Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Sejarah Asal Mula Pura Tanah Lot – Bali

$
0
0
Banyak sekali orang yang tahu tentang Tanah Lot, tapi sudahkah anda tahu sejarah dari Pura Tanah Lot yang sangat terkenal itu? Mari kita simak bersama-sama.
Pada masa Kerajaan Majapahit ada seseorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwijendra atau Dang Hyang Nirarta.Beliau dikenal sebagai Tokoh penyebaran ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra “.Di Lombok beliau dikenal dengan nama “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru (sebuah nama Gunung di Jawa Timur).
Pada waktu beliau datang ke Bali untuk menjalankan misinya,yang berkuasa di Bali saat itu adalah Raja Dalem Waturenggong yang menyambut beliau dengan sangat hormat. Beliau menyebarkan agama Hindu sampai ke pelosok-pelosok Pulau Bali. Suatu ketika pada saat beliau menjalankan tugasnya,beliau melihat sinar suci dari arah tenggara dan beliau mengikutinya sampai pada sumbernya yang ternyata adalah sebuah sumber mata air.Tidak jauh dari tempat itu beliau menemukan sebuah tempat yang sangat indah yang disebut “Gili Beo”(Gili artinya Batu Karang dan Beo artinya Burung) jadi tempat itu adalah sebuah Batu Karang yang berbentuk burung.
Ditempat inilah beliau melakukan meditasi dan pemujaan terhadap Dewa Penguasa Laut.
Lokasi tempat Batu Karang ini termasuk dalam daerah Desa Beraban,dimana di desa tersebut dikepalai oleh seorang pemimpin suci yang disebut “Bendesa Beraban Sakti”.Sebelumnya masyarakat Desa Beraban menganut ajaran monotheisme(percaya dan bersandar hanya pada satu orang pemimpin yang menjadi utusan Tuhan sperti Nabi)dalam waktu yang singkat banyak masyarakat Desa Beraban ini mengikuti ajaran Dang Hyang Nirarta yang kemudian membuat Bendesa Beraban Sakti sangat marah dan mengajak pengikutnya yang masih setia untuk mengusir Bhagawan suci ini.
Dengan kekuatan spiritual yang dimiliki Dhang Hyang Nirarta,beliau melindungi diri dari serangan Bendesa Baraban dengan memindahkan batu karang besar tempat beliau bermeditasi (Gili Beo) ke tengah lautan dan menciptakan banyak ular dengan selendangnya di sekitar batu karang sebagai pelindung dan penjaga tempat tersebut.Kemudian beliau memberi nama tempat itu “Tanah Lot” yang berarti Tanah di tengah Laut.
Akhirnya Bendesa Beraban mengakui kesaktian dan kekuatan spiritual dari Dang Hyang Nirarta,dan akhirnya Bendesa Beraban menjadi pengikut setia dan ikut menyebarkan ajaran Agama Hindu kepada penduduk setempat.Sebagai tanda terima kasih sebelum melanjutkan perjalanan beliau memberikan sebuah keris kepada Bendesa Beraban yang dikenal dengan nama “Keris Jaramenara atau Keris Ki Baru Gajah”.Saat ini keris itu disimpan di Puri Kediri yang sangat dikeramatkan dan di upacarai setiap hari raya Kuningan.Dan upacara tersebut di adakan di Pura Tanah Lot setiap 210 hari sekali,yakni pada “Buda Wage Lengkir”sesuai dengan penanggalan Kalender Bali.
Pura di Sekitarnya
Sejumlah pura yang ada di sekitar Pura Tanah Lot adalah Pura Pekendungan, Pura Penataran, Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong dan Pura Batu Mejan. Pura Pekendungan merupakan satu-kesatuan dengan Pura Tanah Lot. Pada mulanya tempat ini bernama Alas Kendung, digunakan sebagai tempat meditasi atau yoga semadi, untuk mendapatkan sinar suci sebelum melanjutkan perjalanan.
Di Pura Pekendungan terdapat keris sakti bernama Ki Baru Gajah yang memiliki kekuatan untuk menaklukkan penyakit tumbuh-tumbuhan di Bali. Keris ini merupakan anugerah Danghyang Nirartha kepada pemimpin Desa Beraban. Keris itu kini disimpan di Puri Kediri. Saat piodalan, Sabtu Kliwon Wara Kuningan, keris ini di-pendak serangkaian piodalan,
Sedangkan Pura Jero Kandang merupakan pura yang dibangun oleh masyarakat Beraban dengan tujuan untuk memohon perlindungan bagi ternak dan tumbuhan mereka dari gangguan berbagai penyakit. Akan halnya Pura Enjung Galuh berlokasi dekat dengan Pura Jero Kandang. Menurut beberapa catatan, pura ini dibangun untuk memuja Dewi Sri yang merupakan sakti dari Dewa Wisnu yang piodalannya setiap Rabu Umanis Wara Medangsia. Di pura ini masyarakat Mengenai Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat memohon kesuburan jagat.
Sementara itu, Pura Batu Belong merupakan tempat melakukan pamelastian maupun pakelem dengan maksud menyucikan alam. Sedangkan Pura Batu Mejan atau dikenal dengan beji merupakan tempat untuk mendapatkan tirtha penglukatan. –sumber

Pelangi Di Dalam Hati

$
0
0

Pelangi adalah jembatan yang menghubungkan langit dengan bumi, itu pesan yang sering terdengar di hutan keheningan. Bagi jiwa-jiwa yang peka dalam rasa mengerti, ada pesan indah yang mau disampaikan langit melalui munculnya pelangi. Dan keindahannya tidak bisa diwakili oleh lidah mana pun.

Mungkin itu sebabnya, di atap bumi Tibet salah satu nama yang diberikan pada mahluk tercerahkan adalah raibow body (tubuh yang seindah pelang). Di saat wafat, jiwa-jiwa indah seperti ini akan dihormati oleh alam dalam bentuk munculnya pelangi di langit, serta gempa kecil di bumi.

Dalam segelintir kisah, bahkan ada Guru suci yang sudah mengalami tubuh yang seindah pelangi di saat tubuh beliau masih segar bugar. Ringkasnya, bahkan lidah Buddha pun akan kurang panjang untuk bisa menjelaskannya.

Kendati demikian, mari menemukan sejumlah bahan renungan yang mau disampaikan langit melalui pelangi. Sejumlah pencari di dunia spiritual sering mengutip pesan seperti ini. Kebencian dan serangan orang-orang mirip dengan cahaya panas matahari. Namun ketulusan Anda untuk memaafkan adalah hujan rintik-rintik yang muncul di sana.

Akibatnya, ada pelangi spiritual yang muncul di sana. Sebagai pedoman dalam melangkah, di setiap tempat dan putaran waktu ada orang yang menyerang dan mencaci. Yang dilakukan jiwa-jiwa yang dalam sederhana, bukannya terbakar oleh hawa panas kebencian orang lain, tapi melukis pelangi indah di sana. Terutama melalui ketulusan untuk selalu memaafkan.

Di Barat pernah lahir wanita bercahaya bernama Maya Angelou, salah satu warisan indah wanita karismatik ini berbunyi seperti ini: “belajar menjadi pelangi di awannya orang-orang”. Kemarahan orang mirip dengan awan yang menghalangi munculnya cahaya. Tapi ketulusan Anda untuk melihat orang marah sebagai jiwa menderita yang meminta pertolongan adalah pelangi indah yang muncul kemudian.

Dari dua penjelasan ini terlihat terang benderang, rupanya ada pelangi indah di dalam hati. Sebagaimana pelangi di langit yang memerlukan cahaya matahari panas dan sedikit awan, pelangi di dalam hati juga serupa. Ia memerlukan kebencian, kemarahan dan serangan orang-orang.

Serupa petani yang tidak bisa bertani kalau tidak ada tanah, mirip dengan nelayan yang tidak bisa memancing ikan jika tidak ada lautan, pelangi di dalam hati tidak akan muncul indah kalau seseorang tidak diserang dengan penuh kebencian.

Itu sebabnya, di jalan belas kasih (compassion) orang-orang yang mencaci dan melukai disebut sebagai permata langka yang paling berharga. Mengulangi pesan sebelumnya, merekalah yang membantu jiwa-jiwa bercahaya agar bisa berjumpa pelangi di dalam hati.

Di atap bumi Tibet pernah lahir jiwa seindah pelangi bernama Gyalse Ngulchu Thogme (1295-1369). Tatkala musim gagal panen tiba, beliau memberikan semua hal yang dimiliki kepada pengemis. Suatu hari ada pengemis kedinginan yang meminta baju yang beliau kenakan. Itu juga dikasi. Sebagai akibatnya, sebagian orang mengira beliau sudah sakit jiwa karena ke mana-mana tidak mengenakan baju. Di saat beliau wafat, langit penuh pelangi, bumi menghormat dengan gempa kecil.

