nanda sering menjumpai ayah melamun di balai payogan …”
Mendengar ketulusan putrinya, Ki Patih yang bertubuh kekar, meneteskan airmata haru. Maka diceritakanlah kejadian di istana. Raja yang suka mengumbar nafsu, sudah puluhan gadis Patali menjadi korban. Kini, para gadis sudah habis. Ia merasa tak mampu lagi mengabdi pada Raja Patali.
“Andaikata demikian, biarlah ananda untuk selanjutnya menjadi korban bagi Raja Patali. Demi ayah, ananda siap, kok ?”
“Janganlah, ananda berkata begitu. Ayahanda tak sudi menyerahkan dirimu pada raja…”
Akhirnya Ki Patih Badeswarya menyerah. Ia sendiri mengantar putrinya ke istana. Betapa senangnya, Prabhu Ari Dhara. “Andaikata Ki Patih menyadari, aku menginginkan putrinya, tentu kejadian ini dapat dihindarkan. Sampai saat ini, aku sangat menghormati kesetiaan dan pengabdian Ki Patih,” kata batinnya.
Saat malam mulai merambah, sang raja sangat lelah. Ia pun merebahkan diri disamping Diah Tantri. Dengan sabar Diah Tantri melepaskan mahkota sang Prabhu, sembari bercerita. Ia menceritakan Nadhaka Harana. Sang Prabhu sampai tertidur mendengar kisah Diah Tantri yang luar biasa. Malam, keesokan harinya pun kejadiannya sama, Sang Prabhu minta dilanjutkan cerita, raja pun mengantuk lalu tertidur lagi. Begitulah seterusnya, Diah Tantri tak pernah selesai menuturkan ceritanya, selalu bersambung dan tak pernah habis ide ceritanya. Bagaikan air yang mengalir tiada henti.
Perjuangan Diah Tantri ternyata berhasil, raja mulai sadar. Ia kembali pada permaisurinya. Hidup rukun di usia senja. Selama menjadi istri kedua raja, Diah Tantri tak pernah disentuh, ya, seperti gadis Patali Lainnya. Prabhu Ari Dhara lebih menyukai tutur ceritanya yang menawan. –sumber
Meditasi Seorang Ibu – Dongeng Hindu
Sosok seorang ibu, bagaimanapun ia, sudah jelas sangat berjasa telah melahirkan kita di dunia ini. Tanpa ibu, roh kita tidak mungkin bisa melanjutkan perjalanan samsara di dunia.
Bayangkan saja, kalau roh tidak lahir, padahal ia harus mengalami punarbhawa, bagaimana cara roh kita menebus dosa-dosa yang telah diperbuat pada masa yang lalu ?. maka seyogyanya kita patut menjungjung seorang ibu. Karena berkat pengorbanan dirinya, melakukan meditasi, tapa brata selama sembilan bulan berjuang melawan cobaan, deraan hina dan nestapa. Ia lakoni dengan jiwa yang tulus penuh ikhlas.
Coba saja kita saja legowo. Betapa menderita ibu kita, ia berkorban, ia berkorban sedemikian rupa memelihara janin yang berada di tubuhnya, sampai waktunya kita lahir ke dunia. Selanjutnya, ia menjaga kita tetap hidup, supaya bisa terus menghirup udara pagi. Sehingga, sudah sepatutnya kita tak durhaka padanya. Walaupun ibu kita bersikap tak layak, tak berkenan di hati kita seyogyanya kita sebagai putranya memaafkannya, janganlah coba-coba melawannya, menentangnya. Bisa fatal akibatnya.
Dulu, hiduplah seorang anak dari keluarga miskin yang hidup penurut. Namanya, Ranu. Kalau disuruh ibunya, ia tak pernah membantah. Sehingga ia disayangi oleh kedua orang tuanya. Beranjak remaja, sifat itu tetap terpelihara. Semua orang sangat menyukai pribadinya yang sopan dan sederhana. Seiring waktu, Ranu tumbuh menjadi pemuda tanpan, kendati miskin, ia tetap dipuji oleh gadis-gadis sedesanya.
Suatu hari, ketika ia pulang dari menjemput ibunya yang berjualan di pasar. Ranu bertemu pandang dengan seorang gadis cantik putra saudagar kaya. Entah kenapa, sejak pertemuannya itu, putri saudagar kaya jadi tertarik dan jatuh cinta pada Ranu. Suatu ketika, sehari sebelum jatuh hari ulang tahunnya, putri saudagar kaya memohon pada kedua orangtuanya untuk diijinkan menikah dengan Ranu. Lantas, apa jawaban kedua orangtuanya?
“kalau boleh ayah minta, janganlah kamu menyukai Ranu. Ia dari keluarga miskin, nanti jadi beban keluarga kita, “ saran saudagar kaya pada putrinya.
“Andaikata ayah sayang pada Nawangsari, ijinkan Ranu sebagai hadiah ulang tahunku, restui nanda menikah dengan Ranu. Nanda sangat mencintainya….” Rengek putrinya memelas, sembari menoleh kearah bundanya.
Bundanya menggeleng.
“Sedikitpun Bunda tak mengijinkan…apapun alasanmu…”pungkas ibunya sengit.
Nawangsari menangis, bulir airmatanya membuat liuk sungai kecil dipipinya yang ranum.
“Baiklah, kalau Bunda tiada merestui. Biar nanda mati saja, untuk apa nanda hidup, kalau keinginan nanda yang satu ini tak terkabulkan….”sahutnya.
Kedua orangtuanya terkejut. Mereka tak ingin kehilangan putri semata wayangnya. Akhirnya, Nawangsari diijinkan menikah dengan Ranu, si pemuda miskin. Namun, dengan satu syarat Ranu tak boleh lagi tinggal di rumah orangtuanya yang kotor dan dekil. Ia mesti tinggal di rumah Nawangsari.
Pendek cerita, Ranu menikah dengan Nawangsari. Namun, pada pesta pernikahan mereka, Ranu tak didampingi oleh orangtuanya. Ia malu memboyong orangtuanya yang kotor dan kumal. Pernikahan pun berlangsung tanpa kehadiran orangtua Ranu. Ayah Ranu, sebenarnya berkeinginan ikut ke tempat pesta. Kendati Ranu melarangnya keras.
Ia pun memaksa berangkat. Namun, pengawal ayahnya Nawangsari, atas perintah Ranu mencegatnya di jalan. Ayah Ranu sakit hatinya. Saking tak bisa menahan diri, ia lalu jatuh sakit. Tubuh ringkih itu, bertambah layu. Akhirnya, meninggal dunia. Semua itu karena sikap Ranu yang tak bisa membalas budi. Mengetahui sebab kematian suaminya, ibu Ranu jengkel, lantas mengutuk anaknya supaya masuk neraka, tak akan pernah menemui jalan sorga.
Benar saja kejadian itu, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja Ranu sakit keras, lalu koma, tak sadarkan diri. Tubuhnya terbujur kaku. Istri dan mertuanya kebingungan. Apalagi, setelah ratusan tabib mumpuni tak mampu menyembuhkan Ranu.
Suatu hari, dalam perjalanan pasrah mencari obat, sampailah mereka pada pondok seorang Pendeta Sakti di tengah hutan belantara.
“Aku akan mengantarkan kalian pada orang yang memiliki obat manjur. Ia bisa menyembuhkan penyakit Ranu….”janji Pendeta Sakti.
Nawangsari dan kedua orangtuanya menurut saja. Mereka pasrah, membuntuti dari belakang. Cukup lama mereka berjalan, sampai akhirnya mereka berhenti pada sebuah pondok lusuh, kotor dan dekil. Pendeta Sakti mengajak mereka masuk ke dalam pondok. Nawangsari dan ibunya sabankali bersin-bersin, lalu menutup hidungnya menggunakan selendang. “Rumah siapa sih ? Kok, kotor dan jelek sekali ?”tanya batin Nawangsari.
Lalu dari pondok keluar seorang wanita tua. Mulutnya yang mengunyah sirih, dengan sopannya mempersilakan mereka duduk di balai-balai bambu yang sudah usang dan lapuk.
“Ibu, anakmu Ranu sakit keras. Ia sekarat sekarang “ ujar Pendeta Sakti.
“Akh ?!” pekik Nawangsari, begitu pula kedua orangtuanya. Ia tak menyangka ibunya Ranu masih ada. Bahkan terlantar tiada yang menemani.
“Biar saja, ia sengsara. Biar ia tahu, ia telah kukutuk agar masuk ke neraka. Anak durhaka semacam itu tak pantas dikasihani…” katanya lantang.
“Sekali lagi, ibu. Aku mohon maaf atas kekhilafannya….”
“Maaf, Tuan Pendeta. Aku tetap tak peduli …..”
Pendeta Sakti kebingungan, atas sikap bersikukuh ibu Ranu. Lalu ia mencari akal.
“Baik, baiklah… daripada ia sakit keras, mati tak bisa, hiduppun merana menahan sakit. Seyogyanya, agar ia terbebas dari sakit, ia diumpankan saja pada seekor harimau lapar,” ucap Pendeta Sakti.
Ibu Ranu tersentak. Betapa terkejut hatinya mendengar kata-kata Pendeta Sakti. Tanpa pikir panjang, ia lalu berkata, “Aduh, jangan Tuan Pendeta. Mohon janganlah Tuan mengumpankan anak saya pada harimau lapar, kasihani ia. Kendati sekarat ia tak pantas dikoyak binatang buas. Aku memaafkannya.”
Begitulah, sepulang dari rumah ibu Ranu, Pendeta Sakti memercikkan Tirtha Pabersihan dan Tirtha Penglukat Mala pada sekujur tubuh Ranu. Belum tetes air tirtha menyentuh bibirnya yang kuyu. Ranu sadar dari komanya. Ia berusaha duduk. Dan, meracau menyebut kedua nama orangtuanya.
