Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Makna dan Tingkatan Upacara Mawinten

$
0
0
Mewinten atau Pewintenan adalah Upacara Yadnya yang bertujuan untuk pembersihan diri secara lahir dan batin. Kata Mawinten sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki makna “bersinar” dan “kemilau”. Dan bila diuraikan Mawinten memiliki pengertian sifat yang mulia, yang bersinar dan berkilauan yang mengindikasikan bahwa orang yang melaksanakan upacara ini secara lahir dan bathin akan disucikan, berkilauan dan bersinar bagaikan permata yang juga bisa bermanfaat bagi kehidupan banyak orang.
 Umat Hindu di Bali meyakini, wajib hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja.
Tingkatan Upacara Mawinten
Dalam Mawinten ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari keadaan orang yang akan menjalankannya :
  1. Mawinten dengan ayaban pawintenan saraswati sederhana adalah upacara pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, yang melaksankannya pawintenan ini, yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.
  2. Mawinten dengan banten ayaban bebangkit upacara medium adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana yang berfungsi sebagai pelindung manusia, yang melaksankannya pawintenan ini para tukang, sangging, tukang banten, dll.
  3. Mawinten dengan ayaban catur upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang melaksanakannya pawintenan ini para sulinggih : pemangku, dalang, pendeta, dll.
Pada umumnya pelaksanakan upacara Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan Piodalan di Pura yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi nyurud hayu adalah memohon keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur.
 
Tempat Upacara Mawinten
Tempat penyelenggaraan upacara Mawinten ini umumnya di Pura. Prosesi Mewinten untuk Pemangku, biasanya dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di
Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan.
Adapun pemimpin upacara Mawinten adalah seorang Pendeta (sulinggih). Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan Mawinten ini disebut Pawintenan ke Widhi. –sumber

Aturan Upawasa Atau Puasa Dalam Ajaran Hindu

$
0
0
Upawasa merupakan bagian brata, dan brata bagian dari brata-yoga-tapa-samadi, yang menjadi satu kesatuan dalam konsep Nyama Brata. Kewajiban warga Hindu menggelar bratayoga-tapa-samadi diisyaratkan dalam kakawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut.
“Hana mara janma tan pamihutang brata-yoga-tapa-samadi angetul aminta wiryya suka ning Widhi sahasaika, binalikaken purih nika lewih tinemuiya lara, sinakitaning rajah tamah inandehaning prihatin.”
Artinya:
Ada orang yang tidak pernah melaksanakan brata-yoga-tapa-samadi, dengan lancang ia memohon kesenangan kepada Widhi (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ambisius) dan tamah (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.
Tegasnya, bila ada orang yang tidak pernah menggelar brata-yoga-tapa-samadi lalu memohon sesuatu kepada Hyang Widhi maka permohonannya itu akan ditolak bahkan akan mendatangkan penderitaan baginya. Yang dimaksud dengan brata adalah mengekang hawa nafsu pancaindra, yoga adalah tepekur merenungi kebesaran Hyang Widhi; tapa adalah pengendalian diri; samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri total sepenuhnya pada kehendak Hyang Widhi.
Jadi berpuasa yang baik senantiasa disertai dengan kegiatan lainnya seperti di atas, tidak dapat berdiri sendiri. Upawasa batal jika melanggar/tidak melaksanakan brata-yoga-tapasamadi. Untuk kesempurnaan berpuasa, disertai juga dengan ber-dana punia, yaitu memberikan bantuan materi kepada kaum miskin.
Aturan-aturan berpuasa bermacam-macam, antara lain:
Upawasa yang dilaksanakan dalam jangka panjang lebih dari sehari, di mana pada waktu siang tidak makan/minum apa pun. Yang dinamakan siang adalah sejak hilangnya bintang timur daerah timur sampai timbulnya bintang-bintang di sore hari;
Upawasa jangka panjang antara 3-7 hari dengan hanya memakan nasi putih tiga kepel setiap enam jam dan air klungah nyuh gading;
Upawasa jangka pendek selama 24 jam tidak makan/minum apa pun disertai dengan mona (tidak berbicara), dilaksanakan ketika Siwaratri dan sipeng (Nyepi);
Upawasa total jangka pendek selama 24 jam dilaksanakan oleh para wiku setahun sekali untuk menebus dosa-dosa karena memakan sesuatu yang dilarang tanpa sengaja; puasa itu dinamakan santapana atau kricchara;
Upawasa total jangka pendek selama 24 jam dilaksanakan oleh para wiku setiap bulan untuk meningkatkan kesuciannya, dinamakan candrayana.
Ketika akan mulai berpuasa sucikan dahulu badan dan rohani dengan upacara majaya-jaya (jika dipimpin pandita) atau maprayascita jika dilakukan sendiri. Setelah itu haturkan banten tegteg daksina peras ajuman untuk menstanakan Hyang Widhi yang dimohon menyaksikan puasa kita.
Ucapkan mantram:
Om Trayambakan ya jamahe sugandim pushti wardanam, urwaru kam jwa bandanat, mrityor muksya mamritat,
Om ayu werdi yasa werdi, werdi pradnyan suka sriam, dharma santana werdisyat santute sapta werdayah,
Om yawan meraustitho dewam yawad gangga mahitale candrarko gagane yawat, tawad wa wiyayi bhawet.
Om dirgayuastu tatastu astu,
Om awignamastu tatastu astu,
Om subhamastu tatastu astu,
Om sukham bawantu,
Om sriam bawantu,
Om purnam bawantu,
Om ksama sampurna ya namah,
Om hrang hring sah parama siwa aditya ya namah swaha.
Artinya
“Ya, Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, hindarkanlah hamba dari perbuatan dosa dan bebaskanlah hamba dari marabahaya dan maut karena hanya kepada-Mu-lah hamba pasrahkan kehidupan ini, tiada yang lain. Semoga Hyang Widhi melimpahkan kebaikan, umur panjang, kepandaian, kesenangan, kebahagiaan, jalan menuju dharma dan perolehan keturunan, semuanya adalah tujuh pertambahan. Selama Iswara bersemayam di puncak Mahameru (selama Gunung Himalaya tegak berdiri), selama Sungai Gangga mengalir di dunia ini, selama matahari dan bulan berada di angkasa, semoga selama itu hamba sujud kepada-Mu, ya Hyang Widhi.” –sumber

BAGAIMANAKAH AKIBATNYA JIKA KITA LUPA AKAN KAWITAN

$
0
0
Mengetahui Makna dan Sejarah Kawitan di Bali
Kawitan berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal mula manusia adalah Tuhan, maka sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Jadi Kawitan adalah pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali.
Pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Bahwa roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya.
Sejarah Kawitan
Di luar Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di jawa kawitan tidak sedetail di Bali, yang ada adalah dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatanya tidak sekuat konsep kawitan di Bali.
Mengenai adanya banyak kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Jika misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana kawitan tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri.
Makna Pura Kawitan
Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya.
Lupa Akan Kawitan
Pernahkan semeton sering merasa tidak tenang, tentram atau sakit-sakitan. Itu bisa jadi kemungkinan karena melupakan kawitan / leluhur. Tidak berarti leluhur menyakiti / membuat tidak merasa nyaman, akan tetapi agar kita tidak melupakan para leluhur dan selalu berbhakti kepada leluhur. Karena itu merupakan salah satu penerapan dari pelaksaan Panca Srada. Pengertian Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu.
1. Percaya terhadap adanya Brahman (percaya akan adanya Sang Hyang Widhi)
2. Percaya terhadap adanya atman (percaya akan adanya Sang Hyang Atman)
3. Percaya terhadap adanya karmaphala (percaya akan adanya hukum karma phala)
4. Percaya terhadap adanya punarbhawa (percaya akan adanya kelahiran kembali)
5. Percaya terhadap adanya moksa (kepercayaan akan terjadinya persatuan Atman dengan Brahman bila Atman sudah suci)
Mungkin ada semeton yang masih dalam Pencarian Keyakinan Diri atau Pencarian Apakah Kawitannya, hendaknya sering-seringlah sembahyang dan Meditasi . Memohon petunjuk kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan keteguhan hati yang kuat serta kesabaran. Niscaya akan diberikan jalan yang benar menuju ke Kawitan.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada makna dan sejarah yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi. suksma. –sumber

