Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Penjelasan Lengkap Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

$
0
0
  • Pengertian Hari Suci Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

  1. Purnama

Sesuai dengan namanya pelaksanaan Upacara ini berlangsung saat bulan Purnama, yaitu jatuh pada setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Rerahinan Purnama jatuh setiap 30 hari atau 29 hari sekali. Pada hari ini seluruh pura – pura di Bali biasanya ramai oleh umat yang melakukan persembahyangan. Pada rerahinan purnama beryogyalah Sang Hyang Candra (bulan) yang merupakan hari penyucian oleh Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Rerahinan purnama merupakan sebuah momentum guna mengintrospeksi diri, bersujud dihadapan Ida Sang Hyang Widhi dan kembali kepada (Rwa Bhineda) sekala dan niskala. Disamping itu pada rerahinan purnama vibrasi suci akan terpancar dari sinar rembulan sehingga sangat baik untuk melaksanakan yoga Samadhi. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan di mulai dari Merajan, Merajan Dadia, Pura Kayangan Tiga dan jika memungkinkan sangat baik untuk melakukan Tirta Yatra.

  1. Tilem

Tilem adalah rerahinan atau hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Ida Sang Hyang Widhi. Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Hari suci Tilem dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali. Pada hari suci Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi.

  1. Kajeng Kliwon

Kajeng Kliwon adalah pertemuaan antara Tri Wara dan Panca Wara, dimana tri waranya adalah Kajeng dan panca waranya adalah Kliwon. Hari suci Kajeng Kliwon dirayakan setiap 15 hari. Pada hari kajeng kliwon banyak masyarakat bali mengangap sebagai hari yang keramat. Padahal sesungguhnya menurut Sastra Agama, tentang kekeramatan dan kesakralan dari hari kajeng kliwon adalah pengaruh dari pertemuan harinya yaitu pertemuan antara Tri Wara dan Panca Wara yang memiliki kekuatan Religiomagis, yaitu:

  1. Hari Kajeng (Tri Wara), yaitu merupakan prabhawanya Sang Hyang Durga Dewi sebagai perwujudan dari kekuatan “Ahamkara”, yang memanifestasikan kekuatan Bhuta, Kala, dan Durga di Bumi.
  2. Hari Kliwon (Panca Wara), yaitu merupakan hari prabhawanya Sang Hyang Siwa sebagai perwujudan kekuatan Dharma yang memanifestasikan kekuatan Dewa.

Dengan demikian menyatunya kekuatan Siwa dengan kekuatan Durga, maka lahirlah kekuatan Dharma Wisesa sehingga dari sini lahirnya Kesidhian, Kesaktian, dan Kemandhian yang selalu dikendalikan oleh kekuatan Dharma (Lontar Kala Maya Tattwa).

Oleh karena itulah umat Hindu secara tekun dan kontinyu menghaturkan persembahan serta memuja Hyang siwa, untuk memohon kekuatan kesidian, kesaktian, kemandhian, serta kedharman sebagai kebutuhan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.

  • Makna Hari Suci Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

  1. Purnama

Hari raya Purnama bermakana memohon berkah dan karunia dari Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) yang telah menerangi dunia beserta isinya dan kebersihan lahir dan batin dalah satu ujud keimanan, kebersihan secara manusia secara lahir dan batin sangatlah penting, pada badan yang bersih tidak aka nada kotoran yang melekat, dalam jiwa yang bersih akan timbuk pikiran yang bersih, dengan perkataan yang dan perbuatan yang baik dan bersih akan timbul pikiran yang baik/bersih yang akan dapat ganjaran yang baik juga. Kebersihan hati juga adalah satu hal yang pokok dan sangat penting terutama saat memohon berkah dan anugrah kepada Sang Pencipta (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Pada saat bulan purnama penuh menurut Agama Hindu, Dewa dan Widyadara – widyadari turun mebersihkan dan menyucikan alam semesta beserta isinya.

Kebersihan diri mrmpunyai peran penting dalam kehidupan untuk mencapai keselarasan, baik itu untuk diri sendiri, orang lain, lingkungan maupun terhadap Tuhan atau Ida Sanh Hyang Widhi. Dengan kebersihan diri, kita akan di berikan kemudahan kebahagian, maka kita sebagai umat hindu seendaknya menjaga dan memelihara terutama kebersihan hati dan pikiran, karena dengan itu semua hidup ini akan terasa lebih bermakana baik di mata dunia maupun di hadapan Tuhan.

  1. Tilem

Pada waktu hari suci tilem umat Hindu berusaha mendekatkan diri kehadapan Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan melakukan persembahyangan berupa canang sari. Maksud dan tujuannya adalah dalam memuja Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan bunga – bunga yang menyimbolkan “Wasana“, secara harfiah kita berserah diri di hadapan-NYA yang merupakan sari dari keberadaan kita yang alami. Ketika kita mengambil bunga untuk persembahyangan kelima jari – jari tangan menjuntai ke bawah, hal ini menunjukkan bahwa manusia masih terikat oleh keduniawian, dan masih terikat oleh benda – benda material, serta masih dipengaruhi oleh rasa emosional yang tinggi. Selanjutnya bunga – bunga tersebut juga dibawa keatas oleh jari – jari tangan yang tercakup, hal ini menyimbolkan bahwa seseorang mempersembahkan karma wasananya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan kata lain kecenderungan yang mengarah pada hal – hal yang berbau duniawi kini diarahkan menuju Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bulan tilem juga sering di istilahkan dengan hati atau pikiran manusia yang sedang menyusut, dengan perumpamaan yang berbasis pada kekuatan kala atau waktu. Jika pikiran seseorang sedang keruh, dirasuki oleh sifat – sifat angkara murka, maka diistilahkan dengan bulan yang dewatanya sedang menyusut menuju pada kegelapan (Tilem). Hal ini hampir dialami oleh setiap orang, sehingga pada bulan tilem banyak orang yang masih bingung dan meraba – raba dalam kegelapan karena manusia ada dalam pengaruh maya atau kepalsuan. Pengaruh maya atau kegelapan disimboliskan dengan bulan mati atau tilem yang selalu bertarung dalam pikiran manusia, jika Atma Tatwa yang menang atau lebih dominan maka seseorang akan menjadi bijaksana, welas asih dan berbudi pekerti yang luhur, jika Maya Tatwa yang menang atau lebih dominan maka egonya muncul, ingin selalu lebih unggul, mudah sekali dihinggapi oleh sifat – sifat buruk.

