Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Mitos, Etimologi dan Jenis-Jenis Rangda

$
0
0

Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali. Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong( yang merupakan simbol kekuatan baik).

Menurut etimologinya, kata Rangda yang dikenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda.

RANGDA = JANDA

Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa yaitu:

  • Waisya,
  • Ksatria,
  • Brahmana,

Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu dan kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda.

Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang ‘aeng’ (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa). Hal ini terutama kita dapatkan dalam pertunjukan-pertunjukan cerita rakyat. Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu bila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak). Sesungguhnya pengertian di atas lebih banyak diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur Rangda. Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.

RANGDA OLD

Diceritakan bahwa kemungkinan besar Rangda berasal dari ratu Mahendradatta yang hidup dipulau Jawa pada abad yang ke-11. Ia diasingkan oleh raja Dharmodayana karena dituduh melakukan perbuatan sihir terhadap permaisuri kedua raja tersebut. Menurut legenda ia membalas dendam dengan membunuh setengah kerajaan tersebut, yang kemudian menjadi miliknya serta milik putra Dharmodayana,Erlangga. Kemudian ia digantikan oleh seseorang yang bijak. Nama Rangda berarti juga janda.

BARONG RANGDA

Rangda sangatlah penting bagi mitologi Bali. Pertempurannya melawan Barong atau melawan Erlangga sering ditampilkan dalam sendratari. Sendratari ini sangatlah populer dan merupakan warisan penting dalam tradisi Bali. Rangda digambarkan sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta memiliki kuku-kuku panjang, lidah yang menjulur panjang, dan payudara yang panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki taring-taring yang panjang dan tajam.

Jenis-jenis Rangda

Mengidentifikasi jenis-jenis Rangda yang berkembang di Bali amat sulit. Hal ini mengingat wujud Rangda pada umumnya adalah sama. Memang dalam cerita Calonarang ada wujud Rangda yang lain seperti Rarung, Celuluk namun itu adalah antek-antek dari Si Calonarang dan kedudukannya lebih banyak dalam cerita-cerita bukan disakralkan. Untuk membedakan wujud Rangda adalah dengan melihat bentuk mukanya (prerai), yaitu :

  • Nyinga

Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai singa dan sedikit menonjol ke depan (munju). Sifat dari Rangda ini adalah galak dan buas.

  • Nyeleme

Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai wajah manusia dan sedikit melebar (lumbeng). Bentuk Rangda seperti ini, menunjukkan sifat yang berwibawa dan angker.

  • Raksasa

Apabila bentuk muka Rangda ini menyerupai wujud raksasa seperti yang umum kita lihat Rangda pada umumnya. Biasanya Rangda ini menyeramkan.

|sumber


Konsep Jenjang Kehidupan Dalam Hindu (Catur Asrama)

$
0
0

Hindu Memiliki Konsep Jenjang Kehidupan Yang Jelas Dan Telah Tersusun Dengan Sistimatis Dalam Catur Asrama.

              Kita mesti berbangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang dari masa kehidupan seorang manusia, dimana didalam kepercayaan lain konsep ini nampak tidak begitu jelas dimana seorang yang sebenarnya sudah masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga sebalik diusia yang masih sangat muda seorang telah dinikahkan. Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari fisik tapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.

Kata Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan “kerohanian”, kata Asrama juga sering dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan prilaku manusia. Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Bagian-bagian Catur Asrama Naskah jawa kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian catur asrama. dalam kitab silakrama itu dijelaskan sebagai berikut: yang bernama catur asrama ialah brahma cari, grhastha, wanaprastha, dan bhiksuka. Berdasarkan uraian dari agastya parwa diatas, sangat jelas pembagian catur asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. dari keempat pengesraan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang. masing-masing tentang dalam setiap jenjang menunjukan ketenangan rohani. adapun pembagian dari catur asrama itu terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:

1, Brahmacari asrama,

2, Grahastha asrama,

3, Wanaprastha asrama dan

4, Bhiksuka sanyasin asrama.

Masing-masing jenjang waktu tertentu dalam pelaksanaanya. Berikut penjelasan dari setiap point Catur Asrama

     1. Brahmacari asrama.

BELAJAR HINDU

Dapat dikatakan ini sebagai langkah awal seorang manusia mulai belajar akan apa tujuan hidupnya yang sebenarnya, ibarat akan mulai perjalanan dimana ini merupakan masa pembekalan, dimana pada masa ini seorang akan diberi peta yang berisi petunjuk jalan kemana ia nanti akan mengarahkan kakinya agar tidak tersesat. Pada masa ini seorang akan dibekali dengan berbagai macam ilmu baik yang berhubungan dunia material dan spiritual  dalam proporsi yang seimbang. Dengan tujuan agar nanti ia akan stabil dalam menjalani tahap hidup yang berikutnya. Pada masa ini seorang tidak boleh bersentuhan dengan suatu yang membuat dapat berpindah jenjang terlalu cepat, seperti mengurangi pergaulan dengan lawan jenis, dimana di India anak laki-laki dan wanita dipisahkan satu sama lain hingga tidak menggangu kosenstrasi mereka dalam menimba ilmu pengetahuan. Selain itu menjauhkan diri dari berbagai jenis keramaian dan kepuasan yang bersifat indria dan berbagai hal yang berhubungan kekerasan, kebencian dan sexual, dengan tujuan melatih mental agar tidak terpengaruh oleh unsur-unsur tersebut, dimana mental telah dilatih sejak dini untuk mengendalikan dan menetralisis unsur-unsur tersebut.

            purvo jato brahmano brahmacari

                          gharmam vasanas tapasodatisthat,

                          tasmaj jatam brahmanam brahma jyestham

                          devasca sarve amrtena   sakam. 

(Atharvaveda. XL 5. 5).

Artinya:

Brahmacarin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual); dari pribadinya timbul (mendapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang Bersinar dengan kehidupan abadi.

Brahmacarya-hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual — seharusnya didahului oleh pengetahuan spiritual lewat upacara keagamaan saat manusia itu mulai mengambil napas pertama di dunia. Ini merupakan pandangan Jnana Yoga (jalan pengetahuan).

Brahmacarya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan (magang) dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahapan ini merupakan jenjang sistimatis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan material dan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa jaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual termasuk pengetahuan material

Uraian di atas diambil dari Atharva Veda yang menyajikan uraian panjang lebar pada kemuliaan kehidupan brahmacarin.

Dengan cara seperti itulah Jalan ilmu pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (asrama vibhaga) “empat jenjang,” dimana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (Brahmacarya yang sistematis).

Kemudian timbul suatu pemikiran yang menganggap membudaya diri dan disiplin pribadi (brahmacarya) ini sangat sulit. Ini bertentangan dengan jalan pengetahuan Veda.

Di sinilah pentingnya ajaran adhikara, yaitu kemantapan spiritual untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi

Ada suatu segi lagi mengenai pembinaan budaya diri ini. Dalam jaman sesudah Veda timbul perbedaan pandangan mengenai Realitas Utama, tetapi tidak ada perbedaan mengenai perlunya budaya diri.

                  arvag anyah paso anyo divas prsthat guha nidhi nihitau brahmanasya,

                   tau raksati tapasa brahmacari tat kevalarh krnute brahma vidvan.

(Atharvaveda . XI. 5. 10).

Artinya:

Satu di sisi, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacarin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya (tapas). Dengan mengetahui ‘Brahman ia menjadikan semua itu miliknya.

Kedua bidang pengetahuan – para, – tak terbatas, dan apara, – yang terbatas – keduanya merupakan pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik yang mcmpcngaruhi nilai agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya. Dengan menjalani masa hidup Brahmacarya dengan baik maka dua pintu ilmu pengetahuan akan terbuka lebar, dua pintu itu adalah ilmu pengetahun spiritual dan ilmu pengetahuan material. Dan jika seorang telah benar-benar berhasil menjalani brahmacharya ini akan tercipta sosok manusia yang tidak hanya memiliki kecerdasan rohani yang kuat tapi juga tingkat intelegensia yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan spiritual dan material.

 2.  Grhastha Asrama

kadek devi wedding

Grhasta asrama merupakan tahap kedua yang merupakan ujian yang sebenarnya dimana seorang akan menerapkan semua ilmu yang ia pelajari saat masih berada di masa Brahmacharya. Ini adalah masa yang paling sulit dimana ia sudah tidak lagi mengurus dirinya sendiri tapi ia telah mendapatkan beban tambahan yakni keluarga yang ia bentuk dalam suatu pernikahan yang merupakan perlambang dimulainya jenjang ini. Tanggung jawabnya tidak hanya sebatas mencukupi kebutuhan hidup keluarga, tapi juga menganyomi dan membimbing keluarga yang ia bentuk menuju suatu kehidupan spiritual yang selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya, dimana membimbing adalah tugas yang sangat sulit. Masa ini kestabilan emosi dan kekuatan spiritual amat teruji dan tidak jarang mengalami kegagalan dan berakibat pada semakin mundurnya kualitas spiritual orang tersebut dan berimbas pada hancur tingkat spiritual dari keluarga tersebut. Dan dalam Veda merupakan sebuah dosa besar.

Dalam Agastya Parwa dijelaskan

                 Grhastha ngarania Sang yatha sakti kayika Dharma

Artinya

Grhastha namanya beliau yang dengan kemampuan sendiri mengamalkan Dharmanya. Ciri seorang Grhastha adalah memiliki kemauan untuk mandiri untuk mewujudkan swadharmanya.

Dalam Catur Asrama ini kedudukan Grhastha Asrama inilah kedudukan yang paling sentral. Suksesnya seorang Brahmacari dan Vanaprastha amat tergantung dari kemampuan Grhastha Asrama melakukan kewajibannya untuk membiayai pemeliharaan dan biaya pendidikan Brahmacari Asrama.

Grhasta asmara atau pernikahan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur atau jiwa-jiwa yang lain untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan “Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang” artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Dan merupakan bagian dari usaha penyucian diri lewat sebuah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dam seorang wanita lewat sebuah jalur kesetiaan untuk sehidup semati.

Nitisastra disebutkan ada lima kewajiban orang tua atau orang yang menjalani hidup grhasta . Lima kewajiban itu disebut Panca Wida yaitu.

1. Sang Ametuaken = orang yang melahirkan anak pada kehidupan dunia

2. Maweh Bhinojana = menjamin kebutuhan ekonomi keluarga

3. Sang Mangupadyaya = memberikan pendidikan pada anak sampai moral, mental dan profesi yang nantinya mampu mendukung kehidupannya

4. Sang Anyangaskara = orang yang memberikan pendidikan kerokhanian

5. Sang Matulung urip rikalaning bhaya = orang yang memberikan rasa aman dan menolong saat menghadapi bahaya

Dimana Lima kewajiban Grhastha ini pada umumnya sering sulit dilakukan oleh kepala keluarga secara 100% karena waktu dan tenaganya habis untuk mendapatkan kebutuhan primer saja yaitu cari uang untuk makan.