Kalender Kayu Penuntun Terbaik Petani Bercocok Tanam Padi

$
0
0
Sebelum ditemukannya kertas, masyarakat di Bali memanfaatkan kayu untuk menandai hari baik. Kalender kayu disebut tika yang artinya hari. salah satu pewaris kalender kayu atau tika ini adalah Wayan Jeger, 75 tahun dari Semana Badung Bali.
Dia sudah sejak kecil mengetahui keberadaan tika yang disimpan khusus oleh tetua di kediamannya. Dalam tika terdapat kotak berisikan nama hari dan nama wuku. Setiap pertemuan keduanya menunjukkan simbol tertentu. Ada hari baik untuk membuat rumah dan juga hari baik untuk melakukan upacara perkawinan.
Tika biasanya digunakan untuk mendapatkan hari terbaik dan akibatnya bila bertemu dengan bulan tertentu atau di Bali disebut sasih. Misalnya walaupun hari baik untuk membongkar rumah suda ditemuka, tapi bila sasih atau bulan sedang buruk, maka pembongkaran ditunda lebih dulu.
“Misalnya hari membongkar rumah bertepatan dengan musim hujan, pasti harus diundur sampai beberapa minggu, karena bila tetap dibongkar semua barang dan bahan untuk memperbaiki rumah akan basah kuyup selain tukang juga tidak akan maksimal mengambil pekerjaan,” tukas ayah 3 putra ini.
Yang lebih rumit juga ada disebut sarining wariga, setelah ditemukan hari baik, maka ditelusuri lagi urip dina, atau naptu dalam bahasa Jawa. Dengan menggabungkanya maka bisa ditentukan kebaikan dan keburukan apa yang dilakuka hari itu.
Misalnya perkawinan yang walau dilandasi cinta tapi bila urip dina si istri lebih tinggi dari si suami yang terjadi adalah istri lebih dominan dalam mengatur segalanya. Dengan tika juga bisa ditentukan kapan hari baik untuk mulai menggarap sawah.
Dan setelah ditemukan hari baik, harus dicocokkan juga dengan darma pemaculan, yakni pedoman upacara yang mesti dibuat oleh petani. “Pedoman bisa  berupa sajen dan perangkat yang mesti disediakan mulai dari pembukaan lahan pertama sampai saat panen tiba,” tambahnya.
Setiap petani setelah menemukan waktu tanam yang baik akan melakukan upacara yang namanya ngendag. Saat mencangkul pertama dari sudut paling ujung timur, mereka membuat canang yaknya rangkaian aneka kembang yang diberi bermacam wewanginan dengan alas janur. Setelah itu barulah pencangkulan atau pentraktoran bisa dimulai.
“Begitu lahan usai dicangkul didiamkan lagi selama tiga hari agar bekas jerami membusuk karena akan jadi pupuk nantinya,” ungkap Jeger.
Saat tiba masa tebar benih, ada lagi sesajen yang mesti disiapkan berupa kojong dan nasi takilan, serta jumlah bibit yang ditebar berdasarkan urip hari seperti yang terdapat dalam tika.
Semuanya serba teratur, bahkan saat padi mulai berbuah, sampai menjelang panen tiba. “Ada yang namanya mantenin, ketika di sudut sawah dipasang bambu diberi bendera kecil, serta berbagai sesajen,” ujar Jeger.
Dengan berbagai ritual yang cukup rumit itu petani bekerja dengan sepenuh hati karena pekerjaannya senantiasa dilindungi oleh penguasa alam, begitu keyakinan mereka. Saat tanaman diserang hama, atau hamparan sawah kekeringan karena hujan turun terlambat, petani juga membuat acara yang disebut dengan nangluk merana.
Terakhir yang sekarang sedang marak di persawahan adalah, petani yang menjual sawahnya untuk kebutuhan mendukung kepariwisataan. “Mereka juga harus membuat upacara mralina carik, artinya menghentikan semua kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, digantikan dengan kegiatan bisnis, semuanya termuat dalam darma pemaculan juga dalam tika,” tambahnya.
Setelah sawah berubah jadi hotel dan spa maka kegiatan seperti ngurit, ngendag dan sejenisnya berhenti selamanya, digantikan dengan kegiatan dugem, joging, pijat dan mabuk.
“Yang membuat prihatin, bila sawah dijadikan hotel semua, petani mesti mengerjakan apa untuk tetap hidup,” tuturnya sambil menggantung tika kayunya. –sumber

Bahasa Bali Akan Tetap Lestari! Ini Rahasianya

$
0
0

Dalam pergaulan yang serba terbuka sekarang ini, meski banyak mengalami perubahan, bahasa Bali diyakini akan tetap lestari. Takkan punah. Yang ada justru pengembangan. Sebab, seperti bahasa Jawa bagi orang Jawa dan Bahasa Sunda bagi orang Jawa Barat, bahasa Bali merupakan bahasa Ibu bagi masyarakat pulau Dewata.

Keyakinan itu disampaikan oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Bali I Wayan Tama.

“Bahasa Bali sebagai bahasa ibu, seperti halnya bahasa Jawa tidak akan punah,” ungkapnya.

Menurutnya, suatu bahasa Ibu takkan punah bila penggunanya cukup banyak dan memiliki tradisi selain wicara yang juga menggunakan bahasa yang sama.

Bahasa Bali, terang Wayan Tama, jumlah penuturnya tergolong banyak, bahkan sebagian besar keluarga di Bali menggunakannya. Disamping dalam percakapan di lingkungan keluarga, masyarakat Bali juga memiliki tradisi menulis huruf Bali. Belum lagi dalam berbagai pertunjukan kesenian seperti Wayang Kulit, Bondres, Arja, Drama Gong, Geguritan, dan lain sebagainya, juga menggunakan bahasa Bali.

“Dalam pergaulan, dalam upacara agama, maupun dalam percakapan dalam keluarga, Bahasa Bali senantiasa digunakan. Di samping itu, Bahasa Bali juga punya tradisi tulisan,” paparnya.

Diakui oleh Wayan Tama, memang ada perubahan atau pergeseran dalam penggunaan bahasa Bali dalam dasawarsa terakhir. Namun hal ini tidak membuat penggunaan bahasa Bali menjadi berkurang. Yang ada, dalam pengamatannya, justru pengembangan, yakni penyesuaian bahasa asing atau luar Bali ke dalam bahasa Bali.

“Orang Bali memang juga mengambil istilah-istilah baru yang tidak ada dalam kosa kata Bahasa Bali, seperti kata televisi atau handphone, yang diadopsi dalam perakapan Bahasa Bali,” kata Tama.

Itulah yang membuat bahasa Bali akan tetap lestari, takkan punah. Terlebih-lebih, menurut Wayan Tama, posisi bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu juga diperkuat oleh kebijakan Pemerintah Daerah Bali yang telah memasukkan Bahasa Bali sebagai muatan lokal dalam kurkulum pendidikan yang wajib diajarkan pada murid dari tingkat SD, SLTP hingga SLTA.

Catatan Redaksi:

Dalam pengamatan POPBALI, belakangan ini di Bali mulai berkembang jenis banyolan baru. Beberapa diantaranya mengikuti trend nasional. Bondres yang dikemas dengan format menyerupai “Overa Van Java” misalnya. Atau tampilan solo ala “standup comedy.” Semuanya diadaptasi dan menggunakan bahasa Bali. Kreativitas seperti ini patut diapresiasi.