  1. Kajeng Kliwon

Kajeng kliwon merupakan hari yang ditakuti dan di keramatkan oleh umat Hindu karena Konon Sang Tiga buchari bermohon kehadapan Sanghyang Durgha Dewi, memohon berkah untuk membuat bahaya, mengundang semua desti, teluh, terangjana yang mengakibatkan timbulnya kekacauan dan merajalelanya seribu satu macam penyakit – penyakit yang selalu mengancam jiwa keluarga. Selanjutnya Sang Bhuta Kala selalu menggoda, anggota keluarga kemasukan Sang Butha Kala, dimakan (ditadah) oleh rakyatnya Sang Hyang Kala dan rakyatnya Sanghyang Durgha Dewi. . Pada hari kajeng kliwon umat Hindu di Bali menghaturkan sesajen dan persembahan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi, sedangkan di tanah, sesajen dan persembahan dihaturkan kepada Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Durgha Bucari. Penjelasan tersebut bermakna bahwa pada saat Kajeng Kliwon dimana kekuatan negatif cenderung lebih kuat daripada kekuatan positif, maka daripada itu manusia harus mempersembahkan sesajen untuk menetralisir kekuatan negatif yang membahayakan yang dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi manusia.

  • Tujuan Hari Suci Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

  1. Purnama

Umat Hindu meyakini Bahwa kelahirannya di dunia ini tidak terlepas dari pengaruh karma masa lalunya. Sisa- sisa karma dimana hidup yang terdahulu disebut dengan karma wasana. Maka pada saat Purnama ini kita juga hendaknya mengadakan pembersihan secara lahir bathin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrahNya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat penting di dalam kehidupan manusia. Air disamping merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kekotoran.

Adbhirgatrani suddhyati, manah satyena suddhyati

vidyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena suddhyati

(Manavadharmasastra V.109)

Artinya:

Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pengetahuan (pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan kebijaksanaan (pengetahuan) yang benar. 

Kondisi bersih secara lahir bathin di dalam kehidupan ini sangat perlu, karena di dalam tubuh dan jiwa yang bersih akan muncul pemikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula, sehingga tercapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Jadi kebersihan sangat penting artinya untuk bisa tercapai suatu kebahagiaan, lebih-lebih dalam hubungannya dengan pemujaan kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Suci), maka kebersihan (kesucian) secara lahir bathin merupakan syarat mutlak.

  1. Tilem

Persembahan hari Tilem dimaksudkan agar umat Hindu yang tekun melaksanakan persembahan dan pemujaan pada hari Tilem, ketika meninggal rohnya tidak diberikan jalan yang sesat (neraka), namun sebaliknya agar diberikan jalan ke swarga loka oleh Sang Hyang Yamadipati (Lontar Purwana Tattwa Wariga). Hari suci tilem dirayakan dengan tujuan untuk menumpas kegelapan tersebut berupa hawa nafsu jahat yang disebut dengan Sad Ripu, yaitu: Kama (hawa nafsu), Kroda (kemarahan), Lobha (ketamakan), Moha (keterikatan), Mada (kesombongan), dan Matsarya (iri hati atau kebencian).

Oleh karena itu menurut petunjuk sastra Agama Hindu ”Lontar Purwa Gama” menuntun umat Hindu agar selalu ingat melaksanakan suci laksana, khususnya pada hari Purnama dan hari Tilem, untuk mempertahankan serta meningkatkan kesucian diri, terutama para Wiku, untuk mensejahterakan alam beserta isinya karena semua mahluk akan kembali ke hadapan yang Maha Suci, tergantung dari tingkat kesucian masing-masing.

Proses penyucian diri, menurut petunjuk Sastra Agama yang penekannya pada, ”Suci Laksana”, karena pada pelaksanaannya mengandung makna yang sangat tinggi, dalam arti pada penekanan tersebut sudah terjadi penyatuan dari pelaksanaan Catur Yoga, sehingga atas kekuatan dari Catur Yoga tersebut dapat menyucikan Stula Sarira (badan Kasar), dan Suksma Sarira (badan halus) dan Antahkarana Sarira (Atma), yang ada pada diri manusia khususnya umat Hindu.

  1. Kajeng Kliwon

Tujuan dari pelaksanaan rahinan Kajeng Kliwon adalah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan Sekalanya manusia selalu berbuat Tri Kaya Parisudha agar mendapat keselamatan, kesentosaan, kesempurnaan dan hidup berbahagia, patutlah petunjuk – petunjuk dilakukan dengan penuh keyakinan, dengan hati bhudi yang suci hening dan dengan rasa tulus ikhlas.

Bilamana hal ini dilalaikan, maka rumah tangga menjadi kacau, penyakit datang menyerang silih berganti, bahaya maut selalu mengintai. Dewa – Dewa dan Bhatara- Bhatari pergi berlarian, tidak mau tinggal disanggah atau pemerajan Dengan demikian diharapan dunia ini menjadi seimbang dan juga hendaknya manusia lebih yaitu umat Hindu sendiri melaksanakan yadnya disaat kajeng kliwon agar keseimbangan dunia ini tidak tergoyahkan ataupun tercemar dari hal yang negatif atau hal – hal yang tidak diinginkan baik secara sekala maupun niskala.

Jenis-jenis Hari Suci Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

Purnama

  1. Purnama Sasih Kasa atau Sasih Sarwanja
  2. Punama Sasih Karo atau Sasih Badrawada
  3. Punama Sasih Katiga atau Sasih Asuji
  4. Purnama Sasih Kapat atau Sasih Kartika.