3. Wanaprasta Asrama

orang tua di hutan

Masa ini adalah masa peralihan antara kehidupan yang masih bersipat dunia yang penuh dengan tanggung jawab dan keterikatan pada keluarga secara perlahan hidup menuju sebuah pengasingan diri terhadap ikatan tersebut, melepaskan ikatan tersebut hingga yang tersisa adalah hubungan antara diri sendiri dengan Tuhan dan tidak ada lagi hubungan yang lain yang dikenal sebagai Sanyyasin Asrama atau Bhiksuka asrama. Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, dimana lebih dipusatkan pada bidang spiritual.

Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai “vrata” atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra dan lain-lain.

Wanaprastha adalah batu loncatan untuk mencapai sebuah jenjang Sanyasin karena lewat Wanaprasta jiwa secara perlahan terlatih tidak lagi bergantung kepada hal-hal yang bersifat kenikmatan indria dengan demikian pikiran tidak lagi focus ke indria apapun bentuknya melainkan hanya pada Tuhan.

     Tat-buddhayas tad-atmanas

     tan-nisthas tat-parayanah

      gacchanty apunar-avrttim

               jnana-nirdhuta-kalmasah

( Bhagavadgita V-17)

Artinya:

Mereka yang memikirkan-Nya, menyerahkan seluruh jiwa kepada-Nya, menjadikan-Nya tujuan utama, memuja hanya pada-Nya, akan pcrgi tidak kcmbali, dan dosa mereka dihapus oleh pengetahuan itu.

Dari sloka ini dijelaskan bahwa pikiran adalah faktor terpenting dalam keberhasilan seorang dalam melaknakan Sanyasin asrama, untuk itu pikiran harus dilatih secara perlahan-lahan pada masa wanaprasta hingga nanti saat memasuki jenjang sannyasi asrama pikiran benar-benar telah mantap pada Tuhan. Hingga tidak ada lagi goncangan-goncangan mental saat menjalani masa Sannyasin.

4. Sannyasin asrama

Sannyasin asrama

         Sannyasin asrama adalah fase terakhir dalam kehidupan dimana masa ini jiwa telah sepenuhnya lepas dari semua ikatan baik secara material maupun mental pada keluarga dan semua yang ada diluar diri dan segala macam kenikmatan duniawi  dan bagi jiwa yang benar-benar suci ia sudah melupakan dan tidak mengiginkan  surga dan kenikmatan surgawinya. Saat itu orang akan memahami dirinya sebagai jiwa dan bukan badan, yang telah berada pada suatu tingkat kesucian yang tinggi hingga telah siap untuk diambil kembali atau bersatu dengan Brahman, jiwa yang telah kembali ke sifatnya yang asli yang sama dengan Brahman. Pada masa ini hidup hanya untuk Tuhan dan pengabdian dengan jalan memberikan dharma wacana, petuah-petuah suci yang dapat berguna bagi generasi yang lebih muda dalam menjalani hidupnya. |sumber

Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan

$
0
0

Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan

Dumogi Ida Sang Hyang Widhi Waca ngicening kerahayuan ring sajeroning umat

Dewa Wisnu Sang Pemelihara

$
0
0

Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (Dewanagari: विष्णु ; Viṣṇu) (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalamfilsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhantersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.

Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti “menempati”, “memasuki”, juga berarti “mengisi” — menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan: “Sesuatu yang menempati segalanya”. Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh (“sesuatu yang memasuki segalanya”), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).

Adi Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya: “yang hadir dimana pun” (“sebagaimana Ia menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu”). Adi Shankara menyatakan: “kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh alam semesta.” Akar kata Viś berarti ‘masuk ke dalam.’

Mengenai akhiran –nu, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu’ (“kejayaan”). Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian *višnu, dan kini telah digantikan dengan kata rašnu dalam kepercayaan Zoroaster di Iran.

Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva (“segala”). Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata “Wisnu” misalnya: vi-ṣṇu (“mematahkan punggung”), vi-ṣ-ṇu(“memandang ke segala penjuru”) dan viṣ-ṇu (“aktif”). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.

Lukisan Wisnu melakukan Triwikrawasaat menjelma sebagai Wamana. Lukisan ini berasal dari Nepal, dibuat sekitar abad ke-19.

Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminumSoma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.

Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.

Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud rohaninya sebagai Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna.

Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan empat, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.

Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:

  • Jñāna: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
  • Aishvarya: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
  • Shakti: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
  • Bala: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
  • Virya: kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
  • Tèjas: memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk

Dewa Wisnu merupakan wujud Tuhan yang Maha Kuasa. Wisnu ada di setiap perwujudan di seluruh jagad raya,setiap manusia,setiap hewan,setiap tumbuhan,setiap dewa,setiap tempat,setiap atom dari seluruh alam semesta.

Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui hanyalah enam.

Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:

dewa wisnu 2

  • Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
  • Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
  • Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu.
  • Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, pasangannya.
  • Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
  • Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
  • Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
  • Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.

Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:

  • Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama “Panchajanya”, dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether.
  • Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama “Sudarshana”, dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
  • Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
  • Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.

Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu. Menurut Bhagawadgita, ketiga aspek tersebut disebut “Puruṣa Avatāra”, yaitu penjelmaan Wisnu yang memengaruhi penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu yang berbaring dalam “lautan penyebab” dan Dia menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.

Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu:

  • Para. Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi,Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
  • Vyuha. Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
  • Vibhava. Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
  • Antaryami. Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk hidup.
  • Arcavatara. Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.Dalam Purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār.[1]Sepuluh Awatara Wisnu:
    • Matsya (Sang ikan)
    • Kurma (Sang kura-kura)
    • Waraha (Sang Babi hutan)
    • Narasingha (Sang manusia-singa)
    • Wamana (Rama bersenjatakan beliung / Sang orang cebol)
    • Parasurama (Sang Brāhmana-Kshatriya)
    • Ramawijaya (Sang pangeran)
    • Krishna (Sang pengembala)
    • Buddha (Sang pemuka agama)
    • Kalki (Sang penghancur)

    Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga.

Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu. Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara Guru dan Batari Uma. Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.

Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura, terletak di wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang air.

Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu menurut pewayangan antara lain,

  1. Srimaharaja Kanwa.
  2. Resi Wisnungkara
  3. Prabu Arjunasasrabahu
  4. Sri Ramawijaya
  5. Sri Batara Kresna
  6. Prabu Airlangga
  7. Prabu Jayabaya
  8. Prabu Anglingdarma
  9. Prabu Ken Arok
  10. Prabu Kertawardhana

|sumber

Dewata Nawa Sanga dalam Agama Hindu

$
0
0

Pengertian Dewata Nawa Sanga

Secara Etimologi, Kata “Dewa” (Deva) berasal dari  bahasa Sanskerta, kata “Div” yang berarti “Bersinar”. Dalam bahasa Latin “Deus” berarti “Dewa” dan “Divus” berarti bersifat ketuhanan. Dalam bahasa Inggris istilah Dewa sama dengan “Deity”, dalam bahasa Perancis “Dieu” dan dalam bahasa Italia “Dio”. Dalam bahasa Lithuania, kata yang sama dengan “Deva” adalah “Dievas”, bahasa Latvia: “Dievs”, Prussia: “Deiwas”. Kata-kata tersebut dianggap memiliki makna sama. “Devi” (atau Dewi) adalah sebutan untuk Dewa berjenis kelamin wanita.

Jadi  “Dewa” (Deva) adalah sinar suci Brahman atau Sang Hyang Widhi. Sesuai dengan artinya, fungsi Deva adalah untuk menyinari, menerangi alam semesta agar selalu terang dan terlindungi.

Sedangkan “Devatā” (dewata) adalah sebutan untuk Para Dewa (jamak). Sementara Nawa atau pun Sanga artinya sembilan.

Jadi Dewata Nawa Sanga atau Nawa Dewata adalah sembilan Dewa sebagai penguasa di setiap penjuru mata angin. Dalam konsep agama Hindu di Bali, sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya.

surya majapahit

Diagram Surya Majapahit (lambang kerajaan Majapahit) menampilkan tata letak para dewa Hindu di sembilan arah penjuru utama mata angin.

Kesembilan dari Dewata Nawa Sanga tersebut sebagai penguasa yang menjaga penjuru mata angin, yaitu :

1.     Dewa Wisnu

Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya “A”, di Bali Dewa Wisnu dipuja di Pura Batur.

2.    Dewa Sambhu

Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya “Wa”, di Bali Dewa Sambhu dipuja di Pura Besakih.

3.    Dewa Iswara

Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya “Sa”, di Bali Dewa Iswara dipuja di Pura Lempuyang.

4.    Dewa Maheswara

Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) merak, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya “Na”, di Bali Dewa Maheswara dipuja di Pura Goa Lawah.

5.    Dewa Brahma

Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya “Ba”, di Bali Dewa Brahma dipuja di Pura Andakasa.

6.    Dewa Rudra

Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya “Ma”, di Bali Dewa Rudra dipuja di Pura Uluwatu.

7.    Dewa Mahadewa

Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya “Ta”, di Bali Dewa Mahadewa dipuja di Pura Batukaru.

8.    Dewa Sangkara

Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya “Si”, di Bali Dewa Sangkara dipuja di Pura Puncak Mangu.

9.    Dewa Siwa

Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya “I” dan “Ya”, di Bali Dewa Siwa dipuja di Pura Pusering Jagat.

Berikut Ini Tabel Lengkap Tentang  Dewata Nawa Sanga.

nawa sanga 9

 

|sumber

Mantra “Om Namah Shivaya” Memiliki Kandungan Kekuatan Luar Biasa

$
0
0

Secara literal dalam bahasa sansekerta “Om Namah Shivaya” berarti saya mohon perlindungan, tuntunan dan keselamatan dari Dewa Shiva. Tapi maknanya tidak hanya sampai disitu. Mantra “Om Namah Shivaya” memiliki kandungan kekuatan luar biasa, dimana setiap suku kata mempunyai karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa dari belenggu pikiran dan belenggu samsara.

Mantra “Om Namah Shivaya” adalah panca aksara sebagai karunia kemaha-sucian tertinggi Dewa Shiva sebagai keseluruhan alam semesta kepada jiwa-jiwa. Na berarti karunia Beliau, Ma berarti alam semesta, Si adalah Shiva, Va mengungkap rahasia karunia-Nya dan Ya adalah jiwa.

Mantra “Om Namah Shivaya” adalah panca aksara sebagai seluruh alam semesta itu sendiri yang terdiri dari lima unsur dasar [panca maha bhuta], yaitu : Na adalah unsur padat [pertiwi], Ma adalah unsur air [apah], Si adalah unsur cahaya [teja], Va adalah unsur udara [bayu] dan Ya adalah unsur ruang [akasha].

Mantra “Om Namah Shivaya” juga adalah panca aksara yang terkait langsung dengan prinsip-prinsip yang mengatur masing-masing dari lima lapisan badan kita [panca maya kosha], yaitu Na terkait pada badan fisik  [annamayakosha], Ma terkait pada badan prana [pranamayakosha], Shi terkait pada badan pikiran [manomayakosha], Va terkait pada badan kebijaksanaan [vijnanamaya kosha] dan Ya terkait pada badan kesadaran [anandamayakosha]. Sedangkan pranava mantra Om / Aum di depan terkait pada Atman.