Penulis : Guruji Gede Prama

Foto : Pinterest

sumber

Menunggu Keajaiban Mahkota Raja Majapahit

$
0
0
Mahkota Raja Majapahit yang tidak jelas juntrungnya selama ratusan tahun, tiba-tiba dikembalikan ke Indonesia. Hal ini konon merupakan pertanda kembalinya kejayaan Majapahit sesuai ramalan Sabdopalon. Tetapi beberapa pihak memprediksi lain. (Liberty Januari 2009).
Majapahit seperti ditelan bumi Hancurnya kerajaan besar Nusantara tersebut seperti tak berbekas sama sekali. Hanya sejarah dan berbagai ramalan yang masih tersisa, sementara peninggalan bekas kerajaan yang pernah tersohor di dunia ini masih samar-samar. Jangankan harta benda, bekas keraton dan lokasi kerajaan juga belum jelas, dimana letaknya. (sebenarnya letaknya sudah di ketahui tetapi supaya peninggalan itu utuh dan tidak di hancurkan oleh oknum/kelompok yang tidak menginginkan Majapahit berjaya kembali terutama bangsa Pedagang Gujarat Arab yang membawa perdagangan Islamnya, Red).
Setelah 500 tahun lenyap tak berbekas, belakangan ada upaya untuk merekonstruksi peninggalan ker­ajaan tersebut. Bukti-bukti sejarah dan peninggalan Majapahit dikumpulkan, dan pencarian lokasi kerajaan dilakukan, berharap kejayaan Majapahit kembali bersinar di Indonesia sebagai kerajaan yang disegani dunia.mahkota_kerajaan_majapahit_masakini
Di tengah upaya pengumpulan bukti-bukti sejarah dan peninggalan Kerajaan Majapahit, terdengar khabar yang cukup menghebohkan. Pada tanggal 30 Mei 2008, mahkhota Raja Majapahit dikembalikan ke Nusantara. Makhota tersebut diberikan kepada yang berhak, sebagai keturunan langsung Raja Majapahit. Kini Makhota tersebut berada di tangan Hyang Bathara Agung Wilatikta Brahmaraja XI sebagai Raja Abhiseka Majapahit Masa Kini. Makhota kerajaan Majapahit ter­sebut disimpan di Puri Surya Maja­pahit, di Perum Puri Gading, Banjar Bhuwana Gubuk, Jimbaran, Bali.
Menurut Sri Wilatikta Brahmaraja XI yang juga pendiri Puri Majapahit, setelah berakhirnya kerajaan Demak, mahkhota tersebut dijual ke kolektor. Khabar terakhir mahkota tersebut dikoleksi salah seorang kolektor Singapura. Namun sebuah keanehan terjadi.
Museum tempat menyimpan mahkota tersebut di Singapura digoyang, dan silih berganti karyawan museum alami trans. Orang-orang yang kesuru­pan itu meminta makhota itu dikembalikan ke tempat asalnya yaitu kerajaan Majapahit. “Tolong kembalikan ke keturunan saya,” demikian dituturkan Sri Wilatikta Brahmaraja XI, yang mengaku sebagai garis keturunan raja Majapahit.(Ada bukti ilmiah secara tertulis dan ada ramalan ”pengangkatan tanpa surat sedawir”red). Way Ching Lee, salah seorang warga Singapura yang juga tercatat sebagai keturunan langsung Raja Tumasik, bekas wilayah ker­ajaan Majapahit. Way Ching Lee berinisiatif mencari pemilik yang sah. Didukung para dermawan dari Bangkok, Siam, Thailand, Singapura, Cina, dan Australia, mahkhota tersebut ditebus dari tangan kolektor untuk dikembalikan ke kerajaan Majapahit.
Lalu dimana Majapahit ?
Penerus Majapahit memang tidak jelas, tetapi salah satu daerah di wilayah nusantara yang masih bercirikan Majapahit baik dari adat, tradisi dan budayanya adalah Bali. Karena itu makhota terse­but diarahkan ke Bali. Mahkhota dikirim ke Ubud, karena puri ini cukup dikenal di mancanegara. Yang dituju adalah salah seorang keluarga Puri Ubud bernama Cok Agung Kertiyasa alias Cok Ibah. Way Cing Lee beranggapan Puri Ubud ada­lah salah satu puri bekas Majapahit. Namun pihak Puri Ubud tidak berani melangkahi kewenangan, karena bu­kan keturunan langsung Raja Majapa­hit. Puri Ubud adalah salah satu keturunan pemegang kekuasaan Kerajaan Bali, sebagai bawahan Kerajaan Maja­pahit setingkat Gubemur Bali. Karena itu, keluarga Puri Ubud tidak berani menerima, kemudian ikut menelisik jejak orang yang berhak atas makhota tersebut.
Entah bagaimana ceritanya, mahkota tersebut diarahkan ke Puri Surya Majapahit, di Jimbaran, Bali yang baru dibangun atas prakarsa Hyang Suryo yang telah abhiseka raja sebagai Sri Wilatikta Brahmaraja XI. Puri inilah sebagai tempat pemujaan leluhur Raja Majapahit dan para dewa Ciwa-Budha yang dipuja pada masa kerajaan Majapahit.
MEMBESAR MEMGECIL
Makhota itu tidak serta merta diterima, karena khawatir bukan orang yang berhak. Termasuk Sri Wilatikta Brahmaraja XI yang disebut-sebut sebagai keturunan langsung Raja Majapahit, tidak berani mengklaim sebagai orang yang pantas mengenakan makhota tersebut Seperti mendapat wangsit dari leluhur, sebuah solusi akhirnya tercetus. Makhota tersebut dicobakan ke beberapa orang yang bergelar bangsawan dan rohaniwan. Mereka yakin, makhota ini memiliki tuah gaib, jadi tidak sembarang bisa dikenakan kepa­da orang yang tidak berhak. Kalau tidak pas, pasti ada efek atau pertanda yang ditunjukkan secara gaib.
Pertama, makhota tersebut dike­nakan kepada Dewa Agung Putranata,Barangkali saja, para leluhur Majapahit berkehendak lain, sebagai keturunan Raja Bali Mula. Putranata memiliki postur tubuh sedang, seperti orang Indonesia kebanyakan sehingga diperkirakan pas dengan ukuran para raja zaman Majapahit.
Namun dugaan itu meleset, karena ternyata makhota tersebut kekecilan. Makhota tidak bisa masuk, dan terasa menjepit kepala. Buru-buru makhota itu dilepas dari kepalanya, karena Putranata merasa ada sebuah kekuatan yang menolak untuk dikenakan di kepalanya.
Belum mendapat kepala yang pas, akhirnya makhota itu dicobakan kepa­da Marchus dan Michael. Kendati dua rohaniwan asal Australia ini memiliki ukuran kepala lebih besar dari ukuran orang Indonesia, barangkali saja para leluhur Majapahit berkehendak lain. Namun ketika dikenakan, ternyata kedodoran. Makhota itu masuk hingga menutupi mata. Orang-orang yang menyaksikan hal itu, terperangah tidak percaya.
Secara logika, mana mungkin orang yang berpostur tubuh lebih besar memi­liki ukuran kepala lebih kecil.
Keterangan : Keturunan Raja Tumasik, Singapura memasang makhota Majapahit kepada Sri Wilatikta Brahmaraja XI. (atas). Terharu dan kesurupan setelah makhota dipasang.
Jika dibanding dengan Dewa Agung Putranata, ukuran kepala Marchus dan Michael lebih besar, yang berarti makho­ta tersebut seharusnya kekecilan. Namun malah sebaliknya kedodoran.
Semua orang yang menghadiri uji coba pewaris makhota yakin makhota tersebut bukan sembarangan, tetapi memiliki kekuatan gaib para leluhur.. Berawal dari sana, akhirnya perhatian beralih kepada Sri Wilatikta Brahmara­ja XI yang disebut-sebut sebagai keturunan Raja Majapahit Orang yang dinobatkan sebagai Raja Majapahit IX ini pun diminta mencoba makhota tersebut.
Di hadapan para utusan negara donatur yang menebus makhota terse­but dari tangan kolektor, Hyang Bhatoro Agung Surya Wilatikta atau Raja Abhiseka Majapahit dengan gelar Brahmaraja XI mencoba makhota. Ternyata makhota tersebut pas di kepalanya.
Bersamaan dengan itu, terjadi sebuah keganjilan. Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan disertai kilat sambar-menyambar dan gemuruh angin seolah menjadi pertanda penobatan kepada pewaris sah makhota tersebut. Kejadian ini juga ditandai dengan munculnya sinar berwarna keemasan dari langit, mengarah ke Puri Surya Majapahit di bilangan perumahan Puri Gading, Jimbaran.
PERTANDA KEBANGKITAN ?
Akankah kemunculan makhota ini akan membangkitkan kejayaan Maja­pahit yang pernah disegani kerajaan di seantero dunia? Lima ratus tahun sudah berlalu sejak jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Sesuai ramalan Sabdopalon dan Noyogenggong, seperti dituturkan Sri Wilatikta Brahmaraja XI, sudah saatnya kejayaan Majapahit bangkit. Per­tanda ke arah itu juga sudah mulai tampak. la menyitir ramalan Sabdopa-lon dan Noyogenggong yang berbunyi, “Wereng katah angdatengi, angin agung anggergisi. Alun munggah ring daratan.”
Ramalan itu, katanya, sudah menunjukkan buktinya. Para petani kehabisan akal karena hama dan penyakit menyerang tanaman mereka. Belum lagi kelangkaan pupuk yang berujung pada gagalnya musim tanam para petani.
Selain itu berbagai pertanda alam juga sudah tampak, seperti banjir bandang, gempa bumi, dan pageblug. Demikian juga air laut sudah menerjang daratan sebagai bukti kebangkitan Majapahit telah dimulai.
Abhiseka keparabon sebagai Sri Wilatikta Brahmaraja XI bukan tanpa alasan yang jelas bahwa dirinya mendapat mandat untuk membangun kejayaan Majapahit. la melakukannya karena petunjuk gaib, di samping silsilah keluarga sebagai keturunan langsung dari Sri Brahmaraja I. “Semua berdasarkan bukti ilmiah, bukan rekayasa,” akunya.
Bukti-bukti itu didasarkan bebera-pa kenyataan. la mencontoh, saat KTT pemanasan Global yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, Amerika tidak mau menandatangani kesepakatan. “Utusan negara adidaya itu saya ajak melakukan ritual memuja Dewa Wisnu di. GWK. Keesokan harinya, ia langsung tanda tangani kesepakatan. Kemudian setelah itu saya ditelepon para utusan dunia,” kenangnya.
“Saya juga masih berpegang pada. ajaran Siwa Budha sesuai kepercayaan yang dianut para leluhur Majapahit yang telah dilupakan orang lain. Selain itu, saya juga sudah mem-buktikan bahwa saya bisa menyatukan semua agama dalam tradisi Majapahit (ada dokumen otentik). Hingga saat ini saya berjuang terus untuk menyatukan dan menciptakan perdamaian dunia, termasuk membersihkan dunia dari kekotoran,” jelasnya memberi bukti bahwa dirinya merupakan utusan leluhur Majapahit.
Bukti ilmiah lainnya adalah serat Sabdopalon dan Noyogenggong yang menyebutkan, jikalau suatu saat nanti ada orang Jawa yang memakai nama tua dengan senjata ilmu kaweruh, itulah yang dipilih (diemong) Sabdopalon.
Orang Jawa yang tidak mengerti Jawanya, akan diajari untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Menurutnya, bukti-bukti itu me­ngarah kepadanya karena selama ini banyak orang memanggilnya dengan sebutan Hyang tetapi lebih sering di singkat ”Eyang” yang berarti dituakan.
Dan yang paling otentik adalah makhota kerajaan Majapahit yang pas dikenakan di kepalanya sebagai per­tanda bahwa dirinya adalah trah Majapahit yang ditugaskan memban­gun kejayaan Majapahit. (Tidak ada tujuan lain selain membawa kawula Majapahit untuk lebih mencintai Tanah Airnya serta Budaya dan adatnya serta ritualnya yang akan di hapuskan secara perlahan oleh bangsa Arab supaya terus setor kekayaan ke Negeri Padang pasir). Kasunyatan Lihat Televisi, koran dan lainnya, Sadarlah !!.
la percaya, setelah dirinya dino­batkan sebagai Sri Wilatikta Brahma­raja XI, Sabdopalon akan segera muncul untuk menjadi penasihatnya. Dan sekarang sudah jalan, “Sete­lah saya muncul sebagai raja Maja­pahit, Sabdopalon pasti bergerak kare­na abhiseka saya sebagai symbol. Mana mungkin ada penasihat kalau tidak ada rajanya,” akunya yakin.
la pun mengaku sering kontak den­gan dunia leluhur, termasuk dengan Sabdopalon. “Bidang niskala (gaib), saya sudah 50 persen ada di dalamnya, saya juga kontak dengan Sabdo­palon,” akunya.
Berdasarkan teropong gaibnya dan bukti-bukti ilmiah yang ditunjukkan, ia yakin bahwa makhota terse­but asli milik Raja Majapahit. Makhota.terbuat dari emas bertatahkan permata yang nilainya mencapai milyaran rupiah.
Menurut hasil penelitian para ahli, makhota tersebut berumur ratusan tahun, bukan buatan baru karena bentuk, model tatanannya dan bahannya khas Majapahit. “Untuk apa para donatur luar negeri urunan dana mengembalikan makhota tersebut ke pemiliknya. Kalau hanya mencari sensasi, rasanya mustahil,” akunya. Namun tidak diketahui, pada zaman raja siapa makhota tersebut dibuat. Apakah prabu Hayam Wuruk, atau generasi sebelumnya.
Makhota juga menunjukkan bukti-bukti kegaiban. Di Singapura sempat menggemparkan museum karena karyawan museum silih berganti kesurupan. Makhota itu memilih kepala sendiri yang dianggap cocok sebagai tuannya. Selain itu juga ditandai dengan berbagai kejadian aneh seperti angin gemuruh, halilintar dan sinar keemasan pada saat makhota dike-nalan Sri Wilatikta Brahmaraja XI.
Dan setelah menerima makhota tersebut, Sri Wilatikta Brahmaraja XI mengaku pikirannya menjadi terang dan cemerlang. Berbagai konsep untuk kejayaan Nusantara dan perdamaian dunia tiba-tiba muncul, menjadi pemikirannya. Anehnya lagi, ia dipercaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dunia, termasuk sering dihubungi para pembesar dunia. Seperti saat KTT pemanasan global, ia berhasil membujuk Amerika menandatangani kesepakatan. Padahal, juru lobi dunia tidak berhasil membujuknya.
TIGA PERMATA
Ada sebuah keganjilan yang terlihat dari makhota tersebut. Tiga buah permata sebagai hiasan, hilang seper­ti sengaja dicongkel. Menurut Sri Wilatikta Brahmaraja XI, tiga permata tersebut dicongkel dan dijual para kolektor yang sempat memegangnya. Satu permata rubi konon berada di Amerika, satu buah permata blue dia­mond (safir) dibeli orang Inggris, sedangkan satu permata jambrud diboyong kolektor Hongkong. Pihak Singapura yang diwakili Way Ching Lee bersama para donatur mancanegara berjanji menebus permata terse­but untuk dikembalikan. (Majapahit Nusantara akan Jaya kembali kalau tiga permata kembali, tetapi bangsa penjajah termasuk Arab tidak menginginkan Kejayaan Nusantara kembali supaya terus bisa bercokol di Negeri yang makmur ini).
Sebagai sebuah makhota symbol kebesaran, ada pihak yang menilai peristiwa tersebut merupakan suatu yang cacat. Artinya, tidak sempurnanya makhota tersebut juga merupakan pertanda ketidaksempurnaan Majapahit. Mungkin saja, bila tiga permata itu dikembalikan dan dipasang kembali, kesempurnaan itu baru akan diraih.
Bukti tentang hal itu kerap dilihat dengan berbagai permasalahan social politik yang terjadi di salah satu bekas wilayah kekuasaan Majapahit ini. Indonesia masih terus berkutat dengan berbagai persoalan sosial politik.
Namun yang lebih mengkhawatirkan dengan munculnya makhota Kerajaan Majapahit di awal tahun 2009 ini, diprediksi sebagai pertanda rawannya permasalahan politik di Indonesia. Sebab, menurut pandangan beberapa waskita (peramal), Majapahit tidak pernah lepas dari persoalan politik hingga membuat kerajaan itu hancur berkeping-keping dan tenggelam bagai ditelan bumi.
Sejak kerajaan tersebut didirikan pasca Kerajaan Singosari, terjadi ber­bagai peristiwa politik. Pemberontakan Patih Nambi dan beberapa pembesar kerajaan lainnya, merupakan bukti ke-kacauan politik di kerajaan tersebut. Termasuk juga saat pengislaman Ma­japahit, tak terlepas dari perseteruan politik untuk merebut makhota kera­jaan.
Tahun 2009 merupakan tahun perhelatan politik di Indonesia. Akhir 2008, tiba-tiba saja sebuah makhota yang disebut-sebut milik kerajaan Majapahit dibawa ke bekas wilayah kerajaan besar di Asia Tenggara ini. Ada yang memprediksi, hal ini merupakan sebuah pertanda bagi kerawanan peta perpolitikan di Indonesia karena akan digelar Pemilu. Persaingan untuk memperebutkan tahta negara tak ter-hindarkan, sehingga tak tertutup kemungkinan akan muncul pertikaian politik.
Namun prediksi tersebut dibantah Sri Wilatikta Brahmaraja XI. Menurutnya, ramalan atau prediksi tersebut tidak mendasar dan tanpa bukti. Yang jelas, menurutnya, dengan kembalinya makhota kerajaan Majapahit ke bekas wilayahnya, sebagai bukti bahwa ra­malan Sabdopalon dan Noyogenggong akan segera terwujud. Kedamaian dan kejayaan yang pernah ada pada zaman Majapahit akan kembali bersinar (kalau bangsa ini menginginkan). Negeri ini akan kembali men­jadi mercusuar untuk menciptakan per­damaian dunia. Mana yang benar dari ramalan tersebut, kita tunggu kenyataannya. –sumber

Kisah Pertempuran Dalem Dukut vs Jelantik Bogol Untuk Menyatukan Nusa Penida Dan Bali

$
0
0
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan upaya Dalem Klungkung menyatukan Nusa Penida dengan Bali. Upaya itu dilakukan untuk membanguan hubungan yang produktif antara rakyat Bali dan rakyat Nusa. Hanya saat Ngurah Peminggir diutus oleh Dalem Klungkung mendekati Dalem Nusa ternyata gagal. Kegagalan itu karena Ngurah Peminggir kekerasan perang mempunyai kemauan yang sangat keras ingin menguasai Nusa. Saat itu Dalem Nusa melepaskan wong samar untuk mengalahkan Ngurah Peminggir dan pasukannya.
Dalem Klungkung melanjutkan upaya penyatuan Pulau Bali dengan Nusa dengan mengutus I Gusti Ngurah Jelantik Bogol. Pendekatan yang digunakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik Bogol merupakan upaya di dalam pendekatan yang etis mengikuti tata krama seorang kesatria sebagai utusan raja. Dalem Dukut pun menerima dengan sangat hormat. Dalem Dukut atau Dalem Bungkut bersedia menyerahkan Kerajaan Nusa melalui suatu cara yang terhormat dalam tata krama sebagai kesatria. Dua tokoh ini pun mengadakan perang tanding dengan tidak melibatkan prajurit dan rakyat. Mereka melakukan perang tanding secara kesatria tidak berdasarkan kebencian dan kesombongan akan kelebihan diri masing-masing.
Dalam jamuan tersebut Dalem Dukut menyatakan bahwa Nusa tidak akan kalah kalau Dalem Dukut masih hidup, walaupun semua pasukan Nusa habis. Sebaliknya utusan Dalem Klungkung pun tidak akan kalah kalau Patih Jelantik Bogol tidak gugur di medan perang, meskipun semua pasukan Klungkung gugur dalam pertempuran.
Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol sepakat untuk tidak mengikutsertakan pasukannya bertempur. Biarlah mereka bergembira membangun komunikasi persaudaraan demi Bali dan Nusa. Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol sepakat untuk melakukan perang tanding dalam melakukan swadharma kesatria. Swadharma Patih Jelantik Bogol adalah menyukseskan misi Dalem Klungkung (p.18) untuk menyatukan Nusa Penida ke dalam kekuasaan Klungkung, sedangkan Dalem Dukut memiliki swadharma untuk menjaga eksistensi kehormatan Kerajaan Nusa Penida.
I Gst. Jelantik Bogol dalam perang tanding itu menggunakan senjata pemberian kerajaan bernama Ganja Malela. Dalam perang tanding itu senjata Ganja Malela I Gusti Jelantik Bogol patah. Hampir saja I Gst. Jelantik Bogol kalah. Cepat-cepat istrinya, Ni Gusti Ayu Kaler memberikan senjata bertuah bernama Pencok Sahang. Melihat senjata Pencok Sahang ini Dalem Dukut sudah punya firasat bahwa waktunya sudah tiba untuk kembali ke alam sunia lewat senjata Pencok Sahang.
Peperangan pun dihentikan sementara dan Dalem Dukut menyatakan kepada I Gst. Jelantik Bogol bahwa ia akan kembali ke Sunia Loka lewat senjata Pencok Sahang itu. Dalem Dukut pun menyatakan menyerahkan segala kekayaan Nusa dengan rakyat dan wong samarnya untuk mendukung Dalem Klungkung. Senjata Pencok Sahang ini sesungguhnya adalah taring Naga Basuki. Ketika Ni Gst. Ayu Kaler mandi di Sungai Unda, ada sepotong kayu bagaikan kayu bakar atau sahang yang selalu menujunya. Setiap kayu itu dijauhkan dari dirinya selalu kembali mendekati dirinya. Akhirnya kayu itu dipungut. Setelah dibelah ternyata di dalamnya terdapat sebuah keris yang belum jadi. Keris itulah bernama Pencok Sahang yang tiada lain adalah taring Naga Basuki sendiri.
Bersatunya Nusa dengan Bali menjadi satu sistem pemerintahan dalam proses yang sangat terhormat pada masa pemerintahan Dalem Klungkung. Tidak ada yang kalah menang dalam artian sempit. Dalem Dukut tidak mengerahkan pasukan wong samar-nya melawan I Gst. Jelantik Bogol. Kemungkinan Dalem Dukut melihat suatu kepentingan yang lebih besar dan lebih mulia yaitu bersatunya alam dan rakyat Nusa dengan Bali. Persatuan ini akan membawa kedua daerah lebih mudah maju membangun kesejahteraan hidup bersama antara rakyat Bali dan Nusa Penida lahir batin.  –sumber

SEJARAH PURA JATI

$
0
0

BERDASARKAN catatan yang ada, sejarah berdirinya Pura Jati memiliki kaitan dengan Pura Perancak, Pura Gede Amertasari dan Pura Dalem Melanting. Hal ini tertuang dalam konsep Purana yang sedang disusun Samania Tri Dharma Jati.

Sekitar tahun 1478 Masehi, Danghyang Dwijendra atau yang juga dikenai dengan Danghyang Nirarta atau Pedanda Sakti Wawu Rauh meninggalkan Blambangan menuju Bali menyeberangi Segara Rupek. Beliau datang ke Bali dalam rangka dharmayatra untuk menyebarkan ajaran agama Hindu.

Dalam perjalanan ini, beliau ditemani istri dan tujuh putra-putrinya yakni Diah Wiraga Sloga, Ida Wiraga Sandi, Ida Lor, Ida Ler, Ida Istri Rahi, Ida Telaga dan Ida Kaniten. Dalam penyeberangan tersebut, Danghyang Nirarta menaiki waluh yang isinya sudah dibuang, sedangkan istri dan putra-putri beliau naik perahu tradisional atau jukung yang bocor. Karena kesucian beliau, perjalanan ini tidak menemui hambatan. Rombongan ini mendarat di pantai Purancak, Jembrana.

Pada saat itu, kehidupan masyarakat di bawah kekuasaan I Gusti Ngurah Rangsasa di mana kehidupan diselimuti oleh kegelapan (awidya). Kehadiran Danghyang Dwijendra ini kemudian dikaitkan dengan anglurah I Gusti Ngurah Rangsasa dan keberadaan Pura Gede Purancak.

Dalam usaha menyelamatkan masyarakat Jembrana, Danghyang Dwijendra masuk langsung untuk melakukan pembinaan agama, adat-istiadat dan ajaran kerohanian. Sikap beliau ini bertentangan dengan istri dan putra-putrinya.
Istri dan putra-putri beliau mengalah, Sri Patni Kaniten bersama putranya Ida Telaga dan Ida Kaniten tinggal dekat sebuah telaga di mana beliau menyebarkan benih-benih padi. Masyarakat Jembrana memberi nama tempat itu Merta Sari dan pura yang didirikan diberi nama Pura Gede Amertasari.

Perjalanan Danghyang Dwijendra selanjutnya menuju arah timur. Dalam perjaianan itu, beliau menemukan seekor naga raksasa yang sangat besar dan memenuhi jalan. Danghyang Dwijendra pun masuk ke mulut naga ini dan menemukan bunga teratai. Kejadian aneh pun terjadi, tubuh beliau menjadi hitam legam. Istri dan putra-putri beliau lari tunggang langgang. Setelah semua dikumpulkan, ternyata ada satu yang tidak ditemukan yakni Diah Wiraga Sloga. Ketika Danghyang Dwijendra menjumpai putrinya itu, ternyata putrinya sudah moksah. Di tempat itu lalu dibangun pura dengan nama Pura Dalem Melanting.

Perjalanan lalu dilanjutkan dengan menyisir hutan (dari Pegametan menujuJembrana). Dalam perjalanan itu, beliau beristirahat di bawah sebatang pohon. Tongkat yang beliau bawa ditancapkan di dekat beliau duduk. Di tempat itulah kini berdiri sebuah pura yang dibangun untuk menghormati jasa-jasa Danghyang Dwijendra. Pura ini diberi nama Pura Jati. Kompas.

MAKNA TIRTHA DI PURA JATI
Rtsya deva vrata gurbhuvat
paristirdyaurna bhuma, vardhantimapah
panva susiavam rtsya yona garbhe sujatam.
(Rgveda. t. 65.2).