Pada hari Purnama Kapat ini merupakan beryoganya Sang Hyang Purusa Sangkara yang diiringi oleh para Dewa, Rsigana, Dewa Pitara atau leluhur semuanya. Hari ini umat Hindu melakukan pemujaan kepadaNya, khusus untuk para pandhita wajib melakukan yoga dengan Suryasewana dan Candrasewana. Dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Candra patut mempersembahkan penek jenar, prayascita luwih, pareresikan, daging ayam, dan menghaturkan pula segehan agung. Untuk para widyadara dan widyadari di haturkan sesayut widyadari di tempat tidur dan untuk para leluhur juga menghaturkan suci lengkap. Untuk para bhuta dipersembahkan segehan agung 1 soroh. Semua itu dilakukan sebagai wujud bhakti untuk memohon kedirgayusan dan kesucian.

  1. Purnama Sasih Kalima atau Sasih Margasira
  2. Purnama Sasih Kenem atau Sasih Posya
  3. Punama Sasih Kapitu atau Sasih Magha
  4. Purnama Sasih Kawulu atau Sasih Phalguna

Pada sasih kawulu ini merupakan waktu turunnya para bhuta kala ke dunia yang ingin menggoda manusia, karena umat manusia hendaknya menyucikan diri pikiran untuk menjaga ketentraman dunia.

  1. Purnama Sasih Kesanga atau Sasih Caitra
  2. Purnama Kedasa atau Sasih Waisaka

Purnama sasih Kedasa dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Sunya Amerta pada Sad Kahyangan Wisesa. Piodalan Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih dilakasanakan setiap Purnama sasih Kedasa.

  1. Purnama Sasih Desta atau Sasih Jyesta

Purnama sasih Jiyesta (Purnama kesebelas), oleh umat Budha di peringati sebagai hari suci waisak. Hari suci waisak biasanya jatuh diantara purnama jiyesta, untuk mengenang dan menghormati ajaran-ajaran Sang Budha Sidarta Gautama. Oleh para pengikutnya semu wejangan wejangan dan ajaran-ajarannya di tuangkan dalam kitab yang bernama “Tripitaka”. Sidarta Gautama mencapai Kebudhaan (penecerahan/nirwana). Sejak saat itu Sidarta mengajarkan ajaran kebudhaan pada umat manusia, sampai akir hayatnya. Maka sampai saat ini hari suci itulah Agama Budha berkembang dengan pesatnya.

  1. Punama Sasih Sadha atau Sasih Asadha

Punama Kesadha (keduabelas) bagi umat Hindu di Pegunangan Tengger, Malang, Jawa Timur. Begitu dirayakan dengan khusuk dan hidmat. Upacara persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang terkenal dengan upacara Kesodho adalah untuk mengenang dan menghormati seorang insane yang luar biasa yang bernama Dewa Kusuma. Demi memenuhi janji orang tuanya (Roro Anteng dan Joko Seger), Dewa kusuma rela di cemplungknan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji/persembahan. Maka demikian lah hingga sekarang dan samoai saat ini suku Tenger di Malang masih melangsungkan adat istiadat member sesaji kedalam kawah Gunung Bromo. Pengorbanan Dewa Kusuma sungguh mulia dan perpuji. Dia iklas melaksanakan yajna itu demi kebahagiaan orang tua dan saudara-saudaranya.

Tilem

  1. Tilem Sasih Kasa atau Sasih Sarwanja
  2. Tilem Sasih Karo atau Sasih Badrawada
  3. Tilem Sasih Katiga atau Sasih Asuji
  4. Tilem Sasih Kapat atau Sasih Kartika
  5. Tilem Sasih Kalima atau Sasih Margasira
  6. Tilem Sasih Kenem atau Sasih Posya
  7. Tilem Sasih Kapitu atau Sasih Magha

Sehari sebelum Tilem Sasih Kapitu disebut Hari Raya Siwaratri, malam ini adalah malam yang paling gelap dalam 1 tahun. Pada malam harinya umat hindu melakukan brata Siwaratri yang terdiri dari Mona Brata yang artinya tidak berbicara, Upawasa yang artinya tidak makan dan minum, dan Jagra yang artinya tidak tidur dari pagi sampai pagi kembali. Pada malam ini Bhatara Siwa melakukan Yoga Samadhi, yang hendaknya umat Hindu mengikuti pula dengan melakukan penyucian diri melalui palukatan atau prayascita. Keesokan harinya yaitu pada tilem kapitu umat Hindu melakukan pabersihan diri kembali serta melakukan pemujaan di sanggah atau parhyangan masing – masing.

  1. Tilem Sasih Kawulu atau Sasih Phalguna

Pada tilem sasih kawulu ini merupakan waktu turunnya para Bhuta kala ke dunia yang ingin menggoda manusia, karenanya umat manusia hendaknya menyucikan pikiran untuk menjaga ketentraman dunia. Disamping itu pikiran perlu memuja Bhatara dengan menghaturkan saji berupa sesayut, tipat sirikan menurut neptu hari, dagingnya palem udang, sayur talas,daun cabai bun, daun gamongan, daun kencur, dan kacang ijo semuanya diurap, daun dapdap (delundung) sesuai urip hari, sambel gente, untu – untu, jagung, keladi, ketela, tebu, semua direbus. Buah buahan seperti Buni, Sentul, Rambutan, Salak, serta tetebus tadah pawitra. Semua sesaji itu dihaturkan pada Tilem Kaulu.

  1. Tilem Sasih Kesanga atau Sasih Caitra

Tilem Kesanga adalah hari pesucian para dewa bertempat di tengah – tengah samudra, sambil ngambil intisari air hayat (sarining amertha kamandalu). Tilem kesanga (kesembilan) dirayakan untuk menyambut tahun baru saka. Adapun rentetan upacaranya adalah: tiga hari sebelum nyepi dilakukan upacara mekiis atau melis kepantai (laut), ke sungai yang dianggap suci, ke danau atau sumber – sumber air lainnya. Dengan mengusung pratima – pratima (benda – benda sakral) yang ada di pura – pura. Diiiringi dengan kekidung dan gambelan bleganjur.