Dan yang terpenting, saat kita mengucapkan mantra “Om Namah Shivaya”, kita sesungguhnya sedang melakukan upaya mengakses energi mahasuci kesadaran kosmik Dewa Shiva. Dengan kata lain, kita sedang mengucapkan makna rahasia yang tersembunyi di dalam inti kesadaran kosmik Dewa Shiva.

Kesadaran kosmik adalah keadaan ketika kesadaran jiwa menjadi stabil dan kesadaran mengamati hadir sepanjang waktu dalam kondisi terbangun, bermimpi, dan tertidur.

Manfaat Pengucapan Mantra “Om Namah Shivaya”

Ada manfaat yang demikian berlimpah dari kemuliaan pengucapan mantra ini, yang terbagi menjadi tiga rentang waktu ketekunan kita di dalam melakukan pengucapan mantra :

1. Manfaat seketika

Bila kita melakukan penjapaan mantra “Om Namah Shivaya” dengan tepat, maka ini adalah beberapa manfaat seketika yang dicapai, yaitu :

  1. Sewaktu kita menjapa mantra “Om Namah Shivaya”, kita mengisi pikiran kita dengan limpahan energi-energi mahasuci dari kesadaran kosmik Dewa Shiva. Ini membuat badan dan pikiran kita lebih murni dan tingkat kesadaran kita secara niskala lebih tinggi. Karena kita melakukan upaya mengakses energi mahasuci kesadaran kosmik.
  1. Penjapaan mantra “Om Namah Shivaya” akan membangun keteguhan dan kejernihan pikiran kita, karena penjapaan mantra membuat riak-riak pikiran dan cengkraman energi buruk mereda di dalam diri kita. Sehingga kita tidak lagi rapuh atau emosional menghadapi pengaruh keadaan yang buruk diluar, serta pikiran tidak lagi berkeliaran kemana-mana. Ketika kondisi ini tercapai, maka kita mendapatkan ketenangan pikiran.

2. Manfaat jangka waktu tertentu

Bila kita tekun melakukan penjapaan mantra “Om Namah Shivaya” dan dengan cara yang tepat, maka ini adalah beberapa manfaat yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu, yaitu :

  1. Mantra ini dapat mengembalikan semua tulah kutukan dan mantra lainnya yang berusaha melukai kita,semua hal yang berupa rintangan dan tidak baik akan dilontarkan kembali pada asalnya. Mantra ini memberi perlindungan dari kekuatan-kekuatan negatif.
  1. Seiring waktu ketekunan penjapaan mantra”Om Namah Shivaya” dapat meredakan keliaran pikiran kita, seperti keserakahan, rasa takut, trauma, keinginan-keinginan liar, iri hati, marah dan benci. Disinilah dampak awal penjapaan mantra akan mulai dirasakan, dimana dalam kehidupan sehari-hari pikiran dan emosi negatif akan terkikis, serta obyek-obyek indriya juga akan kehilangan cengkeramannya kepada pikiran kita. Karena energi dari penjapaan mantra mengharmoniskan energi pikiran kita. Pikiran kita akan lebih tenang-seimbang. Tersembuhkan dari ketidakstabilan jiwa seperti sifat emosional, pendendam, halusinasi, dsb-nya.
  1. Mantra ini membersihkan setiap kerak kekotoran diri dan karma buruk yang kita lakukan. Menjapa mantra “Om Namah Shivaya” dengan tekun dan pikiran terfokus akan mengikis karma buruk. Pengikisan karma buruk memiliki dampak yang membuat kita dapat mengalami peningkatan ke arah lebih baik, lebih lancar dan lebih terang dalam berbagai bidang kehidupan.
  1. Bila sadhana ini terus rutin kita lakukan di rumah kita dalam jangka waktu tertentu, juga akan bermanfaat untuk membersihkan lingkungan rumah dari pengaruh energi buruk. Penjapaan mantra akan menghasilkan pola getaran energi mantra yang suci yang menetralisir pengaruh energi buruk di sekitar kita. Dengan semakin sering dan konsisten kita melakukan japa mantra, hasilnya akan memberi pengaruh lebih baik kepada rumah tempat tinggal kita.
  1. Menjapa mantra “Om Namah Shivaya” dengan tekun dan pikiran terfokus, akan dapat menyentuh hati dan menggugah Dewa Shiva secara langsung, sehingga Beliau berkenan hadir dan menampakkan diri kepada kita. Cahaya-Nya akan membantu menerangi dan membebaskan kita dari kegelapan dalam bentuk godaan-godaan duniawi yang tidak ada habis-habisnya ini.

3. Manfaat jangka panjang

Bila kita selalu terus-menerus tekun melakukan penjapaan mantra “Om Namah Shivaya” dan dengan cara yang tepat, maka dalam jangka waktu yang panjang ini adalah beberapa manfaat yang akan dicapai, yaitu :

  1. Mantra ini menumbuhkan sifat welas asih dan kebijaksanaan. Dengan semakin berkembangnya sifat-sifat sattvika di dalam diri kita, maka kemahasucian dari kesadaran kosmik Dewa Shiva perlahan akan semakin nyata kita hadirkan dalam jiwa.
  1. Dapat menghasilkan kontak yoga antara kekuatan kesadaran di dalam diri dan kekuatan Dewa Shiva. Dengan kata lain mencapai “penyatuan dewa dan manusia”, dimana kekuatan penyatuan ini dapat menghasilkan karunia-karunia luar biasa seperti terbukanya trinetra [mata ketiga], atau karunia dapat mengunjungi alam-alam Dewa, memperoleh ajaran rahasia Beliau, dsb-nya.
  1. Menjapa mantra “Om Namah Shivaya” dengan tekun dan pikiran terfokus, maka sewaktu meninggal dunia, Dewa Shiva akan muncul untuk menjemput kita ke alam suci-Nya [Shiva Loka]. Tidak hanya di masa kini, tapi para orang-orang suci di masa lampau juga telah mengkonfirmasi bahwa karunia dari menjapa mantra “Om Namah Shivaya” sungguh besar, sehingga dapat melenyapkan semua karma buruk kita yang tertumpuk dari masa lampau yang tak terhingga. Disaat kita mengalami kematian akan mendapat perlindungan dari Dewa Shiva di alam suci-Nya. Ini tentu sebuah karunia perlindungan, tuntunan dan keselamatan yang luar biasa.

|sumber

Indah Di Tiap Langkah

$
0
0

Di Inggris sana ada kisah tentang seorang anak yang ganteng, kaya, pintar, disayangi orang tua, dikagumi teman-temannya, serta diperhatikan dengan baik oleh Gurunya di sekolah. Nama anak ini Peter. Tapi karena ia sudah memiliki nyaris semua hal yang dibutuhkan oleh anak kecil, anak ini bosan dan pergi ke hutan bertemu penyihir.

Setelah bercerita tentang kebosanannya yang mendalam, Peter kemudian minta sesuatu ke penyihir agar bosannya hilang. Oleh penyihir ia diberi mesin waktu. Tapi ia diingatkan dengan jelas dan tegas, kalau mesin waktunya hanya bisa bergerak ke depan, tidak bisa diputar balik ke masa lalu.

Pertama-tama ia putar mesin waktunya ke masa remaja. Betapa gembiranya ia menemukan dirinya jadi murid SMA dan punya pacar. Tapi kegembiraan ini hanya berumur sehari. Di hari berikutnya ia putar mesin waktunya ke umum 55 tahun, kali ini ia gembira lagi selama sehari sebagai ayah sepasang putra-putri. Dasar anak pembosan, ia putar lagi mesin waktunya ke umur 80. Tiba-tiba ia menemukan dirinya sebagai orang tua kesepian di panti jompo. Di situ baru ia sadar kalau mesin waktunya tidak bisa dibalik.

Kisah Peter ini adalah cerita kiasan yang mengingatkan banyak manusia yang selalu berkejaran ke masa depan. Anak sekolah ingin cepat lulus. Pekerja ingin cepat naik pangkat. Manager ingin cepat menjadi direktur. Ringkasnya, banyak orang mengira kalau sang Cahaya hanya tersedia di masa depan. Dan penyesalan mendalam baru muncul di usia tua. Ternyata ada banyak sekali keindahan kekinian yang hilang, semata-mata karena manusia berkejaran ke masa depan.

Terinspirasi dari sini, belajar keras tentu saja tidak dilarang, bekerja cerdas juga tidak dilarang, tapi selalu sempatkan waktu untuk terhubung dengan keindahan kekinian. Entah saat bekerja, berdoa, berjalan, menyetir mobil, selalu sempatkan untuk melihat hal-hal yang layak disyukuri di saat ini.

Dari badan yang sehat, keluarga yang ceria, makanan yang enak, langit yang penuh cahaya, bunga-bunga yang bermekaran, burung-burung yang bernyanyi, anak-anak yang bergembira, teman-teman yang berbahagia, serta segudang hal lain yang layak disyukuri. Akibat langsung dari olah spiritual seperti ini, ketegangan di dalam jauh berkurang. Jauh lebih sedikit energi terbuang karena konflik di dalam.

Sebagai akibatnya, jauh lebih banyak energi yang tersisa untuk berkarya serta menyembuhkan diri. Untuk kepentingan praktis, nafas adalah sahabat terdekat dalam hal ini. Sebagaimana kerap dibagikan di sesi-sesi meditasi, alasan penting kenapa manusia menderita karena pikiran mirip perahu yang dipermainkan oleh gelombang kehidupan. Dan nafas adalah jangkar yang membuat perahu pikiran senantiasa istirahat di pantai kedamaian.

Oleh karena itu, entah di tengah kesibukan kerja atau keluarga, selalu ingatkan diri untuk terhubung beberapa saat dengan jangkaf nafas. Kapan saja ada hal-hal yang di luar dari rutinitas biasa – dari alarm mobil, pintu yang ditutup terlalu keras, kenalpot motor terlalu keras – sempatkan selalu untuk kembali terhubung sebentar bersama jangkar nafas.

Bersamaan dengan itu, ingatkan diri untuk selalu terhubung dengan pantai kedamaian. Sukses adalah gelombang tinggi, gagal adalah gelombang rendah. Pujian orang adalah gelombang yang lain, cacian juga gelombang. Namun apa pun bentuk gelombangnya, cepat terhubung dengan jangkar nafas. Kemudian berlabuh di pantai kedamaian.

Siapa saja yang tekun dan tulus berlatih seperti ini, suatu hari akan menemukan ternyata sang Cahaya juga tersedia di setiap kekinian. Sang Cahaya ada di balik senyuman, berdekapan dengan energi penerimaan, serta senantiasa dihidupkan lagi dan lagi oleh rasa syukur yang mendalam. Inilah yang disebut sebagai indah di setiap langkah. Selalu simpan di dalam hati jiwa-jiwa yang indah, ia yang melakukan hal terbaik di saat ini juga sedang melakukan persiapan terbaik menuju masa depan.