Seminggu kemudian, Ranu sembuh sediakala. Dan, karena ibunya sebatang kara, atas nasehat Pendeta Sakti pada Ranu, ibunya sudah seyogyanya diajak tinggal bersamanya. Siapalagi yang pantas merawat ibu kandungnya yang sudah mulai ringkih ? Ranu setuju, ia pun menjemput ibunya. Mereka pun bahagia.
Demikian, betapa hebat khasiat meditasi seorang ibu yang selama kurang lebih sembilan bulan mengandung putranya, kata-kata pemaaf yang terlontar dari putranya adalah obat yang mujarab. –sumber
Kutukan Ekalaya – Dongeng Hindu
Negeri Nisadha, salah satu wilayah makmur di tanah Bharata. Negeri ini dibangun oleh leluhur Nala. Namun, karena keserakahan penguasanya, negeri ini terpuruk. Konon, sekian deret waktu berlalu, sampailah negeri Nisadha diperintah oleh seorang Raja bernama Hiranyadanu. Ia mempunyai putra bernama Ekalaya. Seperti pemuda kebanyakan, kesehariannya berpenampilan sederhana. Kendati berkulit sedikit gelap, ia sosok lelaki remaja tampan dengan wajah bersih, dagu lembut dan tubuh yang tegap.
Ekalaya memiliki otak cerdas. Berbagai ilmu dipelajarinya. Sehingga tak ayal, dahinya bersinar. Suatu hari, ia berpamitan pada orang tuanya.
“Rama, aku akan berguru ke Negeri Hastina. Konon, disanalah turun kitab-kitab sastra termasyur. Sejak Parasara menorehkan tinta emas pengetahuan abadi, negeri itu bermandi cahaya….”
“Baiklah, ananda. Demi ilmu, bila perlu pergilah engkau ke batas langit. Namun ingatlah, setelah engkau kembali nanti, bangunlah negeri Nisadha ini menjadi wilayah yang makmur dan sejahtera.”
“Baiklah, Rama….”
Ekalaya berjalan sendirian. Ribuan hektar daratan datar dilintasinya, turun jurang dan pendakian gunung pun bukan hal yang istimewa lagi. Sekian waktu berlalu, sampailah ia di Hastina. Menurut cerita penduduk, Hastina mempunyai ratusan pangeran. Mereka semuanya cerdas dan pandai berkat didikan Rsi Drona. Terutama Arjuna, dialah diantara pangeran-pangeran Hastina yang paling hebat. Hampir seluruh kemampuan gurunya dikuasainya. Ekalaya hanya bisa mengangguk terkagum-kagum pada Guru Drona. Dan kemudian membayangkan, andaikata saja, ia diterima sebagai murid Drona.
Obsesi menjadi salah satu murid Drona menyiksa bathin Ekalaya. Akhirnya, diputuskannya untuk menemui Rsi Drona dan memohon padanya agar sudi diterima menjadi salah satu siswa.
Saat itu, Drona lagi melepas lelah, seharian mengajar di istana. Di sela waktu istirahat, ia menyempatkan diri melantunkan syair kitab suci. Sekonyong-konyong, seseorang bertubuh tegap muncul dihadapannya.
“Maafkan hamba, Tuan. Begitu lancangnya hamba menghadap padamu hanya karena keinginan yang membuncah di dada hamba….”
Rsi Drona menatap tajam, pemuda tampan penuh santun yang bersila di depannya. Sembari merapikan kitab suci, ia menyambut si pemuda.
Mata hatinya menjawab, bahwa sosok yang datang kali ini sangat membutuhkan uluran tangannya.
“Anak muda, bangunlah. Ada keperluan apa menemui aku?”
Ekalaya memperkenalkan diri. Lalu menjawab,”aku ingin diangkat menjadi muridmu….”
Rsi Drona terpaku. Ia sangat terpesona oleh penampilan Ekalaya. Kalau saja ia tak bersumpah tidak mengangkat murid selain ksatria Hastina. Barangkali saja Ekalaya bisa menjadi andalannya untuk mengimbangi kemampuan Arjuna. Menurut kata hatinya, potensi tersembunyi yang dimiliki Ekalaya luar biasa. Auranya menyedot, menyita perhatiannya. Seperti, tatkala ia berjumpa Arjuna tempo hari.
Putranya, Aswatama yang diharapkan mampu ternyata masih di bawah kemampuan Arjuna. Ia sangat labil dalam emosi, sehingga akan mempengaruhi intelektual dan spiritualnya menuju tatanan stabil. Namun, Ekalaya tidak. Ia cukup sempurna. Hal itu terlihat jelas dari sorot matanya, kalau saja ia yang membimbing, sudah pasti Ekalaya menjadi ksatria pilih tanding, melebihi murid kesayangannya, Arjuna.
“Maafkan hamba, Tuan. Kalau sangat berat memutuskan hari ini, esok hari, atau kapanpun hamba siap menunggu jawaban Tuan….”
Drona tersentak. Lamunannya buyar.
“Bu….bukan begitu, anak muda. Aku tak bisa menerima dirimu sebagai murid…”
“Alasan Tuanku?”
“Kamu dari Nisadha. Bukan ksatria Hastina. Aku hanya bertugas melatih ksatria Hastina….dan itu bagian dari sumpahku!” kata Drona lembut.
“Baiklah, kendati Tuan tidak mau menerimaku, perkenankan aku memanggilmu guru….”
Drona bengong. “Betapa kuat tekad pemuda itu?” pikirnya membatin.
Ekalaya kecewa, ia pun pergi. Pikirannya kalut. Ia berusaha memaafkan Drona, karena telah bersumpah tidak mengambil murid selain ksatria Hastina. Kakinya melangkah menuju hutan. Pada sebuah bukit cadas, ia berhenti. Ia melihat seonggok batu yang terkikis angin, sehingga menyerupai bentuk tubuh seseorang.
Pikirannya bekerja. “Andaikan aku bentuk batu ini menyerupai patung Drona, alangkah indah jadinya. And, ku bawa padanya sebagai kenang-kenangan dariku, mungkin saja ia luluh dan menerimaku menjadi muridnya…..”
Ekalaya pun mencabut belatinya, perlahan dengan kehati-hatian tangannya menoreh garis, membentuk batu cadas menjadi patung. Setiap hari pekerjaannya hanya itu, membuat arcanam Drona. Sampai sekian bulan, barulah patung itu jadi. Patung yang sangat mengagumkan. Persis seperti aslinya. Baru saja ia hendak membawa patung itu ke rumah Drona. Terlintas kembali pernyataan Drona, bahwa ia tak akan mengangkat murid selain ksatria Hastina. Ekalaya ragu. Akhirnya, ia urungkan niat membawa patung Drona.
“Baiknya, aku stanakan arcanam guru di tempat aku berlatih ilmu.”
Mulai saat itulah, Ekalaya berguru pada batu. Ia sering bercakap dengan arcanam gurunya. Seolah dibimbing oleh sang guru.
***
Suatu hari, para pangeran Kurawa dan Pandawa lagi berburu. Ia membangun kemah dipinggiran hutan. Saat mentari membara di ubun-ubun, mereka istirahat. Anjing-anjing pemburunya dilepas liar, dengan harapan salah satu dari mereka mencium kumpulan rusa hutan bersembunyi.
Salah seekor menerobos, cukup jauh dari areal perkemahan. Dan, kebetulan saja berada tidak jauh dari pondok Ekalaya. Saat itu, Ekalaya keluar pondok hendak berlatih. Rupanya bayangan Ekalaya mengejutkan anjing pemburu tadi. Anjing itu menggonggong sejadi-jadinya. Percuma Ekalaya memberi isyarat agar tidak menggonggong. Konsentrasi Ekalaya buyar. Sedikit jengkel, diraihnya beberapa anak panah. Dan beberapa detik kemudian.
Plasss……! Anak-anak panah itu meluncur ke arah anjing yang menyalak santer. Luar biasa panah itu tidak membunuh. Namun menutup mulut anjing yang menganga. Panah yang tersusun rapi dimulut anjing membuatnya tak berkutik, lalu berlari ketakutan menuju perkemahan tuannya.
Semua siswa Drona terkejut melihat kenyataan itu. Mereka tak menduga ada seseorang yang mampu menandingi kemampuan Drona dalam membidikkan anah panah. Begitu pula Arjuna, mulutnya menganga takjub.
“Guru, siapa gerangan yang mampu menandingi kehebatanmu ?” tanya Arjuna.
Drona yang melamun, tersentak. Jangan-jangan Bhargawa turun gunung. Selain dirinya, hanya Bhargawa yang mampu memanah sehebat itu.
“Arjuna, ayo kita cari si pemilik panah, pasti tidah jauh dari sini….aku curiga hanya Bhargawa yang mampu melakukannya….”
Arjuna dan Drona mencari si pemilik panah. Setelah setengah hari mencari, barulah mereka bertemu. Betapa terkejut Drona, ternyata yang dijumpainya hanyalah pemuda berkulit gelap dan begitu asing baginya, ia lupa pernah bersua dengannya tempo hari.
“Wahai anak muda, engkau sangat hebat. Aku kagum akan kemampuanmu…”
“Terima kasih….” Sahut Ekalaya tenang.
“Bisakah engkau menunjukkan kepadaku, kemampuanmu yang lain ?”
Wajah Ekalaya berbinar. Inilah ujian sesungguhnya, sudah lama ia berguru pada arcanam Drona. Sekarang, ya sekaranglah Dewata mengutus guru yang berwujud manusia datang memberi ujian.
“Baiklah, Guru…..” Kata Ekalaya.
Mendengar sebutan guru pada Drona. Arjuna cemberut. Kentara sekali perasaannya iri akan kemampuan Ekalaya. Dalam hatinya, ia berkata, gurunya telah berbohong. Janjinya akan memberi ilmu utama padanya hanyalah sekedar janji, bukan sesungguhnya. Buktinya, ada muridnya yang lain.