Perkembangan menarik lainnya, sehubungan dengan upaya pelestarian bahasa Bali di era digital sekarang ini, adalah hadirnya dukungan dari Google. Sejak 15 Februari 2013, perusahaan mesin pencarian (search engine) terbesar di dunia ini menghadirkan halaman muka pencarian berbahas Bali yang disebut dengan “Google Basa Bali.” Menurut POPBALI, Ini merupakan bentuk pengakuan bahwa bahasa Bali memiliki jumlah pengguna yang dinilai cukup tinggi.

“Sebagai bahasa daerah yang digunakan oleh 4 juta orang, kami berharap bahasa Bali di Google akan memudahkan lebih banyak lagi pengguna internet menemukan informasi yang mereka butuhkan,” papar Rudy Ramawy, Head of Country Google Indonesia, dalam press rilisnya saat peluncuran.

Dua bahasa daerah di Indonesia yang tersedia sebagai pilihan dalam laman muka mesin pencarian Google, sampai saat ini, hanya Bahasa Bali dan Bahasa Jawa. –sumber

Bagi Anda Yang Punya Bayi, Godaan Bayi Baru Lahir Sering Menangis Menurut Agama Hindu

$
0
0
Begitu bayi lahir, maka umur 1 minggu pertama akan datang para dewa, yang diutus Shang Hyang Siwa untuk menggoda bayi. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya.
Malam yang datang pertama adalah Bhatara Khala, berwujud asu ajag datangnya saat pada matahari terbenam, sandi khala. Datang menjilat-jilati si bayi, bila bayi terkejut dia akan menangis/karuan alias kakab-kakab.
Malam kedua, datang Bhatara Brahma, berwujud Sapi, menggoda dan menjilat-jilat bayi pada saat semua orang sedang tidur. Bila bayi terkejut maka dia akan menangis.
Malam ketiga, datang Bhatara Wisnu, berwujud celeng menggoda bayi. Datangnya pada saat tengah malam, lalu menjilati bayi, bila si bayi terkejut dan takut dia akan menangis.
Malam keempat – petang bengi – datang Bhatara Guru berwujud burung perkutut. Selanjutnya  secara berturut turut datang Bhatara Mahadewa berwujud kambing. Bhatara Yama berwujud shanggira. Bhatara Kuwera berupa tikus. Bhatara Pritanjala berupa burung emprit. Bhatara Langsur berupa manjangan. Bhatara Ludra berupa sapi nandini. Bhatara Surya berupa ular, dan  Bhatara Chandra berupa kucing.
Tapi bila si bayi tidak takut, tidak terkejut, atau malah senang di goda dan dijilati oleh binatang binatang itu tadi, maka dia akan tersenyum-senyum, tertawa tawa, atau berbicara sendiran.
Setelah kepus udel, kepus puser atau seminggu setelah kelahirannya si bayi, akan lebih besar lagi godaanya. Karena bukan para dewa lagi yang datang, melainkan para lelembut, roh halus, wong samar, gumatat gumatit. Tapi jangan takut dulu, karena yang datang itu, tidak lain adalah perwujudan sang catur sanak si bayi sendiri. Seperti :
  1. Kutilapas kethek (lutung) perwujudan dari bungkus/lamas
  2. Celeng demalung perwujudan dari yeh nyom/ketuban
  3. Asu ajeg perwujudan dari ari ari
  4. Kalasrenggi (banteng) perwujudan dari getih/darah
  5. Kalamurti (kebo) perwujudan dari puser/udel
  6. Kalarandin (menjangan) perwujudan dari ilu/idu/air liu
  7. Kralawelakas (kidang) perwujudan dari kunir/kunyit
  8. Tikus jinada perwujudan dari ceplekaning ari-ari
  9. Taliwangke perwujudan dari ususing ari-ari
Begitulah adanya seorang bayi atau rare, mulai kelahirannya sampai tutug kambuhan,bulan pitung dina atau 42 hari, akan selalu di goda oleh para dewa serta saudara-saudaranya. Hal ini hendaknya tidak membuat anda bingung dan takut. –sumber

Pantangan Bagi Suami Yang Istrinya Sedang Hamil Menurut Hindu-Bali, Wajib Anda Ketahui

$
0
0
Setiap tempat selalu mempunyai tradisi atau kepercayaan tentang sebuah pantangan-pantangan. Khususnya dalam kepercayaan Hindu di Bali, jika istri sedang hamil ada beberapa pantangan bagi suami yang tidak boleh dilakukan. Berikut pantangan bagi para suami yang saat ini istrinya sedang hamil khususnya menurut Hindu di Bali.
Pantangan Hamil Secara Umum
Pada umumnya pantangan yang tidak boleh dilakukan bagi suami yaitu :
  1. Menjelekkan, menghina, merendahkan orang lain
  2. Menyiksa binatang
  3. Makan atau minum berlebihan apalagi sampai mabuk
  4. Berjudi
 
Pantangan Hamil Dalam Kanda Pat Rare
Dalam ajaran Kanda Pat Rare juga dijelaskan pantangan  yang tidak boleh dilakukan bagi suami  yaitu :
  1. Tidak membangunkan istri yang sedang tidur.
  2. Tidak melangkahi (ngungkulin) istri yang sedang tidur
  3. Pada saat istri yang sedang hamil itu lagi  makan, dilarang anglawatin (membayangi dengan bayangan badan) terhadap nasi atau makanan yang sedang dimakannya.
Dalam ajaran kanda pat rare diyakini bahwa, perkembangan bayi berkaitan dengan penstanaan para dewa di tubuh bayi, demikian juga para leluhur mulai berhubungan dengan bayi anda. Sehingga untuk menghormati beliau yang sedang berhubungan dengan pembentukan bayi dalam kandungan, hendaknya suami menghormatinya dengan cara tidak melangkahi ataupun membangunkannya dengan mengkejutkan pada saat istri anda tidur.
Pantangan Hamil Dalam Lontar Eka Pertama
Dalam Lontar Eka Pertama juga dijelaskan hendaknya seorang suami melakukan swadharma agar menurunkan anak yang baik (dharma putra), yaitu tidak diperkenankan:
  1. Membangun rumah
  2. Memotong rambut
  3. Menyelenggarakan pengangkatan anak
  4. Membuat pagar rumah atau pagar ladang
  5. Memperistri wanita lain
  6. Selingkuh
Larangan-larangan berlaku bagi suami tersebut, konon merupakan petuah dari Bhatara Brahma yang disampaikan kepada Bhagawan Bergu.
Sedangkan yang sebaiknya dilakukan oleh para suami ketika istri sedang hamil  menurut Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, dan Mahabharata, adalah sebagai berikut :
  1. Membuat perasaan istri tenang/ damai/ aman/ terlindungi
  2. Melakukan derma (Drwya Yadnya – dana punia)
  3. Rajin sembahyang, bersamadhi, bermeditasi
  4. Membaca Mahabharata
  5. Pada usia kehamilan 7 bulan, adakan upacara megedong-gedongan (kalau mungkin/ bisa) Kalau tidak, sembahyang biasa ditujukan kepada Bhatara Guru (Sanghyang Widhi) mohon keselamatan bayi dan ibunya.
  6. Mengendalikan panca indria, bila mampu berpuasa setiap bulan purnama dan tilem.
Disamping itu, pada saat istri hamil, bila ia sedang makan, hendaknya jangan diajak bicara, apalagi diberi kata-kata kotor, kasar, keras yang membuatnya tersinggung dan sakit hati. Karena, Sang Hyang Urip sedang bersemayam pada orang yang sedang makan.
Itulah sebabnya kemudian muncul mitos yang mengatakan, tidak boleh membunuh orang yang sedang makan, walaupun dia seorang penjahat atau musuh sekalipun. Maka dari itu, bagi suami-istri agar semua pikiran, perkataan dan perbuatan, diarahkan pada ajaran-ajaran kebajikan (dharma), agar terhindar dari malapetaka, baik bagi mereka berdua, maupun anak yang dikandungnya.
Larangan Untuk Wanita Yang Hamil
Jika dalam tradisi agama Hindu di Bali pada umumnya untuk wanita yang sedang mengandung tidak diperbolehkan untuk melakukan upacara mepandes atau potong gigi
Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka. Penjelasan:
1. Mepandes adalah suatu upacara yang menyebabkan diri cuntaka.
Lamanya cuntaka, saat dia naik ke bale petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan mabeakala. Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan waktu antara 1-2 jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu kena cuntaka.
2. Bayi atau jabang bayi yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede – lepra, aids dll).
Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan. –sumber