Maksudnya:
Para dewa mencari jalan suci (tirtha yatra), berkumpul di setuas langit. Air suci (tirtha) menghidupi semua yang tumbuh, lahir mulia menurut hukum alam (Rta).

Di selatan kota Negara tak jauh dari dermaga Pengambengan, Kabupaten Jembrana terdapat sebuah pura yang bernama Pura Jati. Mengapa pura ini disebut Pura Jati. Hal ini sangat mungkin disebabkan di pura itu ada tumbuh pohon jati bercabang tiga yang sangat unik karena sangat berbeda dengan pohon jati pada umumnya.

Keunikan pohon jati ini karena di pohon jati itu terdapat air yang tidak habis-habisnya. Kalau suatu saat air di pohon jati itu surut atau habis menguap, hal itu sebagai pertanda adanya bencana di Bali atau di Nusantara ini. Keunikan pohon jati yang tumbuh di Pura Jati Jembrana itu ada kaitannya dengan perjalanan suci atau tirthayatra Danghyang Dwijendra dari Jawa Timur ke Bali.

‘Ketika Danghyang Dwijendra tiba di Bali hewan peliharaan hidup kehausan karena kekurangan air. Untuk mengatasi hal itu Danghyang Dwijendra melakukan semadi dengan menancapkan tongkat sucinya di tanah sebagai sarana mohon pertolongan Hyang Widhi Wasa. Setelah beberapa waktu beliau bersemadi, tongkat sucinya itu dicabut. Dari tanah tempat tongkat suci itu ditancapkan keluar air.

Sejak itulah di Bali kebutuhan air mulai dapat terpenuhi tahap demi tahap. Hewan dan manusia tidak lagi kekurangan air untuk mempertahankan hidupnya. Di tempat Danghyang Dwijendra bersemadi itu tumbuhlah pohon jati yang ajaib itu. Hal inilah yang menjadi latar belakang didirikan pura yang selanjutnya di beri nama Pura Jati. Karena itu pura ini digolongkan Pura Dang Kahyangan, karena terkait dengan tirthayatra Danghyang Dwijendra. Karena pendirian Pura Jati tersebut terkait dengan perjalanan suci seorang pandita dalam menjalankan swadharmanya sebagai seorang pandita.

Dalam Sarasamucaya 40 ada empat swadharma seorang pandita yang disebut Sang Sista. Empat swadharma itu adalah Satya Wadi artinya selalu berbicara untuk menyebarkan kebenaran dan kejujuran yang disebut Satya intisari dari Weda. Sang Apta artinya pandita sebagai sosok yang suci wajib menjaga kepercayaan umatnya. Sang Patirthan, sebagai tempat umat untuk mendapatkan penyucian atau tirtha. Sang Panadahan Upadesa artinya pandita itu memiliki swadharma untuk menyebarkan pendidikan kerohanian (upadesa). Hal initah yang dilakukan oleh Danghyang Dwijendra di daerah Jembrana di tempat Pura Jati itu didirikan.

Keunikan pohon jati di Pura Jati tersebut banyak memberikan motivasi spiritual pada umat dari berbagai daerah. Tirtha yang ada di pohon jati Pura Jati itu diyakini tidak hanya sebagai tirtha untuk kepentingan sembahyang saja. Tirtha tersebut diyakini sebagai tamba atau obat. Demikian menurut Jero Mangku Alit Komang Sinda yang keluarganya sudah tujuh turunan menjadi pemangku di Pura Jati ini.

Menurut keterangan Jero Mangku Alit, pada 1996 tirtha di pohon jati itu pernah surut atau di Bali disebut nyat. Keadaan itu dibicarakan lewat paruman para pengemong pura. Disepakati untuk menanyakan pada rohaniwan yang paham tentang suara niskala. Lewat cara itu didapatkan pentunjuk niskala agar pengemong pura metakukan suatu upacara.

Upacara macaru dengan ayam hitam dengan prayascita dan biakala dilangsungkan. Pada tengah malam saat hari upacara yadnya itu dilangsungkan terdengar suara gemuruh dan sangat menyeramkan. Ternyata suara gemuruh yang menyeramkan itu adatah suaranya tirtha yang turun kembali ke pohon jati. Tirtha di-pendak dengan bunga cempaka dan bunga tunjung. Demikian dituturkan oteh Jero Mangku Alit. Hingga kini tirtha di pohon jati itu tidak pernah lagi surut.

Pura Jati di selatan kota Negara itu pelinggih utamanya adalah Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Batara Sakti yaitu Danghyang Dwijendra. Ada juga pelinggih Padmasana pemujaan Sang Hyang Sada Siwa. Ada pelinggih Gedong tempat menstanakan Pralingga. Pelinggih Gedong inilah sebagai simbol Ida Batara saat akan turun menjumpai umatnya. Gedong ini pula sebagai simbol Ida Batara ngeluhur dan maasineb. Di Meru Ida Batara meraga Niskala atau Adyatmika, di pelinggih Gedong Ida Batara meraga Wahya atau Nyekala. Karena itu saat sembahyang ada istitah wahya adyatmika sembah ingulun, artinnya sembah kami lakukan secara lahir-batin.

Di Pura Jati ini ada juga pelinggih Sri Sedana. Pelinggih ini menandakan bahwa tujuan kita memuja Tuhan untuk mendapatkan kehidupan yang seimbang yaitu Sri artinya kebahagiaan dan Sadhana artinya berwujud kesejahteraan. Dengan kata lain tujuan kita memuja Tuhan adalah untuk mendapatkan motivasi hidup membangun kehidupan yang sejahtra lahir batin. Di samping itu, ada juga pelinggih Taksu sebagai media pemujaan pada Tuhan untuk kendapatkan karisma berupa kewibawaan rohani menjagi harga diri secara benar dalam hidup. Hidup tanpa harga diri adalah hidup yang kehilangan jati diri sebagai manusia perwujudan Sang Hyang Atma.

Piodalan di Pura Jati setiap enam bulan wuku yaitu pada hari Soma Pon Sinta atau disebut juga Soma Ribek dua hari sebelum rerahinan Pagerwesi. Pura Jati ini di-empon oleh tiga desa pakraman yaitu Desa Letateng, Tegat Badeng Kangin dan Tegal Badeng Kauh. Tiga desa ini membangun persatuan dalam mengempon pura ini. Persatuan itu diberi nama Samania Tri Dharma Jati yang dipimpin oteh Made Wijaya sebagai Klian

Pura Jati di Negara ini sering dijadikan tempat tirthayatra oleh umat bukan dari daerah Jembrana saja. Pernah ada paranormal dari negeri Belanda yang datang pedek tangkil ke Pura Jati ini. Paranormal dari Belanda itu membawa kerisnya ke pura untuk membersihkan dan menyucikan kerisnya sebagai sarana untuk mengekspresikan kekuatan magis religiusnya.

Umat Hindu yang pedek tangkit ke Pura Jati itu juga ada dari luar Bali seperti dari Lampung dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Yang penting harus diingat bagaimana lewat Pura Jati itu kita kembangkan motivasi hidup kepada umat agar benar-benar menyadari pentingnya kita menjaga kesucian dan ketersediaan air di daerah Bali ini agar Bali tetap menjadi daerah yang subur. Karena industriatisasi jangan sampai mengorbankan eksistensi air unsur alam yang mahapenting ini. (I Ketut Gobyah),
foto: http://dharmawelasasih.blogspot.co.id)

sumber

Tumpek Krulut

$
0
0

Tumpek Krulut adalah upacara yadnya yang dirayakan setiap sabtu kliwon wuku krulut sebagai sujud syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara atas terciptanya suara-suara suci/tabuh dalam keindahan dan seni.

Tujuannya agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki suara yang indah dan “taksu”. Dari alunan nada tersebut akan melahirkan gerak-gerak nan indah sebagai unsur seni.

Dari keindahan itu, seni menjadi hiburan yang dapat menyeimbangkan hidup.
Demikian disebutkan dalam kutipan Perayaan Tumpek Krulut di ISI Denpasar, Pemujaan Seni Menuju Harmonisasi Alam.

Dalam Hindu Bali, Tumpek Krulut itu berasal dari kata lulut yang artinya hati menyatu dengan keindahan (sundaram) sehingga pikiran menjadi damai. Tumpek Krulut jg merupakan hari kasih sayang.

Kasih sayang itu diwujudkan dalam bentuk keindahan, dalam hal ini suara gamelan. Yang dipuja juga dalam Tumpek Krulut yaitu Ida Sanghyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Dewi Semara Ratih. Karena itu banten yang dihaturkan adalah sesayut lulut asih. –sumber

Pencuri Kedamaian

$
0
0

Di dunia akademis, setiap bentuk pengkotakan jiwa manusia disarankan untuk dihindari. Terutama karena pengkotakan adalah sebentuk pendangkalan. Meminjam pendapat seorang filsuf, jiwa manusia itu multi dimensional (melampaui segala pengkotakan). Namun, untuk kepentingan praktis pengkotakan itu diperlukan.

Lebih mudah menyembuhkan luka jiwa kalau seseorang mengerti ciri unik dirinya di dalam. Sebagai bahan renungan dalam perjalanan panjang menuju kedamaian, ada dua jenis pencuri kedamaian di dalam. Kedua pencuri inilah yang membuat kedamaian pergi menjauh entah ke mana.

Oleh karena serangkaian kejadian di masa lalu yang menimbulkan banyak luka jiwa, sebagian sahabat cenderung peka dan mudah luka. Jangankan diserang orang, bahkan ditanya orang saja bisa menimbulkan luka. Pencari spiritual jenis ini suka membuat konsep diri yang terlukai di dalam. Ia menyebut diri sebagai korban kehidupan.

Wajah diri seperti inilah yang terus menerus bercakap-cakap di dalam. Dari minta perlindungan sampai dengan minta didengarkan. Begitu memori terlukai muncul, ia minta perlindungan. Begitu ingatan disakiti muncul, ia minta didengarkan. Sebagai akibatnya, pikiran tidak pernah istirahat di dalam.

Dari waktu ke waktu pikiran sibuk antara membangun perlindungan diri di dalam, atau meladeni diri yang terlukai untuk terus menerus didengarkan keluhannya. Saat ia minta perlindungan, diri yang terluka ini mirip bayi menangis yang minta didekap. Tatkala ia minta didengarkan, diri yang luka ini mengeluh soal orang-orang yang melukai. Ujungnya mudah ditebak, ia mencuri kedamaian jiwa di dalam.

Pencuri kedamaian yang ke dua sering mendatangi manusia yang sebaliknya, yakni manusia yang terlalu percaya diri, sehingga tidak memiliki kepekaan sama sekali. Di psikologi, manusia jenis ini disebut sebagai sapi di tengah barang pecah belah. Ia bicara ke sana ke mari seenaknya. Dan tidak tahu kalau yang mendengarkan terluka jiwanya.

Jika manusia peka membangun konsep diri yang terluka, sapi di tengah barang pecah belah ini persoalan waktu akan dikejar oleh banyak rasa bersalah. Rasa bersalah inilah yang juga membangun sosok diri palsu di dalam. Jika ia tidak muncul di usia muda, ia akan muncul di masa tua. Sedihnya, kalau tidak muncul di usia muda dan di usia tua, rasa bersalah ini akan mengejar nanti setelah kematian. Ini lebih menakutkan lagi.

Sama dengan diri yang terluka yang bercakap-cakap di dalam, rasa bersalah ini juga bercakap-cakap di dalam. Dari minta dibenarkan sampai dengan kecenderungan untuk selalu menyalahkan. Saat memori buruk datang dari masa lalu, ia akan menumpuk argumen pembenaran. Ketika ingatan tentang orang dibenci muncul, ia langsung menyalahkan.

Ujungnya sama, pikiran selalu ribut di dalam. Persoalan waktu, jiwa akan kelelahan. Lagi-lagi kedamaian lari entah ke mana. Teman-teman yang sudah menghabiskan waktu tahunan dalam keheningan kesendirian mengerti, inilah dua jenis pencuri kedamaian yang digendong manusia ke mana-mana.

Di jalan meditasi, begitu pencuri-pencuri kedamaian ini datang, segera ia didekap lembut dengan sepasang tangan ke-u-Tuhan. Seperti alam yang mendekap malam dan siang, seperti itu juga seseorang disarankan untuk mendekap luka dan suka di dalam. Tidak saja para pemula, bahkan jiwa bercahaya pun ada luka dan sukanya.

Sebagai hasilnya, pelan perlahan percakapan melelahkan di dalam akan menurun. Diri sebagai korban – untuk jiwa yang mudah luka, mulai mengecil. Bersamaan dengan itu bertumbuh benih-benih agar seseorang menjadi tuan dalam kehidupan. Rasa bersalah yang mengejar juga serupa, begitu ia sering didekap oleh ke-u-Tuhan, pelan perlahan ia tidak lagi menjadi pencuri kedamaian di dalam

 

Penulis: Guruji Gede Prama

Foto : TeamCompassion.

sumber

Kepongor Hukum Kawitan

$
0
0

Kalau dipikir-pikir, orang Bali sebenarnya diikat oleh banyak hukum baik sekala maupun niskala. Hukum tersebut adalah:

  1. Hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
  2. Hukum karmapala yang merupakan landasan ajaran agama Hindu, hukum Tuhan yang tak terbantahkan, berisfat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
  3. Hukum kawitan yang merupakan sebuah norma-norma yang diyakini berlaku dalam hubungan antara manusia yang hidup di dunia (pretisentana) dengan leluhur yang telah berada di alam sunya loka. Jadi dengan demikian paling tidak umat Hindu khususnya di Bali diikat oleh tiga hukum.

Paling menarik di sini adalah hukum kawitan yang mengatur pola hubungan sebab akibat antara pretisentana dengan leluhur yang telah tiada. Ada sebuah keyakinan bahwa baik buruk perilaku pretisentana di mercapada (dunia) akan mempengaruhi kehidupan leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan kewajiban hidup dengan baik, hubungan harmonis dengan sesama manusia, menjaga warisan leluhur, maka para leluhur yang ada di sunialoka akan menemui kebahagiaan. Namun sebaliknya apabila pretisentana tidak menjalankan apa yang telah digariskan oleh leluhur, seperti selalu bertengkar dengan saudara, mengabaikan warisan leluhur, tidak memelihara kahyangan, tidak berbhakti kepada leluhur dan Ida Sanghyang Widhi Wasa maka leluhur akan mengalami kesedihan. Untuk itulah leluhur menyarankan kepada seluruh pretisentananya untuk melakukan perbuatan yang baik, sehingga akan menyebabkan leluhur mendapatkan kebahagiaan.

Semua hukum yang disampaikan leluhur tersebut tercatat dalam bhisama Ida Betara Kawitan. Masing-masing keluarga (soroh) di Bali memiliki kawitan tersendiri yang merupakan media untuk menghubungkan diri dengan leluhur yang telah tiada. Tata hubungan tersebut tersurat di dalam beberapa prasasti kawitan yang berisikan sejarah tentang leluhur, lelintihan (silsilah) leluhur dan berisi bhisama atau pesan/petuah/amanat leluhur.

Yang menarik dari semua itu adalah bhisama leluhur kepada pretisentana, sebagai pesan moral yang perlu ditaati. Disamping bersisi pesan, bhisama Ida Betara Kawitan juga memuat tentang sangsi yang diperoleh bila tidak mengikuti bhisama. Jadi dengan demikian bahwa bhisama mengandung nilai hukum, nasehat, dan sangsi. Yang lebih menarik bahwa sangsi yang dimuat dalam bhisama tersebut bukanlah sebuah sangsi yang dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda, namun sangsinya adalah bersifat niskala. Contoh bhisama:

Sabda Betara Hyang Pasupati kepada Sang Panca Tirta, sebagai berikut:

“Wahai cucuku semua, pasanglah telingamu baik-baik, jangan lupa melaksanakan kebajikan demi kesucian, kebesaran jiwa orang yang berhati mulia, tata cara untuk mencapai nirwana, dan juga tentang aji taskara, yang begini yang berwujud demikian, jelas dan sangat dalam anugrah Betara, seluk beluk aji taskara di bawah Sang Hyang Manu, tentang Tri Kaya Parisudha, dan juga tentang ilmu batin”.

“Besok lusa bila ada keturunanmu, sampaikan juga sabdaku ini, agar selalu diingat sabdaku, yakni tentang kewajibannya, dan yang terpenting keutamaan seorang pendeta, jangan lalai. Bila ada keturunanku tidak hirau dan cuma nonton saja, kamu tidak mencintai sanak sudaramu seperti yang tercantum pada prasasti, itu tandanya bukan turunanku, semoga ia turun derajat menjadi kesatria”

“Tambahan pula, mesti diingat menjaga serta memperbaiki Pura Pedharman Kamimitan yang ada di Bali, serta piodalannya untuk selama-lamanya”.

Demikian sabda Hyang Pasupati, menyembahlah Sang Panca Tirta, menghaturkan bhakti, yang timbul dari hati yang suci, karena bagaikan dibanjiri air kehidupan hati mereka.

Kemudian ada pula bisama yang disampaikan terdahulu oleh leluhur Pasek dan Bendesa sebagai berikut:

“Kamu Pasek dan Bendesa, jangan lupa dengan kayanganmu yang ada di Lempuyang (Lempuyang Madya), Besakih (Ratu Pasek), di Silayukti, dan Dasar Bwana Gelgel. Kalau kamu lupa dengan kayanganmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui keresahan, selalu sengketa dalam keluarga, banyak melakukan pekerjaan tetapi kekurangan makanan. Demikian amanatku kepada keturunan, tercantum dalam prasasti, agar dijunjung olehmu sekalian. Kamu tidak boleh menyimpang dari amanatku, sangat berbahaya, jangan lalai, dan jangan mengabaikannya”.