Di pihak Drona, justru dengan panggilan guru membuatnya terperanjat. Ingatannya yang melamur tadi, perlahan terang. Ya, pemuda dihadapannya tidak lain pemuda yang pernah mendatanginya tempo hari.
“Benar, ia ksatria Nisadha yang bernama Ekalaya…” kayanya membatin.
Ekalaya mematung, ia meditasi.
Lalu mengeluarkan panah Brahmastra dan merentang busur. Panah meluncur mengeluarkan desing. Kecepatannya luar biasa, lalu berubah menjadi seekor naga yang siap memagut lawan. Pada saat panah menemui sasaran, bumipun berguncang. Pohon bertumbahangan. Rumput terbakan. Hangus. Sebelum sempat menghancurkan lebih lanjut, Ekalaya memanggil panah yang masuk kembali ke kelongsongnya.
Drona bertepuk tangan. Kagum. Arjuna cemberut, lalu menghujat gurunya.
“Sekarang, tampaknya engkau memberikan janjimu pada orang lain…” pekiknya.
Drona tertampar malu. Lantas menoleh ke Ekalaya.
“Rasanya, aku tak pernah mengajarimu. Dari mana kamu berguru ?”
Ekalaya tersenyum, lalu membuka penutup arcanam gurunya.
“Akh….?!” Mereka terpekik kaget memandangi wajah patung yang persis wajah Rsi Drona.
Dibalik rasa kagum, ia berusaha menutupi gejolak perasaannya. Drona memutar otak. Andaikata, Ekalaya dibiarkan terus melakukan hasratnya. Sudah tentu, Ekalaya yang akan menjadi pemanah hebat bukan Arjuna.
“Hal ini tak boleh terjadi ! Tidak boleh terjadi ! “ tegas hatinya.
“Ekalaya, kamu keliru. Sangat keliru ! Aku tak pernah menganggapmu menjadi murid. Ini namanya mencuri, ya mencuri ilmu. Inilah yang mendasari aku tak mau mengangkatmu menjadi murid. Ingatlah, sejarah bangsamu. Kekalahan Prabu Nala melawan sepupunya di meja judi ? Sehingga istananya dipertaruhkan ? Tabiat judi, tidak jauh dari mencuri.
Hukumannya sangat berat….”
“Maafkan aku guru….”
“Kamu bisa menjadi muridku, hanya dengan satu syarat….”
“Syarat apapun akan kuterima, asal aku sah menjadi muridmu.”
“Karena mencuri, aku minta ibu jari tangan kananmu….”
“Akh…! “ Ekalaya terkejut.
Namun ia tersenyum, lalu mencabut belati dan memotong ibu jarinya sendiri dengan tangannya sendiri. Drona menerima ibu jari yang berlumuran darah dengan harapan Ekalaya tak mampu melanjutkan ilmu panah saktinya.
Mereka pun pergi meninggalkan Ekalaya. Sembari mengelus dada, Ekalaya menarik nafas panjang. “Engkaulah penyebab semua ini. Egoisme yang engkau miliki merugikan orang lain. Aku tak akan memaafkanmu. Memang leluhurku, penjudi. Namun beliau telah bertobat. Aku tak terima, perbuatan leluhurku dibawa-bawa. Ingatlah, pada waktunya nanti seluruh keluargamu akan mendapat bencana seperti apa yang pernah terjadi pada keluargaku….wahai, Arjuna !! “ teriak Ekalaya.
Tiba-tiba petir menyambar di siang bolong. Kutukan Ekalaya diterima Dewata. Benar, pada saat pertarungan dadu. Pandawa dikalahkan Kurawa. Parahnya, selain istana, permaisurinya Drupadi pun dipertaruhkan. –sumber
Kupu-Kupu Jiwa
Di Timur ada tradisi tua, kalau rumah didatangi kupu-kupu itu tanda akan datang tamu. Tidak sepenuhnya salah. Namun sulit mengingkari kalau kupu-kupu itu wakil keindahan di alam. Setiap sahabat yang peka dalam rasa mengerti, ada rahasia spiritual mendalam yang disembunyikan di balik kupu-kupu.
Sebagaimana sering dikutip di dunia pertumbuhan jiwa, sebelum menjadi kupu-kupu kepompong harus keluar dari rumahnya. Yang layak diendapkan, proses keluar dari rumah kepompong tidak saja lama tapi juga menyakitkan. Hal yang sama juga terjadi dengan pertumbuhan spiritual. Jangankan orang biasa, bahkan para suci pun harus melewati rasa sakit yang tidak kebayang.
Itu sebabnya, di Tantra mahluk tercerahkan disebut Maha Siddha. Sederhananya, seseorang yang sudah melewati cobaan, godaan, guncangan yang tidak kebayang hebatnya, kemudian mencapai alam Cahaya. Salah satu tokoh menonjol dalam hal ini adalah Jetsun Milarepa. Ia melewati proses yang berdarah-darah, sampai pernah tidak tahan hingga nyaris mau bunuh diri.
Tidak jauh berbeda dengan kupu-kupu, setelah melewati serangan dan guncangan yang maha dahsyat, mahluk tercerahkan jiwanya ringan. Masa lalu lengkap dengan rasa bersalahnya tidak lagi menjadi gendongan berat. Masa depan lengkap dengan ketidakpastiannya tidak lagi membawa ketakutan. Yang ada hanya jiwa yang ringan terbang di hari ini.
Berbeda dengan kodok yang melompat ke sana ke mari dan belum tentu ketemu yang dicari, kupu-kupu biasanya terbang terfokus menuju bunga. Kemudian menemukan madu di sana. Hal yang sama terjadi dengan mahluk tercerahkan. Itu sebabnya, salah satu kekayaan spiritual yang dicari di jalan meditasi adalah samadhi (fokus). Begitu seseorang lama istirahat melalui samadhi, di sana ada kemungkinan jiwa bisa bersayap indah.
Salah satu bagian hidup kupu-kupu yang layak diendapkan dalam-dalam, ia mengambil intisari bunga tanpa merusak keindahan bunga. Bahan renungannya, silahkan bertumbuh di bumi. Cuma jangan lupa untuk mengambil yang intisari saja (baca: cinta kasih). Bersamaan dengan itu, hati-hati jangan sampai merusak terlalu banyak.
Makanya di dunia keluarga, orang tua selalu disarankan untuk hati-hati merawat anak-anak khususnya. Jauh lebih mudah untuk hati-hati berbicara ke anak-anak, dibandingkan merawat manusia dewasa yang mentalnya terlanjur rusak. Lebih menyedihkan lagi karena itu terjadi tatkala orang tua tubuhnya sudah lemah dan lelah.
Bagian terindah kupu-kupu adalah sayapnya. Itu sebabnya, di Timur mahluk tercerahkan digambarkan memiliki sepasang sayap indah. Sayap kanannya bernama compassion (belas kasih). Sayap kirinya bernama wisdom (keheningan, kebijaksanaan).
Sebagaimana sepasang sayap kupu-kupu yang tidak bisa dipisahkan, wisdom dan compassion juga tidak bisa dipisahkan. Ia sesederhana bunga yang tidak bisa dipisahkan dengan keindahan. Sesimpel air yang tidak bisa dipisahkan dengan sifatnya yang basah.
Itu sebabnya, pesan yang paling sering terdengar di komunitas jiwa-jiwa yang dalam berbunyi seperti ini: “sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami mahluk tercerahkan memiliki hati yang indah”.
Penulis : Guruji Gede Prama
Foto : Pinterest
Bhagawan Drona dan Dewi Wilutama – Dongeng Hindu
Bhagawan Wraspati mempunyai putra bernama Baradwaja yang pernah memerintah di Negeri Antasangin. Tatkala memasuki masa wanaprastha ia melaksanakan tapa sebagai Brahmana Pandita di tengah hutan, berita ini terdengar oleh sahabatnya, Raja Pancala. Ia begitu terharu, karena ia tahu, sahabatnya masih mempunyai putra yang masih bocah bernama Kanwa dan Kumbayana.
Akhirnya, ia putuskan untuk menitipkan putra mahkotanya, Sucitra, yang juga masih usia kanak-kanak padanya. Untuk diberikan pendidikan ilmu kawisesan. Sucitra, sangat senang berguru pada Rsi Baradwaja. Di mata Sucitra, Baradwaja adalah sosok ayah yang penuh perhatian. Begitu pula Kanwa dan Kumbayana sahabat kecilnya, selalu mengalah dan memanjakannya. Terlebih-lebih Kumbayana, ia merasakan adanya rasa melebihi sosok saudara.
Sucitra mewarisi ilmu kepemimpinan dari Baradwaja. Sedangkan Kumbayana yang rajin berlatih kanuragan mewarisi ilmu memanah dari orangtuanya. Sekian tahun, mereka bersama. Akhirnya, tiba saatnya mereka berpisah. Raja Pancala menjemput putranya.
Kedua remaja itu berpelukan. Tak tahan, airmata mereka menetes, meliuk membuat sungai kecil di pipi. Mengharukan sekali. Sucitra kemudian membuat usulan. Kumbayana membisu. Ia tak bisa menolak ajakan Sucitra.
“Baiklah, ku takbisa memaksa, kelak ketika dewasa datanglah ke istanaku, kita kendalikan bersama kerajaan Pancala. Aku janji, demi Dewata, ku takakan menyia-nyiakan kamu….datanglah ke istanaku.”
“Baiklah, Sucitra. Aku percaya padamu. Aku janji, suatu hari nanti kuakan mencarimu.”
Hidup semakin redup sejak Sucitra pergi. Keceriaan Kumbayana berubah, ia tak lagi senang bermain kesana-kemari. Ia lebih senang diam di pertapaan, membaca sastra menemani Rsi Baradwaja.