Tri Hita Karana

$
0
0

Secara etimologi Tri Hita Karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, kesejahteraan, dan karana berarti penyebab. Jadi Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan. Hal ini diwujudkan dalam hubungan yang harmonis antara :

  1. Manusia dengan Tuhan YME (parhyangan)
  2. Manusia dengan manusia (pawongan)
  3. Manusia dengan lingkungan / alam (palemahan)

1. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan YME

Bagaimana kita menjalin hubungan yang harmonis dengan Tuhan? Apakah bisa, ketemu saja tidak? Tuhan memang tidak dapat dilihat tetapi bisa dirasakan. Menjalin hubungan dengan Tuhan, tidak harus bertemu atau melihat beliau. Itu hal yang tidak mungkin bila Tuhan dalam keadaan transenden, apalagi awidya yang menutupi begitu tebal dalam diri kita. Lalu dengan apa menjalin hubungannya? Dengan memahami dan melaksanakan ajarannya. Bila dikaitkan dengan Panca Yajna, dalam hal hubungan dengan Tuhan termasuk Dewa Yajna. Pengorbanan yang tulus ikhlas kepada para dewa, seperti merayakan hari raya saraswati, siwalatri, sembahyang, dan sebagainya.

2. Hubungan harmonis manusia dengan manusia

Manusia hendaknya menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama, supaya tercipta hidup yang rukun, tentram dan sejahtera. Dalam ajaran Hindu kita mengenal Tat Tvam Asi, semboyan inilah yang seharusnya dijadikan pondasi untuk menjalin hubungan dengan sesama. Bila menyakiti orang lain, sebenarnya itu sama dengan menyakiti diri-sendiri. Bila semua orang berpikiran demikian, tentunya kedamaian akan tercipta. Bila dikaitkan dengan Panca Yajna hubungan dengan sesama dapat diwujudkan dengan rsi yajna, pitra yajna, dan manusa yajna, seperti memberi punia kepada para Sulinggih, upacara dari bayi hingga pernikahan, menghormati orang yang lebih tua, dan sebagainya.

3. Hubungan harmonis manusia dengan alam lingkungan

Manusia hidup didunia tidak lepas dari keterikatan dengan alam lingkungan. Hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan tidak akan berhenti ketika manusia itu hidup. Tetapi terkadang sifat rakus manusia membuat alam menderita. Eksploitasi alam secara besar – besaran tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkannya. Banyak contoh akibat dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab itu, seperti globalwarming, lumpur lapindo, dan sebagainya. Oleh karena itu jadilah. Oleh karena itu menjalin hubungan harmonis dengan lingkungan hendaknya kita lakukan. Bila dikaitkan dengan Panca Yajna hubungan dengan lingkunagan ini dapat diwujudkan dengan Bhuta Yajna, seperti mecaru, segahan, dan sebagainya.

Ketiga hubungan ini memiliki kesatuan yang utuh dan saling berhubungan. Kita ambil contoh saat melakukan piodalan pura / upacara yajna lainnya. Didalam kegiatan tersebut entah sadar atau tidak kita telah melakukan ketiga hubungan ini. Hubungan dengan Tuhan, sudah jelas yajna itu ditujukan kepada Tuhan. Yang kedua hubungan dengan manusia, saat kita ngayah disitulah terjadi hubungan ini, saling membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas, berkomunikasi dengan baik dan menumbuhkan rasa kekeluargaan. Dan yang terakhir hubungan dengan lingkungan, sudah jelas didalamnya ada mecaru.

Terimakasih atas attentionnya, semoga tulisan ini bermanfaat. Dan apabila ada kesalahan dalam penulisan, tutur kata dan lainnya penulis mohon maaf… –sumber


Yajna

$
0
0

Yajna berasal dari bahasa sansekerta dari akar kata Yaj yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban.  Yajna diartikan sebagai korban suci yang tulus ikhlas. Di Indonesia penulisan yajna lazim ditulis dengan yadnya, artinya tetap sama. Yajna memiliki pengertian yang lebih luas disbanding upacara Yajna. Yajna memiliki dimensi yang luas yaitu meliputi filsafat, etika, dan ritual. Sedangkan upacara yajna dari segi wujudnya lebih menonjolkan segi ritual, meskipun didalamnya terbungkus filsafat dan etika. Yajna pada hakekatnya adalah suatu perbuatan perluasan suci yang dilandasi dengan ketulusikhlasan untuk mengabdi kepada Tuhan YME dan segala ciptaannya.

Lalu apa yang menjadi dasar kita melakukan yajna? Di dalam Atharva veda, XII.1.1 disebutkan:

“ Satyam brhad rtam ugram,

diksa tapo brahma yajnah prthivim dharayanti,

sa no bhutasya bhany asya patynyurumlokam”.

Artinya:

Kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan suci (rta), tapa brata, doa, dan yajna, inilah yang menegakkan bumi. Semoga bumi ini , ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang lega bagi kami.

Selain itu di dalam kitab Bhagawadgita III.10 disebutkan:

“ Saha-yajnah prajah srstva

Purovaca prajapatih,

Anena prasavisyadhvam

Esa vo ‘stv ista-kama-dhuk”.

Artinya:

Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan menusia melalui yajna, berkata : dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagai sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).

Dari sloka diatas dapat kita simpulkan bahwa yajna merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini. Tuha telah menciptakan manusia dengan yajna, dan dengan yajna pulalah manusia berkembang dan memelihara kehidupannya. Kesucian diri  dan keikhlasan tentunya menjadi dasar dalam beryajna.

Nah sekarang kita bahas makna dan tujuan kita melakukan yajna…

1. Sebagai pengejawantahan ajaran Veda

Sudah jelas bahwa didalam Veda banyak disebutkan tentang  yajna. Seperti sloka-sloka yang mendasari kita melakukan yajna. Jadi Yajna merupakan aplikasi dari ajaran Veda.

2. Sebagai rasa terima kasih

Kehidupan ini pada hakekatnya memiliki ketergantungan dengan yang lain. Ada 3 ketergantungan dalam hidup manusia yang membawa ikatan hutang (rna). Ketiga hutang (tri Rna ) yaitu:

  1. Dewa Rna : ketergantungan pada Tuhan yang telah menciptakan kehidupan, memelihara dan memberikan kebutuhan hidup. (dibayar dengan Dewa yajna dan Bhuta yajna).
  2. Rsi Rna : ketergantungan kepada Rsi yang telah memberikan pengetahuan Suci untuk membebaskan hidup ini dari kebodohan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir batin. (dibayar dengan Rsi yajna).
  3. Pitra Rna : Ketergantungan kepada leluhur yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkan diri kita.(dibayar dengan Pitra yajna dan Manusa yajna).

Dari uraian di atas menjelaskan bahwa salah satu tujuan kita melakukan yajna adalah sebagai bentuk rasa terima kasih, baik kepada Tuhan, rsi, leluhur, sesama manusia,maupun kepada bhutakala.