  1. Tilem Sasih Kedasa atau Sasih Waisaka
  2. Tilem Sasih Desta atau Sasih Jyesta
  3. Tilem Sasih Sadha atau Sasih Asadha

Kajeng Kliwon

  1. Kajeng Kliwon Enyitan
  2. Kajeng Kliwon Uwudan

Kajeng Kliwon Uwudan adalah Kajeng Kliwon yang jatuh pada Pangelong atau periode hingga 15 hari setelah Purnama. Kajeng kliwon merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa, yang diyakini pada hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Rerainan kajeng kliwon dipercaya sebagai hari yang keramat. Pada hari kajeng kliwon umat menghaturkan segehan yang dihaturkan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi, di tanah segehan dihaturkan kepada Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Dhurga Bucari.

  1. Kajeng Kliwon Pemelastali

Purnama Tilem Sebagai Simbolis Rwa Bhineda

Rerahinan Purnama Tilem yang dirayakan oleh umat Hindu merupakan simbolis penerimaan Rwa Bhineda (dua sisi baik dan buruk, gelap dan terang). Begitu pula halnya dengan suka dan duka, digolongkan sebagai Rwa Bhineda (dua sisi yang berbeda). Purnama Tilem mengingatkan manusia akan adanya dua sisi yang saling bertentangan dalam kehidupan ini. Yaitu adanya gelap dan terang, kehidupan dan kematian, baik dan buruk, cinta dan benci, jahat dan baik, bersih dan kotor, dan sebagainya.

Ini berarti makna Purnama Tilem adalah agar jiwa tenang dan setabil ketika menghadapi suka dan duka kehidupan. Kestabilan jiwa itu penting dimiliki oleh manusia. Sebab di dunia ini semua orang akan dan pernah mengalami suka dan duka, apapun status sosialnya di masyarakat. Apakah dia orang kaya, orang miskin, orang berpangkat, petani, pedagang, dan sebagainya.

Mereka yang sudah mampu melewati siklus suka duka itu disebut “Jiwan Mukti” atau “Moksah selagi masih hidup”. Suka dan duka juga dialami olehnya, tetapi jiwa dan batinnya sudah tidak terpengaruh, karena yang mengalami semua itu hanyalah badan kasarnya saja. Mereka-mereka ini sering disebut dengan “Yogi”.

Bagaimana cirri-ciri seorang Yogi? Di dalam kitab suci Bhagavad Gita Bab V yang berjudul “Karma samnyasa Yoga” semuanya sudah dijelaskan. Beberapa kutipan bait sloka:

Bab V­-10

“brahmany adhaya karmani

Sangam tyaktva karoti yah,

Lipyate na sa papena

Padma-patram ivambhasa”

Artinya:

Mereka mempersembahkan semua kerjanya, kepada Brahman, berbuat tanpa motif keinginan apa-apa, tak terjamah oleh dosa papa, laksana daun teratai tak terbasah oleh air.

Bab V-11

“kayena manasa buddhya

Kevalair api,

Yoginah karma kurvanti

Sangam tyaktvatma-suddhaye”

Artinya:

Para yogi terlibat dalam bekerjamempergunakan badan, pikiran akal buddhi dan bahkan dengan panca indria mereka, hanya untuk penyucian diri dengan menanggalkan keterikatan.

Bab V-12

“yuktah karma-phalam tyaktva

Santim apnoti naisthikim,

Ayuktah kama-karena

Phale sakto nibadhyate”

Artinya:

Seorang yogi yang taat melakukan karma akan mencapai kedamaian abadi, dengan melepaskan keterikatan pada pahala, tetapi siapa yang tidak mentaati karma, karena dipengaruhi oleh keinginannya, akan terbelenggu pada pahala karma itu.

Bab V-18

“vidya-vinaya-sampanne

Brahmane gavi hastini,

Suni caiva svapake ca

Panditah sama-darsinah”

Artinya:

Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik brahmana budiman dan rendah hati maupun seekor sapi, gajah, dan anjing ataupun orang hina papa tanpa kasta.

Bab V-20

“na prahrsyet priyam prapya

Nodvijet prapya capriyam,

Sthira-buddhir asammudho

Brahma-vid brahmani sthitah”

Artinya:

Dia tidak bergirang menerima suka dan juga tidak bersedih menerima duka, tetapi dalam kebijaksanaan teguh iman, mengetahui Brahman, bersatu dalam Brahman.

Hukum Rwa Bhineda berlaku untuk semua mahluk hidup di dunia ini, baik itu manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Tapi manusia mempunyai kemampuan dan potensi untuk bisa terlepas dari hukum tersebut. Yang penting manusia itu sendiri giat berusaha. Karena di dunia material ini tidak ada yang tidak mungkin. Jika usaha manusia itu mengaruh pada kebaikan, maka dia akan berevolusi meningkatkan energi jiwanya. Sedangkan jika mengaruh pada keburukan, maka dia akan berevolusi menurun kan energi jiwanya.

Untuk itulah dalam hokum reinkarnasi manusia yang mempunyai energi buruk bisa merosot kelahirannya menjadi seekor binatang. Sedangkan manusia yang punya energi baik pada kehidupan yang akan datang dia akan lahir di lingkungan seorang yogi. Selanjutnya dia mempunyai kesempatan untuk meningkatkan evolusi kelahirannya kembali.

 Baca Selanjutnya Cara Membuat Banten Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon >>

Sekian pemaparan Hari suci Purnama,Tilem dan Kajeng Kliwon hendaknya dijadikan momentum menebarkan benih-benih kasih pada diri sendiri terlebih dahulu. Jangan dilihat dari aktivitas kerutinannya, karena bisa menimbulkan kejenuhan. Justru di balik rutinitas itu terdapat suatu rahasia tersembunyi yang harus disingkapkan. Rahasia kasih dalam melakukan pemujaan, seninya menata kehidupan dari hari kehari menuju pada kecermerlangan-Nya, Indahnya panorama dalam keagungan keahlian-Nya, bahagia sang mahluk di dalam memanjatkan doa pada sang Khalik-Nya.