Seiring waktu bertambah sekian jilid buku dilahapnya. Vedanta yang paling sulitpun dipelajarinya. Akhirnya, di masa dewasa ia tumbuh menjadi pemuda cerdas. Selain sakti mandraguna, ia sangat tahan uji, dan menjungjung tinggi nilai-nilai satyawacana (setia pada janji). Ia sangat membenci pada moral orang yang senang ingkar pada janji. Karena, ingkar pada janji akan menyebabkan kepribadian orang terpuruk pada lembah yang paling nista. Keyakinan itu, membawa Kumbayana pada keinginan yang menggebu-gebu utnuk menemui sahabatnya Sucitra.
Rsi Baradwaja, yang mengetahui keinginan putranya, rela hati melepaskannya. Apalagi secara nyata, Kumbayana mampu menunjukkan kemampuan menguasai ilmu filsafat Vedanta dan strategi perang yang tertinggi. “Pergilah, Nanda. Temui sahabatmu Sucitra, kurestui perjalananmu. Kini namamu Drona, yang berarti engkau telah lulus dalam upaya mencapai kepribadian tertinggi.”
Pagi cerah, mentari melumuri pepohonan dengan sinarnya yang sejuk. Perjalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya ia harus tertambat pada laut yang luas. Ia berdiri dibatu karang. Ombak menghantam garang. Drona kecewa. Supaya mencapai Pancala. Ia sedapat mungkin, harus mampu berenang melintasi luasnya samudra.
Ia menggeleng, pasrah. Pupus harapan bertemu sahabat lama. Dalam hati ia merutuki nasibnya. Berhari-hari ia tak makan, merenung melaksanakan darana, dyana, semadhi. Mulutnya kering, hanya air laut yang dikirim buih lidah ombak melumuri celah bibirnya. Ia bertekad, kalau tak mampu mencari solusi, biar saja, ia terkubur bersama keinginannya yang menggebu. Akhirnya di puncak ketiadaberdayaan, ia pun bersumpah.
“kalau saja ada yang mampu menyebrangkan diriku, andaikan lelaki akan kujadikan saudara tertua dan menghormatinya seumur hidup. Jika wanita kuperistri….” Sumpahnya.
Sumpah Drona didengar Hyang Guru di Swarga Loka. Beliau, lantas mengutus seorang bidadari bernama Dewi Wilutama. Turun ke dunia untuk menggoda Drona. Dewi Wilutama menyamar menjadi seekor kuda betina.
Saat Drona sedang berusaha menekan keinginan bertemu dengan Sucitra, seekor kuda betina menghampirinya. Uniknya, kuda itu tidak seliar kuda lainnya. Ia datang, lalu mengendus dan menjilati punggung Drona. Saat mata sang kuda bertemu mata Drona. Terjadilah keajaiban, dalam pikiran Drona terangkai kata-kata yang indah. Dan ia terpesona. “Siapakah yang merangkai kata-kata ini ?”
“Aku ? “
Drona celingukan mencari-cari orang yang berkata dalam pikirannya.
“Tataplah mata kuda dihadapanmu. Dan, mohonlah sesuatu.”
“Tak mungkin, aku mengulang suatu permintaan. Pernah kunyatakan, siapaun yang mampu menyebrangkan aku je Negeri Pancala maka kalau ia lelaki akan kuangkat saudara, kalau perempuan kujadikan istri.”
“Ya, aku mampu menyebrangkan dirimu menuju Pancala. Naiklah ke punggungku.”
Drona yang putus asa, akhirnya menunggang punggung kuda betina. Dan, ajaib, kuda itu melesat tanpa rasa takut menyebrangi laut yang luas. Lawaknya, ia mengendarai kuda di darat. Sehari, semalam. Kuda berenang. Sampai akhirnya mereka menemukan daratan.
Awalnya, mata Drona menangkap puncak-puncak karang bermunculan pertanda daratan tak jauh lagi. Saat kaki mereka menginjak pasir. Drona nampak murung, ia teringat kata-katanya. Terbayang sumpahnya. Ia harus menepati semua janji-janjinya. Itulah, naursot (penebus janji) yang harus dilaksanakan. Ia harus mengawini kuda betina itu, untuk menebus janji-janjinya. Karena, kuda itulah yang mampu menyebrangkan dirinya. Di tengah hati yang membuncah, galau. Drona hanya bisa diam merenung. Sementara, ia tak melanjutkan perjalanan.
Ia hanya duduk menghabiskan hari di pantai itu, menjawab pertanyaan yang memenuhi ruang logikanya. “Akankan aku harus mempersunting kuda ? Gila, adakah moral dimataku ! Aku bernama Drona, Vedanta tertinggi telah kuraih !! Alhasil. Semua pertanyaan sulit mampu kujawab. Siapapun ahli Vedanta di pelosok negeri akan menyerah padaku….
Kenyataannya kuharus mempersunting kuda. Mengawini layaknya anak manusia. Ah! Lalu aku harus bagaimana ? Andaikata seorang yang diinisiasi menguasai Weda tidak satyawacana. Tidak menepati janjinya ? Kematian yang pantas dipersembahkan padanya ? Atau ia harus dipermalukan seumur hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan Drona mengalir bagaikan air bah menghantam sendi-sendi kepasrahannya. Ia harus segera memutuskan, mana yang harus dipilih. Menghindar ? atau menebus janjinya (naursot). Akhirnya, ia memilih mengawini kuda betina itu. Langit pun terasa aneh, menyaksikan pernikahan unik yang tak lazim.
Berbulan-bulan mereka menghabiskan hari di pantai Pancala. Kuda betina itu hamil. Semakin hari, semakin nampak buntingnya. Drona semakin setress. Saat ia berjalan, tanpa sengaja seorang nelayan memergokinya. Rupanya, dari dulu, ia sudah diamati. Hanya tak berani menegur.
Karena dianggapnya Drona manusia gila. Bagaimana tidak ? Seorang manusia bermesraan dengan seekor kuda. Manakala Drona sendirian, baru nelayan itu berani menyapa. Diajaknya Drona ke pondoknya, diberinya makan serta pakaian layak. Drona tersentuh dan tiada sengaja ia curahkan seluruh isi hatinya. Mengenai perjalanannya menuju Pancala, sampai akhirnya harus menikahi seekor kuda betina. Nelayan itu, manggut-manggut. Ia tak mampu meringankan beban penderitaan Drona. Ia hanya bisa prihatin.
Dari sinilah, cerita ini berawal. Penderitaan Drona, sampai ke telinga Patih Gandamana, lalu ke telinga Sucitra, yang kini bernama Drupada.
“Beristri kuda ?”
“Ya, Tuan……”
“Dimana moral manusia seperti itu ? Perbuatan salahtimpal hukumannya berat. Perbuatan asusila yang mencemari desa. Harus diadakan ruwat dengan upacara kurban kalau masyarakat nelayan itu mau selamat, “ kata Drupada, penuh kemuakan.
Suatu hari, Drona sangat panik. Tiba-tiba saja, kuda betina itu rebah. Mengerang, menahan sakit. Rupanya hendak melahirkan. Tiada lama, terdengarlah suara menyayat hati. Tangisan seorang bayi. Drona memungut lalu memangku orok yang terdampar di tumpukan ilalang. Dirangkulnya Drona, bayi itu menangis sejadi-jadinya. Drona hanya bisa bingung. Setelah diperhatikan ternyata si jabang bay sangat mirip dengannya. Lantas, mulut bayi didekatkan pada tetek kuda yang sedang rebah. Bayi itu pun menyusu.
Semakin hari bertambah, bayi itu semakin montok dan sehat. Kemana-mana Drona pergi, kuda itu menyertai. Pada suatu hari, ia hendak menghadap ke istana Sucitra. Kendati dilarang, kuda itu justru membangkang mau ikut jua. Akhirnya, Drona putus asa. Ia mengambil anak panahnya.
Dan, membentangkan pada busurnya. Rencananya, sih menakut-nakuti, namun setan apa yang menyebabkan tangannya lalai, anak panah melesat. Prash..!! Tepat menembus jantung kuda betina. Saat sekarat, meregang nyawa, kuda itu lenyap. Dan, berubah menjadi sosok seorang Dewi yang cantik sekali.
“Wahai Drona, namaku Dewi Wilutama ,” katanya
“Aku seorang bidadari. Aku diutus Hyang Guru untuk menggodamu. Kini, pengabdianku telah berakhir. Aku akan kembali ke Swarga Loka. Namun, sebelum aku pergi. Kutitip anak kita padamu. Rawatlah anak kita, agar menjadi manusia berguna. Anak ini, tadinya belum punya nama. Maka, kuberi nama Aswatama.”
Setelah menyerahkan Aswatama, Dewi Wilutama kembali ke kahyangan. Hanya tinggal Drona dan Aswatama yang merana diguyur sunyi. –sumber
Bhagawan Saradwan dan Bidadari – Dongeng Hindu
Bagi seorang brahmana, perjalanan tirtayatra sembari menyampaikan pesan-pesan Kitab Suci Wedha pada seluruh umat manusia merupakan kebahagiaan sejati. Begitulah yang terjadi pada diri Bhagawan Saradwan, putra Bhagawan Gotama.
Pagi itu, usai menyampaikan pesan-pesan Wedha yang tertuang dalam larik sloka kepada kelompok petani yang hendak berangkat menggarap tegalannya, ia pun melakukan meditasi surya sewana pada Dewi Savitri. Memujanya dan memohon keselamatan untuk dunia. Denting genta pun membahana menaklukkan batin yang resah menapaki ruang ketenangan.
Para petani itu pun lantas memohon berkah darinya. Bhagawan Saradwan sepenuh kemampuannya memberikan segala yang dimilikinya, sebelum pamitan utnuk melanjutkan perjalanan menuju selatan guna melanjutkan brata tirtayatra.
“Tuan, akan melewati hutan sebelum menemui dataran tinggi wilayah selatan….” Ujar salah seorang petani tua.