3. Untuk mencapai sorga

“ tiga ikang karya amuhara swarga, lwirya tapa, yajna, kirti”. Artinya ada tiga jalan untuk mencapai sorga yaitu tapa, yajna dan kirti.(agastya parwa)

4. Untuk melepaskan diri dari ikatan karma

“ apan ikang karma kabeh kaentas krta tekapaning yajna niyatannya”. Artinya segala karma itu akan dapat dibebaskan dengan pelaksanaan yajna yang sesungguhnya.( bhisma parwa)

5. Untuk mencapai kebebasan

Dalam Bhagawadgita IV.31 disebutkan  mereka yang makan sisa persembahan, sebagai amrta , mencapai Brahman yang kekal abadi, dunia ini bukan bagi yang tidak beryajna, apa pula dunia yang lain, wahai Arjuna.

Selanjutnya kita akan membahas tentang macam” panca yajna…

1. Menurut Manawadharmasastra III.73

– Ahuta : mengucapkan doa-doa suci weda

– Huta : persembahan dengan api homa

– Prahuta : upacara bali / bhuta yajna

– Brahma huta : menghormati para brahmana

– Prasita : persembahan tarpana pada para pitara

2. Menurut Bhagawadgita IV.28

– Drweya yajna : berdana punia dengan harta

– Tapa yajna : mengendalikan indriya

– Yoga yajna : melakukan astangga yoga

– Swadyaya Yajna: mengendalikan diri belajar sendiri pada Tuhan

– Jnana yajna : beryajna dengan ilmu pengetahuan

Nah panca yajna yang kenal pada umumnya bersumber dari Agastya parwa yaitu: dewa yajna, rsi yajna, pitra yajna, manusa yajna dan bhuta yajna, yang ini ga perlu dijelaskan pasti udah tau semua…

Sebagai penutup kita bahas tentang kualitas Yajna menurut Bhagawadgita tepatnya pada Adhyaya XVII sloka 11,12,13…

1. Satvika yajna

“ yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah satvika”.

Yajna yang satvika meliputi :

–          Sradha : dengan keyakinan

–          Lascarya : tulus ikhlas

–          Sastra : berpedoman pada sastra Veda

–          Daksina : sesari ( tanpa daksina ibarat api tanpa panas )

–          Mantra gita : weda, genta, kidung

–          Anasewa  : jamuan

–          Nasmita : tidak untuk pamer

2. Rajasika yajna

“ tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran, dan semata-mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah wahai Arjuna, yajna itu bersifat rajas”. Yajna yang bersifat rajas merupakan yajna yang dilakukan dengan penuh pengharapan akan hasilnya, untuk pamer dll.

3. Tamasika yajna

“ dikatakan bahwa yajna yang dilakukan tanpa aturan(bertentangan) dimana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan tamas”. Yajna yang tamasika dilakukan dengan cara yang tidak baik, tidak ikhlas, asal-asalan, tidak mengikuti petunjuk sastra, tanpa mantra, tanpa daksina.

sumber

Sapta Timira

$
0
0

Kata Sapta Timira berasal dari bahasa sansekerta dari kata “sapta”yang berarti tujuh, dan kata “timira” yang berarti gelap,suram, (awidya). Sapta timira berarti “tujuh kegelapan” adalah tujuh unsur atau sifat yang menyebabkan pikiran orang jadi gelap. Ketujuh unsur kegelapan tersebut ada pada setiap diri manusia. Sifat awidya yang ada pada diri manusia apa bila tidak dikendalikan akan menimbulkan berbagai macam tindakan kejam,seperti marah,kejam,denki,iri hati ,suka mempitnah,merampok dan yang lainnya. Semua sifat dan tindakan itu adalah bertentangan dengan agama yang disebut,sifat prilaku Adharma .

Pembagian Sapta Timira

1. Surupa atau kemabukan (lupa daratan) karena wajah atau rupa yang tampan, ganteng atau cantik. Kegantengan atau kecantikan seseorang kadang kala menyebabkan yang bersangkutan menjadi angkuh, sombong dan tinggi hati. Semestinya kegantengan atau kecantikan wajah dibarengi dengan perilaku yang baik, budi yang luhur. Orang yang ganteng atau cantik, hendaknya dapat mengendalikan diri dengan membuang jauh-jauh sikap dan perilaku yang tidak baik.

2. Dhana atau kemabukan (lupa daratan) karena banyak mempunyai harta benda atau kekayaan. Banyaknya harta benda yang dimiliki sering kali menyebabkan seseorang menjadi lupa diri, menepuk dada, angkuh dan sombong dan tidak ingat dengan teman-temannya. Pada hal kepemilikan harta benda seyogyanya dibarengi dengan dharma, perilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama. Karena itu orang yang memiliki banyak harta benda seyogyanya dapat menjaga diri, tidak menepuk dada atau tidak sombong dengan harta bendanya.

3. Guna atau kemabukan (lupa daratan) karena mempunyai kepintaran atau kepandaian. Orang yang pintar juga kadang lupa diri, menganggap orang lain tidak tahu apa-apa. Orang seperti ini cenderung angkuh dan kurang disukai oleh masyarakat. Oleh karena kepandaian semestinya dibarengi dengan perbuatan yang baik, disertai dengan budi pekerti yang luhur. Kepintaran semestinya diamalkan, dipergunakan untuk maksud-maksud yang baik, sehingga dapat membantu masyarakat yang kurang mempunyai pengetahuan.

4. Kulina atau kemabukan (lupa daratan) karena keturunan. Faktor keturunan juga sering mengakibatkan orang lupa diri. Seorang keturunan bangsawan, keturunan raja, kadang kala juga menganggap remeh orang lain yang tidak seketurunan. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi orang tersebut. Keturunan orang-orang terkenal, berpangkat atau bangsawan, sebaiknya mempunyai perilaku yang baik, berbudi luhur sejalan dengan ajaran agama. Mereka seharusnya dapat menjadi panutan dapat memberikan contoh yang baik terhadap masyarakat sekitarnya.

5. Yowana atau kemabukan (lupa daratan) karena masa remaja atau masa muda. Anak muda remaja karena kurang pendidikan dan pengalaman, sering kali lebih menyukai kebebasan dan hura-hura, sering kali sok jagoan dan suka berkelahi. Sebaikanya semasa masih remaja, anak-anak itu diberi pendidikan agama yang memadai, diberi pelajaran mengenai etika, bagaimana harus berperilaku di dalam masyarakat, sebagaimana harus membawa diri dan lain-lain, supaya mereka dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Masa remaja adalah masa yang baik untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bagi nusa dan bangsa serta agama.

6. Sura atau kemabukan (lupa daratan) karena minuman keras. Minuman keras merupakan musuh yang sangat buruk. Ia dapat membuat orang mabuk, lupa diri dan berbuat yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Karena itu manusia beragama sebaiknya menjauhi minuman keras.

7. Kasuran atau kemabukan (lupa daratan) karena merasa mempunyai keberanian. Keneranian kadang kala membuat orang lupa diri. Keberanian tanpa disertai dengan pikiran yang sehat dan baik dapat mengakibatkan kerugian atau kesulitan bagi orang lain maupun yang bersangkutan sendiri. Keberanian hendaknya selalu dilandasi oleh kebenaran dan Dharma, oleh perbuatan yang luhur sesuai dengan ajaran agama.

sumber

Tri Mala

$
0
0
Tri Mala adalah tiga bentuk prilaku yang bertentangan dengan Tri Kaya Parisudha yang meliputi :
  1. Kasmala, perbuatan yang hina dan kotor (leteh).
  2. Mada, perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor. Tidak usah dipelihara sebab wak purusya ini akan bisa mendatangkan penderitaan dan dijauhi teman-teman.
  3. Moha, pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
Prilaku – prilaku asubha karma manusia yang sangat kotor atau tidak baik tersebut disebutkan sangat perlu dihindari untuk mengurangi dosa.