“Bila kamu taat kepada amanatku, moga-moga kamu senantiasa berada dalam keselamatan, keberanian, kekuatan, serta budiman, sakti dalam kata-kata, termasyur, dikasihi oleh Hyang Maha Kuasa. Mulia dan pandai, bertingkah laku yang baik, dan menguasai ilmu kepemimpinan. Demikian tersebut dalam prasasti”.

Sebenarnya masih banyak bisama-bisama dari para leluhur yang disampaikan dahulu kepada para keturunan beliau. Sehingga semuanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Namun dari bisama yang dikemukan di atas tampak pesan-pesan yang diamanatkan oleh para leluhur sangatlah luhur. Para leluhur selalu mengingatkan agar para turunan beliau menjadi orang yang baik dengan memegang teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti kehadapan Betara Kawitan, memelihara perahyangan beliau, dan lain-lainnya yang merupakan pesan yang berguna. Di samping itu, pula telah diamanatkan pula mengenai akibat yang dialami bila melanggar bisama atau melupakan Betara Kawitan.

Ini berarti bahwa selain nasehat, di dalamnya juga mengandung sangsi niskala yang mungkin dapat disetarakan dengan sebuah kutukan. Sehingga apabila sudah terjerembab dalam jurang hukum niskala (kutukan), maka untuk membayarnya memang sulit, sehingga harus sampai pada masa akhir dari kutukan tersebut. Mungkin secara sekala dapat kita lakukan dengan menghaturkan guru piduka dan guru bendu sebagai pernyataan mohon ampun atas segala kelalaian dan kesalahan yang telah diperbuat. Namun hal tersebut tak membatalkan akibat kutukan tersebut, tapi mungkin akan mempercepat proses dari kutukan tersebut. Dengan demikian, sebelum sampai terkena hukum kawitan yang disebut dengan kepongor/salahang kawitan, salahan Dewa Hyang, alangkah baiknya memahami apa itu bhisama leluhur.

Kemudian timbul pertanyaan usil, kenapa hanya orang Bali yang beragama Hindu yang terkena hukum kawitan? Jawabannya sangat gampang. Karena hanya orang Bali Hindu yang mempercayai dan meyakini hukum tersebut, sehingga terlihat nyata hubungan antara manusia dengan para leluhurnya. Hubungan manusia Bali dengan leluhurnya sangat dekat. Hukum kawitan sama dengan hukum karmapala. Dipercaya atau tidak maka ia akan tetap berlaku untuk siapa saja. Tak mengenal waktu, tak mengenal siapa dia, agama apa dia, semuanya terikat. Bagi orang bukan agama Hindu yang tak meyakini ini, cepat atau lambat pasti akan menyadari, cepat atau lambat pastilah ia akan merasakan dampaknya apabila ia menyimpang dari garis kehidupan yang dipesankan oleh para leluhurnya terdahulu. Bagi mereka yang tak meyakini, mungkin sangsinya dalam bentuk lain atau mungkin mereka telah menerima sangsi namun tak disadari bahwa itu adalah kepongor. (Taksu/02) –sumber


Asal Muasal Dewi Durga Penguasa Kuburan Turun Ke Dunia

$
0
0

SULUH BALI, Denpasar – Keangkeran kuburan (setra) di Bali menjadi sebuah misteri yang berkembang dari dulu hingga kini. Dalam keyakinan Hindu, tidak hanya di pura akan tetapi di kuburan pun ada dewa yang berstana serta berbagai pengikutnya.

Pada salah satu lontar yakni  Lontar Andhabhuwana menyebutkan asal muasal keberadaan Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga (penguasa kuburan) disebabkan karena mendapat kutukan Dewa Siwa. Kutukan tersebut menyebabkan Dewi Uma yang bergelar Dewi Durga tinggal menetap di dunia dan akan kembali ke Siwa Loka setelah disucikan.

Kisah itu berawal saat Bhatara Siwa menyuruh Dewi Uma mencari susu yang tugasnya cukup berat untuk dilakukan. Dalam memperoleh susu, Dewi Uma harus merelakan diri untuk melayani si pengembala.

Ketika telah mendapatkan susu dan kembali ke Khayangan untuk menyerahkannya kepada Dewa Siwa, Dewi Uma melakukan kebohongan. Ia tidak menyebutkan asal muasal dimana susu itu diperolehnya.

Namun, dengan tenung Aji saraswati Dewa Ganesha membeberkan kebohongan yang dialakukan ibunya terkait asal-usul dimana memperoleh susu. Mendengar penjelasan Dewa Ganesha seketika tenung Aji Saraswati dilenyapkan menjadi abu oleh api kemarahan Dewi Uma.

Melihat ulah Dewi Uma yang telah berani membakar tenung Aji Saraswati dan berusaha berbohong dalam memperoleh susu menimbulkan kemarahan bagi Dewa Siwa. Saat itulah kemudian Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma turun ke dunia menjelma menjadi Dewi Durga.

Turun Kedunia Sebagai Penguasa Kuburan dan Menebar Penyakit

Setelah dikutuk untuk turun kedunia, Dewi Durga berstana sebagai dewa penguasa kuburan yang diikuti oleh 108 Bhuta-Bhuti. Berikut nama-nama butha kala dan butha kali yang mengiringi keberadaan Dewi Durga di kuburan yakni, bhùta banaspati, yamapati, mregapati, banaspatiraja, bhùta saliwah, bhùta salah rupa, bhùta Enjek-pupu, Tangan-tangan, Laweyan, Kumangmang, Anja-anja, Mamedi,

Bhùta Sungsang, Udug-Basur, Ileg-ileg, Papengkah, Barong Asepek, I Gagendu, Suku-tunggal, kakawa, Mretyu, Togtogsil, Raregek, Raparayu, Kala Ngadang, bhùta Tan-pakuping, bhùta Bungut-sasibak. Itulah semua yang mengiringibhùta Enjek-pupu, Tangan-tangan, Laweyan, Kumangmang,

Anja-anja, Mamedi, bhùta Sungsang, Udug-Basur, Ileg-ileg, Papengkah, Barong Asepek, I Gagendu, Suku-tunggal, kakawa, Mretyu, Togtogsil, Raregek, Raparayu, Kala Ngadang, bhùta Tan-pakuping, bhùtaBungut-sasibak.

Tugas dari Dewa Durga dan 108 pengikutnya adalah menebar penyakit, menciptakan kekeringan, kebencanaan di dunia. Akan tetapi yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia yang lupa untuk berbhakti kepada Tuhan yang Maha Esa.

Penyakit dan segala kebencanaan yang diciptakan oleh Dewi Durga dan pengikutnya bertujuan untuk menyadarkan manusia untuk selalu ingat dan berbhakati kepada Tuhan. Sebagai cara untuk mengurangi gangguan yang ditimbulkan oleh kekuatan Dewi Durga dan pengikutnya dilakukan dengan mempersembahkan butha yadnya. (SB-Skb)sumber

Peranan Tat Twam Asi Dalam Kehidupan

$
0
0
Tat Twam Asi mempunyai arti engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Makna mendasar yang dapat dipetik dari Tat Twam Asi tersebut adalah bagaimana menyayangi diri sendiri demikian juga menyayangi orang lain bahkan lingkungan sekalipun. Atas dasar itu maka tindakan hormat menghormati sesama umat beragama adalah sangat diperlukan bahkan harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ajaran Tat Twam Asi sangat selaras dengan ideology Negara yaitu pancasila. Dengan demikian setiap warga Negara mempunyai hak untuk mengaktualisasikan ajarannya ditengah-tengah masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan yang berlaku di masyarakat tersebut serta tetap mengutamakan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Dari uraian di atas kiranya perlu digaris bawahi bahwa ajaran agama merupakan pedoman dan tuntunan bagi umatnya dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun perlu diingat bahwa umat beragama adalah warga Negara Indonesia, oleh karena itu harus mengetahui dan memahami empat ( 4 ) pilar utama yaitu : Pancasila sebagai ideology Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), Wawasan kebangsaan dan Bhineka Tunggal Ika.
Dengan empat pilar utama diatas maka setiap warga Negara yang sekaligus umat beragama hendaknya tetap mempertahankan NKRI yang berideologi pancasila dengan mengembangkan wawasan nasionalnya bahwaIndonesiaadalah Negara yang multi kultural yang perlu dijaga ditumbuh kembangkan dan dipertahankan sampai kapan saja.
Semoga Brahman ( Tuhan Yang Maha Esa ) menganugerahkan kekuatan dan sinar sucinya kepada seluruh warga bangsa khususnya warga Kalimantan Barat agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik, sehingga dapat memberikan kontribusi positif kepada Negara dan daerah Kalimantan Barat guna ketertiban, kesejahteraan, kemajuan dan kejayaan Indonesia pada umumnya dan Kalimantan Barat khususnya.
Berbakti kepada agama dan Negara sesuai dengan konsep dalam agama Hindu yang di sebut dengan Dharma Agama dan Dharma Negara. Sebagai umat Hindu kiranya perlu menanamkan pemahaman yang mendalam untuk berbuat kebenaran berdasarkan Dharma selama hidup ini sebagai bentuk persembahan atau pengabdian (Yasa Kerthi) guna kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Untuk meyakini hal tersebut dapat direnungkan dengan mendalam apa yang disabdakan dalam Yajurveda XIX. 30 berbunyi sebagai berikut :
“Vratena diksam apnoti, 
Diksoya apnoti daksinam,  
Daksina sraddham apnoti,  
Sraddhaya satiam apjate”.
Artinya :  
“Dengan persembahan diperoleh kesucian, Dengan kesucian didapat kemuliaan,  Dari kemuliaan didapat kehormatan,  Dari kehormatan didapat keyakinan dan, Dari keyakinan diperoleh kebenaran yang sejati”.
 –sumber

Rasa Pintar dan Rasa Benar

$
0
0

Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
(Serat Wulang Reh, I.2)

Artinya :

Pengetahuan hidup ini, orang tidak akan tahu jika tidak mau belajar, dalam kehidupan, banyak yang mengku-aku, merasa sudah berisi, namun tidak memahami kesejatian rasa, pengetahuan yang sempurna berada di lubuk hati adanya, upayakan mencari kesempurnaan, di dalam kehidupan ini.

Dari wejangan dalam Serat Wulang Reh ini, manusia dalam menjalani kehidupan hendaknya terus-menerus mengisi diri dengan berbagai pengetahuan, lebih-lebih pengetahuan yang mengantarakan menuju pemahaman esensi rasa. Jangan merasa diri sudah mengerti semuanya kemudian mengaku-aku paling pintar dan merasa paling benar.

Demikian pentingnya makna pengetahuan dalam serat Wulang Reh sebenarnya sejalan dengan ajaran Hindu. Hindu menempatkan pengetahuan sebagai mahkota kehidupan, kitab Slokantara menggariskan bahwa salah satu hal yang jangan sekali-kali ditunda adalah mengejar ilmu pengetahuan (kapetan ing widya).

Walaupun berkelimpahan materi, wajah yang tampan dan berasal dari keturunan yang terhormat, semuanya tidak berarti apabila tidak memiliki pengetahuan. Pengetahuan merupakan kekayaan berharga yang abadi dan dengan pengetahuan pula manusia tahu akan tujuan hidup yang sesungguhnya. Sebuah pergulatan dari awidya (gelapnya pikiran) menuju widya (terangnya pikiran).

Itu pula sebabnya mengapa Hindu sangat menghormati ilmu pengetahuan dan menghayatinya melalui pemujaan Dewi Saraswati pada saat hari raya Saraswati. Dengan harapan agar umat Hindu tiada henti-hentinya mengejar ilmu pengetahuan. Seperti halnya dalam naskah Rg Veda disebutkan : Maho Arnah Sarasvati pra cetayati ketuna, Dhiyo visy virajati, yang artinya ; Oh Sarasvati, sungai yang besar, Dia yang dengan cahayanya memberikan terang, dia menerangi setiap pikiran yang mulia.

Dalam realitas hidup ini tentu sering kita melihat orang menganggap dirinya paling pintar dan paling benar, berbicara banyak tanpa didasari sumber-sumber yang pasti, kemudian menyalahkan dan memvonis orang lain selalu salah. Rasa paling pintar dan benar sendiri seringkali menjerumuskan manusia menuju kehancuran, karena dengan merasa paling pintar maka ia tidak akan lagi bisa menerima pengetahuan lainnya dan rasa paling benar akan membuat seseorang tidak menerima kebenaran lainnya.

Rasa paling benar pula akan membuatnya tersisih dari kehidupan, terjebak dalam pemahaman dan keegoannya sendiri, terlibat dalam perdebatan yang melelahkan dan tidak bermanfaat. Apabila rasa ini terus hidup dalam dirinya, maka gesekan-gesekan dengan orang lain tidak akan bisa dihindari, pada akhirnya menimbulkan konflik-konflik dalam kehidupan.

Dalam konteks ini pula ajaran agama Hindu menganjurkan agar setiap umat mampu menjadi orang yang bijak denga ilmu pengetahuan (Krta widya). Setiap umat wajib untuk menuntut berbagai pengetahuan, lebih-lebih ajaran agama, namun dalam proses belajar hendaknya menghindari belenggu-belenggu ahamkara (keegoisan) yang menyebabkan diri merasa sudah paling pintar. Pengetahuan hendaknya di payungi dengan kebijaksanaan (wiweka), dengan begitu sepintar apapun diri kita akan lebih mengutamakan rasa rendah hati, tidak dimabukkan dengan kepintaran yang dimiliki.

Oleh : I.B Wika Krishna
Pic: google image

sumber

Kemulan, Haruskah Hindu Memuja Leluhur

$
0
0

Om Swastyastu
Tulisan sejenis yang dimuat dibergai media massa atau literature lainnya sudah cukup banyak, namun saya tertarik kembali mengingatkan kepada para pembaca yang mungkin sudah mumpuni dalam pemahamannya dan aplikasinya dalam urusan Sanggah Kamulan.

Belakangan di kalangan generasi muda tidak sedikit yang mulai berpikir, bahkan telah melaksanakan bahwa sanggah Kamulan telah diganti dengan satu pelinggih saja yaitu Padma Sari dengan berbagai alasan, persoalan tanah, biaya, efesiensi dan masih ada seribu alasan untuk membenarkan tindakannya.

Bagi para pembaca yang berniat mengganti (Prelina) Sanggah Kamulan, sebelum melaksanakan niatnya, semoga artikel sederhana ini bisa menjadi bahan bandingan.

Umat Hindu pada prinsipnya memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan memuja Roh (Dewa Pitara). Disamping memuja Tuhan, Weda juga mengajarkan dan membenarkan memuja Roh Suci leluhur.

Dalam Kekawin Ramayana dinyatakan bahwa:
“Amat utama Sang DasarathaBeliau pandai tentang weda dan bakti pada Dewa (Tuhan)Tidak pernah lupa memuja leluhurAmat kasih beliau dengan seluruh keluarganya”.

Jika kita kaji petikan kekawin di atas, dapat kita pahami bahwa: agar dapat dirasakan keber “ada” an dan ke Mahakuasaan Tuhan yang paling baik dilakukan di tempat pemujaan. Mengapa…?? Lebih jauh dikatakan bahwa, ibarat mengambil susu kambing, meskipun semua tubuh kambing sebagai penyebab timbulnya susu kambing, tetapi air susunya dapat diambil dari puting susunya. Demikian pula halnya dengan upaya manusia untuk dapat merasakan keber “ada” an Tuhan Hyang Maha Esa dan Roh Suci leluhur tidaklah dapat dilakukan secara sembarangan, namun hendaknya dilakukan di tempat pemujaan.

images (9)Tempat pemujaan bila dikelompokkan berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi dua yaitu, tempat pemujaan Tuhan (Dewa Pratistha) dan tempat pemujaan Roh Suci leluhur (Atma Pratistha).

Tempat pemujaan Roh Suci leluhur disebut Pemerajan. Bentuk Pelinggih di Pemerajan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu, Pelinggih Inti dan Pelinggih pelengkap. Pelinggih inti disebut Kamulan dan pelinggih pelengkap terdiri dari pelinggih Taksu, Anglurah, Padma Sari, bahkan terkadang terdapat pelinggih untuk Dewa Hyang.

Dalam Lontar Ciwagama disebutkan bahwa, “… Bhagawan Manohari, Ciwapaksa sira, kindwa kinon de Cri Gondarapati, umaryanang Sadkahyangan, manista Madya motama, mamarista swadarmaning wang kabeh. Lyan Swadadyaning wang saduluking wang, kawan dasa kinon magawe pangtikrama. Wang setengah bhaga rwang puluhing saduluk, sanggarpratiwi wangumen ika, kamulan panunggalanya sowing”.
Artinya:
Begawan Manohari pengikut Ciwa beliau disuruh oleh Cri Gondarapati untuk membangun Sad Khayangan kecil, sedang maupun besar. Yang merupakan kewajiban semua orang. Lain kewajiban sekelompok orang untuk empat puluh keluarga harus membangun panti. Adapun setengah bagian dari itu yakni 20 keluarga, harus membangun Ibu. Kecilnya 10 keluarga Pratiwi harus dibangun, dan Kemulan satu-satunya tempat pemujaan yang harus dibangun pada masing-masing pekarangan keluarga.