“Dan, ditengah hutan itu Tuan akan menemui sungai, yang kata orang, sungai itu berair jernih dan berbau harum….” Sahut yang lainnya.
“Konon, sungai itu tempat mandinya para bidadari…..” timpal petani yang lebih muda.
Bhagawan Saradwan hanya tersenyum saja, ia tak mau berkomentar membahas masalah itu. Karena sesuatu yang tak pasti, akan membuat perjalanannya tidak lancar.
“Terima kasih, atas informasi kalian. Kini, saya hendak melanjutkan perjalanan. Saya mohon diri,” katanya. Beberapa petani memetikkan buah-buah segar untuk bekal Sang Bhagawan melalukan perjalanan menuju wilayah selatan.
Hari mulai beranjak senja, manakala kakinya menginjak perbatasan desa dengan pinggiran hutan. Suara burung yang tadinya ramai berkicau, mulai meredup. Dan, berganti suara jerit kalelawar, yang mulai muncul satu, dua ekor beterbangan di udara menyambut langit jingga. Begitu pula, burung srigunting yang mencari mangsa mulai beterbangan dari sarangnya. Bhagawan Saradwan benar-benar menikmati nyanyian alam yang tidak pernah ia saksikan tatkala masih menuntut ilmu di pasraman ayahandanya.
Dilihatnya, belukar mulai melebat. Saat ia mulai memasuki wilayah hutan. Ia mulai memasang mata, karena tidak mau mengganggu jalannya sang ular. Jika terganggu bisa saja ia kesal, lantas mematuknya. Namun matahari mulai bersembunyi dibalik latar cakrawala gelap. Sinarnya, tak lagi menjangkau kedalaman hutan.
Sehingga sepasang matanya tak mampulagi melawan kegelapan. Ia tak akan bisa mengharapkan sang rembulan membantunya. Sebab hari itu ia tahu benar, berdasarkan dauh rembulan mengalami proses kematian. Dauh menyebut dengan istilah Tilem. Akhirnya, ia putuskan untuk istirahat saja, namun sebelum menutup sang petang seperti biasa ia meditasi. Pasrah kehadapan Sang Pencipta, Brahman Yang Agung.
Malam semakin gelap, tak satupun bintang hadir menghias tabir langit. Seolah enggan menyapa mayapada. Suara lolongan srigala liar makin menjadi, begitu pula babi hutan. Sesekali auman macan menyiksa telinga. Sang Bhagawan sadar, kalau ia masih tinggal disana dan matanya lelah. Bisa-bisa saat mentari menguak pagi, tubuhnya tinggal kerangka saja.
Maka, tanpa pikir panjang ia memanjat pohon besar. Sembari mulutnya komat-kamit mengucapkan sloka-sloka suci Wedha. Tepat pada puncak kegelapan. Ia terlelap di dahan ranting. Dalam mimpinya ia bertemu dengan seseorang yang berparas cantik yang muncul dari rimbun bunga. “Akh! Siapakah gadis berambut cantik itu?” batinnya. Namun, si gadis tak berucap kata, ia hanya menyerahkan sebilah busur dan sepasang anak panah.
Bhagawan Saradwan menampik pemberian itu, pasalnya ia tak biasa membunuh. Namun, ia tak mampu menolak. Dirinya tak enak hati, kalau orang yang memberinya ikhlas jatuh kecewa. Dalam pergumulan bathin didalam mimpinya, membawanya kepenghujung pagi. Diufuk timur, sinar kemerahan jelas terlihat dari ketinggian. Kokok ayam hutan, membangunkannya. Burung-burung mungilpun ramah berlompatan di ranting-ranting dekat tempatnya istirahat. Ia tengadahkan tangannya, perlahan udara segar merasuk kealiran nadinya.
Baru saja ia hendak turun, matanya terpaku pada busur dan sepasang anak panah. Ia usap kedua matanya, namun busur yang tergantung di ranting dan sepasang anak panah itu masih tetap teronggok dihadapannya. Ia cubit lengannya sakit. “Berarti malam itu benar adanya, gadis itu datang dan memberikan busur dan panahnya?!” pikirnya. Ia ambil benda itu, ditimang-timangnya, lalu dikalungkannya dilehernya. Sepasang anak panah itu digemggamnya, saat ia menyatukan telapak tangannya. Ajaib panah itu menghilang. Menyatu dengan busur yang bertengger dilehernya.
“Aneh!” pekiknya. “Sudahlah, aku tak akan membuang waktu. Usai mandi disungai aku harus melanjutkan perjalanan. Dan, aku sangat berterima kasih sekali, pada siapapun yang tinggal di pohon ini atas anugrahnya, semoga Tuhan memberikan jalan keselamatan baginya,”bisiknya.
Saat kakinya menyentuh tanah, suara halus aliran sungai didengarnya. Ia pun segera menuju arah suara debur. Hanya beberapa menit, suara itu semakin jelas. Sungai tak jauh lagi. Ia pun bergegas. Saat memasuki area sungai, betapa terperanjat dirinya oleh warna pelangi yang berpendar. Dan, ia melihat seorang gadis sedang mandi, berkecipak air bening.
Secapat mungkin ia mengalihkan pandangannya, ia sadar perbuatan mengintip adalah dosa. “Uphs ! Sepagi ini aku mendapat godaan, namun diriku mesti tabah menghadapi,”gerutunya.
Ia pun menunggu gadis itu selesai mandi. Karena ia pun hendak mandi. Tak lama kemudian gadis itu menyongsongnya.
“Kanda, aku telah selesai mandi,”tegurnya.
Merdu sekali suara itu. Karena merasa tiada orang lain di sana, Bhagawan Saradwan menoleh. Betapa terperanjatnya ia, gadis yang menegurnya itu; gadis yang hadir di mimpinya semalam.
“Aku seorang bidadari yang kena hukuman Dewata, Kanda. Dan, selama sekian tahun harus menetap dan tinggal di busur itu,”katanya, jemari lentiknya menunjuk ke leher Sang Bhagawan.
“Siapapun lelaki yang ikhlas, lantas mengalungkan busur dilehernya adalah suamiku. Kelak, aku melahirkan sepasang putra lelaki dan perempuan, baru kutukan itu selesai. Aku berhak kembali ke Swarga Loka.”
Mendengar pengakuan tulus gadis cantik itu, hati sang Bhagawan luluh. Ia pun menerima wanita itu sebagai istrinya.
Akhirnya, perjalanan Bhagawan Saradwan tertunda sementara waktu. Ia pun tinggal menetap disana bersama istrinya yang setia. Sembilan bulan setelah pernikahannya dengan putri bidadari, ia peroleh putra dan sembilan bulan kemudian, ia memperoleh seorang putri. Seperti biasa putra-putrinya keluar masuk di busur tempat bundanya menjalani hukuman. Setelah si bungsu sudah bisa merangkak dan belajar berdiri, Putri Bidadari menghadap Bhagawan Saradwan.
“Maafkan, Dinda. Berani lancang menghadap Kanda….”sapanya santun.
“Oh, tak jadi masalah, Dinda tidak mengganggu Kanda…”sahut Bhagawan Saradwan sedih, karena ia sadar istrinya akan meninggalkannya.
“Sudah saatnya Dinda mengakhiri masa hukuman, putra-putri kita sudah beranjak besar. Kanda sudah mampu mengasuh mereka, kalau mereka rindu padaku, ijinkan mereka masuk ke busur,”isaknya sedih. Lantas, ia menjatuhkan dirinya di dada bidang Bhagawan Saradwan.
Sembari mengusap bulir airmata yang membasahi pipi istrinya, Bhagawan Saradwan berujar bijak,” Roda kehidupan selalu berputar, pertemuan ada dalam satu masa, dulu, kini dan yang akan datang. Perpisahan selalu mengakhiri pertemuan, itulah roda kehidupan yang dipengaruhi ruang, waktu dan kondisi. Perpisahan bukanlah suatu kematian; namun babak baru, kehidupan baru. Lanjutkan perjalananmu, karena itu memang garis kehidupan Dinda. Setiap mahluk membawa jati dirinya mencari kesejatian utama. Mungkin dimasa yang akan datang, kita akan bertemu kembali….”
Usai kata-kata Sang Bhagawan putus. Di punggung Putri Bidadari tumbuh sayap-sayap halus, dipandanginya sebentar sepasang tubuh mungil di hadapannya. Mengecup dahi mereka. Lalu, tubuh Putri Bidadari mengecil, menjadi peri cahaya dan terbang menghilang dari hadapan Bhagawan Saradwan.
Alkisah, kegelisahan Raja Hastina, Prabu Santanu sepeninggal permaisurinya Gangga Dewi semakin tak tertahankan. Padahal waktu sudah lama berlalu, bahkan Bisma Dewabrata putranya, sudah tinggal bersamanya, dikembalikan oleh Dewi Gangga padanya. Namun, hati yang tandus memang tak ada pemecahannya. Sebagai Raja Agung, ia tak bisa mengobati lara jiwanya.
Untuk menghilangkan kegundahannya, kerapkali ia melakukan perjalanan jauh, berburu ke tengah hutan. Suatu saat, saat beliau sedang melakukan perburuan rusa. Rombongan istana terhenti pada sebuah tegalan kecil dipinggir sungai berair jernih. Manakala ia hendak membasauh wajahnya yang kering.
Sepasang matanya melihat bayangan dua bocah kecil terpantul di permukaan air. Sepasang bocah itu baru saja selesai mandi, lalu diikutinya arah pulangnya sang bocah. Dan, betapa terkejutnya ia, bocah itu masuk kedalam busur. Dipungut, lalu dibawanya busur itu pulang ke istana. Bhagawan Saradwan, melihat dari kejauhan. Ia tersenym dalam hatinya berucap syukur putra-putrinya dipungut oleh Maharaja Agung.