“Sehingga pada saat bayi berumur 42 hari atau bulan pitung dina disebutkan perlu dilaksanakan upacara kambuhan agar membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif tri mala ini.
Sebagai tambahan, pada zaman kali yuga juga disebutkan dengan adanya Gumi kemalaan tersebut dimana manusia banyak melakukan dosa, sehingga menurut Lontar Widhi Sastra disebutkan upacara yadnya ngusaba nini dan ngusaba desa yang dilaksanakan oleh desa adat hendaknyalah
dilakukan secara bersamaan yang bertujuan untuk tegaknya hati nurani kembali dalam memelihara kebenaran sehingga terhindar dari prilaku yang penuh dosa.
 –sumber

Seni Tari dan Jenisnya Dalam Hindu

$
0
0

Seni tari tentunya hal yang tidak asing lagi bagi kita, sekarang malah banyak sekali macam-macam tarian baik yang tradisional maupun yang modern. Seni tari merupakan suatu karya seni yang ditampilkan melalui media gerak sehingga menimbulkan daya pesona. Mengingat dalam perkembangannya sekarang, begitu banyak macam tari maka umat Hindu mengelompokan seni tari menjadi tiga kategori, yaitu :

1.       Seni Tari yang Termasuk Wali

Seni tari yang termasuk Wali sifatnya sakral. Suatu tarian yang mengandung simbolis religious dan biasanya dilakukan bebarengan dengan upacara keagamaan di pura. Tari Wali tidak mengandung lakon.

Biasanya tari sakral ini ditarikan oleh :

– Penari yang masih gadis

– Bisa ditarikan oleh orang yang sudah berumah tangga, terutama bagi wanita yang sudah       mengalami menopose.

– Penari sering membawa alat-alat upacara seperti canang sari, pasepan, sampian dan lain-lain.

– Gerak tari sakral sederhana, mengikuti gerak alam seperti tumbuh-tumbuhan, peredaran matahari dan sebagainya.

– Ada suasana mistik, magis, religius.

– Biasanya ditarikan secara kolektif. Isinya menggugah emosional keagamaan.

Contoh tari yang termasuk Wali : tari rejang, tari pendet, tari baris tumbak, tari sanghyang, tari bedaya semang, tari sanyang, tari tortor, tari gantar.

2.       Seni Tari yang Termasuk Bebali

Tari Bebali termasuk sebagai pengiring upacara dan mengandung lakon. Contohnya : Tari Wayang Lemah, Tari Gambuh, dan Tari Topeng.

3.       Seni Tari yang Termasuk Balih-balihan

Seni tari yang termasuk Balih-balihan adalah seni tari yang diciptakan berdasarkan tuntunan budi luhur dan berfungsi untuk hiburan. Contoh : tari cak, tari janger, tari legong keraton, tari kebyar duduk, tari manuk rawa, tari puspa wresti, tari puspanjali, dan masih banyak lagi termasuk seni drama dan tari atau Sendratari.

sumber

Alam Semesta Menurut Hindu (Bhagawan Dwija)

$
0
0

Kehidupan pemeluk Hindu menyatu dengan alam, karena:

1. Filosofi: Trihita-karana (tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan): hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan).

Bila salah satu keharmonisan itu hilang/ terganggu maka hidup manusia akan sulit/ tidak bahagia. Karena itu umat Hindu selalu berusaha menjaga keharmonisan/ keseimbangan ketiga hal itu.

3. Filosofi tentang bhuwana-agung (alam semesta) dan bhuwana-alit (tubuh manusia) yang mempunyai unsur-unsur yang sama, disebut Panca Mahabhuta (lima unsur alam semesta utama), yaitu:

NO. UNSUR BHUWANA AGUNG BHUWANA ALIT
1. Pertiwi tanah tulang dan daging
2. Apah air hujan, danau, sungai, laut darah, kencing, kelenjar
3. Bayu angin paru-paru/ rongga perut
4. Teja matahari suhu badan, sinar mata
5. Akasa angkasa rambut, kuku, urat saraf, 9 buah lubang: mata (2), hidung (2), telinga (2), mulut (1), dubur (1), kelamin (1)

KESIMPULAN

  1. Tubuh manusia berasal dari alam semesta, maka jika kita mencintai tubuh kita maka logis mencintai alam semesta juga.
  2. Tuhan (Sanghyang Widhi) menciptakan tubuh manusia dari kekuatan alam. Kekuatan-Nya itu disebut sebagai: Kandapat dan Nyama Bajang.
  3. Bila roh tidak lagi memerlukan tubuh (karena meninggal dunia) maka tubuh wajib dikembalikan ke alam semesta dalam keadaan suci dan mulus, melalui upacara pembakaran mayat/ ngaben (mengembalikan unsur: pertiwi, bayu, teja, akasa).

Dengan demikian, maka 4 unsur Panca Mahabhuta kembali ke asalnya masing-masing.

Di India dan Nepal, tempat pembakaran mayat selalu berada di pinggir sungai: Gangga, Yamuna, Pasupatinath, dll. maka abunya di hanyut ke sungai sebagai kelengkapan mengembalikan panca mahabhuta ke-5, yaitu ‘apah’

Di Bali, setelah membakar mayat, maka abunya dihanyut ke laut dengan maksud:

  1. Mengembalikan unsur ‘apah’
  2. Memohon kesucian sapta gangga (tujuh sungai suci di India: gangga, sindu, (sarasvati), yamuna, godavari, narmada, kaveri, sarayu.

Oleh karena kita di Bali tidak mungkin pergi ke India untuk nganyut abu di sungai gangga, dan karena ke-tujuh sungai suci itu telah bermuara ke laut Hindia, dan laut itu menyatu di seluruh dunia, maka para Maha-Rsi di Bali sejak abad ke-6 ‘memandang’ bahwa air laut sudah mengandung unsur-unsur sapta gangga. Maka kita cukup menganyut abu ke laut di mana saja (di Bali atau di luar Bali).

Bila lokasi jauh dari laut, boleh juga nganyut ke sungai, dengan pengertian bahwa abu di sungai toh akan sampai/ bermuara pula ke laut. –sumber

Dasar-Dasar Umat Hindu Memeluk Agama Hindu (Panca Sradha)

$
0
0

Perlu di ketahui di dalam agama hindu ada dasar-dasar kenapa umat hindu memeluk agama hindu . Mungkin banyak yang tidak tahu bila di tanyakan dasar-dasar kenapa memeluk agama hindu . Tapi bila membicarakan tentang panca sradha pasti semua nya mengetahuin nya . Padahal dasar-dasar umat hindu memeluk agama hindu itu adalah adanya panca sradha . Nah sekarang anda sudah mengetahui nya kan ???. Kalau anda belum mengetahui nya past anda akan bertanya-tanya . Apa sih yang di maksud panca sradha itu ???. Apakah panca sradha memiliki bagian-bagiannya ???. Nah dalam artikel kali ini kita akan membahas dasar-dasar umat hindu (Panca Sradha) .

Secara etimologi panca sradha berasal dari 2 kata yaitu panca dan sradha . Panca yang berarti lima sedangkan sradha adalah keyakinan ataupun kepercayaan . Jadi dapat kita simpulkan bahwa panca sradha adalah lima keyakinan ataupun kepercayaan sebagai dasar yang di miliki oleh umat hindu untuk menjalankan kehidupan di dunia ini . Adapun bagian-bagian panca sradha itu yaitu :

  1. Percaya Adanya Brahman
  2. Percaya Adanya Atma
  3. Percaya Adanya Karma Phala
  4. Percaya Adanya Punarbhawa
  5. Percaya Adanya Moksa

sumber

Percaya Adanya Brahman (Panca Sradha)

$
0
0

Maksud dari percaya adanya brahman adalah kita harus percaya bahwa adanya maha pencipta atau biasa kita sebut tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang telah memberikan kehidupan pada kita semua . Tuhan adalah sumber dari segala yang ada dan akhir dari segala yang tercipta . Di dalam weda maupun mantra-mantra juga sudah di jelaskan di dalam nya seperti :

“ Om tat Sat Ekam Ewa Adwityam Brahman “ arti nya tuhan atau ida sang hyang widhi wasa hanya satu tidak ada dua nya dan maha sempurna .