Penulis: Guruji Gede Prama.
Photo Courtesy: outfrontlp.

|sumber

Mengenal Ajaran Sanātana Dharma

$
0
0

Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म “Kebenaran Abadi”), dan Vaidika-Dharma (“Pengetahuan Kebenaran”). Kata “Agama” yang dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata “gam” yang artinya “pergi” atau “perjalanan“. Urat kata “gam” ini mendapat prefix “a” yang berarti “tidak” dan tambahan “a” di belakang yang berarti “sesuatu” atau dapat berfungsi sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama diartikan “sesuatu yang tidak pergi“, tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Resi (Maha Resi) untuk mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan jasmaniah.

Kata “Hindu” berakar dari kata Sindhu. Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.

Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:

1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya,

2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk,

3. Karmaphala Tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan,

4. Punarbhava Tattwa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi),

5. Moksa Tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia.

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah “Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma”, yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.

Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

1. Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan,

2. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia,

3. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan,

4. Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.

Untuk bisa menjalankan dharma diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu :

1. Manacika yaitu berpikir yang bersih dan suci,

2. Wacika yaitu berkata yang benar,

3. Kayika yaitu berbuat yang jujur.

Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti “upaya penyucian”.Jadi “Trikaya-Parisudha berarti “upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita”.

Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma).

Secara hirarki bermula dari pikiran yang baik dan benar, akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “telaga yang jernih mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan, niscaya perkataan dan perbuatannya pun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.

Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Empat jalan itu disebut Catur Marga, yaitu:

1. Yoga Marga / Raja Yoga : menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga,

2. Jnana Marga/Jnana Yoga : menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya

3. Bhakti Marga/Bhakti Yoga : menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang poenyembah yang penuh kecintaan

4. Karma Marga/Karma Yoga : menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil.

Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ”Catur” berarti empat dan kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya, Wesya, dan Sudra.

1. Warna Brahmana adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

2. Warna Ksatrya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.

3. Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

4. Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan

Catur Asrama adalah empat tingkatan kehidupan yang wajib/ideal dijalani manusia Hindu selama hidupnya, yaitu : Brahmacari, Grhastha, Vanaprastha, dan Bhiksuka. Karena menjadi kewajiban, maka bila ada manusia Hindu yang tidak melaksanakan catur ashrama dengan baik, akan sia-sialah hidupnya di dunia ini.

1. Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).

2. Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).

3. Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.

4. Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa

Tri Hita Karana

Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

1. Parhyangan yaitu Manusia dengan Tuhannya,

2. Palemahan yaitu Manusia dengan alam lingkungannya,

3. Pawongan yaitu Manusia dengan sesamanya.

Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:

1. Sanghyang Jagatkarana (Tuhan),

2. Bhuana (alam dan lingkungan),

3. Manusia.

Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo’stiwistah kamadhuk – Bagawad Gita (III.10)

Artinya :

Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:

Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)

ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama

Ekam eva advityam Brahma – (Ch.U.IV.2.1)

Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.

Eko Narayanad na dvityo Sti kaccit – (Weda Sanggraha)

Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.

Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa – (Lontar Sutasoma)

Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.

Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)

Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.

Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah – (Bhagavad Gītā, 4.11)

Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku, dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham – (Bhagavad Gītā, 7.21)

Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam – (Bhagavad Gītā, IX.23)

Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)

Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini. |sumber


Permata Kesabaran

$
0
0

Tidak ada api yang lebih berbahaya dari kemarahan, tidak ada permata yang lebih indah dari kesabaran. Itu pesan yang sering terdengar di komunitas jiwa-jiwa yang indah. Yang menjadi pertanyaan nyaris semua orang, bagaimana memadamkan api kemarahan sekaligus menemukan permata kesabaran.

Dalam bentuknya yang sederhana namun dalam, kemarahan terjadi karena seseorang tidak mendapatkan apa-apa yang dia sukai, atau mendapatkan apa-apa yang ia tidak sukai. Dan kerangka suka dan tidak suka ini adalah buah pengkondisian yang berumur sangat panjang. Tidak bisa dihilangkan dalam sekejap.

Perhatikan anak-anak kecil yang sedang bermain di pinggir pantai. Seindah apa pun bangunan pasir yang mereka bangun, dalam waktu sekejap sudah dihancurkan oleh ombak. Hal yang sama juga terjadi dengan reputasi, nama baik, kekayaan, serta bangunan indah kehidupan yang lain. Persoalan waktu ia akan dihancurkan oleh ombak bernama waktu.

Siapa saja yang bisa mengerti dalam-dalam sifat tidak kekal dari semuanya, di satu sisi kualitas kemarahannya menurun. Di lain sisi, kualitas kesabarannya menaik. Orang yang dicerca mirip lumpur. Orang yang dipuja serupa bunga lotus. Sejalan dengan pertumbuhan waktu, lumpur sedang menjadi lotus, lotus sedang menjadi lumpur.

Disamping tidak kekal, semuanya sedang mengalir. Setiap ciptaan di alam ini mengalir. Tokoh yang banyak pengikutnya di hari ini, bisa menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan di hari lain. Remaja yang dibenci temannya di suatu hari bisa jadi pemimpin di hari lain.

Merenung di atas tumpukan bahan renungan seperti ini, kapan saja kemarahan datang menggoda selalu ingat sifat alami semuanya yang tidak kekal sekaligus mengalir. Tidak saja orang luar yang melukai tidak kekal, pikiran di dalam juga tidak kekal. Tidak saja pencerca di luar mengalir, suasana hati di dalam juga mengalir.

Idenya sederhana namun pelaksanaannya yang jauh dari sederhana. Terutama karena kepintaran, kesuksesan, keakuan sudah lama sekali memaksa agar yang disukai itu kekal dan permanen. Yang tidak disukai diharapkan pergi sejauh-jauhnya. Tidak mudah membuat kepintaran, kesuksesan yang bersekutu dengan keakuan untuk mengalir.

Tapi siapa saja yang mau sembuh dari penderitaan, lebih-lebih mau menemukan permata kesabaran, tidak ada pilihan yang lain selain tekun melatih diri agar memiliki pikiran yang cair, serta hati yang mengalir.

Suatu hari seorang Guru beladiri di pulau Okinawa Jepang dicegat dan ditantang berkelahi oleh seorang tentara AS yang sedang mabuk. Dengan sopannya, Guru bela diri ini tersenyum sambil lari menjauh. Murid yang ada di sebelahnya terbakar amarah kemudian bertanya: ‘kenapa tidak ditendang saja tentara mabuk tadi?’. Dengan tersenyum Guru bela diri ini menjawab: ‘belajar bela diri tidak untuk melukai orang, tapi untuk menjaga orang-orang’.

Inilah contoh konkrit jiwa indah yang sudah berjumpa permata kesabaran. Tentara yang mabuk di suatu sore bisa menjadi pria yang tersenyum di pagi berikutnya. Guru bela diri berbadan kekar di hari ini akan menjadi kakek tua yang berbadan lemah di tahun lain.

Penulis: Guruji Gede Prama
Picture Courtesy: Pinterest

|sumber

Naga Taksaka dalam Simbol dan Kisah

$
0
0

Naga Taksaka (Kaang) adalah naga bersayap sebagai simbol angkasa atau melambangkan atmosfer bumi sebagaimana digambarkan pada singgasana padmasana yang berbentuk menyerupai kursi dan dengan keindahan seni rupa, Naga Taksaka (yang bersayap) itu dilukiskan dengan dua ekor Naga Taksaka yang disebutkan dalam kutipan artikel Parisada Hindu Dharma pada Konsep Pemujaan dalam Padmasana.

Naga Taksaka dengan sayapnya, dalam kisahnya tatkala jaman bahari di nusa bali, rah 1 tanggek 1 caka 11 dalam babad pasek diceritakan Beliaulah yang ikut menyelamatkan Bali dengan menerbangkan sebagian gunung mahameru untuk diturunkan di Bali.

Dalam Catur Eswarya Dala sebagaimana disebutkan Hyang Naga Taksaka bersama Ida Bhatara Sambhu berstana di Pura Pengubengan, yang juga dijelaskan dalam Lontar Prekempa Gunung Agung sebagaimana disebutkan

babad bali dalam artikel Pura Gua Lawah

, Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka sebagai Bhatara Tengahing Segara.

Sehingga dalam upacara yadnya, selain Naga Taksaka sebagai simbol penguasa alam atas yang biasanya digambarkan dalam umbul-umbul, Naga Taksaka juga disimbolkan dalam sebuah daksina sebagai simbolis penghubung antara Jiwatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya pralina manusia itu sendiri.

Demikianlah disebutkan Naga Taksaka dalam simbol dan kisahnya pada sebuah babad sebagai salah satu daftar pustaka sejarah. |sumber

Padmasana – Niyasa Stana Hyang Widhi

$
0
0

Padmasana
Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu di Indonesia.

Secara etimologi Kata padmasana berasal dari bahasa Sanskerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : “padma” artinya bunga teratai dan “asana” artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.

Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi (Tuhan) karena memenuhi unsur-unsur:

1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan horizontal: Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.

2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/dasar), Sadasiwa (madyasana/tengah) dan Paramasiwa (agrasana/puncak).

3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana (pemujaan Matahari).

Padmasana adalah Niyasa Stana Hyang Widhi
Pelinggih Padmasana adalah niyasa atau symbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutan:

Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat/ dirasakan manusia sebagai matahari atau “Surya”
Sanghyang Tri Purusa, dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa.
Memperhatikan makna niyasa seperti di atas, jelaslah bahwa Padmasana adalah niyasa yang digunakan oleh Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah Pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta.

Hiasan Padmasana

Hiasan Padmasana adalah:

1. Di dasar bangunan ada Bhedawangnala, yaitu ukiran “mpas” (kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga. Kura-kura adalah symbol dasar bhuvana dibayangkan sebagai api magma, sedangkan naga adalah symbol Basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. Bhedawangnala adalah Bahasa Kawi, di mana ‘bheda” artinya: lain, kelompok, selisih; “wang” artinya: peluang, kesempatan; “nala” artinya: api. Jadi bhedawangnala artinya: suatu kelompok (kesatuan) yang meluangkan adanya api. Api di sini bisa dalam arti nyata sebagai dapur magma inti bumi, dapat juga dalam arti symbol lain yaitu energi kekuatan hidup. Karena letaknya di bawah/ dasar bangunan maka symbol bhedawangnala dapat bermakna sebagai kekuatan bumi ciptaan Hyang Widhi yang perlu dijaga, dan dapat pula bermakna sebagai dasar kehidupan manusia yaitu energi yang senantiasa perlu ditumbuh kembangkan.

2. Dewa Wisnu yang mengendarai Garuda diletakkan di bagian tengah belakang, adalah symbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai pemelihara.

3. Angsa diletakkan di bagian atas belakang, adalah symbol Sanghyang Saraswati bermakna sebagai: pengetahuan, ketelitian, kewaspadaan, ketenangan dan kesucian.

4. Acintya diletakkan di bagian atas depan, adalah symbol Hyang Widhi yang tidak dapat dilihat, dipikirkan wujudnya, di raba, namun vibrasinya dapat dirasakan.

5. Hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun, karang paksi, dll. yang semuanya bermakna sebagai symbol keaneka ragaman alam semesta.