 

sumber


Banten Purnama, Tilem, dan Kajeng Kliwon

$
0
0

Secara sederhana, banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sang Pencipta. Merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada beliau karna telah dilimpahi wara nugrahaNya. Namun, secara mendasar banten dalam agama Hindu juga adalah bahasa agama.

Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.

Dalam “Lontar Yajña PrakrtI” disebutkan:

“Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana

artinya:

Semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan:

“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”

Artinya:

Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Segehan

Segehan biasanya dilakukan untuk upacara bhuta yadnya yang sederhana, yaitu pada saat hari kliwon, kajeng kliwon, purnama, tilem, rerahinan alit di sanggah, pagerwesi, Saraswati. Biasanya segehan ini dihaturkan kepada Bhuta bucari, Kala Bhucari, dan Durga Bhucari di lingkungan rumah.

Segehan Kepel

Alasnya dipakai sebuah taledan ( tangkih ) dari daun pisang, diatasnya diisi dua kepel nasi puith, ikannya bawang jae dan garam.
Diatasnya ditaruh atau dilengkapi dengan canang genten ( canang biasa ).  Jumlah nasi disesuaikan dngan keinginan begitu pula warnanya disesuaikan dngan maksud dan tujuan yang disuguhkan, Bisa  warna putih kuning atau menjadi empat warna seperti  hitam , merah, putih dan kuning.

Segehan Cacahan

Alasnya dipakai taledan ( daun pisang ) , diatasnya diisi 6-7 tangkih, lima buah diisi nasi putih , satu  diisi bijaratus ( lima jenis biji-bijian : jagung, jagung nasi, jawa, godem dan jali ), dan satu tangkih diisi beras sedikit, base tampel benang putih, dan uang kepeng. Sebagai lauk pauknya adalah bawang, jae dan garam. Kemudian dilengkapi dengan sebuah canang genten.  Nasi dari segehan ini dapat pula diwarnai sesuai keperluan.

Segehan Agung

Sebagai alasnya dipakai sebuah tempeh yang cukup besar,  diatasnya diisi 11 atau 33 tangkih, masing masing diisi dengan nasi putih serta lauknya bawang , jae dan garam.  Kemudian dilengkapi dengan sebuah daksina atau alat perlengkapan daksina itu ditaruh begitu saja ditempat tersebut tidak dialasi dengan bakul dan kelapanya tidak dikupas sampai bersih. Segehan ini dilengkapi dengan sebuah canang payasan dan 11 atau 33 canang genten/biasa ditambah dengan jinah sandangan. Untuk menghaturkan banten ini disertai dengan penyambleh ayam kecil/ itik/ babi yang belum dikebiri ( kucit butuan ) yang masih hidup. Waktu menghaturkan segala perlengkapan yang ada pada daksina itu dikeluarkan sedangkan telur dan kelapanya dipecahkan diikuti dengan pemotongan / penyambleh dan akhirnya tetabuhan.

Segehan Agung dipergunakan untuk upacara yang agak besar atau kadang dipergunakan untuk upacara mendak Ida Bhatara, upacara pengukuran tempat bangunan atau palinggih, ataupun peletakan batu pertama pada saat membuat bangunan suci.

BANTEN PEJATI

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati” mendapat awalan pa-”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalanpa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.

jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.

UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI

Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:

  1. Daksina
  2. Banten Peras,
  3. Banten Ajuman Rayunan/Sodaan
  4. Ketupat Kelanan
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian
  7. Segehan alit

Sarana yang Lain

  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.

Daksina terdiri atas:

  1. bakul/serembeng, simbol arda candra
  2. kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
  3. bedogan, simbol swastika
  4. kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
  5. kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
  6. telur bebek simbol windu dan satyam
  7. tampelan, simbol trimurti
  8. irisan pisang, simbol dharma
  9. irisan tebu, simbol smara-ratih
  10. benang putih, simbol siwa

Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia.

Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu

  • Daksina kepada Sanghyang Brahma
  • Peras kepada Sanghyang Isvara
  • Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
  • Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

CARA MEMBUAT

Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :

  1. DAKSINA terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
  2. PERAS : memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
  3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN : memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
  4. TIPAT KELAN : memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.

Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.

DASAR LONTAR

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen:

Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian“.
Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu.
Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”.
Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.

Mengenai buah-buahan:

Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan“.
Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.

Mengenai Kue/Jajan:

Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan“.
Artinya: Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka (ayah-ibu), Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.

Mengenai bahan porosan:

Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih“.
Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.

Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto” di masa yang akan datang.

Tambahan :
DAKSINA
Ada yang namanya daksina linggih merupakan daksina sebagai simbol “pelinggihan Ida Bhatara” tidak memakai tegteg, peras, dan ajuman. Juga telor diganti dengan tingkih. Kemudian wakul serembengnya dibungkus kain putih kuning.
Dengan demikian maka daksina (baik daksina alit, pekala-kalaan dan krepa) adalah simbol Sanghyang Widhi, stana Sanghyang Widhi, sarana inti yadnya, persembahan terima kasih, dan pesaksi.

SESANTUN
Adalah sesayut pengambian terdiri dari:

  1. pengambian, simbol permohonan kehadiran Ista Dewata.
  2. dapetan, simbol anugrah Sanghyang Widhi.
  3. peras, lihat di atas.
  4. sodaan, simbol persembahan/bhakti.

 

sumber

Sejarah Asal Mula Hari Raya Nyepi

$
0
0

Nyepi berasal dari kata sepi yang artinya sunyi, senyap, lenggang, tidak ada kegiatan. kemudian Hari Raya Nyepi adalah Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi (tiap 1 januari), Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi dan melaksanakan catur brata penyepian. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandara Internasional Ngurah Rai pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sanghyang Widhi Wasa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta).

Sejarah Nyepi

Kita semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India dengan kitab sucinya Weda. Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini.

Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.

Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.

Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.

Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampai ke Indonesia.

Aji Saka

Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad. Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, juga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan, pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.

Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka

Peringatan tahun Saka di Bali dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :

1. Upacara melasti, mekiyis dan melis

Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).

2. Menghaturkan bhakti/pemujaan

Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.