“ Om Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti “ arti nya tuhan atau ida sang hyang widhi wasa itu hanya satu tetapi orang bijaksana lah yang menyebutnya dengan berbagai macam nama .

Kemudian di dalam mantra tri sandya pun juga di sebutkan “ Eko Narayana na Dwityo’Sti Kascit “ arti nya hanya satu tuhan atau ida sang hyang widhi wasa yang di sebut narayana dan sama sekali tak ada dua nya . Di dalam sifat-sifat tuhan adanya tri purusa dan bagiannya . –sumber


Percaya Adanya Atma (Panca Sradha)

$
0
0

Atma adalah percikan-percikan kecil dari brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) . Atma berasal dari kata an yang berarti bernafas . Setiap makhluk yang bernafas mempunyai atma , sehingga mereka dapat hidup . Jadi atma adalah hidupnya semua makhluk hidup baik itu manusia , hewan , maupun tumbuhan . Atma berasal dari tuhan atau ida sang hyang widhi wasa yang memberikan hidup kepada semua makhluk hidup di muka bumi ini . Badan kita tidak akan berfungsi bila di dalam tubuh kita tidak ada atma .

Adapun sifat-sifat atma :

  1. acchedya berarti tak terlukai senjata,
  2. adahya berarti tak terbakar oleh api,
  3. akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,

4 . acesya berarti tak terbasahkan oleh air,

5 . nitya berarti abadi,

6 . sarwagatah berarti ada di mana-mana,

7 . sathanu berarti tidak berpindah – pindah,

8 . acala berarti tidak bergerak,

9 . awyakta berarti tidak dilahirkan,

10 . achintya berarti tak terpikirkan,

11 . awikara berarti tidak berubah,

12 . sanatana berarti selalu sama.

sumber

Percaya Adanya Karma Phala (Panca Sradha)

$
0
0

Secara etimologi karma phala berasal dari 2 kata yaitu karma dan phala . Karma arti nya perbuatan sedangkan phala yang arti nya hasil . Jadi dapat kita simpulkan karma phala arti nya hasil sebuah perbuatan yang kita lakukan . Di dalam ajaran hindu kita mengenal nama nya hukum karma phala yaitu hukum sebab akibat , setiap perbuatan yang kita lakukan pasti mendapatkan phala nya atau hasil nya .Karma Phala di dapatkan sesuai apa yang kita lakukan sesuai Tri Kaya Parisuda , baik pikiran , perkataan , maupun tindakan kita .

Karma phala di bedakan menjadi 3 berdasarkan waktu nya :

1 . Sancita Karma Phala

Sancita karma phala artinya perbuatan di masa / kehidupan lalu pada kehidupan sekarang kita menerima hasil dari perbuatan tersebut

2 . Prarabda Karma Phala

Prarabda karma phala arti nya perbuatan di masa / kehidupan sekarang pada kehidupan sekarang pula kita menerima hasil dari perbuatan tersebut .

3 . Kryamana Karma Phala

Kryamana Karma Phala arti nya perbuatan di masa / kehidupan sekarang pada kehidupan yang akan datang kita menerima hasil dari perbuatan tersebut .

sumber

Percaya Adanya Punarbhawa (Panca Sradha)

$
0
0

Punarbhawa berasal dari 2 kata yaitu punar dan bhawa . Punar yang berarti kembali dan bhawa berarti menjelma atau lahir . Jadi kesimpulan dari punarbhawa adalah kelahiran atau penjelmaan kembali secara berulang-ulang . Punarbhawa sering kita sebut dengan reinkarnasi . Sebenarnya kita hidup di dunia ini adalah untuk kita berbenah diri karena di kehidupan kita dahulu masih belum sempurna dan masih banyak memiliki dosa yang belum bisa kita bayar atau lunasi dan tergantung dari amal dan prilaku dan perbuatan kita di masa lampau,masa sekarang,dan masa yang akan datang.

sumber

Percaya Adanya Moksa (Panca Sradha)

$
0
0

Nah ini dia tujuan dari hidup kita di dunia ini menurut kepercayaan agama hindu dari ajaran panca sradha ini, yaitu moksa.Moksa berasal dari kata muc yang memiliki arti bebas. Bebas dari segala ikatan karma, ikatan duniawi( suka dan duka ) ikatan hidup, ikatan cinta kasih dll. Dimaana jika suatu atma telah mencapai moksa maka sang atma tidak akan terikat lagi dengan urusan keduniawian alias free dari segala sesuatu yang menyangkut aspek karma phala, samsara dan lain lainya. Syarat utama untuk mencapai moksa adalah menjalankan semua jaran agama dengan benar . Jika telah mencapai moksa biasanya di sebut juga dengan kalimat “Mokharatam Jagadhita ya ca iti Dharma”

Adapun tingkat-tingkatan dari moksa :

1 . SAMIPYA

Samipya adalah moksa yang dapat dicapai oleh para maha Rsi/yogi dengan kematangan tapa , membuka intuisinya sehingga dapat menerima wahyu dan memahami hakekakat hidup sejati.

2 . SARUPYA/ SADARMYA

Sarupya / sadarmya adalah moksa yang dapat dicapai oleh kesadaran sejati ketika atma dapat mengatasi segalanya . Hal ini dapat dicapai oleh Awatara . Beliau bisa mengatasi segalanya dan dapat menentukan sendiri kapan akan meninggalkian dunia ini .

3 . SALOKYA

Salokya adalah tingkatan moksa yang dicapai oleh atma yang telah mampu mencapai tingkat tuhan . Misalnya leluhur atau orang tua yang telah diaben.

4 . SAYUJYA

Sayujya adalah tingkat kebebasan yang paling tinggi dimana atma telah bersatu dengan brahman atau tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa ) . “Brahman Atman Aikyam “ yang arti nya brahman dan atma tunggal.

sumber

Upacara Ngaben: Mengapa Mayat Orang Hindu Dibakar?