Kesimpulan arti symbolis dari semua bentuk Padmasana adalah: Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-Nya telah menciptakan manusia sebagai mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu dijaga kelanggengan hidupnya.

Bentuk-bentuk Padmasana

Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana yaitu:

1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.

2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) – kanan (penengen), dst.

3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa.

4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa.

5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan).

Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin “utama” bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.

Letak Padmasana

Letak Padmasana menurut arah mata angin (pengider-ider bhuwana) ada sembilan macam yaitu:

No    Nama    Letak di    Menghadap ke
1    Padma Kencana    timur (purwa)    barat (pascima)
2    Padmasana    selatan (daksina)    utara (uttara)
3    Padmasari    barat (pascima)    timur (purwa)
4    Padma lingga    utara (uttara)    selatan (daksina)
5    Padma asta sedhana    tenggara (agneya)    barat laut (wayabya)
6    Padma noja    barat daya (nairity)    timur laut (airsaniya)
7    Padma karo    barat laut (wayabya)    tenggara (agneya)
8    Padma saji    timur laut (airsanya)    barat daya (nairity)
9    Padma kurung    tengah-tengah Pura (madya)    pintu keluar/ masuk (pemedal)
Pemilihan letak Padmasana berdasar pertimbangan letak Pura dan konsep “hulu – teben”. Filsafat hulu – teben timbul karena manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, kemudian “menganggap” Hyang Widhi seperti organ tubuh manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki. Perhatikan gambar symbol Acintya. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini membawa tatanan kehidupan “sekala” (nyata) dan “niskala” (tidak nyata), misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya bagian yang sangat sakral disebut sebagai “utama mandala”, bagian yang kurang sakral disebut sebagai “madya mandala” dan bagian yang tidak sakral disebut sebagai “nista mandala”. Hulu – Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.

Dalam membangun Padmasana, jika memakai Timur sebagai hulu, tidak masalah karena di mana-mana arah timur selalu sama. Tetapi jika memakai Gunung sebagai hulu maka ada perbedaan hulu teben. Misalnya di daerah Den Bukit (Buleleng) di mana hulunya (Gunung) adalah arah selatan maka sesuai letaknya dibangun Padmasana. Sebaliknya di selatan “bukit” (Gunung) mulai dari Pancasari ke Bali selatan di mana hulunya adalah arah utara maka sesuai letaknya dibangun Padma lingga. Di daerah Karangasem bagian timur di mana hulunya (Gunung) ada di bagian barat, maka sesuai letaknya dibangun Padma sari. Demikian seterusnya. Pemilihan letak Padmasana juga ditentukan oleh lokasi tanah pekarangan, misalnya untuk perumahan di kota-kota besar di mana sulit memilih letak tanah sesuai dengan konsep hulu – teben seperti di Bali, maka jika membangun Padmasana silahkan memilih alternatif yang terbaik di antara kesembilan jenis lokasi seperti tersebut di atas.

Memilih Lokasi

Bila ingin membangun Padmasana untuk penyungsungan jagat artinya yang permanen dan akan digunakan selamanya serta untuk kepentingan rekan sedharma dalam jumlah besar, perlu memperhatikan pemilihan lokasi yang tepat dengan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Lontar Keputusan Sanghyang Anala, lontar mana ditulis berdasarkan wahyu yang diterima oleh Bhagawan Wiswakarma. Selain untuk membangun Padmasana, aturan ini juga dapat berlaku untuk membangun Pura, Sanggah Pamerajan, dan perumahan.

Lokasi yang Baik yaitu:

1. Lebih tinggi di Barat (dari arah pusat kota atau dari arah jalan raya). Disebut “manemu labha” di mana sinar matahari tidak terhalang sejak pagi sampai sore, membawa keberuntungan dan umur panjang.

2. Lebih tinggi di arah laut, disebut “paribhoga wredhi”, membawa kemakmuran yang melimpah bagi penghuninya.

3. Rata (dengan jalan atau pusat kota) disebut “madya” tidak ada keistimewaan artinya biasa-biasa saja, namun dengan syarat: sinar matahari, udara dan air tersedia cukup tidak terhalang apapun.

4. Ketika berada di atas tanah itu perasaan damai, tentram dan hening, walaupun lokasi itu tidak memenuhi persyaratan seperti nomor 1,2,3 di atas, disebut “dewa ngukuhi”, membawa ketentraman bathin dan kedamaian.

5. Tanah berbau pedis ketika dicongkel sedalam 30 Cm, disebut “sihing kanti” sangat baik karena akan mempunyai banyak sahabat. |sumber

Mebanten Saiban / Ngejot

$
0
0

Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban / Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.

Mesaiban / Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :

YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT

Artinya : Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.

Makna dan Tujuan Mesaiban
Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.

Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya.

Sarana Banten Saiban
Banten saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya banten saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu.

Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana.

Tempat Menghaturkan Saiban
Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta:

Pertiwi(tanah) : biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman.
Apah(Air) : ditempatkan pada sumur atau tempat air.
Teja(Api) : ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor.
Bayu : ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi.
Akasa : ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).

Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.

Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.

Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.

Doa-doa dalam Yadnya Sesa (Doa Mesaiban)
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata(ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:

OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.

Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.

Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:

OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA,KALA,DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.

Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.

Jadi pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu mesaiban/mejotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau membersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan dipagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya . Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.

Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. –sumber

 

Penting…!!! Yang Punya Kekasih Non-Hindu Sebaiknya Baca Ini, Mekanisme Menikah Dengan Orang Non-Hindu dan Yang Akan Memeluk Hindu

$
0
0

Bersama makin sebanyak pendatang yang masuk ke Bali, asimilasi antar suku dan agama di pulau ini kian tidak jarang berlangsung. Makin tidak sedikit serta penganut Hindu di Bali yang mendapat istri/suami Non-Hindu. Gimana mekanisme menikah bersama orang Non-Hindu yang bakal ikut suami/istri masuk Hindu?

Hingga sekarang, pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Agama Republik Indonesia tidak mensahkan pernikahan beda agama, contohnya : mempelai cowok beragama Hindu sementara mempelai wanitanya Non-Hindu.

Tidak sah dalam pengertian, tak mendapatkan akte perkawinan. Seandainya tak punyai akte perkawinan sehingga nanti bila miliki putra/putri, pun tak ingin dapat mendapat akte kelahiran yang dibutuhkan buat beberapa perihal, contohnya : daftar sekolah, masuk asuransi, dlsb. Itu sebabnya pernikahan yang sah dengan cara administratif, mutlak.

Biar pernikahan bersama orang Non-Hindu jadi sah dan mendapat akte perkawinan, factor perdana yang wajib dilakukan calon mempelai Non-Hindu merupakan menjalankan prosesi upacara Suddhi Wadani (baca : sudi wadani), umumnya dengan dibantu oleh calon mempelai yang telah beragama Hindu.

Sedikit berkenaan Suddhi Wadani. Upacara ini merupakan prosesi khusus yg wajib dilaksanakan oleh satu orang Non-Hindu yang mau jadi penganut Hindu. Upacara Suddhi Wadani sendiri sesungguhnya bukan mekanisme administratif belaka, melainkan pun bermakna juga sebagai fasilitas penyucian diri dan opini spiritual bahwa yang bersangkutan siap laksanakan semua falsafah agama Hindu.

Maka Suddhi Wadani tak saja dilakukan lantaran satu buah proses pernikahan, melainkan lantaran argumen apapun yang menciptakan seseorang memutuskan buat masuk Hindu.

Ini dirinya mekanisme adminsistratif yang mesti diikuti untuk melangsungkan Suddhi Wadani :

1. Untuk Surat Opini masuk Hindu atas basic keinginan sendiri/tanpa ada paksaan dari siapapun (bermaterai Rupiah. 6.000,-).

2. Perlihatkan surat opini tersebut utk meminta blangko Sudi Wadani pada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) setempat.

3. Jalankan upacara Sudi Wadani di area rohaniawan (baik Sulinggih atau Pemangku/Pinandita).

4. Blangko Sudi Wadani dari PHDI setelah itu ditandatangani oleh orang yang bersangkutan, PHDI (yang merupakan saksi) dan rohaniawan yang muput upacara.

5. Sesudah blangko selesai diisi dan ditandatangani sehingga tinggal menunggu sertifikat Sudi Wadani yang dapat dikeluarkan oleh PHDI setempat.

6. Sesudah sertifikat ini ke luar sehingga pemohon yang tadinya Non-Hindu, sekarang ini telah sahjadi Hindu.

(Sumber : Kantor Departemen Agama Kota Denpasar)

Buat lebih menurutnya, berkaitan mekanisme Suddhi Wadani, bisa tanya serta-merta ke PHDI setempat. Bagi yang tinggal di Denpasar, dapat pula ke Kantor Departemen Agama Kota Denpasar, Jl. Gatot Subroto VIJ, Lumintang, Denpasar.

Sesudah sah jadi penganut Hindu, sehingga siap utk melangsungkan upakara perkawianan dan pendaftaran di Catatan Sipil (Departemen Kependudukan) guna mendapatkan akte perkawinan,yang semoga telah tak ada gangguan lagi, setidaknya dengan cara administratif.

Jauh lebih mutlak dari sekedar mengikuti mekanisme adminisitratif seperti diatas merupakan sungguh-sungguh menjalankan falsafah Hindu yg dengan cara sederhana sanggup dibagi jadi 3 kerangka basic, sbb :

1. Menjalankan Tattwa, yakni melakoni hidup bersama mengikuti prinsip-prinsip yang ada dalam aliran Hindu;

2. Menjalankan Susila, merupakan menunjukan pola pikir, kata kata & tingkah laku beretika, tepat bersama adat Hindu;

3. Menjalankan Upacara, ialah laksanakan puja, upacara dan upakara yang dalam Hindu dinamakan ‘Yadnya’ cocok bersama tatacara Hindu.

Ini sanggup dilakukan entah secara menuntut ilmu dengan cara kusus dgn seseorang guru agama atau bersama keluarga yang dimasuki yang pastinya beragama Hindu, contohnya : mertua, ipar, sanak-saudara, kerabat, bahkan tetangga yang beragama Hindu. Yang paling ideal, pastinya dituntun oleh suami/istri yang tentunya beragama Hindu.