3. Tawur Agung/mecaru

Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).

Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya).
4. Nyepi (Sipeng)

Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).

5. Ngembak Geni.

Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini. Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.Artinya : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran. —sumber

Penjelasan Lengkap Acintya (Sang Hyang Widhi atau Sang Hyang Tunggal)

$
0
0

Hampir disetiap Padmasana kita menemukan simbol/relief Acintya. Setidaknya ada dua(2) makna yang dapat diuraikan berkaitan dengan Acintya.

Pertama, Acintya sebagai suatu istilah yang didalam kitab suci Bhagawad-gitaII.25, XII.3 atas Manawadharmasastra I.3 disebut dengan kata: Acintyah, Acintyam atau Acintyasa yang berarti memiliki sifat yang tidak dapat dipikirkan. Dalam bahasa lontar Bhuwana Kosa, “Acintyam” bahkan diartikan sebagai “Sukma tar keneng angen-angen”: Amat gaib dan tidak dapat dipikirkan. Lalu siapa yang dikatakan yang memiliki sifat tidak dapat dipikirkan itu?, tidak lain adalah Sang Paramatman(Hyang Widhi) termasuk Sang Atman itu sendiri. Jadi, sebagai suatu istilah,”Acintya” mengandung makna sebagai salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan.

dewa_siwa_sbg_acintya

Kedua, Acintya sebagai simbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media gambar, refief atau pematungan. Maka sering kita temui gambar Acintya diatas selembar kain putih sebagai “ulap-ulap” ketika upacara melaspas atau ngenteg linggih sebuah pelinggih atau pura. Atau relief Acintya di bagia “ulon”(Singgasana) Padmasana atau dalam bentuk patung/arca tersendiri. Kesemua bentuk simbol Acintya yang diwujud-nyatakan itu mengandung makna saya yaitu sebagai penggambaran dari kemahakuasaan Tuhan. Dengan mewujud-nyatakan simbol yang sebenarnya “tidak terpikirkan” itu diharapkan agar umat Hindu memiliki emosi religi yang sangat dekat dengan Tuhan.

acintya on padmasana

Simbol Acintya yang kita jumpai bervariasi, namun pada umumnya Acintya merupakan gambaran dari sosok anatomi manusia tanpa jenis kelamin(tidak laki-laki, tidak perempuan, pun tidak banci) berdiri dengan dua kaki(dwi pada) ada pula yang menggambarkan dengan satu kaki(kaki kiri dibawah, kaki kanan terangkat). Posisi tangan Amustikarana, Dewa Pratistha, Anjali Mudra dan ada juga digambarkan satu tangan di dada, sedangkan satunya menjulur kebawah. Variasi hiasan juga sering kita temui pada simbol Acintya misalkan: Aksara suci “Om, Mang, Ung dan Ong”.

Meskipun banyak variasi pada simbol Acintya yang kita jumpai namun maknanya tetaplah  sebagai ekspresi penghayatan umat Hindu untuk menggambarkan Hyang Widhi yang tidak terpikirkan itu melalui media(gambar, relief dan patung).

Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mewajibkan disetiap pelinggih Padmasana harus terdapat relief, gambar atau patung Acintya karena dari sisi konsepsi Padmasana adalah Sthana/linggih dari Hyang Widhi(Tuhan).

Sang Hyang Widhi yakni disebut juga sebagai Acintya atau Sang Hyang Tunggal adalah sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali. Dalam konsep Hinduisme, Sang Hyang Widhi dikaitkan dengan konsep Brahman. Dalambahasa Sanskerta, ‘Acintya’ memiliki arti ‘Dia yang tak terpikirkan,’ ‘Dia yang tak dapat dipahami,’ atau ‘Dia yang tak dapat dibayangkan.’

Sang Hyang Widhi, berasal dari akar kata “Sang”, “Hyang”, dan “Widhi”.

  • Sang, memiliki makna personalisasi atau identifikasi. Contoh penggunaan kata lainnya: sang bayu, sang Nyoman, sang Raja, dan lain-lain.
  • Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan wujud personal yang bercahaya dan suci. Atau merupakan sebutan untuk keberadaan spiritual memiliki kekuatan supranatural, bagaikan matahari di dalam mimpi. Kedatangannya dalam hidup seseorang memberikan kesenangan tanpa jeda dalam waktu lama yang tak dapat dibedakan antara mimpi dan realita. Orang-orang Indonesia umumnya mengenal kata ini sebagai penyebutan untuk penyebab keindahan, penyebab semua ini ada (pencipta), penyebab dari semua yang dapat disaksikan, atau secara sederhana disebut Tuhan.
  • Widhi sama dengan widya artinya pengetahuan, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Penghapus ketidaktahuan memiliki wujud yang beragam menurut jalan ketidaktahuan diselesaikan. Wujud-wujud ini menjadi media bagaimana manusia dan ciptaan di jagat raya ini mengerti dan memahami diri dan lingkungannya. Widhi dapat berupa: cahaya, suara, wujud tersentuh, sensasi tersensori, memori pikiran, rasa emosional, radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dan lain-lain. Widhi ini sangat terkait dengan dharma, atau lingkungan yang merupakan pustaka abadi dimana manusia dapat membaca keseluruhan pengetahuan tentang widhi. Dharma secara keseluruhan adalah widhi itu sendiri. Terkait dengan proses belajar, dharma tampaknya terpartisi menjadi arus berlanjut yang hadir kepada manusia tanpa henti hingga masa manusia itu berakhir.

Secara deskriptif, makna Sang Hyang Widhi tidak cukup untuk diungkapkan dengan beberapa kalimat. Namun, dengan adanya dharma, semua orang dapat memahami makna sang hyang widhi ini secara utuh. Bahwa sang hyang widhi dipahami pertama melalui terlihatnya matahari di dalam mimpi seseorang, yang memberikan kesenangan luar biasa atau kesenangan tertinggi dari yang pernah dia rasakan. Kesenangan atau kebahagiaan ini berlanjut beberapa hari tanpa jeda. Namun, seseorang tidak dapat melihat matahari di dalam mimpi jika di dalam kenyataan ini dia tidak perhatian dengan matahari dan perkembangan hari siang dan malam.