Dari kutipan tersebut di atas jelas bahwa setiap orang yang telah berkeluarga (grehasta) yang telah menempati pekarangan perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kemulan.

Hal ini juga diperkuat dengan hasil keputusan pada pertemuan segitiga di Bedahulu antara 3 kelompok Agama sebagai wakil dari ke 6 sekte yang ada di Bali maka di dalam lingkungan masyarakat yang lebih kecil (keluarga) diharuskan untuk membangun Sanggah/Merajan, di Pekarangan masing-masing berupa pelinggih Rong Tiga yang biasa sidebut Sanggah Kamulan.

Sebagai umat yang ingin mendekatkan diri pada Sang Pencipta, maka langkah awal bagi setiap orang yang telah memasuki Grehasta adalah dengan mendirikan Sanggah Kamulan.

Sanggah Kemulan berasal dari kata Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah perubahan dari kata “Sanggar” artinya tempat pemujaan, Kamulan berasal dari kata “Mula” yang berarti akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Jadi yang dimaksud dengan Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber (Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan). Jadi yang dipuja di Sanggah Kamulan adalah Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan yang merupakan sumber atau asal dari mana manisia itu ada.

Kamulan atau Kawitan adalah merupakan sumber atau asal manusia itu sendiri. Manusia dalam bahasa Bali halus disebut “Jatma” yang berarti Roh yang lahir, dengan demikian Roh/Atmalah yang menjadi sumber adanya manusia.

Dalam Lontar Usana Dewa disebutkan bahwa: “Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen Bapa ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa Ibu ngaran Sang Ciwatma, ring Kamulan tengah ngaran raganya, yaitu Brahma, dadi meme, bapa meraga Sang Hyang Tuduh”.
Artinya:
Pada Sanggah Kemulan Beliau bergelar Sang Hyang Atma, pada ruang Kemulan kanan Ayah namanya Sang Hyang Paratma. Pada Kemulan kiri Ibu, disebut Ciwatma, pada Kamulan ruang tengah diriNya itu Brahma, menjadi purusa-pradana, berwujud Sang Hyang Tuduh.

Hal senada juga termuat pada lontar Tutur Gong Wesi, “… ngaran ira Sang Atma ring Kamulan tengah bapanta, ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa Ibunta, ngaran Sang Ciwatma, ring Kamulan madya raganta, Atma dadi meme bapa ragante, mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal, nunggalang raga …”
Artinya:
Nama Beliau (Tuhan) Sang Atma, pada ruang Kamulan kanan bapakmu, yaitu Sang Hyang Paratma, pada ruang Kamulan kiri Ibumu yaitu Sang Ciwatma, pada ruang Kamulan tengah adalah kamu, yaitu atma menjadi ayah ibu dan kamu menyatu menjadi Sang Hyang Tunggal, menyatukan wujud.

Jadi yang melinggih pada Sanggah Kamulan adalah Sang Hyang Triatma yaitu Paratma, Ciwatma dan Sang Hyang Tunggal/Tuduh.

Sedangkan dalam lontar Purwa Bumi Kamulan disebutkan bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Roh suci leluhur, seperti tersirat pada kutipan berikut: “Riwus mangkana daksina pangadegan Sang Dewa Pitara, tinuntunakene maring Sanggah Kamulan, yan lanang unggahakenna ring tengen, yan wadon unggahakena maring kiwa, irika mapisan lawan Dewa Hyangnya nguni” Artinya: Setelah demikian daksina perwujudan Roh suci dituntun pada Sang Hyang Kamulan, kalau roh suci dari perempuan dinaikkan disebelah kiri disana menyatu dengan leluhur terdahulu.

Lebih jauh disebutkan dalam lontar Purwa Bhumi, Kamulan, disebutkan bahwa, “… Begitulah caranya yang benar untuk berbakti kepada leluhur, kalau tidak seperti itu tidaklah selesai upacara untuk Dewa Pitara, Sang Dewa Pitara berkeliaran tidak mendapat tempat, maka diumpatlah keturunannya dan keluarganya, semua tertimpa penyakit, disakiti oleh Dewapitaranya, itulah sebabnya datang penyakit yang aneh-aneh tidak bisa diobati menurut ketentuan usada. Muncul penyakit ajaib, tingkah laku yang tidak patut, gila-gilaan, hati rusak, ogan, tunggah, ayan, bingung, sakit lemah, murung, sakit ingatan, sungsung baru dan juga menyebabkan boros kekayaannya habis tanpa sebab, selalu merasa kurang makan dan minum sebab telah dirusak oleh Bhuta Kala karena selamanya Dewapitara tidak mempunyai tempat. Atau tempatnya tidak menentu, karena keturunannya kurang bakti, kurang pengetahuan, kurang perasaan, karena hanya tahu merasakan kenyang dan lapar, tidak berjasa pada diri sendiri dan pula tidak berbakti pada leluhur.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa Sanggah Kamulan terdiri dari tiga Kosmos yaitu:
1. Bebaturan sebagai Bhur Loka, alam pitara yang belum diaben.
2. Lepitan sebagai Buah Loka/pitra loka, alamnya para pitara yang telah diaben.
3. Rong Tiga sebagai Swah Loka, alamnya Para Dewa, Atma yang telah mencapai “Sidha Dewata”.

Jadi jelaslah bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan Roh Suci yang telah mencapai alam dewa (Sidha Dewata) dan semua keturunannya wajib memuja roh yang telah suci itu. Karena amat besarlah pahala orang yang bhakti kepada leluhurnya. Kalau kurang bhakti pada leluhur apalagi tidak menstanakan di Kamulan maka kesengsaraan hiduplah yang akan dialami.

Sang Hyang Tri Atma adalah Hyang Tunggal/Tuduh yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta.

Menurut filsafat Siwa Tattwa disebutkan bahwa Tri Atma adalah:
1. Siwatma dengan dewanya Brahma wijaksaranya Ang
2. Sadasiwatma dengan dewanya Wisnu wijasaranya Ung
3. Paramatma dewanya Iswara wijaksaranya Mang.

Ketiga Dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Hal ini juga terdapat dalam mantram ngaturang bhakti ring Kawitan yaitu:
Om Dewa-dewa tri dewanamTrimurti tri lingganamTripurusa sudda nityamSarwa jagat jiwatmanam.
Artinya:
Om para Dewa utamanya tiga dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Iswara) adalah Trilingga. Tripurusa yang suci selalu adalah roh (Atma) atau semesta dengan isinya (Jagat).

Dengan demikian jelaslah yang menjadi jiwa (Atma) atau Roh dari jagat kita termasuk mahluk hidup, utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti, Tri Purusa.

Dewa Pitara yang distanakan di Pemerajan Kamulan karena telah mencapai alam kedewaan atau alamnya Sang Hyang Tri Murti, maka Dewa pitara itu diindentikkan dengan Sang Hyang Tri Murti.

Sehingga dapat kita pahami dan tegaskan bahwa, Sanggah Kamulan adalah perwujudan lingga Tri Murti yang merupakan pancaran dari Sang Hyang Widi Wasa. Secara mikro pelinggih rong Tiga ini adalah merupakan Khahyangan Tiga yang berada pada lingkungan keluarga.

Jadi Dewa Pitara yang telah mencapai alamnya Tri Murti dapat dipuja melalui Sanggah Kamulan. Dimana Dewa Pitara tersebut telah identik dengan Sang Hyang Tri Murti. Karena Dewa Pitara itu identik dengan Sang Hyang Tri Murti maka Dewa Pitara yang berstana di Kamulan disebut “Bhatara Hyang Guru” Bhatara Hyang disini adalah Dewa Pitara itu sendiri dan Bhatara Guru adalah Dewa Siwa, dalam fungsinya sebagai pendidik umat manusia.

Hal ini tersurat pada mantram ngaturang bakti ring kawitan yaitu:
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwan
Guru Pantara Dewanam
Guru Dewa Suddha nityam.
Artinya:
Om Guru Dewa, Guru sekala, Guru sekala-niskala dan Guru Purwan adalah Guru para Dewa, Dewa Guru suci selalu.

Matur suksma
Kirang langkung nunas ampura
Om Santih Santih Santih Om
~Jro Mangku Danu

sumber

RITUAL SUNGKEMAN DALAM AGAMA HINDU

$
0
0

Ritual sungkeman dalam masyarakat Jawa dan Bali, memang  tidak bisa dijauhkan dalam kehidupan  yang sudah modern seperti sekarang ini. Apalagi banyak pengaruh dari luar yang sangat kuat sehingga dibutuhkan orang yang mampu memberikan pemahaman pada generasi muda. Sebab masih banyak orang yang mengatakan kalau masih mepertahankan sebuah tradisi selalu dibilang “kuno” atau ortdoks. untuk bisa mempertahan kan tradisi tersebut, mari kita luruskan pandangan yang keliru. Terutama bagi mereka yang memandang ”aneh” tradisi sungkeman di kalangan umat Hindu. seperti halnya yang diperintahkan dalam Rgveda:
jyotismatah patho raksa dhiya krtan (Rgveda 10.53.6)
”Semoga engkau melindungi tradisi-tradisi mulia yang didirikan (dilembagakan) oleh para leluhur”

Sungkem Padasewanam hilangkan Nasib Sial
mungkin semeton hindu akan berpikir, umumnya, ritual sungkeman untuk menghilangkan Nasib buruk dilakukan kepada ibu kandung.
padesewanam bisa dilakukan di dapur, karena dapur merupakan wujud feminimisme (keibuan), kemudian dapur juga merupakan tempat berkumpulnya 5 unsur alam, diantaranya: tanah pertiwi), tempat air(apah), tempat api (teja), angin (bayu) dan ruang memasak (akasa). karena dapur merupakan tempat bertemunya 5 unsur dasar alam serta tempat yang bersifat feminim, maka dapur harus bersh, terang serta ada kegiatan memasak terutama ada kegiatan di rirun (tempat tunggu dapur dengan 3 ruang dengan 1 lubang cangkemnya.

etika sungkem atau padesewanam sejak dini, dengan mencium tangan orang tua terutama IBU saat akan melakukan kegiatan, baik memulai belajar/sekolah ataupun akan berangkat bekerja.

Tatacara Upacara Padasewanam/Sungkeman:
secara umum, ritualnya:
orang tua duduk, kemudian anak mencuci kaki orang tuanya dan mencium kaki dibagian bawah lutut orang tuanya.

secara terperinci, berikut ini ritualnya:
1. Anak mencuci kedua kaki orang tua dengan air kembang yang telah disiapkan, kemudian di lap kering.

2. Anak Mencakupkan Tangan di depan dada (sikap panganjali) dan mengucapkan mantra Guru Puja:
Om Guru Brahma Guru Wisnu,Guru Dewa Maheswara,
Guru Shaksat Param Brahma,Tasmei Shri Guruwe Namaha.

3. Anak melakukan Sungkeman/Padasewanam, dengan mencium ke dua kaki orang tua penuh kasih….sambil mengucapkan Mantra:
Om Namame Smaranam,
Om Padame Sharanam.

Diikuti dengan lantunan Mantram:
Om Twam Ewa Mata Ca Pita Twam Ewa
Twam Ewa Bandhus Ca Sakha Twam Ewa
Twam Ewa Widyam Drawinam Twam Ewa
Twam Ewa Sarwam Mama Dewa Dewa

4. Lalu ke dua orang tua memegang ke dua pundak si anak, seraya mengucapkan mantram:
Om Sarwesam Swasti Bhawantu
Om Sarwesam Santih Bhawantu
Om Sarwesam Sukham Bhawantu
Om Sarwesam Suputram Bhawantu
Om Sarwesam Sadhunam Bhawantu
Om Sarwesam Gunawan Bhawantu
Om Sarwesam Purnam Bhawantu

Lalu diberi pesan-pesan harapan dan doa (dengan bahasa sehari-hari)
Seusai sungkeman/padasewanam, dilanjutkan dengan dharma wacana/dharma tula.
Sesungguhnya budaya Sungkem adalah budaya Hindu. Sayang kita di Bali sangat jarang mengagendakan budaya sungkem setiap hari raya apalagi setiap harinya, tidak seperti saudara – saudara kita yang bersuku Jawa yang non-Hindu sangat disiplin dengan tradisi ini. Marilah kita menciptakan keluarga – keluarga yang bangga dengan indetitas Hindu, tradisi budaya Hindu Bali. Demikian sekilas tentang Sungkeman/Padasewanam dapat saya sampaikan, yang harusnya setiap Orang Bali WAJIB ketahui hal ini dan menjalankannya. semoga bermanfaat. –sumber

Merajan dan Rumah Susun

$
0
0

Sejalan dengan perkembangan jaman dan perkembangan penduduk yang semakin padat terutama di daerah perkotaan, menyebabkan lahan menjadi semakin sempit dan semakin berharga. Sebab itu kini untuk mengadakan pengembangan dan perluasan pemukiman diambil alternatif lain yaitu dengan cara vertikal yaitu membangun rumah susun atau rumah bertingkat (flat). Dengan dibangunnya rumah susun atau rumah bertingkat (flat), sebagian kebutuhan akan perumahan sudah dapat diatasi, namun bagi masyarakat Hindu di Bali, timbul permasalahan (problema) baru. Masalah (problema) ini menyangkut masalah tempat membangun Merajan atau Sanggah sebagai tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau Leluhur serta sebagai tempat untuk sembah bakti kepada Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dirumah susun atau rumah bertingkat (flat) tersebut. Rumah susun atau rumah bertingkat (flat) disamping pekarangannya sempit, sehingga sulit mendapatkan tempat untuk membangun Merajan atau Sanggah, ditambah lagi bahwa Merajan atau Sanggah itu harus didirikan di tempat yang dianggap suci. Terutama bagi mereka yang mendapatkan tempat pemukiman di rumah susun atau rumah bertingkat (flat) pada bagian bawah atau tengah. Jika mereka membangun Merajan / Sanggah letaknya dimana di atasnya ada kamar mandi/WC. Lain halnya yang mendapat tempat pemukiman paling atas, mungkin dapat membangun Merajan di atas pemukimannya atau di lain tempat.

Sedang bagi masyarakat Hindu di Bali keberadaan Merajan adalah untuk dapat melaksanakan dharma (kewajiban) selaku parati sentana (keturunan) terhadap nenek moyang atau leluhur. Apalagi adanya Bhisama (amanat) dari leluhur yang antara lain mengatakan demikian: ……yan kita lali lipya maring kahyanganta, moga kita amungpang laku, akweh prabedannya, hana kena hana keto, sugih gawe kurang pangan, tan wus apacengilan maring pasanakan, setata enemu rundah………, Terjemahannya antara lain sebagai berikut: …… apabila kamu lupa dan lengah terhadap kahyangan (Marajan, Pura Kawitan atau Padharman), mudah-mudahan tidak menentu jalan hidupmu, banyak halangannya, ada begini ada begitu, banyak bekerja kurang makan, tidak henti-hentinya cekcok di dalam keluarga, selamanya merasa gundah………

Oleh karena menemui kesulitan, maka jalan keluarnya ialah tidak membangun Merajan di rumah susun. Untuk dapat setiap saat melakukan pemuspaan (sembahyang) terhadap leluhur dan Ida Sangyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa atau perwjudan (manifestasi)-Nya, dapat dilakukan dalam bentuk Pelangkiran yang dibuat memakai Rong Tiga, sebagai pengubengan. Sedangkan Merajan di rumah asal (rumah tua) dijadikan penyungsungan (pemujaan) bersama sanak saudara lainnya.

Oleh karena pada Merajan atau Sanggah disamping sebagai tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur, juga disembah Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai prabhawa atau perwujudan (manifestasi)-Nya, ada baiknya diungkapkan padangan atau anggapan mengenai keberadaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Salah satu sumber dapat dipakai adalah Prasasti Ki Pasek yang menguraikan demikian:

  1. b. ……………….. ithi pwa ya mangkewuwusen maka panganjur ikang kata, uni kata ring acit, duk tan hana paran-paran, tan hana Surya, Candra, Wintang Bhumi, sakewala hana Sanghyang Embang, Maha Tunggal Agung Alit, niskala, nirjana, nir wikalpa ira kesatah suddha Dewa Ekam, Sanghyang Maha Tunggal, warna tan pawarna, tan hana kasmaran mwang kehalingan, hana saparan-paran anggek. Widhi Tattwa,nya Purana Dewa Tattwa, mwang yan ungguha ning Aksara Uttama, Windhu kayeki (0), maraga Sanghyang Windu, swaranya kadi karna kinikup, Widhi, nga, Kawi, Sanghyang Kawi, Windu, nga, embang, nga, pujung.
  2. a. nging puyung hana angebek, hana sparan-paran, tan pakawit tan patanggu, tan pawates, alungguh ring Cakrasunya, Maha Widya, Sanghyang Widhi, Maha Weruh, Maha Karuni, Maha Metri, angada aken yajna yogha……..

terjemahannya lebih kurang sebagai berikut :

  1. b. …………… inilah sekarang dibicarakan sebagai awal kisah, dahulu pada zaman bahari, ketika belum ada apa-apa, belum ada Matahari, Bulan, Bintang, Bhumi, hanya ada Sanghyang Embang, Maha Tunggal Besar Kecil, gaib belum ada manusia, tidak bersifat ragu-ragu, keadaannya suci ialah Dewa Tunggal disebut Sanghyang Tunggal, tidak berbentuk, tidak terikat rasa cinta, tidak mempunyai tempat tinggalnya, dan ada dimana-mana. Riwayat Widhi disebut Purana Dewa Tattwa, kalau pada huruf utama disebut Windu yaitu kosong (0), adalah Sanghyang Widhi, suaranya seperti telinga di tutup, Windu adalah Kawi disebut Sanghyang Kawi, Windu juga berarti kosong.
  2. a. Kosong tetapi penuh, ada dimana-mana, tidak ada awal dan tidak ada akhir, tanpa batas, berada di tempat yang kosong, sangat pandai disebut Sanghyang Widhi, Maha Tahu, Maha Penyayang, Maha Pengasih kemudian melakukan yogha samadhi…………..,

 

Demikian gambaran mengenai Brahman (Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa) yang memiliki sifat serba Maha yang berarti tidak bisa dicemari dan berada dimana-mana, baik ditempat suci maupun di tempat yang tercemar. Apa bila pengertian ini ditelan mentah-mentah dan dipakai pedoman di dalam menempatkan Merajan atau Sanggah dengan palinggih-palinggihnya (bangunan sucinya) maka tempat mendidikan Merajan tidak menjadi persoalan bagi mereka yang bermukim di rumah susun. Namun sebagai manusia yang tidak sempurna, tetapi memiliki norma-norma yang patut ditaati dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, begitu juga dapat memilih mana yang suci dan mana yang tercemar, maka tidaklah pantas atau etis menempatkan Merajan. Apakah kita dapat merasakan Merajan yang berada di rumah susun sebagai tempat suci apabila Merajan itu berada di bawah jamban atau kamar mandi tetangga di atasnya. Inilah salah satu kendalanya. Oleh karena itu untuk umat Hindu di rumah susun cukup membuat plangkiran dengan rong tiga untuk mengayat leluhur. (buyut) –sumber

Mengenal Asal Usul Gamelan Gong Kebyar

$
0
0

Gamelan gong kebyar sebagai seni musik tradisional Bali dalam sejarahnya yang ditulis babad bali, gong kebyar diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915.

Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar.

Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng). Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Ketut Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.

Perkembangan Gong Kebyar di Bali, seperti yang dikutip dalam catatan sukoco dalam blog http://etno06.wordpress.com terdapat tiga Gamelan kebyar yang berkembang di Bali yaitu :

  1. Gamelan kebyar yang bersumber dari Gong Gede,
  2. Bersumber dari gamelan palegongan.
  3. Murni buatan baru.

Yang pertama memiliki embat yang sesuai dengan embat gamelan gong gede yaitu agak rendah seperti yang banyak terdapat di Bali Utara. kelompok kedua menggunakan embat sama dengan embat gamelan palegongan (sumbernya) yaitu agak tinggi seperti yang sebagian besar terdapat di Bali bagian selatan, Gamelan-gamelan kebyar yang murni buatan baru sebagian besar ber-embat sedang seperti yang terdapat di berbagai daerah di Bali dan diluar Bali. Kenyataan ini menunjukan bahwa belum ada standarisasi embat untuk Gamelan kebyar di Bali.

Juga Dinamakan gong kebyar, menurut kutipan catatan blog ekadarmaputra dalam ISI Denpasar, Gong kebyar ditabuh untuk pertama kalinya menyebabkan terjadinya kekagetan yang luar biasa. Masyarakat menjadi tercengang dan ternak sapi yang sedang diikatkan di ladang dan di kandangnya terlepas dan lari tunggang langgang.

Disebutkan juga dalam catatan blog tersebut, gong kebyar merupakan tabuhan bersama dan serentak yang diikuti oleh hampir semua tungguhan pada perangkatnya kecuali tungguhan suling, kajar, rebab, kempul, bebende kemong, kajar dan terompong.

Bentuk kebyar merupakan salah satu bagian dari satu kesatuan gending yang letaknya bisa di depan, di tengah atau di bagian akhir. Jenis tabuhan kebyar ini sering digunakan pada iringan tarian maupun tabuh petegak (instrumental). Karena itu kebyar memiliki nuansa yang sangat dinamis, keras dengan satu harapan bahwa dengan kebyar tersebut mampu membangkitkan semangat.

Gong Kebyar merupakan salah satu perangkat/barungan gambelan Bali yang terdiri dari lima nada ( panca nada ) dengan laras pelog, tetapi tiap-tiap instrument terdiri sepuluh bilah.

Gong Kebyar bagi masyarakat Bali sudah tidak asing lagi, karena hampir seluruh desa maupun banjar yang ada di Bali memiliki satu perangkat/ barungan Gong Kebyar.

Oleh karenanya gong kebyar menjadi satu barungan gambelan tergolong baru jika dibandingkan dengan jenis-jenis gambelan yang ada saat ini seperti misalnya, gambelan Gambang, Gong Gde, Slonding, Semara Pegulingan dan masih banyak yang lainnya.

Barungan gong kebyar terdiri dari :

  • Dua buah (tungguh) pengugal/giying
  • Empat buah (tungguh) pemade/gansa
  • Empat buah (tungguh) kantilan
  • Dua buah (tungguh) jublag
  • Dua buah (tungguh) Penyacah
  • Dua buah (tungguh) jegoggan
  • Satu buah (tungguh) reong/riyong
  • Satu buah (tungguh) terompong
  • Satu pasang gong lanang wadon
  • Satu buah kempur
  • Satu buah kemong gantung
  • Satu buah bebende
  • Satu buah kempli
  • Satu buah (pangkon) ceng-ceng ricik
  • Satu pasang kendang lanang wadon
  • Satu buah kajar

Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama gambelan gong kebyar yaitu gambelan gong kebyar Bali Utara dan gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua gambelan gong kebyar ini perbedaannya terletak pada :

  • Tungguhan gangsa, Bali Utara bentuk bilah penjain dan dipacek sedangkan Bali Selatan menggunakan bentuk bilah kalorusuk dan digantung.
  • Gambelan Bali Utara kedengarannya lebih besar dari suara gambelan Bali Selatan, meskipun dalam patutan yang sama.

Dalam perkembangannya gong kebyar munculah istilah gaya Bali Utara dan gaya Bali Selatan, meskipun batasan istilah ini juga masih belum jelas. Sebagai gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng.

Sedangkan Kabupaten Badung, Tabanan, dan lain mengambil gaya Bali Selatan. Disamping itu penggunaan tungguhan gong kebyar di masing-masing daerah sebelumnya memang selalu berbeda karena disesuaikan dengan kebutuhan maupun fungsinya.

Fungsi Gong Kebyar
Sebagaimana kita ketahui lewat literatur dan rekaman telah tampak bahwa Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-geding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.

Sedangkan sebagai pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi.

Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk mengiringi tari kekebyaran. Namun sesuai dengan perkembangannya bahwa gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak.

Hal ini dikarenakan gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia mampu berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk tarian maupun gending-gending lelambatan, palegongan maupun jenis gending yang lainnya.

Disamping itu Gong Kebyar juga bisa dipergunakan sebagai salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari sakral, maupun jenis tarian wali dan balih-balihan.

Karena gong kebyar memiliki multi fungsi maka gong kebyar menjadi sumber inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi.

Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.

Sedangkan sebagai pelanjut tradisi Gong Kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Misalnya dalam gending gong kebyar kita mengenai istilah gegambelan, gender wayang dan gong luang.

Juga disebutkan dengan menggunakan iringan gamelan gong kebyar, dalam sejarah drama klasik di Bali, maka drama tersebut berganti nama menjadi drama gong.dan sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya. –sumber


Petaka Bunga Sumanasa

$
0
0

Indah nian bunga sumanasa yang tumbuh di tengah-tengah Taman Sriwedari. Bunga itu, buanga keabadian. Rata-rata, setiap bidadari yang lewat di sebelahnya berhasrat memetiknya. Kendati, mereka hanya bisa menelan liur manakala ingat akibat yang akan menimpa dirinya. Kenikmatan sesaat, penderitaan yang panjang. Suatu hari, tanpa disengaja, salah seorang bidadari bernama Arini yang sedang berdua dengan kekasihnya menyentuh bunga keramat itu. Bunga pun gugur. Menyikapi kejadian itu, Dewa Indra geram. Beliau, akhrinya menghukum Arini.

“Dibilang hukuman, bisa juga, yang pasti engkau harus mampu menggoda pertapaan seorang Rsi bernama Trna Windu. Jangan sampai gagal, ingat kata-kataku.” Kata Dewa Indra pada Arini.

Arini turun ke bumi. Dan, ia rasakan betapa panasnya situasi bumi. Tidak seperti di sorga yang adem dan sejuk. Kulitnya yang putih gading tak tahan lagi. Akhirnya, dia berteduh di tengah hutan rimba. Dalam perjalanan mencari tempat pertapaan Rsi Trna Windu. Ia telah melintasi jajaran pegunungan, diantaranya, dilewatinya gugus pegunungan Windya, Indrakila, kemudian Rewataka dan terakhir Gunung Gandamadana. Saat menuruni lereng Gunung Gandamadana, mata Arini tertumbuk pada sebuah gua tempat pertapaan yang memancarkan cahaya gaib.

“Maafkan hamba, yang lancang telah mengganggu ketentraman pertapaan…” ujar Arini pada sang pertapa.

Pertapa yang khususk melaksanakan meditasi terbangun. Matanya terbelalak, melihat seorang gadis cantik bersimbuh di hadapannya. Kendati paras Arini sangat menggairahkan. Rsi Trna windu tak terangsang. Sejak menjadi pertapa, ia sudah terbiasa mengendalikan nafsu, sehingga ia tak tergiur. Malahan ia bertanya dengan sopan, tentang asal-usul Arini. Penuh keyakinan, Arini menduga, sramana ini akan tertarik padanya. “Hamba sebenarnya dating dari surge Dewa Dharma. Beliau mengutusku, sebagai hadiah kepadamu yang telah berhasil melaksanakan kebaktian seorang pertapa. Terserah Tuan, saya siap melayani Tuan…” katanya berbohong.

Mendengar kata-kata Arini, Rsi Trna Windu mendelik, “Aku tahu, kau berbohong. Katakan sebenarnya, engkau diutus Dewa Indra untuk menggagalkan pertapaanku?”

“Tidak Tuan…”

“Kalau benar engkau utusan Dewa Indra, maka kukutuk engkau tak akan bisa kembali ke surga…”

Meledaklah tangis Arini. Ia tak menduga, kutukan Rsi Trna Windu akan dating tiba-tiba. Akhirnya, secara jujur ia mengakui kebohonannya. Dan, meminta sang Rsi agar mencabutnya lagi.

“Kutukan seorang Rsi, sangat pingit. Tak mungkin dicabut. Namun, aku bisa membantumu” ujar Rsi Trna Windu, penuh rasa iba. “Suatu hari nanti, kau akan lahir ke dunia. Menjadi seorang putrid Raja Widarba. Di sanalah, engkau berjumpa dengan kekasihmu yang kini berada di surge bersedia turun menjelma menjadi seorang pangeran berna Aja. Tatkala di puncak kebahagiaan kalian, tiba-tiba saja bunga sumanasa luruh ke bumi. Tepat jatuh dipangkuanmu, saat itulah pertanda ajalmu tiba…”

Sekian tahun berlalu, bidadari Arini akhirnya peroleh kesempatan menjalankan proses samsaranya. Ia lahir ditengah-tengah rakyat Kerthakesika di negeri Widarbha, dengan nama Dewi Indumati. Baginda Prabu dan seisi keratin sangat menyayangi putrid kerajaan berparas ayu ini. Bahkan kakandanya, Pangeran Bhoja sangat memanjakannya. Apapun permintaan adiknya, selalu dipenuhi. Ia pun merasa tersanjung.

Tiada lama, keindahan itu berlangsung. Ayahandanya, tiba-tiba saja jatuh sakit. Istana gempar, dan takdirnya pun menjemput. Ayahandanya berpulang. Indumati, yang biasa ceria berubah bertampang durja. Seperti telah direncanakan, beberapa selang waktu bundanya menyusul. Indumati semakin terguncang, sempat ia frustasi dengan cara menghabisi dirinya. Andaikata Pangeran Bhoja terlambat, Indumati pasti telah membiru. Akhirnya, berkat kesabaran Pangeran Bhoja, adiknya itu berangsur-angsur pulih dari derita psikis menahun.

Bulan berganti tahun, di bawah pengelolan raja muda Bhoja, negeri Widarbha menjadi negeri yang tangguh. Indumati sekarang bukan lagi remaja yang pemuram. Ia tumbuh menjadi putrid jelita berparas cahaya. Konon, semua negeri ingin mempersuntingnya menjadi mahkota idaman istana. Keadaan ini dirasakan sekali oleh Raja Bhoja. Dan, ia pun mengadakan sayembara. Di umumkan ke pelosok buana.

Alkisah, sampailah sayembara memperebutkan putrid Widarbha ke telinga Raja Ayodya, Raghu. Awalnya, ia tak tertarik. Namun, karena desakan putranya Pangeran Aja. Raja Raghu lantas memutuskan mengikuti sayembara itu dengan mengutus Pangeran Aja. Sesungguhnya, minat pangeran timbul berkat sentuhan keindahan syair seorang pengawi muda di istana Ayodya bernama Kawidosa yang merindukan kekasihnya di negeri seberang. Karena tekanan orangtuanya, cinta mereka terpisah. Pangeran Aja pun kasihan pada Kwaidosa. Ia ingin membantu, melalui jalan tidak langsung mempertemukan mereka di saat sayembara itu. Pangeran Aja tiada beban, andaikata ia tak berhasil mempersunting puteri Widarbha ia tak akan kecewa asalkan sang pengawi istana, sahabatnya itu, bahagia.

Perjalanan mereka tersandung oleh sungai Narmada. Seekor gajah liar muncul dari permukaan air menyerang mereka. Pangeran Aja yang sakti mandraguna berhasil menaklukan si gajah liar jelmaan Priyambhada, putra Raja Gandarwa Citraratha yang dikutuk Rsi Patangga. Priyambhada yang terbebas dari kutukan sangat gembira, seraya menganugerahkan panah sakti bernama Sang Mohana.

Pendek cerita, tibalah Pangeran Aja di negeri Widarbha. Semua mata tertuju padanya. Umpat iri dan dengki raja-raja peserta sayembara tertumpah padanya. Namun Pangeran Aja teguh hati. Sayembara pertama, kemampuan di bidang kesenian dan sastra, berkat kemampuan Kawidosa, Pangeran Aja mengungguli semuanya.

“Indah nian puisi penyair Ayodya itu…” kata Dewi Indumati pada dayang-dayang kesayangannya, Sunanda.

“Maaf, Tuan Putri, penyair itu adalah kekasih hamba. Ia bernama Jayawapsa. Dulunya ia pemuda miskin. Sehingga ayah hamba mengusirnya. Bertahun-tahun hamba merindukannya, tanpa sengaja kami bertemu disini.” Ucapnya sepenuh hati.

Usai sayembara ketangkasan, yang diungguli oleh Pangeran Aja. Rakyat negeri Widarbha bersorak-sorak. Kini giliran Indumati menjatuhkan pilihan. Ia berjalan membawa kalungan bunga di depan peserta, pertama raja negeri Magadha dilewatinya, lalu Awangga, Awanti, Anupa, Susena, Hemanggada, dan Pandya. Mereka pun kecewa luarbiasa. Pada saat langkahnya berada di hadapan Pangeran Aja. Wajah Indumati tersipu, lengannya mengulurkan rangkaian bunga, dikalungkan di leher Aja. Meledaklah, gemuruh tepuk tangan rakyat Widarbha. Pikiran mereka setuju, pilihan sang putrid tidak salah. Dan, mereka pun akhirnya menjadi pasangan serasi. Pesta pernikahan pun dilaksanakan di Widarbha.

Pangeran Aja memboyong putri Indumati ke Ayodya. Dalam perjalanan, mereka dicegat oleh persengkokolan raja-raja yang kalah dan kecewa. Namun, berkat panah Sang Mohana, semua raja terkapar pingsan. Perjalanan mereka selamat sampai di Ayodya.

Setelah Raja Raghu, menyerahkan tampuk pemerintahan Ayodya pada Pangeran Aja. Permaisurinya, melahirkan putra.

“Kanda, siapa nama putra kita?”

“Duh, permaisuriku. Ayodya akan menjadi negeri mahsyur di tangan putra kita. Menurut pewisik Hyang Narada, dari keturunan putra kita, akan lahir seorang titisan Dewa Wisnu yang akan meluruskan tatanan dunia. Maka kuberi nama putra kita, Dasaratha.”

Langit memancarakan cahaya biru terangnya semakin terang, pertanda kata-kata Raja Ayodya sangat pingit. Betapa bahagianya mereka. Menyambut kedatangan Dasaratha di dalam kehidupan keluarganya.

Suatu hari, mereka berlibur di tengah hutan. Raja Aja terinspirasi menulis puisi tentang kesedihan seorang kekasih yang bunuh diri. Indumati yang membaca lirik puisi itu sangat terkesan. Perlahan-lahan pikirannya menafsir lain, “aku takut, Aja akan meninggalkanku…” keluh batinnya. Wajah Indumati berubah murung. Mwlihat raut sedih istrinya, Aja menghiburnya, namun tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Sekuntum bunga jatuh tepat di dada Dewi Indumati. Setelah dipungut, diamati dengan seksama, bunga itu bercahaya keemasan.

“Tak mungkin bunga sembarangan…” begitu pikirnya.