Tak saja aset buat diri-sendiri (juga sebagai penganut Hindu), melainkan pula yang merupakan modal utk membina putra-putri yang dapat dilahirkan nanti, supaya mejadi anak-anak yang “Suputra” (jadi penyebar kedamaian, sekaligus penerang di dalam keluarga, lingkungan, dan penduduk luas.)  –sumber

TUJUAN YANG TERTINGGI DALAM PEMUJAAN DAN ARTI SIWA LINGGAM

$
0
0
SECARA HARAFIAH
Secara keliru, kata ‘linggam’ di artikan sebagai phallus (alat kelamin). Linggam itu secara harafiah berarti simbol, isyarat, atau tanda. Jadi Siwa Linggam berarti simbol Siwa. Siwa dalam hal ini mewakili pure consciousness. Pemujaan pada Siwa secara arti yang mendalam adalah pernyataan ‘mematok’ diri agar mengalami atau merealisasikan pure consciousness, yang tidak lain, adalah sifat kesadaran kita sendiri.
KISAH DALAM PURANA
Dalam Lingga purana, dikisahkan suatu ketika dewa Wisnu berbincang-bincang dengan Dewa Brahma tentang asal mula dunia ini.
Dewa Brahma berkata kepada Dewa Wisnu bahwa dirinyalah yang menciptakan dunia beserta seluruh isinya, berkenaan dengan hal tersebut Dewa Wisnu lalu menjawab bahwa dialah juga sebagai arsitek pencipta dari segala yang ada didunia ini. Dewa Brahma tidak mengakui pernyataan dari Dewa Wisnu, demikian juga sebaliknya.
Keduanya bersitegang, ketika itulah muncullah sebuah linggam berbentuk api alam semesta.
Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sepakat untuk menemukan puncak dan pangkal(dasar) dari lingga tersebut, kemudian Dewa Brahma Berubah wujud manjadi seekor angsa dan terbang menuju puncak lingga dan Dewa Wisnu berubah menjadi seekor babi lantas masuk kebumi mencari pangkal/dasar dari lingga tersebut.
Usaha kedua dewa tersebut ternyata tidak seperti yang diharapkan, puncak & dasar lingga tidak berhasil ditemukan dan kemudian kedua Dewa tersebut mangakui bahwa mereka berdua bukanlah yang terbesar, bahwa ada yang lebih besar dari dirinya.
Kemudian muncullah Dewa Siwa dari dalam lingga lantas Dewa Brahma & Dewa Wisnu menyembahnya. Selanjutnya Dewa Siwa berkata “anda berdua Brahma & Wisnu, sayalah yang melahirkan anda, Brahma dari pinggang kanan saya & Wisnu dari pinggang kiri, kita bertiga sesungguhnya satu namun kita sekarang terpisah dalam tiga aspek yaitu : Brahma,Wisnu dan Maheswara”.
SUDUT PANDANG ASTRONOMI
Beberapa orang memahami Lingga yang berupa api adalah peristiwa Big Bang. Terjadi letusan yang maha dasyat yang menyebar ke segala penjuru. Dewa Brahma ke atas artinya menuju penjuru atas yang sangat jauh tak terhingga. Dewa Wisnu mengikuti ujung penjuru bawah yang juga jauh tak terhingga. Karena merasa tak terhingga, kedua Dewa tersebut kembali pada tempat semula.
SUDUT PANDANG FILSAFAT SPIRITUAL
Terlepas dari sebagian interpretasi yang melibatkan asal usul semesta dari sudut pandang astronomi, saya lebih cenderung memahami dari sudut pandang filsafat.
Ujung tak terhingga adalah tentang luasnya semesta, lebih tepatnya itu adalah makro (macro cosmos). Sedangkan asal dari Linggam adalah mikro (micro cosmos). Mikro itu tentang bathin. Pada tingkatan yang paling dalam, itu adalah pure consciousness.
Pure consciousness adalah kesadaran dasar kita. Seperti ruang yang mendasari segala sesuatu. Itu tentang sifat bathin yang paling dasar. Fenomena atau pengalaman yang kita rasakan itu hanyalah bentuk-bentuk pikiran yang memenuhi ruang bathin kita. Pure consciousness sebagai ruang mulai dipenuhi bentuk-bentuk pikiran yang lebih kasar dan semakin kasar. Maka kita mengenal bentuk realitas yang halus, lembut lalu lama kelamaan menjadi yang kasar atau yang berbentuk solid terlihat.
MENJADI LINGGAYONI
Dari kata ‘Siwa Linggam’ menjadi ‘Linggayoni’. Kata ‘Linggayoni’ mungkin lebih sering kita dengar.
Yoni adalah energi, atau aspek dinamis dari Siwa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Siwa mewakili pure consciousness yang statis. Disebut statis karena sifatnya hanya seperti ruang. Sedangkan aspek dinamis adalah energi atau yoni. Bisa dikatakan bahwa yoni adalah isi yang memenuhi ruang. Yoni adalah perubahan yang kita alami. Energi adalah sesuatu yang berproses, bergerak atau berubah.
Siwa yang meliputi segalanya artinya Siwa meliputi yang dinamis itu tadi. Sama seperti kita menyebut suatu kamar beserta isinya. Ruang dalam kamar adalah pure consciousness sedangkan isi yang ada di kamar tersebut adalah yoni.
MAKNA PEMUJAAN LINGGAYONI
Dalam masyarakat pedalaman, pemujaan Linggayoni memiliki konotasi pemujaan atau kultus kesuburuan. Secara populer Linggayoni dipahami sebagai lambang kesuburan dengan konotasi penyatuan antara Siwa dan Parwati.
Konotasi penyatuan ini juga dimaknai sebagai bentuk penghormatan pada orang tua dan leluhur.
Secara filosofis, Parwati sebagai shakti (energi)nya Siwa. Shakti dalam hal ini adalah yoni. Pemujaan Linggayoni lebih merupakan kontemplasi bahwa dalam diri kita selalu memiliki dua aspek yaitu yang statis dan dinamis. Yang statis adalah sifat bathin yang murni. Yang dinamis adalah keadaan diri dan keadaan sekitar kita yang berubah dan tidak kekal.
Keadaan berubah ini adalah hubungan relasi dari empat elemen yaitu elemen api, air, angin dan elemen tanah. Sedangkan yang tidakberubah, atau keadaan bathin murni (pure consciousness) itu adalah elemen ruang.
Dalam tradisi Jawa adalah sedulur papat limo pancer. Ada empat elemen dan elemen yang kelima yaitu elemen ruang adalah kesadaran kita sendiri. Sedulur papat limo pancer adalah pemetaan bathin dan keadaan sekitar.
Pemujaan Linggayoni memuat pemahaman hidup yang mendalam. Secara populer boleh saja menjadi kultus kesuburan atau juga penghormatan pada leluhur. Namun secara puncak, pemujaan ini adalah afirmasi diri agar menyadari/merealisasikan sifat bathin. Dalam jalan spiritual, inilah yang menjadi tujuan yang tertinggi. –sumber

KISAH LENGKAP TENTANG DEWA SIWA

$
0
0
Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan
Āgama.Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.
Kelahiran Rudra
 SIWA
Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Çiwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.
Siwa Mahādewa
 SIWA
Dalam kitab Mahābhārata, Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Siwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Siwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.
Pertama kalinya Çiwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Siwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b).
Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Çiwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Çiwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Çiwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Çiwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.
Siwa Trinetra
 SIWA
Uraian tentang Siwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Siwa. Sati, anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Ciwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”.
Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Çiwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Çiwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Çiwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Çiwa “terbangun”. Çiwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Çiwa “jatuh cinta” pada Parwati.
Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Çiwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Çiwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara /Kartikeya atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka /Tarkasura.
Siwa Nilakantha
 SIWA
Çiwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Çiwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Çiwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Çiwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.
Asal Mula Atribut Siwa
 SIWA
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Çiwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Ciwa.
Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Çiwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Çiwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Çiwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.
Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Çiwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Çiwa. Çiwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Çiwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Çiwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.
Sapi Jantan Wahana Dewa Siwa
 SIWA
Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Çiwa. –sumber

KENAPA HINDU TIDAK MEMPERMASALAHKAN PERBEDAAN? INILAH PENJELASANNYA

$
0
0
Agama Hindu merupakan agama yang ketiga terbanyak dunia dan dikenal memiliki sekte yang sangat banyak. Namun pernah kah kita menelisik lebih dalam kenapa agama Hindu hingga saat ini masih tetap bersatu?
Padahal jika dilihat dari agama lain sangat disiplin tentang ajaranya misalnya saja Islam yang menekankan bahwa tidak boleh mempelajari agama lain atau mempraktekan ajaran yang mengandung ajaran agama lain contohnya Yoga.
Tetapi dalam Hindu Tidak mempermasalahkan itu. Bahkan dalam dalam satu Pura saja tidak mempermasalahkan jika ada yang mempraktikkan cara sembahyangnya berbeda dengan yang lain. Pertanyaannya kenapa hal itu terjadi dan kenapa umat Hindu menerimanya dan masih damai sampai sekarang dengan begitu banyak perbedaan? Berikut jawabannya:
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran karena tiadanya skisma meskipun ada kemajemukan tradisi yang bernaung di bawah simbol-simbol agama Hindu. Dalam tubuh agama Hindu, perbedaan pada setiap tradisi bahkan pada agama lain tidak untuk diperkarakan, karena ada keyakinan bahwa setiap orang memuja Tuhan yang sama dengan nama yang berbeda, entah disadari atau tidak oleh umat bersangkutan. Dalam kitab Regweda terdapat suatu bait yang sering dikutip oleh umat Hindu untuk menegaskan hal tersebut, sebagai berikut:
 Ekam Sat Viprāh Bahudhā Vadanti
Arti: “Hanya ada satu kebenaran, tetapi para cendekiawan menyebut-Nya dengan banyak nama.” (I:CLXIV:46)
Agama Hindu memandang seluruh dunia sebagai suatu keluarga besar yang mengagungkan satu kebenaran yang sama, sehingga agama tersebut menghargai segala bentuk keyakinan dan tidak mempersoalkan perbedaan agama. Maka dari itu, agama Hindu tidak mengakui konsep murtad, bidah, dan penghujatan.
Agama Hindu bersifat mendukung pluralisme agama dan lebih menekankan harmoni dalam kehidupan antar-umat beragama, dengan tetap mengindahkan bahwa tiap agama memiliki perbedaan mutlak yang tak patut diperselisihkan. Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, setiap orang tidak hanya patut menghargai agama lain, namun juga merangkulnya dengan pikiran yang baik, dan kebenaran itulah yang merupakan dasar bagi setiap agama.
Dalam agama Hindu, toleransi beragama tidak hanya ditujukan pada umat agama lain, namun juga pada umat Hindu sendiri. Hal ini terkait dengan keberadaan beragam tradisi dalam tubuh Hinduisme. Agama Hindu memberikan jaminan kebebasan bagi para penganutnya untuk memilih suatu pemahaman dan melakukan tata cara persembahyangan tertentu. Sebuah sloka dalam Bhagawadgita sering dikutip untuk mendukung pernyataan tersebut:
Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah.
Arti: Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai Arjuna (Bhagawadgita, IV:11)
Dalam Parlemen Agama-Agama Dunia (1893) di Chicago, Vivekananda juga mengutip suatu ayat yang menyatakan bahwa setiap orang menempuh jalan yang berbeda-beda dalam memuja Tuhan, sebagaimana berbagai aliran sungai pada akhirnya menyatu di lautan. –sumber

Tugun Karang Sebagai Pintu Niskala

$
0
0

Bagi masyarakat Hindu Bali setiap bangunan suci atau pelinggih yang ditempatkan di pekarangan rumah atau tempat suci keluarga pasti difungsikan masing-masing sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Bangunan suci tersebut tidak saja difungsikan, tetapi diyakini pula sebagai sthana Dewa-Dewi atau linggih Ida Bhatara, roh suci leluhur dan makhluk niskala lainnya. Namanya keyakinan, tidak perlu kita telisik darimana keyakinan tersebut muncul.Yang jelas mereka meyakini bahwa adanya bangunan suci adalah tempat bagi manusia menjalin hubungan dengan yang niskala. Terlebih bangunan suci pelinggih Tugun Karang atau sering disebut dengan Pengijeng Karang sangat sering dihubungkan dengan hal yang niskala, baik dalam teks mitologi sastra maupun dalam mitos lisan yang tenget.