Di dalam ruangan khusus Maharaja Santanu, busur itu ditempatkan di atas pegangan gading yang berukir indah. Pagi-pagi sekali, kedua bocah itu keluar dari busur, betapa terkejutnya mereka sudah berada di dalam ruangan yang penuh dengan ukiran emas.
“Kak, dimana kita? Di mana ayah ?”
“Aku sendiri tidak tahu, Dik ?”sahut yang laki-laki.
“Kalian berada di istanaku, Hastina Pura….” Sahut suara berat di hapannya.
“Siapa nama kalian ?”
Mereka menggeleng.
“Baiklah, aku yang memberi nama kalian. Kau yang sulung kuberi nama Kripa dan bungsu kuberi nama Kripi, kalian kuangkat anak, tugas kalian di sini sebagai teman bermain putraku Bisma Dewabrata, agar ia tak kesepian….”
Setelah mereka dewasa, Kripa seperti ayahnya, menjadi Bhagawan di Hastina. Mengajar putra-putra Raja dan dikenal sebagai guru dari Panca Pandawa dan para Kurawa. Sedangkan Kripi menjadi istri Bhagawan Drona, mengasuh Aswatama hingga dewasa. –sumber
Balian Beracun
Pak De Gresiuh adalah seorang PNS di lingkungan Pemda Bali yang setiap hari bolak-balik menuju kawasan Renon tempatnya bekerja. Ia dipromosikan menjadi pejabat di kantornya dan eselonnya naik. Tentu saja ini adalah berita gembira bagi Pak De Gresiuh beserta keluarganya. Singkat cerita, upacara pelantikan dan serah terima pun telah berlangsung. Keluarga semua menjadi senang karena Bapak naik pangkat, naik jabatan, naik gengsi, dan yang sudah pasti adalah gaji dan tunjangan juga naik. Pak De Gresiuh memulai hari-hari bahagianya sebagai seorang pejabat baru.
Ketika kegembiraan berlangsung, maka sudah hukumnya duka akan melintas juga. Ini adalah hukum Rwa Bhineda. Suatu pagi di kantornya, Pak De Gresiuh merasakan badannya lemas, kemudian pikirannya kurang fit alias kosong ditambah lagi terasa sakit di bagian pinggang sebelah kiri. Ia mencoba memeriksakannya ke dokter dan sempat rawat inap atas tanggungan pemerintah. Namun, penyakitnya belum menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
Suatu hari berkunjunglah seorang teman Pak De Gresiuh yang bernama I Ketut Mauk. Ia menyarankan agar menempuh jalan alternatif sambil menunjukkan nama seorang balian sakti tan paingen (tak tertandingi), yang konon telah berhasil mengobati para pejabat daerah bahkan pejabat pusat. Demikian I Ketut Mauk mendesak dan sedikit mempromosikan balian saktinya itu.
Pak De Gresiuh tertarik dengan cerita tersebut dan bergegas untuk datang berobat ke sana. Singkat cerita, Sang balian menerima Pak De Gresiuh dengan ramah. Penampilan balian memang meyakinkan. Di rambutnya yang panjang terselip bunga pucuk bang, kamen putih, saput poleng, cincin di jari terkesan magis dan sakti, ditambah dengan kalung jimatnya. Suasana rumah juga kental dengan bau minyak serta berbagai benda-benda bertuah. Sang balian menyatakan telah menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan berbagai tingkat keparahan.
Dimulailah prosesi pendeteksian penyakit oleh sang balian sakti tersebut. Dengan konsentrasi penuh, sang balian mencoba mendalami dan mencari tahu penyakit Pak De Gresiuh. Balian sakti berkata halus kepada Pak De, “Penyakit ini sebenarnya sudah lama diderita, tetapi baru kelihatan. Ini bukanlah penyakit biasa, melainkan penyakit yang sudah ngelalah atau menyebar ke seluruh tubuh. Untung saja Pak De cepat datang ke sini. Ini adalah penyakit gegaen anak (amah leak). Rupanya keluarga dan teman kantor Pak De banyak yang iri dengan kedudukan Pak De. Pak De dikeroyok banyak orang”. Kata-kata sang balian itu sangat mengejutkan. Sesaat kemudian, sang balian sakti kembali berkata, “Walaupun sudah lama, tetapi tak usah khawatir. Semua ini bisa saya kendalikan”. Sang balian menyatakan kesanggupannya dengan nada agak sesumbar.
Sang balian sakti memberikan obat berupa minyak untuk dipakai setiap hari ketika menjelang tidur. Balian juga memberikan sebutir permata yang konon adalah mirah dan beberapa pelengkapnya sebagai jimat penjaga. Dengan nada basa-basi, sang balian mengatakan bahwa barang tersebut telah disimpannya sejak lama. “Kalau tidak Pak De yang datang ke sini, maka barang ini tidak saya berikan. Barang ini sangat sulit untuk dicari”. Demikian sang balian.
Pak De yakin dengan perkataan sang balian, sehingga menerima barang tersebut. Namun, perasaannya tidak enak. Maksudnya tidak enak memakai barang tersebut kalau tidak memberi imbalan. Secara berbisik, Pak De menanyakan berapa ia harus menghaturkan sesari (penghalusan untuk bahasa membayar). Sang balian menjawab dengan nada basa-basi pula. ”Ya, dipakai dulu. Kalau sudah baikan, besok atau dua hari dibicarakan”. Pak De pun mendesak dalam hal ini. Sang balian dengan nada basa-basi berkata lagi, ”Barang tersebut sebenarnya tidak saya jual, dan toh kalau dijual harganya puluhan juta rupiah. Namun untuk Pak De, lima belas juta saja”. Demikian bisikan sang balian. Pak De begitu terhibur dengan “kecap manis” (promosi) balian sakti.
Diceritakan pak De tertidur lelap di rumahnya ketika dating dari berobat. Mungkin karena kelelahan akibat perjalanan panjang menuju rumah balian tersebut. Keesokan harinya Pak De segera mengirimkan uang lima belas juta rupiah kepada sang balian melalui perantara I Ketut Mauk, teman dekatnya.
Keesokan harinya, penyakit Pak De kambuh lagi. Kembali dirinya mendatangi balian tersebut. Balian berkata, “Mungkin perlu waktu beberapa hari lagi, masalahnya obat yang kemarin belum nyusup atau menyerap ke seluruh tubuh”. Kemudian Pak De balik lagi setelah menghaturkan canang dengan sesari.
Dalam waktu beberapa hari setelah itu, penyakitnya tetap saja tak berkurang. Pak De datang lagi. “Mungkin perlu ditambah dengan obat dan jimat. Karena penyakitnya sudah berlangsung lama dan dikeroyok banyak orang, sehingga kekuatan penyakit sangat besar”, demikian sang balian memberikan penjelasan. Pak De pun pulang kembali setelah menghaturkan sesari pada sang balian.
Setelah beberapa lama Pak De tak sembuh-sembuh, ia menanyakan perkembangan penyakitnya kepada sang balian. Sang balian mencoba untuk menerawang, dan berkata lagi, “Rupanya ada ketidakberesan dalam pekarangan rumah Pak De. Nanti saya akan datang ke sana untuk membersihkan sumber penyakit yang sudah bersarang di pekarangan, bahkan di tempat tidur Pak De”.
Keesokan harinya, sang balian datang ke rumah Pak De dengan sendirinya pada sore hari. Ia mengecek pekarangan rumah Pak De yang mewah, sampai ke ruangan tempat tidur dengan menggunakan sebuah tongkat kecil. Hasil investigasi sang balian sakti, ternyata benda tersebut menunjuk ke sebuah sudut pekarangan Pak De yang konon terdapat tetaneman. Inilah yang konon juga ikut menggerogoti badan Pak De. Kemudian pada hari sandikala, sang balian menyuruh seseorang dari keluarga untuk menggali tanah di sekitar tempat tersebut. Dalam kedalaman setengah meter, terdapat benda yang dikatakannya sebagai tetaneman. Sang balian berkata bahwa benda seperti ini biasanya dikirim atau dibuat oleh orang lain yang bermaksud untuk menyakiti. Kemungkinan tersbesar melakukan ini adalah orang terdekat, yakni keluarga. Sudah dapat dipastikan, mereka akanlangsung terprovokasi dan menduga bahkan menuduh pelaku, tanpa ada bukti. Sudah mulai muncul kebencian keluarga Pak De terhadap saudara-saudaranya.
Begitu sang balian tuntas mengadakan pembersihan terhadap pekarangan rumah pasiennya, ia pulang dengan dibekali canangsari dan uang saku oleh keluarga Pak De. Namun, kepergian sang balian telah menanamkan rasa curiga dan kebencian dari keluarga Pak De terhadap saudara-saudaranya. Pak De juga menaruh curiga pada teman-teman sekantor yang dianggap saingan ketika mencapai karier jabatan. Akhir kata, hubungan dengan keluarga di rumah sudah cekcok, demikian juga dengan hubungan di kantor yang sudah tidak harmonis akibat dari mulut berbisa sang balian.
Penyakit Pak De tak kunjung sembuh, biaya sudah banyak habis, ditambah lagi cekcok dalam keluarga dan teman sekantor. Lengkaplah penyakit yang diderita oleh Pak De gara-gara menelan mentah-mentah omongan dari balian ngaku-ngaku sakti. Anak dan istrinya bingung, malu minta tolong kepada keluarga besarnya yang sudah dituduh menyakti Pak De, belum lagi teman sekantor sudah tidak simpati lagi. Dalam kegalauan tersebut, datang I Nyoman Sepan Sepan, saudara misan Pak De dari keluarga ibunya menjenguk. I Nyoman Sepan Sepan sudah mendengar permasalahan yang dihadapi oleh Pak De. I Nyoman Sepan Sepan walaupun ia seorang pengangguran dan tidak sekolah tinggi, tetapi ia masih mampu berpikir realistis ketimbang Pak De yang konon pejabat dengan pendidikan tinggi, tetapi kurang jernih dalam menghadapi masalah.