Mendadak Indumati jatuh pingsan. Setelah sadar sebentar, ia pun meninggal. Saking cintanya, Aja sangat sedih ditinggalkan permaisurinya. Kesedihan itu, berubah menjadi kemarahan. Ia menuduh bunga itu penyebabnya. Lalu dibawa bunga itu pada seorang pertapa. Oleh pertapa, dijelaskannya, bahwa bunga itu bernama bunga sumanasa. –sumber

Uncal Balung Pantang Nangun Yadnya

$
0
0

Kuasa Sang Kala Tiga

Uncal Balung, kata ini sering terdengar dalam masyarakat Hindu Bali, terutama di kalangan mereka yang suka dengan kegiatan ritual keagamaan. Istilah uncal balung tak asing lagi, cuman bagi masyarakat awam mungkin mereka bertanya, apa itu uncal balung. Secara sederhana saja bahwa kurun waktu dari Galungan sampai dengan Buda Kliwon Pahang adalah yang disebut dengan masa uncal Balung. Mereka hanya tahu bahwa pada kurun waktu tersebut tak boleh ngae gae, artinya tak boleh merencanakan dan melaksanakan upacara baik itu manusa yadnya, pitra yadnya maupun dewa yadnya. Pokoknya sing dadi megaenan, tak boleh menjalankan kegiatan ritual, selain rangkaian hari raya Galungan sampai Kuningan tersebut. Pengecualian adalah upacara odalan dan terkait dengan kelahiran manusia seperti nyambutin, ngotonin.

Masyarakat Bali juga memahami bahwa acara nangun karya pastilah mereka menunggu sampai “apang mesalah buda kliwon” agar terlewati buda kliwon, maksudnya buda kliwon paang. Namun mereka tak pernah tahu kenapa tak boleh nangun yadnya, karena mereka mengikuti saja petunjuk dari orang tua atau yang mengerti akan hal tersebut, tanpa pernah repot untuk mencari jawabannya. Mereka berpikir kalau sudah tak boleh ya jangan. Tentang alasannya dan jawabannya ada pada orang yang memberi petunjuk. Demikian mereka berpikir.

Orang awam berpikir bahwa adanya larangan, kalau melanggar larangan itu pastilah ada sangsinya. Pastilah hukumannya tersebut hukuman niskala yang tak akan nada obatnya. Maka mereka akan mentaati ketentuan tersebut. Artinya mereka secara bebelogan berpikir bahwa ikuti saja petunjuk tersebut, yang penting selamat. Daripada mabet-mabet (sok tahu), kemudian berbuat sekehendak hatinya, lalu banyak menimbulkan kecelakaan dan kekacauan.

Kembali ke masalah uncal balung tadi, untuk ukuran di Denpasar dan Badung ketentuan uncal balung ini masih dipegang teguh oleh sima dan krama. Namun beberapa daerah di luar Denpasar, memang ada hal yang sangat kontradiktif. Seperti banyak orang melaksanakan upacara nganten pada saat Galungan, manis Galungan. Atau melaksanakan pitra yadnya pada masa uncal balung. Artinya semua itu sebenarnya sudah menyimpang dari sastra. Mereka pun enjoy aja secara turun temurun melanggar yang namanya ketentuan uncal balung tersebut, tanpa pernah terasa efek sekala dan niskala. Namun sebagian mereka mencari pembenaran dengan berlindung pada desa kala patra. Karena masing-masing wilayah, masing kelompok keturunan memiliki sima, memiliki dresta tersendri. Sehingga kerapkali dikatakan agama Hindu Bali bertengger pada desa kala patra berlandaskan Weda dan diukur dengan rasa. Inilah pemikiran bebelogan dari orang wikan di Bali. Bebelogan artinya bukan bodoh tetapi sejatinya orang yang pandai namun dapat menyederhanakan masalah. Sehingga tak terlibat dalam polemik, tak terlibat dalam debat kusir, tak terlibat dalam pro kontra mengenai sebuah konsep. Artinya orang wikan pastilah akan bisa membijaksanai situasi. Seperti halnya uncal balung tersebut, tak semua daerah atau tak semua orang menjalankan itu. Namun mereka ini melanggar apakah karena mereka tak tahu sastranya atau memang karena drestanya sudah seperti itu. Sekarang tergantung dari kesepakatan kita bersama sebagai krama Hindu Bali, apakah akan menggunakan sastra sebagai pegangan atau berpijak pada desa kala patra yang menyangkut sima dan dresta. Ini mesti menjadi bahan pemikiran dan bahan diskusi kita bersama.

Kalau boleh mengotak atik mengenai istilah, uncal bisa saja berarti ocel, kocak, lemah, ogel-ogel, ugal agil, tak stabil. Sedangkan balung artinya tulang, penyangga, kekuatan. Secara sederhana dan bebelogan bisa saja dipahami sebagai situasi atau waktu yang secara niskala atau fisik sangat lemah atau tak stabil. Kalau saat itu melaksanakan karya, maka dukungan alam niskala sangat lemah, artinya yadnya tak memiliki kekuatan. Aura yadnya mungkin akan lemah sekali. Atau bisa saja pada masa kurun waktu gangguan sekala niskala akan banyak dihadapi apabila melakukan karya yadnya. Sebab dalam filosofinya, bahwa kurun waktu sampai dengan buda kliwon pang adalah masih rangkaian Galungan artinya dibawah pengaruh Sang Kala Tiga yakni Kala Galungan, Kala Dungulan, dan Kala Amangkurat. Maka oleh sebab itu, diharapkan pada kurun waktu itu menjalankan tapa brata yoga semadi, sampai akhirnya dilebar atau ditutup pada buda klion pegatwakan.

Padahal kalau kita tinjau ke belakang lagi bahwa perayaan Galungan tak terlepas dari sejarah Sri Jaya Kesunu yang beryoga Samadi di Pura Dalem Puri adalah untuk mencari jawaban atas situasi prihatin kerajaan saat itu, dimana raja berumur pendek, dan rakyat yang tak sejahtera. Maka Sri Jaya Kesunu menjalankan laku pihatin, sehingga Hyang Betari Durga berkenan dan memberikan jawaban atas segala keprihatinan tersebut, dimana rakyat dan kerajaan mesti melaksanakan Galungan dengan benar. Karena sebelumnya perayaan Galungan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Karena pada hari Galungan Sang Kala Tiga Galungan akan turun ke dunia mendampingi para dewa.

Demikian juga dengan mitologi Mayadanawa, bahwa Galungan diawali dengan keprihatinan akibat dari peilaku dari Sang Raja Mayadanawa yang menganggap dirinya adalah sesuhunan manusia atau menganggap diri sebagai penguasa manusia dan mahluk hidup, sehingga ia melarang para pertapa untuk melakukan tapa brata yoga samadi. Atas semua itu lalu betara Indra turun dari kayangan bersama para Dewa yang lain dan manusia di dunia bersatu untuk menumpas kelaliman dari Sang Mayadanawa. Dan atas kemenangan tersebut dalam mitologinya dikatakan sebagai kemenangan dharma melawan adharma. Atas kemenangan tersebut manusia kembali dapat menyelengarakan upacara dengan suka ria, dan kembali melakukan tapa brata yoga samadi tanpa ada yang melarang.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, bahwa kemenangan diwujudkan dengan bersukaria melakukan apacara justru diselingi dengan suka ria yang lain, lalu mentradisi, sehingga makna dari Galungan itu semakin jauh dari hakekatya. Dan masa Uncal Balung pun menjadi kabur, memudar, lalu lenyap seiring dengan perkembangan jaman dan akibat kemabukan manusia akan kemenangan itu sendiri.

Uncal Balung sebagai bulan keprihatinan untuk mencapai kesucian jasmani rohani mesti perlu dipahami oleh umat, lalu ditradisikan sebagai tradisi spiritual, agar terhindar dari pengaruh negatif dari Sang Kala Tiga, dan untuk mendapatkan kekuatan para dewa. Pada masa Uncal Balung kekuatan rwa bineda sedang berada diantara manusia yakni kekuatan Dewata sebagai unsur positif dan kekuatan Kala yang berwujud Sang Kala Tiga Galungan sebagai unsur negatif.

Uncal Balung

Uncal Balung adalah penjabaran dari awal dan berakhirnya perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam Wuku Pahang. Waktu yang disebut dengan Uncal Balung adalah mulai dari hari Sugian Jawa untuk melakukan kegiatan etika dalam beryadnya sampai dengan Buda Kliwon Pahang. Selama 42 hari khusus untuk melakukan kegiatan memuja Tuhan dalam Wujud Tunggal, yang disebut dengan Sanghyang Tunggal. Maka dari itu, untuk kegiatan upacara yang lainnya dilarang untuk melaksanakannya apalagi upakara manusia yadnya (perkawinan. Sehari setelah uncal balung kegiatan upakara yang lainnya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Jadi nilai tattwa yang terkandung dalam uncal balung yang sering disebut dengan kemenangan Dharma melawan Adharma. Dengan membuang segala kotoran dalam diri manusia secara individu untuk meraih kecucian bahtin atas anungrah yang disebut Sang Hyang Tunggal.

Istilah Uncal Balung terdapat dalam lontar Sundarigama. Untuk jelasnya, dapat diperhatikan beberapa kutipan di bawah ini:

Pegatwakan, pegat artinya = putus, palas, lepas. Wak = raos, omongan. Balung = tulang. Pahang = nama wuku ke 16. Jadi Pegatwakan dapat diartikan secara singkat adalah menyudahi pembicaraan, yang dalam hal ini pembicaraan tentang wuku dungulan dan kuningan. Uncal atau nguncal artinya melempar, membuang. Uncal balung artinya hari antara Galungan dengan hari Rabu Kliwon Paang. Pegat Wakan atau Buda Kliwon Pahang ialah hari berakhirnya melakukan tapa brata karena telah berjalan selama 42 hari, terhitung dari Sugian Jawa s/d Buda Klion Pahang (Budha Kliwon Pegat Wakan). Uncal Balung, hari-hari pantangan untuk melakukan upacara yadnya. Filosofinya bahwa hari Buda Kliwon Pahang ialah menutup atau mengakhiri tapa brata sebagai pengekangan diri. Tata Susilanya (etikanya) adalah ngaturang idep dan selanjutnya melaksanakan hasil brata, tapa yang berguna untuk masyarakat, sebagaimana sebelum menjelang permulaan hari raya.

Sundra (2003), menguraikan bahwa Buda Klion Pegatwakan, ”kalinganing warah panelasing mangku dyana semadining wara Dunggulan, pralina ngaran. Kalingania Sang Wiku mwang sapara jadma kabeh, gelaraknea yoga semadhi, nunggaakna ring kahananira nguni, saha widhi widana sarwa pawitra; mawangi-wangi, mwang sesayut dirgayusa, katur ring Sang Hyang Tunggal, dulurana penyeneng mwang taledan.

Lontar Sindarigama lembar 17. b. koleksi Universitas Hindu Indonesia, menguraikan bahwa ”Buda Kliwon Pegatwakan, yatika pegating warah, manelasing dyana semadhining dunggulan, nga, wekasing pralina ngranasika, pakena Wiku lamakna sindyanasemadhi, umaring kala naya nguni, saha widhi widhananya sarwa pawitra, wangi-wangi, aturakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa, saha puja hatur ring Sang Hyang Tungal”. Artinya bebasnya Buda Kliwon disebut Pegatwakan, hari itu titik selesainya pemusatan renungan pikiran bersemadhi. Renungan itu disertai dengan upakara serba suci. Wangi-wangi dan sesayut dirgayusa, dihaturkan kehadapan semua Dewa, diserta puja kepada Sang Hyang Widhi.

Uncal Balung yaitu merealisasikan tattwa, etika dan upakara. Tattwanya adalah pengendalian diri dalam hidup ini untuk mencapai kesucian lahir dan bhatin, yang lebih sering disebut dengan Kemenangan Dharma melawan Adharma. Etikanya, semua umat Hindu harus melakukan usahan pengendalian diri selama 42 hari.

Tak Boleh Nangun Yadnya

Uncal balung erat kaitannya dengan perayaan hari raya Galungan, karena merupakan satu kesatuan. Hari raya Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan yang mempunyai makna yakni merupakan titik puncak kecermelangan alam sekala-niskala (widya). Hari raya Galungan adalah titik kulminasi dari pelaksanaan hari-hari suci lainnya. Pada hari Galungan, Sang Hyang Widhi turun ke dunia dalam prabawa sebagai Sang Hyang Siwa Mahadewa.

Kata Galungan berasal dari kata “galungang” yang artinya “tertancap sebuah panah” dan kata panah di sini memiliki maksud “manah” atau “hati sanubari”. Dengan demikian kata tertancapnya sebuah panah mengandung maksud “tercapainya titik tujuan untuk menuju kecemerlangan / dharma”. Oleh karena itu tercapainya tujuan ini, tergantung dari pribadi umat masing-masing. Demikian yang disampaikan oleh Ida Bagus Putu Sudarsana.

Saat Galungan itu mulainya uncal balung. Uncal = hilang dan balung = kekuatan, artinya saat itu selama tiga puluh lima hari setelah Galungan semua waktu kembali ke titik nol. Mengapa demikian? Ini merupakan hitungan samkya, yakni dihitung panca wara, sapta wara, dan wukunya menjadi hitungannya 7, 8, 4 jumlah menjadinya 19 yang dibulatkan menjadi “0” atau kosong. Inilah uncal balung yang artinya kembali seperti semula atau kembali ke “0” dalam artian semua kekuatan dewasa saat itu kembali ke titik nol yaitu titik dharma. Jadi aktivitas keagamaan saat sementara waktu yang berhubungan dengan dewasa uncal balung didispensasikan atau istirahat. Ini mempunyai tujuan agar manusia dan alam saat itu diberikan waktu untuk intropeksi diri karena turunnya dharma diharapkan kita sebagai manusia mengerti apa-apa yang sudah kita lakukan terhadap diri kita dan sesama.

Kekuatan yang ada saat itu kembali murni sesuai dengan aslinya, maka dewasa panca yadnya saat itu tidak ada. Kecuali hari kelahiran. Semua kekuatan saat itu murni, ini yang disebut dengan uncal (kembali atau hilang) atau orang yang memiliki jnana uncal balung adalah hari tapa dan yoga (sunia). Saat itulah orang melakukan tapa yoga untuk memurnikan hati kembali untuk melaksanakan ajaran dharma.

Dalam uncal balung masih ada rangkaian keagamaan yang kita lakukan yakni, sehabis Galungan, ada Umanis Galungan, hari Pemaridan Guru, Pemacekan Agung, sampai ke hari Kuningan, ini semuanya hari tapa dan yoga, sehingga kekuatan yang muncul adalah kekuatan dewata atau kekuatan Hyang Widhi kembali kepada dharma. Aktivitas manusia saat itu untuk panca yadnya yang berhubungan padewasan sementara tidak dilaksanakan, karena kita fokus pada rangkaian Galungan atau kekuatan dharma, tanpa diganggu dengan aktivitas yang lainnya. Kalau ada masyarakat mengadakan panca yadnya kecuali kelahiran seperi tiga bulanan atau otonan, maka upacara yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan. Para Wiku pun tidak akan melaksanakan ngelokapalasraya dalam kurun waktu uncal balung.

Akhir dari uncal balung adalah hari pegat wakan yaitu tiga puluh lima hari setelah Galungan disebut dengan pegat wakan, yang jatuhnya pada rabu kliwon-wuku pahang. Dikatakan sebagai hari pegat wakan karena merupakan batas terakhir dari tapa pelaksanaan hari raya Galungan dalam arti sebulan (bulan Bali) lamanya umat Hindu “anyekung puja mantra” yang maksudnya bagi umat Hindu tidak diperkenankan nibakang padewasan (sesuai dengan penjelasan di atas).

Kata pegat wakan terdiri kata pegat dan wakan. Pegat dapat diartikan “putus atau pelepasan” sedangkan kata waken berasal dari kata wakya yang artinya “sabda atau anyekung puja mantra”. Dengan demikian maksud dari hari pegatwakan adalah pada saat itulah melepaskan tapa dan yoga kita. Pada hari pegat wakan itulah segenap umat Hindu lagi melaksanakan upacara kecil berupa banten soda pada setiap pelinggih, serta melaksanakan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi. Adapun tata cara adalah pada pagi harinya menghaturkan banten soda setiap pelinggih, kemudian melaksanakan persembahyangan, sampai selesai metirta dan mamakai bija. Setelah itu barulah mengaturkan segehan di depan pelinggih. Setelah selesai menghaturkan segehan, barulah dilepaskan semua sampian-sampian yang ada di masing-masing pelinggih, bale, dan sampian penjor beserta hiasannya, lalu dikumpulkan jadi satu di suatu tempat di pekarangan rumah, kemudian dipercikkan tirta, dihaturkan segehan abang selanjutnya dibakar, abunya ditanam di pekarangan rumah. Dengan begitu selesailah rangkaian Galungan dan uncal balung dengan melaksanakan pegat wakan, saat itu umat kembali normal untuk menentukan padewasan untuk upacara yadnya tanpa kecuali.(kanduk supatra/ Ki Buyut Dalu) –sumber

Munyin Talenan, memberi kabar kepada Para Leluhur

$
0
0

Munyin talenan artinya suara talenan. Talenan adalah kayu sebagai alas untuk mencincang bumbu atau daging di dapur. Talenan dalam adat Bali adalah sesuatu benda yang sangat lumrah. Bahkan bagi mereka yang suka mebat atau ngelawar maka akan memiliki talenan lebih dari stau, bahkan ukurannya yang besar-besar. Talenan sendiri adalah sebuah produk kebudayaan masyarakat Bali sebagai pemeluk aliran Hindu Bali yang berkiblat pada ajaran Siwa Bhairawa. Dimana dewa pujaan tertinggi adalah Dewa Siwa namun dalam prakteknya lebih banyak melakukan ritual-ritual pemujaan kepada Sakti Dewa Siwa yakni Sanghyang Bhaiwara atau Dewi Durga. Menyediakan sesaji atau persembahan yang berisi beraneka ragam daging dengan segala olahannya untuk dipersembahkan kepada Hyang Maha Sakti, Sakti Dewa Siwa.