Sang Hyang Widhi secara sederhana berarti dia yang memancarkan widhi atau penghapus ketidaktahuan. Dengan batasan media yang berupa cahaya, maka sang hyang widhi adalah sumber cahaya. Sumber cahaya ini berupa matahari atau sumber cahaya lain. Dengan demikian, dengan membatasi bentuk widhi berupa cahaya, sang hyang widhi adalah sumber cahaya. –sumber

Mengenal Mati Salah Pati dan Ngulah Pati, Serta Bantennya

$
0
0

Yang dimaksud dengan mati salah pati adalah mati yang tidak terduga-duga karena kecelakaan atau di sarap macan, buaya, disenggot sampi, digigit ular, dibunuh, dll. Bisa juga Mati yang tak terduga-duga atau yang tidak dikehendaki Yang dimaksud mati ngulah pati adalah mati karena bunuh diri, bisa juga Mati karena sesat, yang mengambil jalan pintas, serta sengaja dikehendaki, yang sangat bertentangan dengan ajaran- ajaran agama Hindu.

Jenis mati Salah Pati dan Ngulah Pati.

  1. Salah Pati:
    1. Mati jatuh (kerubah baya).
    2. Mati ketekuk (kastha bahaya).
    3. Mati dimangsa macan, dimangsa buaya, ditanduk sapi, disambar petir, tertimpa tebing dan lain- lainnya (keserenggara).
  2. Ngulah Pati:
    1. Mati meracun diri.
    2. Mati menggantung diri.
    3. Mati menembak diri.
    4. Mati menceburkan diri
    5. dan lain- lainnya.

Pelaksanaan upacara/ upakara.

  1. Setiap orang meninggal harus diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu
  2. Khusus bagi yang ngulah pati, upacara/ upakara ditambah dengan banten pengulapan di tempat kejadian, perempatan/ pertigaan jalan dan cangkem setra:
  3. Banten pengulapan dipersatukan dengan sawanya baik mependem maupun atiwa- tiwa

Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 yang telah memutuskan bagi orang mati salah pati dan ngulah pati diupacarai seperti orang mati normal dan ditambah dengan penebusan serta diupacarai di setra atau tunon.

Ini merupakan reformasi atas Lontar: “Yama Purwa Tattwa Atma” yang menyatakan:

YAN MATI SALAH PATI, TELUNG TIBAN WENANG PRATEKA, YAN NORA PRATEKA, WENANG ANGADEG SAMAYA;

YAN ANGALIH PATI LIMANG TIBAN WENANG PRETEKA;

YAN ATURU, MATI ATIMPUH, MATI ANGADEG, SININGOTING BANTENG, PITUNG TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;

YAN MATI NYUWANG SOMAH ANAK, LIMOLAS TIBAN WENANG PRETEKA, YAN NORA PRATEKA WENANG ANGADEG SAMAYA;

SEMALIH YAN HANA WANG NGEMADUWANG MUWANI, TEKANING PATINYA, TELUNG DASA TIBAN NANGGU TELUNG TIBAN WENANG PRETEKA

Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara panebusan yaitu di: perempatan jalan Desa, di tempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.

Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah ditanam , dan ada yang melaksanakan pada saat pengabenan.

Kematian dan cara mati seseorang sudah diperjanjikan jauh ketika Sang Atma belum reinkarnasi (lahir kembali menjadi manusia) yaitu ketika Sang Atma menghadap kepada Hyang Wisesa (Ida Sanghyang Widi Wasa).

Oleh karena itu maka menurut Lontar “Puja Pengabenan” Sang Pandita yang memimpin upacara pengabenan berkewajiban menuntun Sang Atma dalam perjalanannya menghadap Hyang Wisesa dengan nasihat/ pitutur kepada Sang Atma ketika upacara Nyekah yang disebut “Puja Putru Saji Nyekah” antara lain berbunyi:

LUMARIS TA KITA RING KADEWATAN, JUMUJUG PWA KITA RING KAHYANGANIRA HYANG WISESA, MWAH TINAKONAN PATINTA DE BETHARA HYANG WISESA, WARAHIN PATINTA, ELING RING SAMAYANTA … DST

… AYUWA LAWAS DENTA MANDADI DEWATA, PITUNG LEK PITUNG WENGI LAWASANTA MANGGE RING SWARGA, AREP PWA KITA TUMITIS ANJANMA, AYUWA KITA NYOLONG TUMITIS ANJANMA MANAWA KITA ANWAN PEJAH … DST

… AYUWA KITA ASEMAYA MATI KESARIK, SININGGOTING KEBO SAMPI, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SINAWUTANING WUHAYA, SINAWUTANING ULA, AYUWA KITA ASEMAYA MATI SEDENG BISA PAPALAYON, SEDENG SAPANGANGON, SEDENG RUMAJA PUTRA, SEDENG APAPANGKAS, SEDENG ANUWUH TUWUH, MWAH AYUWA KITA SAMAYA MATI SAKALWIRING KAPANGAWEN, ANGULAH PATI, SALAH PATI, ASEMAYA KITA ANUTUGAKEN TUWUH …

Demikianlah bunyi Lontar yang digunakan oleh Sang Pandita yang bertanggung jawab; oleh karena itu sangatlah penting artinya untuk memilih Sulinggih Dwijati/ Pandita yang diminta untuk muput upacara ngaben.

Bila Putru tersebut tidak diucapkan atau salah diucapkan atau diucapkan oleh yang tidak berwenang, maka bisa menyesatkan Sang Atma sehingga terjadilah kematian-kematian yang tidak wajar tersebut. –sumber

Perang Saudara dan Karmanya Dalam Hindu (Barata Yuda), Patut Menjadi Cerminan

$
0
0

Baratayuda adalah sebuah peperangan besar dalam dunia Pewayangan, yang merupakan perang saudara Keluarga Barata antara Pandawa dan Kurawa yang masih terhitung saudara sepupu.