Menariknya, mitos lisan tenget Pelinggih Tugun Karang sering dihubungkan dengan hal magis dan terkesan mistis. Tetapi memang demikianlah adanya, hal yang mistis, gaib dan magis sangat susah dibawa dalam ranah logika dan emperik, serta selamanya ia akan tetap menjadi misteri. Misteri, bukan berarti kita wajib memecahkannya dengan logika, tetapi yang misteri biarlah menjadi misteri bagian dari pengalaman manusia dalam berhubungan dengan dunia niskala. Sebab ada beberapa misteri di alam niskala manusia tidak diperbolehkan memecahkannya. Terlebih cerita – cerita niskala yang berkaitan dengan mistik magis berusaha dilogikakan selamanya tidak akan nyambung. Anehnya, manusia kekinian sering sekali memaksa menarik yang niskala dalam ranah sekala yang terbatas. Alhasil banyak manusia yang putus asa akibat kehilangan kepekaan mereka terhadap yang niskala.

Tugun Karang yang dibuat oleh tetua Bali, bukanlah hanya sekadar bangunan suci dan sesederhana pemahaman kita manusia modern yang kritis memahaminya. Tugun Karang adalah bangunan tenget yang dibuat dan diletakkan di tempat khusus melalui perhitungan tenget (magis-mistik).Tujuannya, jelas untuk menarik makhluk niskala yang memiliki tingkatan kesaktian (kekuatan niskala) lebih tinggi dari Jin, gamang, dedemit dan yang lainnya. Setelah Tugun Karang selesai ditempatkan pada tempat khusus, seperti depan pintu masuk dan barat laut pekarangan. Selanjutnya, melalui banten dan prosesi khusus makhluk niskala disthanakan di Tugun Karang. Setelah melewati prosesi tersebut, secara sah secara niskala makhluk tersebut menjadi penunggun karang dengan harapan mampu memberikan perlindungan pada manusia (penghuni rumah) dari gangguan niskala. Sebab gangguan niskala, hanya kekuatan niskala yang mampu menetralisirnya.

Dengan demikian, peletakan Tugun Karang dalam setiap pekarangan dimaksudkan agar makhluk tersebut memberikan perlindungan kepada penghuni rumah. Namun, kadangkalanya juga bisa mengganggu penghuni, jika penghuni rumah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan persembahan. Sebab makhluk niskala juga membutuhkan energi (power) dari beberapa jenis persembahan untuk melindungi penghuni rumah. Makhluk niskala akan menjadi setia jika si penghuni rumah memberikan persembahan secara rutin sebagai ungkapan terimakasih atas kuasa dan kekuatannya telah memberikan perlindungan selama 24 jam.

Tradisi emik yang luar biasa yang diwariskan tetua Bali. Pada umumnya orang akan memperkejakan manusia sebagai makhluk sekala untuk menjaga rumah, tetapi masyarakat Hindu Bali menempatkan makhluk niskala sebagai penjaga rumah. Percaya atau tidak, makhluk niskala sebagai penunggu Tugun Karang akan memberikan perlindungan maksimal, baik secara sekala dan niskala.
Banyak yang tak mengetahui bahwa Tugun Karang adalah pintubagimakhlukniskala yang datang dari dunia niskala ke sekala. Sesungguhnya, jika manusia berkehendak memasuki dimensi niskala, harus melewati pintu ini. Bahkan roh manusia ketika terlepas dari raganya terlebih dahulu harus memohon ijin kepada penghuni Tugun karang, agar berkenan membukakan pintu niskala. Hal ini dapat dibuktikan, jika dimana ada kematian datanglah ke Tugun Karang dan jika anda peka, maka didengar isak tangis roh yang mendayu dan sedih harus meninggalkan raganya.Terutama bagi orang yang mati ulah pati-salah pati. Ini hanya akan dilihat bagi mereka yang waskita, karena belajar olah bathin bisa juga karena melik kelahiran.

Makhluk niskala ini lebih canggih dari CCTV, bahkan mampu merekam kejadian dan kondisi niskala dan sekala dengan baik. Olehnya, jagan sekali-kali kita mengira gila, jika ada orang atau balian (dukun tradisional Bali) yang berbicara dengan penghuni penunggun karang untuk mendiagnosa penyakit penghuni rumah dan yang lainnya.

Tidak hanya itu, ternyata penghuni Tugun Karang memiliki peran penting untuk melindungi penghuni, jika ada serangan gaib, baik desti dan terangnjana dan sejenisnya. Bagi penekun desti, untuk mengirim deluh dan destiny ke target terlebih dahulu ia harus memohon kepada Hyang Nini Bhairawi di pemuwunan setra. Atas perintah HyangNini, maka disuruhlah si penekun desti untuk meminta ijin kepada penunggun Karang si target untuk mengirim deluh dan destiny ke sasaran. Jika si penunggun karang tidak memberikan ijin dan tak berkenan, maka si penekun desti tak akan bisa berbuat apa-apa, bahkan Hyang Bhtari pun tak bisa menolongnya. Betapa pun kesaktian si penekun desti jika Penunggun Karang tak mengijinkan, maka deluh dan destiny akan sia-sia. Sebab Penunggun Karang akan membentengi melalui kekuatan niskala kepada seluruh penghuni rumah sehingga senjata desti akan dineteralisir.

Pengamatan penulis terhadap perlawanan si penunggun karang jika ada orang berniat jahat pun demikian dalam dunia sekala, Penunggun Karang memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya. Bisa dipercaya atau tidak, kekuatannya mampu membuat orang linglung, bingung dan yang lainnya. Bahkan kekuatannya mampu menghentikan seketika orang berbuat jahat berbalik menjadi baik dan welas asih terhadap penghuni rumah. Menariknya, Penunggun Karang mampu membuat perlindungan dengan tipuan maya. Bisa membuat rumah penghuni seolah-olah Nampak menjadi lautan sehingga orang yang berniat jahat lari tunggang-langgang. Bahkan si Penunggun Karang, dapat membuat orang yang berniat jahat berjalan sepanjang hari mengitari pekarangan rumah tidak menemukan jalan pulang. Anehnya lagi, Penunggun Karang mampu memunahkan dengan seketika perkakas seseorang  yang berniat jahat.

Namun, belakangan kita yang campah dengan kekuatan makhluk niskala yang ada di Tugun Karang. Bahkan kebanyakan dari kita mempertanyakan kembali sumber kebenaran dari keyakinan tersebut. Anehnya, banyak dari kita berspekulasi bahwa kepercayaan itu adalah kepercayaan sesat dan bertentangan dengan doktrin Weda. Ada kelompok tertentu, menghancurkan pelinggih Tugun Karang menggantikannya dengan citra lain yang “kurang pas” dnegan kepercayaan lokal Bali.

Tugun Karang berasal dari kata “tuhu” yang artinya tahu atau mengetahui dan berpengetahuan. Karang artinya pekarangan atau halaman rumah bisa juga karang diri atau tubuh. Siapa yang memahami dan mengetahui karang dirinya dengan baik, maka ia adalah yang mencapai keseimbangan niskala-sekala. Dalam mistik kadyatmikan dan kawisesan, Tugun Karang adalah bijaksara mantra yang utama. Tugun adalah Tang, Ang dan Ung; diringkas menjadi Karang, yakni Ang dan Ah. Ang dan Ah dwiaksara simbol kehidupan dan kematian. –sumber

Manfaat Yang Berlimpah Dari Mantra Om Namah Shivaya

$
0
0

Mantra berasal dari kata MAN dan TRA yang artinya pembebasan pikiran. Dari asal kata tersebut maka bisa diumpamakan bahwa mantra memiliki suatu kegunaan dalam pembebasan dari pikiran-pikiran negatif yang membelenggu. Mantra diyakini memiliki getaran-getaran positif dan berhubungan langsung dengan keberadaan Tuhan yang Luas.

Mantra pemujaan Dewa Shiva yaitu “Om Namah Shivaya” disebut mewakili semua mantra dari tantra, karena keluasan maknanya laksana samudera yang memiliki banyak sekali  rahasia. Secara literal dalam bahasa sansekerta “Om Namah Shivaya” berarti saya mohon perlindungan, tuntunan dan keselamatan dari Dewa Shiva.

Tapi maknanya tidak hanya sampai disitu. Mantra “Om Namah Shivaya” memiliki kandungan kekuatan luar biasa, dimana setiap suku kata menuai karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa dari belenggu pikiran dan belenggu samsara.

Mantra “Om Namah Shivaya” adalah panca aksara sebagai seluruh alam semesta itu sendiri yang terdiri dari lima unsur dasar [panca maha bhuta], yaitu : Na adalah unsur padat [pertiwi], Ma adalah unsur air [apah], Si adalah unsur cahaya [teja], Va adalah unsur udara [bayu] dan Ya adalah unsur ruang [akasha].

Manfaat Mantra Om Namah Shivaya

Dalam Mantra Om Namah Shivaya terdapat manfaat yang berlimpah bisa dapatkan atau dirasakan, yang terbagi menjadi tiga rentang waktu ketekunan kita di dalam melakukan penjapaan mantra.

MANFAAT SEKETIKA

  1. Sewaktu kita menjapa mantra “Om Namah Shivaya”, kita mengisi pikiran kita dengan limpahan energi-energi mahasuci dari kesadaran kosmik Dewa Shiva. Ini membuat badan dan pikiran kita lebih murni dan tingkat kesadaran kita secara niskala lebih tinggi. Karena kita melakukan upaya mengakses energi mahasuci kesadaran kosmik.
  2. Penjapaan mantra “Om Namah Shivaya” akan membangun keteguhan dan kejernihan pikiran kita, karena penjapaan mantra membuat riak-riak pikiran dan cengkraman energi buruk mereda di dalam diri kita. Sehingga kita tidak lagi rapuh atau emosional menghadapi pengaruh keadaan yang buruk diluar, serta pikiran tidak lagi berkeliaran kemana-mana. Ketika kondisi ini tercapai, maka kita mendapatkan ketenangan pikiran.