I Nyoman Sepan menyarankan untuk kembali ke dokter. Hasil lab. menunjukkan Pak De menderita penyakit saluran perkencingan kronis, sehingga perlu waktu untuk penyembuhan dan perlu kesabaran. Demikian kata dokter ahli yang memeriksa Pak De sambil secara diam-diam mengamati kondisi kejiwaannya. Dokter yang didatangi tersebut adalah dokter spesialis yang juga memiliki kemampuan mendeteksi secara psikologis. Dokter menyarankan agar Pak De Gresiuh bersabar menjalankan pengobatan, jangan berpikir macam-macam apalagi negatif thinking kepada orang lain, terlebih keluarga. “Sebenarnya Bapak ini tidak ada masalah, cuma dihinggapi rasa senang yang berlebihan, kemudian di satu pihak dihinggapi rasa khawatir yang lebih terhadap karier. Pak De mengalami depresi, sehingga penyakit mudah muncul. Untuk itu tetap bersabar, berdoa kepada Hyang Widhi, kemudian cobalah hidup seperti orang biasa. Sebab setinggi-tingginya jabatan tersebut sudah pasti akan kita tinggalkan dan semuanya akan kembali kehidupan yang biasa. Paling penting dan berharga untuk dipelajari adalah bagaimana menjadikan hidup ini seperti biasa. Seperti nabe agama Hindu yakni Bhagawan Byasa”, demikian nasihat sang dokter.
Atas penangan medis dari sang dokter ahli, ditambah dengan kemampuan psikologis tersebut, Pak De berangsur-angsur sembuh dengan gairah hidup baru, dan filosofis hidup baru. Ia menemukan jati diri sebagai manusia, menemukan hakikat hidup, tak ada beban lagi. Ia sembuh total secara fisik dan rohani.
I Nyoman Sepan Sepan kemudian berkata dalam hatinya, karena terdorong oleh nafsu duniawi, malah terjerumus ke dalam jurang yang gelap dan dalam. Pikiran tidak realistis lagi, terombang-ambing oleh isu serta omongan orang yang tak bertanggung jawab. Serta omongan beracun dari si balian yang ngaku sakti. Agar dikatakan ririh, sakti dan hebat, tak jarang si balian melakukan acting di depan pasiennya dan mengatakan sumber penyakit dibuat atau dilakukan oleh seseorang, dengan menyebut nama atau ciri dari yang bersangkutan. Padahal semua itu tidak pernah ia ketahui dengan sebenarnya. Banyak sekali yang sudah menjadi korban percekcokan dalam keluarga akibat bes nyadin munyin balian ane ngaku sakti (terlalu mempercayai omongan balian yang ngaku-ngaku sakti). Walaupun tak semua balian seperti itu.
Singkat cerita, Pak De Greisuh sembuh dalam beberapa waktu kemudian.
—————
* Fenomena krama Bali yang suka nyadin munyin balian. Mesti disaring dan dipilah dulu, tak usah ditelan mentah mentah.
* Hidup ini sudah susah, tak perlu dipersusah lagi dengan yang macam-macam. Lebih baik hormati keluarga dan nyama braya, bakti kepada widhi dan leluhur, serta selegang megae. Jeg pasti rahayu. Demikian grenggeng I belog di karang suwung. –sumber
Mengapa Sarana Upakara Hari Kuningan Berupa Simbol Alat-alat Perang?
Hari raya Kuningan yang dirayakan umat Hindu Sabtu (6/4) kemarin ditandai dengan ciri khas sejumlah sarana, seperti tamiang, endongan, ter atau pun sampian gantung. Sarana itu dipahami sebagai simbol-simbol yang identik dengan alat-alat perang. Apa makna di balik simbol alat-alat perang itu?
Sarana paling khas dan paling simbolik dalam perayaan Kuningan tentu saja tamiang. Kata tamiang mengingatkan pada tameng, sebentuk alat perisai yang lazim digunakan dalam perang. Saat Kuningan, tamiang dipasang di pojok-pojok rumah dan di palingih-palinggih (bangunan suci).
Selain tamiang, ada juga sarana lain, yakni endongan. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasa Provinsi Bali, 1991) kata endongan diartikan sebagai ‘tempat bekal dari tapis kelapa’.
Tamiang kerap dimaknai sebagai simbol perlindungan diri. Tamiang, jika melihat bentuknya yang bulat, juga sering dipahami sebagai lambang Dewata Nawa Sanga yang menjadi penguasa sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam atau cakraning panggilingan yang merujuk pada pemahaman tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran roda.
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
Sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang ini memang sarat makna. Namun, pertanyaan yang kerap mengemuka, mengapa hari raya Kuningan diwarnai dengan sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang?
Bukan hanya hari Kuningan yang diwarnai dengan sarana yang merujuk pada perlengkapan perang. Hari Galungan yang dirayakan sepuluh hari sebelumnya juga sarat dengan simbol-simbol peperangan. Pemakanaan Galungan sebagai hari kemenangan atau hari kemenangan perang menegaskan hal itu. Pemasangan penjor juga merujuk pada simbol dipancangkannya panji-panji kemenangan.
Hari raya memang dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan manusia tentang hakikat jati dirinya sebagai manusia sekaligus memahami hakikat kehadirannya dalam hidup dan kehidupan.
Hidup pada hakiktanya memang sebuah peperangan. Sepanjang hidupnya, manusia tiada henti berhadapan sebuah peperangan panjang. Sejarah umat manusia pun, jika diselami, lebih dalam sejatinya adalah sejarah perang.
Bagi manusia Bali, perang dalam kehidupan berwujud perang fisik di bhuwana agung (alam makrokosmos) maupun perang batin di bhuwana alit (alamt mikrokosmos). Justru, perang batin yang berkecamuk dalam hati itulah perang terbesar, terhebat dan terdahsyat. Inilah perang yang tidak pernah berhenti dan bahkan lebih sering menghadirkan kekalahan bagi manusia.
Dalam konteks perang batin, manusia mesti membentengi diri dengan tamiang (tameng) yang tiada lain berupa pengendalian diri (indria). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan hakikat dan jati diri sang Diri (uning ‘tahu’ atau eling ‘sadar’). Mungkin itu sebabnya yang mendasari lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan, manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya.
Namun, untuk senantiasa memenangkan “peperangan” dalam hidup, manusia harus memiliki bekal yang cukup. Bekal itu disimbolkan dengan endongan. Isi endongan tiada lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi juga dengan ter (panah) sebagai senjata. Senjata utama manusia dalam hidup tiada lain ketajaman pikiran atau kualitas pikiran. Ketajaman pikiran ditopang oleh jnana (ilmu pengetahuan). –sumber
Melalung Ngintip Leak
Dunia leak memang ada-ada saja. Keberadaannya memang sangat misterius, semuanya serba rahasia, gelap dan diam-diam. Itulah konon kabarnya.
Pada suatu malam I Nyoman Maluanrauh, I Ketut Sedengmedekes beserta I Made Dorinanteka berencana ngintip jangkrik. Ia tak tahu kalau malam itu malam pemapag kajeng kliwon. Menurut orang, pada malam itu adalah malam yang tenget. Karena tak tahu, maka tak sedikit pun terbesit pikiran yang bukan-bukan. Sampai akhirnya ia sampai di suatu areal persawahan di pinggir desanya. Mereka belum memulai ngintip jangkrik. Mereka cuma persiapan saja, namun suasana di tempat tersebut sangat sepi dan sudah gelap. Karena ia berangkat sekitar jam setengah sembilan dan di tempat tersebut sudah jam setengah sepuluh malam. Suasana malam dan mencekam tersebut tak menyurutkan minatnya untuk ngintip jangkrik. Karena harapannya, kalau mencari jangkrik di tempat yang jauh dan pada tengah malam, maka ia akan mendapatkan jangkrik yang besar- besar dan kuat-kuat, dengan harapan pada tajen jangkrik nantinya ia akan menang, dapat uang banyak. Demikian harapannnya.
Di tempat tersebut tumbuh sebuah pohon kresek yang besar di pinggir sungai, dimana bangsingnya terurai sampai ke tanah, menambah angker tempat itu. Banyak orang tak berani datang ke tempat tersebut pada malam hari, bahkan siang hari. Nah kini giliran I Ketut dan teman-temannya mencari jangkrik di sana. Namun sebelum sampai ngintip jangkrik, tiba-tiba dari arah timur datang sekumpulan cahaya sepertinya nyala obor. Ia mengira awalnya itu orang-orang banyak yang datang ngintip jangkrik. Namun setelah mendekat, kok mereka tak melihat sesosok manusia yang datang, hanya kelebatan api saja yang datang dan menuju pohon kresek. Mereka yang berada beberapa puluh meter dari tempat tersebut segera tiarap dan sembunyi di bawah pohon pandan.
I Ketut Sedengmedekes ingat dengan pesan dari orang-orang, kalau ingin melihat siapa yang ada di balik api itu, maka ia harus telanjang bulat alias melalung. Dari sana baru akan kelihatan siapa saja orangnya.
Mereka membuka pakian dan celana bersamaan, melalung bersama sambil mematikan api obornya, mendekat ke rimbunan pohon pandan yang ada di sana. Akhirnya memang benar, apa yang dikatakan orang-orang. Mereka melihat sekumpulan manusia yang sedang menari-nari di bawah pohon kresek tempat api tersebut ngumpul, sambil membawa sarana-sarana tertentu dan membawa dupa.
Namun alangkah terkejutnya mereka, sebab dari wajah-wajah yang tadinya samar-samar, lama lama makin jelas, dimana mereka melihat sosok-sosok yang sebagian besar mereka kenal. Para liak itu melenggang-lenggang ke sana kemari, kegirangan, karena mereka telah nadi. Mungkin mereka tak menyangka kalau aktivitas mereka sedang ada yang menonton. Dan malahan yang nonton tersebut adalah saudaranya sendiri.