$
0
0
Mengapa sawa (mayat) dibakar tatkala melakukan Pitra yadnya? Sebelum pertanyaan itu dijawab dengan berbagai alasannya, maka ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan tentang pengertian Pitra yadnya dan keberadaannya yang ber-bhinneka. Sebagaimana diketahui, Pitra yadnya telah menjadi sebuah istilah bagi umat Hindu di Bali. Istilah ini merupakan bagian dari Panca Yadnya. Empat yadnya lainnya yakni Dewa yadnya, Manusa yadnya, Rsi yadnya, dan Bhuta yadnya.
Pitra yadnya terdiri dari dua kata, yakni “pitra” dan “yadnya”. Secara harfiah, “pitra” berarti orangtua (ayah dan ibu). Pengertian yang lebih luas bisa disebut leluhur. Sedangkan kata “yadnya” berarti pengorbanan yang didasari hati yang tulus ikhlas nan suci. Jadi , “pitra yadnya” berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus suci kepada leluhur, terutama kepada orangtua.
Rupanya bisa dimaklumi, semua istilah berasal dari kata-kata, baik yang tunggal maupun yang majemuk. Dinamakan istilah karena telah berubah maknanya, tidak lagi utuh sebagaiamana arti harfiahnya semula. Karena ia telah memiliki arti khusus, maka kata-kata itu dinamakan istilah. Begitu pula istilah Pitra yadnya. Sebagai istilah, Pitra yadnya memiliki arti tersendiri, yakni upacara keagamaan yang diadakan untuk menyelenggarakan atau nyangaskara jenasah atau roh keluarga yang meninggal dengan berbagai sajen dan alat-alat upakara sebagai sarananya. Demikianlah kurang lebih artinya dengan ditekankan secara kesusilaan supaya pihak penyelenggara bisa memandang, bahwa pengadaan berbagai sarana itu bukanlah pengorbanan suci yang merupakan swadharma (kewajiban) pribadinya masing-masing.
Upacara Mungkah
Pitra yadnya terdiri dari beberapa jenis pelaksanaannya yang berbinneka. Mengapa? Hal itu disebabkan oleh kedatangan agama Hindu ke Bali tidak hanya sekali saja, melainkan bergelombang-gelombang dalam jarak puluhan bahkan ratusan tahun. Apalagi wilayah yang dituju dan menjadi basis penyebaran tiap-tiap fase berbeda-beda, sehingga warisannya yang tertinggal sampai sekarang masih menampakkan kebhinnekaan dalam pulau yang sempit ini.
Dalam hal ini diutarakan Pitra yadnya secara umum yang berlaku di sebagian besar masyarakat umat Hindu di Bali, terutama di dataran rendah. Mengapa? Antara lain karena Pitra yadnya yang dilakukan di dataran rendah inilah yang rupanya merupakan hasil penyempurnaan terakhir dari Yang Ening Sira Empu Kuturan, Dang Hyang Dwijendra, Empu Lutuk, dll. Sedang umat Hindu di pegunungan belum beranjak dari tradisinya yang lebih tua.
Mungkin ada pertanyaan mengapa tradisi di pegunungan dibiarkan? Sebagaimana dinyatakan dalam sejarah, Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sudah sekitar 400 tahun yang silam sudah menyebarkan pembaruan di Bali, suatu usaha yang juga dilakukan Empu Kuturan jauh sebelumnya. Namun dresta Bali mula di udik belum juga terjamah dan mengadopsi ajaran dua empu besar itu. Pasalnya, tak lain karena dua empu besar itu dalam menyebarkan ajaran tidak bertangan besi. Kedua empu itu bersikap; dipakai tidaknya sesuatu cara oleh sekelompok umat, mereka serahkan sepenuhnya pada sredaning manah atau ketulusan hati masing-masing kelompok masyarakat tersebut. Karena bukankah pelaksanaan agama tanpa dilandasi sredaning manah adalah kemunafikan? Karena itulah orang-orang di pegunungan yang belum dapat menerima pembaruan, dibiarkan saja tetap melaksanakan tradisi kunonya.
Upacara Mungkah
Mengapa mayat dibakar? Selintas telah disinggung, upacara Pitra yadnya umumnya digelar oleh keluarga yang masih hidup untuk anggota keluarganya yang meninggal dunia. Melakukan Pitra yadnya adalah swadharma alias kewajiban. Mengapa mereka harus melakukan swadharmanya itu? Tidak lain lantaran Pitra yadnya itu sendiri merupakan suatu upacara keagamaan. Maka tidak pelak lagi, mengenai tradisi upacara ini dilakukan oleh keluarga terhadap anggotanya adalah pula berdasar ajaran agama. Bahkan upacara ini bersumber dari tattwa (filsafat) agama sendiri. Tegasnya, upacara ini bukanlah sekadar tradisi yang hambar begitu saja. Tradisi ini adalah suatu tugas suci, swadharma atau kewajiban mutlak, karena sudah merupakan utang. Bukankah pada mulanya ketika kita berada di cucupu (rahim) ibu, tubuh kita hanya sekedar dua sel yang teramat kecilnya. Kita berutang kepada ayah karena kama petaknya (sp3rma) dan kepada ibu karena kama bangnya (ovum).
Kenyataan itu tidak bisa dipungkiri lagi. Lalu apa kata ajaran agama tentang semua ini? Pada hakikatnya stula sarira (jasad) setiap mahluk termasuk manusia adalah terdiri dari benda-benda yang sama saja asalnya dengan benda-benda isi alam semesta yang ada di sekitar kita. Semuanya berasal dari unsur yang sama yakni Pancamahabhuta yang terdiri dari pratiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas/cahaya), bayu (udara), dan akasa (ether/angkasa). Dari Pancamahabhuta kita memperoleh pinjaman zat-zat yang membuat kita hidup, hingga dari “merekalah” kita berutang. Kita berutang selama Pancamahabhuta itu terakit wungkul berbentuk stula sarira (badan kasar) baik sewaktu masih hidup maupun setelah meninggal. Jelasnya, semasih Pancamahabhuta berwujud tubuh manusia termasuk setelah meninggal selaku sawa (jenasah), manusia “pemakai” lima unsur zat itu dinilai selaku pihak berutang. Sebagai utang, maka tentu saja menjadi beban moral yang pada saatnya nanti harus dibayar lunas hingga terhapuslah beban itu.
Selama masih hidup, kita tentu berusaha mempertahankan badan kasar ini. Penyebabnya karena dianggap begitu penting meski benda itu pinjaman. Kita selalu pelihara dan itu adalah wajar. Namun bagaimana setelah meninggal, di kala tubuh ini tak diperlukan lagi karena tidak berfungsi? Unsur-unsur stula sarira itu harus dikembalikan kepada pemiliknya atau asalnya semula yakni Sang Pancamahabhuta. Dengan kata lain sawa harus secepatnya dihancurkan hingga masing-masing unsurnya kembali menunggal dengan asalnya.
Ada pertanyaan menarik. Adakah seseorang yang telah (baru) meninggal dapat berinisiatif mengembalikan bahan tubuhnya kepada Sang Pancamahabhuta? Itulah yang menjadi soal, karena yang wafat tentu tidak bisa berinisiatif seperti itu. Maka anggota keluarga yang hiduplah membantu secepatnya mengembalikan utangnya. Apalagi kita telah berutang jasa kepada orangtua atau leluhur yang telah memberikan kama bang dan kama petak yang kemudian menjadi tubuh kita, belum lagi jasa pemeliharaannya.
Inilah yang menjadi latar belakang adanya swadharma seorang anak untuk mengadakan Pitra yadnya untuk orang tua atau leluhurnya. Bila mau memberi rumus secara tata buku kira-kira begini: Setiap ego berutang kama bang dan kama petak pada orang tuanya. Orangtua berutang unsur stula sarira pada Pancamahabhuta. Bila orang tua meninggal, keturunannyalah yang wajib membantu membakar (membayari utang) stula sarira orangtuanya hingga kembali menunggal dengan Pancamahabhuta.
Lalu ada orang yang tergolong ekstrem rasional, mungkin berpendapat, bukankah sawa yang dibiarkan melalui pembusukan alamiah akan kembali jua ke asalnya, meski lebih lambat? Atau kalau mau lebih cepat, bakar begitu saja pun sudah cukup, tidak perlu ada upacara segala. Sepintas, pendapat itu tidak salah. Namun yang perlu diingat, manusia bukanlah berspiritkan pemikiran rasional semata, apalagi kita adalah mahluk yang beragama dan berbudaya. Untuk menunjukkan rasa kasih, bhakti, hormat dan sujud kepada keluarga atau leluhur tentu tidak cukup hanya dengan prilaku seperti tadi. Emosi, cita rasa, kehalusan budi, rasa sopan santun, dan sebagainya semua perlu mendapat kepuasan. Lebih-lebih dalam menyelenggarakan upacara untuk jenasah yang ada kaitannya dengan jiwa mendiang (yang bernilai gaib dan halus). Ingat saja pelantikan pejabat, peresmian gedung dilangsungkan juga dengan upacara. Jadi begitulah dalam Pitra yadnya, dilakukan dengan berbagai upacara dan
upakara yang mengandung arti simbolik. (Sugi)
Dikutip dari buku Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar, 1993, I Gusti Ketut Kaler, Penyunting dan Pengantar Wayan Supartha, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.  –sumber
Viewing all 668 articles
Browse latest View live