MANFAAT JANGKA WAKTU TERTENTU

  1. Mantra ini dapat mengembalikan semua tulah kutukan dan mantra lainnya yang berusaha melukai kita,semua hal yang berupa rintangan dan tidak baik akan dilontarkan kembali pada asalnya. Mantra ini memberi perlindungan dari kekuatan-kekuatan negatif.
  2. Seiring waktu ketekunan penjapaan mantra”Om Namah Shivaya” dapat meredakan keliaran pikiran kita, seperti keserakahan, rasa takut, trauma, keinginan-keinginan liar, iri hati, marah dan benci. Disinilah dampak awal penjapaan mantra akan mulai dirasakan, dimana dalam kehidupan sehari-hari pikiran dan emosi negatif akan terkikis, serta obyek-obyek indriya juga akan kehilangan cengkeramannya kepada pikiran kita. Karena energi dari penjapaan mantra mengharmoniskan energi pikiran kita. Pikiran kita akan lebih tenang-seimbang. Tersembuhkan dari ketidakstabilan jiwa seperti sifat emosional, pendendam, halusinasi, dsb-nya.
  3. Mantra ini membersihkan setiap kerak kekotoran diri dan karma buruk yang kita lakukan. Menjapa mantra “Om Namah Shivaya” dengan tekun dan pikiran terfokus akan mengikis karma buruk. Pengikisan karma buruk memiliki dampak yang membuat kita dapat mengalami peningkatan ke arah lebih baik, lebih lancar dan lebih terang dalam berbagai bidang kehidupan.
  4. Bila sadhana ini terus rutin kita lakukan di rumah kita dalam jangka waktu tertentu, juga akan bermanfaat untuk membersihkan lingkungan rumah dari pengaruh energi buruk. Penjapaan mantra akan menghasilkan pola getaran energi mantra yang suci yang menetralisir pengaruh energi buruk di sekitar kita. Dengan semakin sering dan konsisten kita melakukan japa mantra, hasilnya akan memberi pengaruh lebih baik kepada rumah tempat tinggal kita.
  5. Menjapa mantra “Om Namah Shivaya” dengan tekun dan pikiran terfokus, akan dapat menyentuh hati dan menggugah Dewa Shiva secara langsung, sehingga Beliau berkenan hadir dan menampakkan diri kepada kita. Cahaya-Nya akan membantu menerangi dan membebaskan kita dari kegelapan dalam bentuk godaan-godaan duniawi yang tidak ada habis-habisnya ini.

MANFAAT JANGKA PANJANG

  1. Mantra ini menumbuhkan sifat welas asih dan kebijaksanaan. Dengan semakin berkembangnya sifat-sifat sattvika di dalam diri kita, maka kemahasucian dari kesadaran kosmik Dewa Shiva perlahan akan semakin nyata kita hadirkan dalam jiwa.
  2. Dapat menghasilkan kontak yoga antara kekuatan kesadaran di dalam diri dan kekuatan Dewa Shiva. Dengan kata lain mencapai “penyatuan dewa dan manusia”, dimana kekuatan penyatuan ini dapat menghasilkan karunia-karunia luar biasa seperti terbukanya trineta[mata ketiga], atau karunia dapat mengunjungi alam-alam dewa, memperoleh ajaran rahasia Beliau, dsb-nya.
  3. Menjapa mantra “Om Namah Shivaya” dengan tekun dan pikiran terfokus, maka sewaktu meninggal dunia, Dewa Shiva akan muncul untuk menjemput kita ke alam suci-Nya [Shiva Loka]. Tidak hanya di masa kini, tapi para orang-orang suci di masa lampau juga telah mengkonfirmasi bahwa karunia dari menjapa mantra “Om Namah Shivaya” sungguh besar, sehingga dapat melenyapkan semua karma buruk kita yang tertumpuk dari masa lampau yang tak terhingga. Disaat kita mengalami kematian akan mendapat perlindungan dari Dewa Shiva di alam suci-Nya. Ini tentu sebuah karunia perlindungan, tuntunan dan keselamatan yang luar biasa.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama dan bagikan kepada semeton dunia maya. Suksma… –sumber

Mengenal Tentang Bhatara Hyang Guru Lebih Dalam

$
0
0
Didalam agama Hindu khususnya di Bali, Bhatara Hyang Guru (Bhatara Guru) yang juga disebut Sang Hyang Pramesti Guru  adalah guru sejati. Bhatara Surya memberikan gelar kehormatan “Bhatara Guru” sebagai ucapan terima kasih karena telah menjadi salah satu anak muridnya Dewa Siwa. Gelar itu diberikan kepada beliau karena Dewa Siwa merupakan guru dari para Dewa.
Dalam lontar Sundarigama yang pada saat Pagerwesi merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru, kita sujud kepada-Nya, merenung dan memohon agar hidup kita ini direstui-Nya dengan kesentosan, kemajuan hidup dll.
Dalam Tutur Gong Besi (kelompok naskah yang memuat ajaran Siwaistik) Bhatara Guru adalah Dewa Siwa itu sendiri dengan sebutan Ida Bhatara Dalem.
Ida Bhatara Dalem adalah Bhatara Guru sebagai Sanghyang Paramawisesa, karena semua rasa baik, rasa sakit, rasa sehat, rasa lapar dan sebagainya adalah beliau sumbernya.
Beliau adalah asal dari kehidupan, beliau memelihara alam semesta ini dan beliaulah penguasa alam kematian yang tidak ada melebihi beliau sehingga beliau juga disebutkan dengan Sanghyang Pamutering Jagat.
Karena kemahakuasaan beliau sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur, beliau disebut dengan banyak nama, sesuai dengan fungsi dan tempat beliau berstana. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di Pura Puseh, beliau dipuja sebagai Sanghyang Triyodasa Sakti
  2. Di Pura Desa, beliau dipuja sebagai Sanghyang Tri Upasedhana
  3. Di Pura Bale Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Bhagawati
  4. Di perempatan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Catur Bhuwana.
  5. Di pertigaan jalan raya beliau dipuja sebagai Sanghyang Sapu Jagat
  6. Di Kuburan atau Setra Agung beliau dipuja sebagai Bhatara Durga
  7. Di tunon / di pemuwunan (tempat pembakaran mayat) beliau dipuja sebagai Sanghyang Bherawi.
  8. Di Pura Pengulun Setra, beliau dipuja sebagai Sanghyang Mrajapati
  9. Di Laut, beliau dipuja sebagai Sangyang Mutering Bhuwana
  10. Di Langit, beliau dipuja sebagai Bhuwana Taskarapat
  11. Di Gunung Agung, beliau dipuja sebagai Sanghyang Giri Putri
  12. Di Gunung Lebah, beliau dipuja sebagai Dewi Danu
  13. Di Pancuran Air, beliau dipuja sebagai Sanghyang Gayatri
  14. Di Aliran sungai, beliau dipuja sebagai Betari Gangga
  15. Di Sawah, beliau dipuja sebagai Dewi Uma
  16. Di Jineng atau lumbung padi, beliau dipuja sebagai Dewi Uma
  17. Di Bejana (Tempat beras0, beliau dipuja sebagai Sanghyang Pawitra Saraswati.
  18. Di dalam priuk Nasi / makanan, beliau dipuja sebagai Sanghyang Tri Merta
  19. Di Kemulan, beliau dipuja sebagai Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahmasebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika ada penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. –sumber

Tips Memperoleh Anak Laki-Laki Menurut Hindu-Bali

$
0
0
Mempunyai keturunan adalah hal yang selalu diinginkan oleh setiap pasangan suami istri. Khususnya anak laki-laki jika dalam tradisi bali merupakan anak yang akan menjadi penerus utama keluarga nanti. Berikut ini adalah pembahasan tentang mendapatkan anak laki-laki menurut tradisi Hindu–Bali.
Kewajiban istri
Bayi dalam kandungan bisa terwujud berkat pertemuan antara kama petak dan kama bang yang juga disebut cukla swanita yang keluar dari purusa (laki-laki) dan pradana (wanita). Kama petak adalah unsure laki-laki yang juga disebut cukla yang disimbolkan dengan Sang Hyang Semara. Sedangkan kama bang adalah unsure perempuan yang juga disebut swanita, yang disimbolkan dengan Dewi Ratih. Kama petak dan kama bang yang disebut cukla swanita itu, lalu disimbolkan dengan Sang Hyang Semara Ratih.
Menurut salinan lontar Smara Kriddha Laksana bahwa suami istri yang melakukan senggama, terlebih dahulu hendaknya mengucapkan mantra
    “Om krong karetaya sampurana Dewa Manggala ya namah”
Selanjutnya dalam persenggamaan agar suami istri memperoleh keturunan atau anak bijaksana, maka mengucapkan mantra:
   “Om rang Rudra ya namah, idep sire sadkrosa”.
Kalau menginginkan anak yang selalu berhasil dalam hidupnya nanti, mantra yang diucapkan:
“Om jrung mrtyuncaya ya namah”.
Selain itu suami istri melakukan pantangan yaitu dilarang membunuh makhluk hidup dan hati selalu cinta damai. Kalau ingin memiliki putra pintar, mantra yang diucapkan:
“Om crikomadewa ya namah,” bratanya ialah suami istri melakukan hubungan itu hendaknya saling asih.
Dari lontar tersebut juga disebutkan kiat memperoleh anak laki-laki, ada beberapa macam ketentuan adalah sebagai berikut:
  1. Suami menulis beberapa huruf pada ibu jari tangan kanan dan ibu jari kaki kanan yang bunyinya: “Apurusa bhawati”. Kemudian melakukan persenggamaan pada siang hari dan konsentrasikan pikiran ke Sang Hyang Kamajaya
  2. Memakai sarana antara lain: embotan pandan “asti” (bagian pangkal dan muda serta warnanya putih yang didapat dengan jalan menarik daunnya pada bagian atas dari pohon pandan asti tersebut) dipakai rujak yang dilengkapi pula dengan arak, terasi merah. Rujak itu ditempatkan pada mangkuk sutra dan disertai mantra: “Om cupu-cupu mirah dewaning buwel, tengan maisi putra, petu maha pekik. Om sidhi mantramku.” Setelah itu rujak tadi dimakan bersama-sama dan selanjutnya berpuasa selama sehari.
Selain tersebut diatas, waktu sangat menentukan untuk dilihat dalam persenggamaan. Adapun hari-hari yang tidak diperbolehkan melakukan senggama adalah
  1. Hari- hari suci
  2. Hari purnama maupun tilem
  3. Tanggal ke-14 (prawani), yang dimaksud adalah sehari sebelum purnama/tilem
  4. Pada hari menstruasi untuk masa empat hari
  5. Weton suami atau istri
Menurut ahli agama, Gde Pudja, M.A, dalam artikelnya, persenggamaan dengan tujuan memperoleh anak suputra, sangat baik dilakukan pada hari ke-14 dan 16 terhitung dari hari pertama menstruasi karena akan dilahirkan anak laki yang teguh imannya, mulia, hormat pada orang tua, bijaksana, pandai, jujur, suci dan menjadi pelindung manusia pada umumnya.
Kalau dibandingkan secara ilmiah hari ke-14 dan ke-16 sangat cocok karena pada waktu itu adalah masa subur.
Menurut informasi lainnya disebutkan bahwa adapun cara lain untuk memperoleh anak laki-laki adalah dengan berdoa/sembahyang meminta anugrah kehadapan Ida Bethara Hyang Guru yang berstana di kemulan Rong Tiga di Merajan masing-masing.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat, mohon dikoreksi bersama. Sukma… –sumber
Viewing all 668 articles
Browse latest View live