I Nyoman Maluanrauh beserta teman-temannya, tetap tiarap tanpa menghiraukan suasana di sampingnya. Sampai kira-kira sekitar dua jam mereka asik menonton leak ngigel, bahkan anak-anak itu semakin malam semakin asik menonton. Sampai akhirnya suatu saat leak tersebut kembali bergerombol terbang ke tengah sawah dan akhirnya berpencar. Mungkin mereka sudah selesai menjalankan ritual tariannya, untuk kemudian bubaran dan sampai jumpa besok pagi. Mungkin begitu salam perpisahan para leak api itu.
I Made Dorinanteka dan teman-temannya yang masih melalung, segera terbangun dan memakai kembali pakaian mereka. Mereka dengan takut-takut berani pada malam hari itu, mereka pun memutuskan untuk tak melanjutkan ngintip jangkrik, sebab mereka sudah dapat ngintip leak. Mereka pulang bersama dengan perasaan takut-takut berani. Mereka menuju rumah masing-masing, sampai akhirnya mereka terbangun pada pagi hari.
Pada pagi yang cerah itu, ada sesuatu yang tak enak dalam diri I Ketut Maluanrauh. Pada bagian butuh-nya (kemaluan) ia merasakan ada yang tak beres, dan setelah dilihatnya ternyata butuh-nya besar sekali, alias beseh (bengkak). Nah mulailah ia ketakutan dan kawatir karena kemarin malam menyaksikan banyak leak menari. Ia kawatir jangan-jangan butuh-nya telah dimakan leak. Ia kemudian datang ke rumah termannya yang lain yang diajak ngintip dan menyampaikan masalahnya. Mereka pun menjadi semakin panik, pikirannya bukan-bukan. Mereka mencoba untuk nunas tamba di tempat balian sakti yang ada di luar desanya.
Namun sebelum berangkat, mereka bertemu dengan I Kadek Srantangsrenteng, kakak I Ketut. Ia seorang perawat kesehatan. Ia melihat I Ketut sedikit mengerang dan raut mukanya kurang sehat. Ia mencoba untuk mencari tahu ada apa dengan adiknya. Adiknya mencoba untuk berterus terang kepadanya dan menyatakan dirinya bahwa butuh-nya bengkak. Karena ngintip leak kemarin malam. Jangan-jangan ia terkena imbas leak. Sambil ia menceritakan ngintip leak dengan cara melalung.
Sebelum berangkat, I Kadek mencoba memeriksa adiknya di rumah menggunakan lampu senter. Dilihatnya kelamin I Ketut dengan seksama. I Kadek tersenyum, yang membuat I Ketut bertanya-tanya. Ternyata I Kadek menemukan dua buah kepala semut gatal di kemaluan I Ketut yang beseh itu. Jelaslah semut ini yang mengigit kemaluannya kemarin hingga bengkak. Ini bukan karena dimakan leak, tapi dimakan semut. Mendengar semua itu mereka menjadi ngakak, seperti tertawa leak, karena dugaan mereka salah.
I Nyoman berpikir “mungkin karena saking asiknya nonton leak ngigel (menari), sampai-sampai ada “leak semut” menyusup dan mengigit tak terasa. Ha-ha….. Ada-ada saja….
Mereka tak jadi ke balian, kelamin mereka hanya diolesi minyak kelapa, dan sore hari itu juga kelaminnya yang bengkak sudah kembali kempes. Ha…ha….. –sumber
Orang Jawa Pulang Kampung, Krama Bali Kelimpungan
Mudik (pulang kampung) menjadi fenomena menarik dan semakin menarik dalam satu dekade terakhir ini. Yang menjadi bintang dari arus mudik tersebut adalah yang namanya Jalur Pantura (Pantai Utara Jawa) yang dipadati kendaraan dan antrean manusia yang ingin segera sampai di kampung halamannya.
Fenomena mudik ini mengindikaiskan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia sangatlah tinggi, sebagai konsekwensi dari terkonsentrasinya perekonomian hanya di perkotaan, yang artinya pemerataan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang dicita-citakan pemerintah belum terwujud. Sehingga ratusan ribu bahkan jutaan manusia Indonesia yang ada di pedesaan harus pergi ke kota untuk mengadu nasib, mencari sesuap nasi.
Ditinjau dari segi budaya, mudik adalah sebuah warisan budaya Hindu Nusantara masa lampau yang di Jawa disebut dengan sungkem, kalau dalam bahasa Balinya disebut dengan mesimakrama. Artinya mengunjungi sanak famili ketika hari raya untuk mohon maaf, mohon restu kehadapan orang tua. Ini adalah sebagai cerminan dari manusia yang tak melupakan tanah kelahirannya, tak melupakan asalnya, atau dalam bahasa Bali disebut dengan inget tekening rerama tur inget teken kawitan (ingat dengan orang tua dan ingat dengan asal). Entah yang mana dominan dari kedua aspek tersebut, (ekonomi dan budaya), yang jelas mudik menjadi semakin ngetren setiap tahun.
Mudik Memang rame di daerah Jawa dan semakin ngetren ketika semua masyarakat Indonesia ikut-ikutan mudik. Tak ketinggalan masyarakat Bali yang berasal dari Jawa. Ketika Lebaran semuanya mudik. Karena sekian banyaknya masyarakat mudik, membuat kota Denpasar sebagai jantungnya perekonomian masyarakat Bali juga terkena imbas. Tampak adanya kelesuan aktivitas ketika mudik itu berlangsung. Ditambah lagi dengan masyarakat kota Denpasar yang beragama Hindu yang berasal dari desa-desa di Bali juga ikut mudik karena liburan, maka lengkaplah sudah kelesuan itu terjadi.
Nah, sekarang bagaimana dengan masyarakat Denpasar yang asli atau yang tak mudik. Kelesuan dan kesepian sangat terasa sekali. Kota menjadi sepi, jalan menjadi lebih lengang. Anehnya lagi adalah I Made Kuwir tampak mondar-mandir ke sana ke mari di jalan naik sepeda motor. Apa yang dicari?. Ternyata ia sedang mencari dagang makanan seperti bakso, nasi goreng, dll. I Made Kuwir berkata, onye dagange mudik, keweh baane, sing ada dagang apa” (semua dagang mudik, tak ada dagang makanan”. Hal itu didengar oleh I Bonglet dan berkata “dagang apa alih cai, to dagang liu. Cai mula ja demen meblanja ajak nak Jawa” (dagang apa yang kau cari. Dagang banyak. Dasar kamu senang belanja di warung Jawa).
Itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak krama Bali yang merasa kesulitan dan kelimpungan mencari dagang ketika musim mudik. Kejadian di atas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Bali atau penduduk Denpasar ketika mudik berlangsung merasa kesulitan untuk mencari dagang makanan. Sebagian masyarakat kelimpungan, merasa kehilangan ketika ditinggal mudik oleh saudara-saudara dari Jawa.
Ini sebagai indikasi bahwa ketergantungan krama Bali terhadap saudara dari Jawa sudah sedemikian jauh, sehingga ketika ditinggal mudik, mereka seperti pitik kilangan ina (anak ayam kehilangan induknya). Ini juga sebagai indikasi bahwa sedemikan besarnya peranan para perantau dari jawa sudah menguasai denyut nadi perekonomian masyarakat Bali.
I Bonglet yang cinta Bali mengatakan bahwa semuanya itu disebabkan oleh ulah krama Bali sendiri yang tidak suka belanja di warung krama Bali sendiri dan lebih suka berbelanja di sauadara non Bali. Krama Bali menjadi bangkrut dan krama pendatang jadi semakin menjadi-jadi. Apakah kualitas dagangan orang Bali jelek atau lebih mahal ? Rasa-rasanya juga tidak. Memang inilah fenomena krama Bali, kenapa tak mau memberdayakan saudara sendiri. Sepertinya kita lebih suka melihat orang Bali bangkrut di tanah kelahirannya dan mulai tergantung dengan teman-teman dari luar. Seandainya Krama Bali saling mendukung satu sama lain, maka ketergantungan terhadap pihak luar akan menjadi semakin minim, sehingga ketika mereka mudik, krama Bali tak repot ke sana- kemari untuk mencari warung makanan.
Semestinya momen mudik ini digunakan oleh krama Bali untuk bangkit, untuk kembali meningkatkan rasa solidaritas diantara sesama krama Bali untuk membangun ekonominya tanpa banyak tergantung dengan pihak lain. Kenapa kita merasa kehilangan di tanah kelahiran kita sendiri ?. Hilangkah rasa iri hati di antara sesama manusia Bali. Jangan berpikir sirik kepada suadara sesama Bali. Satu lagi, sebaiknya krama Bali jangan terlalu gengsi dalam meilih pekerjaan. Hilangkan gengsi gede-gedean yang telah membawa orang Bali tak berdaya di tanah kelahirannya serta tak mampu bersaing dengan saudara rantau.
Lagi pula kalau hal makanan, krama Bali tergila-gila dengan masakan teman rantau, tetapi sadarilah bahwa sampai saat ini mereka belum mau menyentuh masakan orang Bali karena perintah agama yang diyakini. Mereka sebagai orang rantau memang tak salah, tapi kita-kita ini sebagai krama Bali yang tak mau memproteksi diri, sehingga harus menjadi tergantung dengan mereka-mereka itu. Kalau masih aja sikap krama Bali seperti ini, yah kita akan semakin tergantung dengan saudara dari seberang sana. Ingat semua ini adalah kesalahan krama Bali sendiri. Krama Bali mesti lebih protek terhadap dirinya sendiri kalau tak ingin kehilangan jati diri. Demikian I Bonglet ngoceh kepada I Kuwir. (I Nyoman Ibuk). –sumber