Dalam mempersiapkan berbagai macam sesaji dan caru tersebut yang menggunakan berbagai macam olahan memunculkan pula olahan-olahan dengan berbagai macam bentuk yang sejatinya oleh para leluhur telah durangkum dalam sebuah buku atau lontar yang berjudul Darma Caruban yakni lontar yang mengurai mengenai seluk beluk masakan atau olahan yang digunakan dalam sesaji dan untuk dikonsumsi.

Berbagai macam olahan yang dikenaa sampai saat ini seperti sate letlet, kablet, sate pusut, sate lembat, dll. serapah, komoh, lawar, jejeruk, gegode, ares, brengkes, tum, urutan, oret, dll. Semua itu adalah produk olahan dari hewan sembelihan yang bisa berupa babi, ayam, bebek, bahkan sapi dan kerbau.

Proses pengerjaan ini biasanya dilakukan tak sendirian alias dilakukan bersama-sama. Dalam keramaian tersebut lalu memunculkan suara talenan yang begitu ramai, begitu khas, yang menandakan di sana ada suatu pesta, di sana ada suatu pemujaan, di sana ada suatu kebersaman, dan di sana ada gotong royong. Jadi suara talenan yang begitu apakah itu di bale banjar di pura atau di bale maksan, adalah suara-suara kebersamaan. Para dewa dan leluhur demikian juga para bhuta kala akan senang mendengar sebab menyaksikan adanya sebuah kebersamaan adanya suatu persembahan dan pemujaan, Dan memang benar bahwa hasil olahan tersebut akan dipersembahkan kehadapan Ida Betara, kepada para leluhur dan juga kehadapan para penjaga ibu pertiwi yakni para bhuta kala. Sehingga semuanya akan mendapatkan kenyamanan dan keharmonisan hubungan.

Selain di pura, juga di rumah-rumah terdenar suara talenan baik itu suara tunggal maupun beberapa orang. Apalagi menjelang galungan, ini menandakan pula bahwa ada suatu kegiatan persiapan entah itu untuk upacara, untuk pesta dll. Dan ketika para leluhur mendengar dari kedituan (alam sana), maka leluhur akan teringat akan adanya pemujaan apakah itu hari raya yang datang atau suatu kegiatan tertentu. Artinya bahwa dengan suara talenan akan memberi kabar, mengingatkan pada para leluhur mengenai hari raya atau mengenai kegiatan tertentu. Sehingga dengan suara talenan akan mengingatkan akan leluhur untuk menengok ke rumah, menengok para pretisentananya yang sedang melakukan persembahan. Lebih-lebih saat hari Penampahan Galungan. Munyin talenan bagaikan kulkul banjar, secara otomatis juga memberikan kabar kepada masyarakat lingkungan bahwa yang bersangkutan sedang meolahan “memasak” seperti ngelawar dan sebagainya. Dari sana sebagai sebuah pertanda bahwa yang bersangkutan sedang punya hajatan entah itu upacara yadnya, upacara pernikahan, dll.(Kanduksupatra/ki buyut Dalu) –sumber

BEDOGOL, Kawasan Suci yang Terabaikan

$
0
0

”Jeneng cai cara bedogol” Yang dimaksud adalah sebuah patung yang berdiri di suatu tempat sendirian, biasanya di perempatan, peteluan (pertigaan) di tengah jalan. Atau kadangkala di tengah sawah ada sebuah tugu sering disebut bedugul sebagai pengulun sawah. Bedogol juga digunakan untuk menyebutkan orang yang perawakannya pendek gemuk.

Kalau jaman dahulu banyak kita temukan bedogol di tengah perempatan, namun saat ini hanya ada beberapa bedogol saja yang masih berdiri. Semua ini akibat pengembangan infrastruktur jalan dan keramaian lalu lintas. Sekarang bedogol dianggap sesuatu yang mengganggu lalu lintas jalan raya, sehingga banyak bedogol yang digeser bahkan banyak bedogol yang dihilangkan. Padahal para tetua Bali dalam menjalankan agamanya menempatkan perempatan dan bedogolnya sebagai salah satu kiblat dan tempat menjalankan ritual keagamaan.

Bedogol yang berada di tengah perempatan atau pertigaan adalah sebagai tugu peringatan bahwa di tempat itu merupakan tempat suci. Bedogol itu merupakan titik pusat dari kawasan itu. Sebagai tempat yang angker, tempat dimana tersimpan aura kesucian sekaligus kekeramatan, sehingga disimbolkan dengan bedogol (patung raksasa) sebagai kekuatan Dewa ya Bhuta ya. Artinya di sana adalah tempat memohon dan melepas. Memohon maksudnya adalah melakukan ritual tertentu kehadapan penguasa alam semesta atau kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa untuk memohon anugrah tertentu. Sedangkan melepas maksudnya adalah mengembalikan sesuatu yang tak diinginkan atau sesuatu yang tak baik agar kembali ke alamnya masing-masing. Tempat itu adalah titik pusat atau titik nol kilometer wilayah tersebut. Sehingga banyak orang melakukan ritual di perempatan. Ada ritual pemanggilan roh saat orang ngulapin atau ritual melepas mala ketika ditimpa marabahaya. Artinya di sana merupakan tempat pelepasan dan pemanggilan. Pempatan tersebut merupakan titik temu antara ruang dan waktu, antara kekuatan bhuta dan dewa. Di sana adalah pusat, di sana adalah titik nol dari alam semesta.

Segala macam ritual bisa dilakukan di pempatan, seperti Tawur Kesanga yang dilakukan di catuspata (pempatan agung), dalam ruang lingkup provinsi, catuspata kabupaten, catuspata desa, dan banjar. Catuspata merupakan pusat dari wewidangan tersebut. Perempatan agung merupakan titik pusat cakra dunia. Catuspata merupakan simbul dari tapak dara sebagai penyederhanaan dari suastika. Catuspata merupakan titik pusat dari kekuatan dewata nawa sanga, caturloka pala. Catuspata merupakan titik pertemuan sebelas Rudra (Eka dasa Rudra), manisfestasi Siwa yang berwujud menyeramkan. Catuspata adalah titik pusat dari padma buana. Di catus pata merupakan windu (titik nol) dari alam semesta.

Catuspata merupakan titik temu antar kekuatan Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja. Pempatan merupakan titik temu dari kekuatan bhuta dan kala yang disimbolkan dengan bedogol, sebagai sebuah peringatan kepada manusia akan kekuatan niskala dari pempatan. Perempatan diibaratklan sebagai samudara yang luas, diibaratkan angkasa raya maha luas atau diibaratkan alam semesta alam. Oleh karenanya, apa saja ada di sana, dan apa saja bisa dilakukan di sana.

Ritual yang dilakukan di perempatan seperti: 1) mebanten saiban/rarapan/canang setiap hari sebagai permohonan kehadapan Ida Sanghyang Whidi Wasa dalam prabawa sebagai dewa pempatan untuk memberikan kesejahteraan dan keselamatan kepada umat manusia 2) Ngulapin yakni ritual permohonan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa agar beliau berkenan mengembalikan energi seseorang yang terpancar secara tak disadari saat mengalami kecelakaan. Ngulapin juga dimaksudkan sebagai ritual penjemputan roh seseorang yang telah meninggal ketika akan diaben. Hal ini dilakukan apabila jasad yang bersangkutan tak ditemukan, atau jasadnya dikubur di luar daerah sehingga tak memungkinkan untuk membawa jasadnya kembali. 3) Melakukan ritual pecaruan dalam rangka Kesanga untuk mengharmoniskan alam semesta. 4) Mepiteh prasawya atau berputar di perempatan pada saat upacara ngaben adalah sebagai permakluman kehadapan Hyang Betara di perempatan sekaligus memohon petunjuk dan penerangan jalan menuju ke sunialoka 5) Membuang segala sesuatu yang bersifat negatif di perempatan seperti ritual ruatan/ penglukatan atau nebusin di perempatan 6) Melakukan upacara melancaran dan di setiap perempatan melakukan mesolah dihaturkan sesaji dengan harapan Ida Betara yang diiring melancaran berkenan turun ke dunia memberikan pemberkatan kepada alam semesta. 7) Dalam upacara karya di sebuah Pura Kayangan Tiga, maka setelah upacara berakhir dilakukan upacara nyenuk yang artinya upacara meajar-ajar atau beranjangsana keliling desa melewati beberapa pempatan di wilayah itu untuk memberikan anugrah kehadapan masyarakat karena telah melaksanakan upacara tersebut dengan tulus iklas. 8) Upacara pemasupatian atupun ngerehang juga dilakukan di perempatan. 9) Sarana pecaruan atau juga durmanggala (banten utuk pembersihan dari segala mala atau keletehan atau kekotoran secara niskala) setelah dilakukan upacara juga dibuang ke perempatan sebagai tempat yang terdekat. Selain itu juga dibuang ke sungai atau ke laut. Namu ke pempatanlah yang paling dekat.

Banyak dan seringnya dilakukan upacara menandakan bahwa amat pentingnya perempatan dalam kehidupan manusia Bali. Artinya catuspata memiliki nilai religious yang sangat tinggi dan memiliki aura yang niskala yang sangat kental. Manusia Hindu Bali pasti mengatakan bahwa perempatan adalah salah satu tempat yang suci sekaligus angker selain kuburan.

Dalam perkembangan sekarang ini, perempatan agung tak banyak mendapat perhatian. Demi kepentingan praktis, maka banyak pempatan dengan bedogolnya diabaikan begitu saja. Artinya sikap religius masayarat sekitarnya mengenai perempatan sudah semakin meluntur. Dengan demikian menyebabkan aura perempatan menjadi tak harmonis lagi, dan sudah pasti mengakibatkan sesuatu yang tak harmonis juga di lingkungan tersebut. Misalnya menyebabkan banyak kecelakaan, adanya perkelahian atau kericuhan lainnya, dll. Karena tak banyak dilakukan proses penyucian maka aura tersebut menjadi bersifat negatif, atau sifat bhuta yang menonjol. Keadaan ini sudah pasti menyebabkan terjadinya sifat-sifat bhuta yang mengganggu.

Mengingat pentingnya catuspata dalam kehidupan manusia Bali, maka sudah barang tentu mulai saat ini perempatan mesti dipelihara dan dilestarikan keberadaannya sebagai sebuah kawasan suci, sebagai kawasan religius. Perempatan adalah stana Ida Betara Dalem (Siwa) dalam prabawa beliau sebagai “dewan pempatan” yang disebut dengan Ida Sanghyang Catur Bhuana, dan aspek bhuta dari kekuatan dewata dari pempatan bergelar Sang Buta Kala Dengen.

Perempatan dipercaya sebagai sumbu cakra dunia. Artinya dengan melakukan ritual di perempatan maka manusia berusaha memelihara perputaran cakra dunia agar tak terhenti. Apabila perputaran cakra dunia berhenti, maka proses kehidupan di dunia juga akan terhenti. Ini artinya dengan melakukan yadnya secara berkesinambungan di catuspata maka manusia telah memelihara perputaran cakra. Artinya, dengan yadnya yang dilakukan tersebut manusia telah memelihara alam semesta.

Perputaran cakra yang secara terus terus-menerus melalui yadnya tersebut menyebabkan kehidupan terus berlangsung. Perputaran cakra ke arah yang positif tersebut bagaikan perputaran Gunung Mandara yang akan mengeluarkan “amerta” untuk kehidupan manusia. Keluarya amerta inilah yang akan dinikmati manusia dalam bentuk perputaran kehidupan, perputaran ekonomi, dan limpahan bahan makanan sandang serta ketentraman.

Kembali ke masalah bedogol yang sudah hampir tak ada, segenap lapisan masyarakat, pemerintah semuanya mesti memusatkan perhatian kepada bedogol sebagai sebuah simbol titik nol kehidupan, sebagai simbol alam raya, sebagai simbol pemutaran cakra dunia, bedogol sebagai pusering jagad. Oleh karenanya bedogol mesti kembali dipasang. Bedogol mesti ditempatkan di setiap perempatan dalam rangka memutar kembali cakra dunia untuk memperkuat pancaran taksu alam semesta khususnya tanah Bali.

Bedogol adalah patung tak berbunyi, tak bergerak. Ia sendirian berada di tengah perempatan. Si bedogol itu memberi peringatan kepada manusia yang lewat di sana bahwa kita sedang berada di persimpangan. Artinya bedogol ingin mengatakan “tempuhlah jalan yang semestinya agar tak tersesat, dan hati-hatilah”. Mungkin begitu ingin ia katakan kepada setiap manusia yang lewat di sana. Namun karena perkembangan jaman, banyak yang mengabaikan keberadaan bedogol di perempatn jalan, bahkan sudah tak ada lagi. Masyarakat banyak melakukan ritual di pinggir jalan dan bukan di tengah perempatan karena keramaian jalan dan kawatir terserempet lalu lintas. Maka banyaklah manusia yang tersesat dan berada di persimpangan jalan.

Mengingat dari semua itu maka apapun alasannya, yang namanya bedogol dan perempatan mesti dipelihara dengan baik kesucian dengan segala aspek ritualnya. Masyarakat harus tetap memelihara agar ada ruang melakukan ritual di tengah perempatan yang disebut dengan catuspata. Akan lebih terasa auranya kalau sebuah pempatan dipasang bedogol (patung berbentuk raksasa) yang kecil dengan segala aktivitas ritualnya, dibandingkan dengan memajang patung adipura yang besar namun kering makna. (Ki Buyut/Kanduk) –sumber

MAKNA UPACARA MEPRANI

$
0
0

Tulisan ini bukan untuk menggurui siapapun. Ini hanyalah catatan mengenai pemahaman saya tentang meprani yang selama ini banyak yang bertanya, apa sih meprani itu? mengapa meprani? dan sebagainya. Setelah sekian lama pertanyaan itu tersimpan di dalam pikiran sambil mencari jawabannya dalam sastra, yantra, mantra, adat budaya, serta cerita para tetua, maka tersusunlah catatan ringkas ini.

Upacara Meprani yang dilakukan di banjar pada saat satu hari menjelang Nyepi sejatinya hanyalah salah satu dari sekian banyak rangkaian upacara kesanga yang diawali dengan melasti, mecaru pemarisuda bhumi, meprani, ngerupuk, Nyepi (nyatur brata), ngembak geni.

Upacara meprani di banjar pada pagi hari sejatinya diawali dengan upacara pemarisuda bhumi (pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar. Upacara ini bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun) sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, pengharmonisan Panca Maha Buta. Dilengkapi dengan banten durmanggala sebagai sarana untuk membersihan kedurmanggalan atau energi – energi yang tak sejalan dengan kehidupan manusia, dilanjutkan dengan pengulapan yakni sarana untuk mengembalikan energi – energi alam semesta ke posisinya masing – masing, dan dilanjutkan dengan ngelis dan prayascita yang maknanya adalah membersihkan dan menyucikan segala yang ada di dunia baik bhuana agung maupun buana alit, sekala dan niskala. Dengan upacara mecaru ini diharapkan energi alam semesta kembali dalam keseimbangan, bersih, tenang, dan suci. Inilah mengapa kemudian disebut dengan pemarisuda bhumi.

Lalu untuk ruang lingkup yang luas dilanjutkan dengan caru di tingkat desa yang dilakukan di catus pata desa dengan menghaturkan caru panca sata. Dilanjutkan lagi dengan yang lebih luas yakni untuk tingkat kabupaten / kota dengan pelaksanaan tawur di pusat kota. Demikian seterusnya dalam sekala yang lebih besar, dengan harapan alam semesta beserta dengan isinya kembali dalam kesimbangan (stabil) yang dalam bahasa balinya disebut dengan gumi degdeg / gumi enteg suci nirmala.

Kembali ke upacara yang dilaksanakan di banjar yakni meprani. Prani memiliki dua pengertian. Yang pertama pengertiannya adalah “mahluk” (sarwa prani / semua mahluk), kedua pengertiannya adalah “hidangan” yakni soda atau persembahan (dapat berupa gebogan) yang dilengkapi dengan hidangan nasi, lawar, sate, dan kuah.

Banten prani ini dihaturkan oleh setiap keluarga banjar, dibawa ke banjar. Dan ketika menghaturkan prani, banten ditempatkan langsung di hadapan krama yang menghaturkan prani. Banten prani kemudian di-astawa oleh jero mangku, dan tentunya juga oleh seluruh krama dengan cara ngayab. Jadi upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan banten serta hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani) dan alam semesta.

Setelah dilakukan bhakti pepranian (meprani) semua krama beramahtamah dengan makan bersama menikmati nasi, lawar, sate serta kuah yang ada di banten prani tersebut, sebagai simbol anugrah amerta Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada kita semua. Acara ini memiliki nilai sosial yakni kebersamaan antar sesama warga. Untuk makan bersama ini di beberapa tempat masih berlangsung. Meprani tidak saja dilakukan di banjar menjelang nyepi, namun tradisi meprani juga dilakukan di beberapa desa dan pura di Bali yang dilaksanakan pada bagian akhir dari rangkaian karya. (Ki Buyut/ Kanduk). –sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live