Perang ini dianggap sebagai perang antara Kebaikan melawan Kejahatan,dimana Pandawa berada dipihak yang benar dan Kurawa dipihak yang jahat, ada juga yang mengatakan perang ini sebagai wujud dari Kejahatan yang dhancurkan oleh Kebaikan. Perang ini dipicu oleh Perebutan kekuasaan Kerajaan Hastinapura antara Kurawa dan Pandawa yg sebenarnaya kerajaan itu merupakan hak dari Pandawa namun direbut oleh Kurawa.

Perang yang berlangsung 18 hari ini boleh dikatakan perang yang sangat kejam,banyak ksatria yang gugur dalam perang ini, bahkan hanya ada 10 ksatria yang mampu bertahan hidup dari ratusan bahkan ribuan ksatria yang ikut dalam perang. Sepuluh orang yang bertahan hidup adalah dari pihak Pandawa ada Pandawa 5 (Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa), Kresna, Setyaki, dan Yuyutsuh. Dari pihak Kurawa adalah Kartamarma, Aswatama, dan Krepa.

Namun dibalik itu semua, Baratayuda tidak semata-mata perang saudara dan perang kebaikan melawan kejahatan, tapi juga sebagai ajang Menuntaskan Janji,Sumpah, dan Karma bagi para Ksatria baik yang terlibat langsung dalam perang maupun yang tidak terlibat langsung. Bahkan menuai kutuk bagi Sri Batara Kresna yang merupakan titisan Batara Wisnu.

Tidak semua yang terlibat dalam perang yang berada di pihak Kurawa adalah orang jahat,beberapa ksatria di pihak Kurawa merupakan ksatria yang baik dan bijaksana,salah satunya adalah Bhisma/Dewabrata. Ksatria-ksatria ini berada di pihak Kurawa karena terikat janji dan sumpahnya yg pernah diucapkan jauh sebelum Baratayuda berlangsung.

Beberapa contoh Ksatria yang menuntaskan janji,sumpah, dan karmanya di Baratayuda adalah :

Yang pertama Bhisma atau Dewabrata, dia adalah Kakek sekaligus Guru bagi Pandawa dan Kurawa. Beliau adalah orang yg paling berhak atas tahta Hastinapura yang menjadi rebutan Kurawa dan Pandawa. Bhisma lebih menyukai sifat Pandawa yang selalu membela kebenaran, namun beliau saat Baratayuda berada di pihak Kurawa dikarenakan beliau sudah berjanji akan membela Hastinapura, negeri tempat kelahiranya, negeri yg telah memberi beliau kehidupan. Beliau berperang bukan untuk membela kejahatan, tapi untuk menepati janji membela Hastinapura yang berperang melawan Pandawa.

Selain guna memenuhi janji, Bhisma juga menuntaskan karmanya disini, karma yang berupa kutukan Dewi Amba yg pernah Beliau bunuh meski tidak dengan sengaja. Sebelum Dewi Amba menghembuskan nafas terakhirnya, dia berdoa kepada Dewa agar dia menjadi penyebab kematian Bhisma, dan itu terjadi ketika Baratayuda, Dewi Amba menitis ke Srikandi dan Srikandilah yang mampu mengalahkan Bhisma dan Bhisma menghembuskan nafas terakhirnya di hari terakhir perang.

Ksatria lainya yang menuntaskan janji,sumpah, dan karmanya di Baratayuda adalah Adipati Karna/ Basukarna. Karna adalah kakak satu ibu dari Pandawa, Karna adalah anak dari Dewi Kunti dengan Batara Surya yg begitu lahir langsung dibuang kesungai oleh Dewi Kunti untuk menutupi aib, dan Karna diasuh oleh kusir kereta kerajaan Hastinapura bernama Adirata.

Alasan Karna berperang dipihak Kurawa adalah untuk memenuhi janjinya dan balas budi kepada Kurawa yang telah mengangkat derajatnya dari anak seorang kusir menjadi seorang Adipati di Awangga, dimana disaat itu Pandawa mencela dan mengejeknya. Bahkan Duryudana, Kurawa tertua merelakan calon istrinya yaitu Surtikanti dibawa lari dan dinikahi oleh Karna. Dia tetap teguh pada pendirianya berperang dipihak kurawa meski sebelum masuk ke medan laga Dewi Kunti memberitahukan bahwa Karna adalah kakak dari Pandawa.

Karma Adipati Karna pun tuntas diperang ini. Karna tewas oleh Arjuna, pada saat berhadapan dengan Arjuna,roda kereta perang Karna terperosok kedalam lubang,saat sedang berusaha mengeluarkan roda kereta tersebut, Arjuna melepaskan Panah Pasopatinya,saat itu juga Karna berusaha mengeluarkan kesaktian yang pernah diajarkan Ramabargawa kepadanya,tp seketika itu dia lupa segala apa yag pernah diajarkan, akhirnya Panah Pasopati Arjuna memenggal kepala Karna. Kejadian itu merupakan karma dari apa yang telah Karna perbuat, roda kereta perang yang terperosok adalah akibat kutukan seorang Brahmana yang sapinya pernah ditabrak oleh kereta kuda Karna, namun Karna tidak meminta maaf dan tidak mengganti sapi yang ditabraknya. Brahmana itu mengutuk pada saat Karna berperang menentukan antara hidup dan matinya, roda keretanya akan terperosok dan menyebabkan kematianya. Kemudian kejadian saat Adipati Karna lupa segala kesaktian yang pernah diajarkan Ramabargawa kepadanya adalah kutukan dari Ramabargawa sendiri, karena Karna berbohong kepada Ramabargawa saat berguru kepadanya, saat itu Karna menyamar menjadi Brahmana muda untuk diterima menjadi murid Ramabargawa, karena Ramabargawa tidak menerima murid dari bangsa Ksatria.

Dari pihak Pandawa ada Gatotkaca dan Abimanyu yang juga menuntaskan karma yg harus mereka terima karena perbuatan yang mereka lakukan dan sumpah yang mereka ucapkan. Gatotkaca tewas lewat perantara arwah pamanya Kalabendana yang menangkap dan melemparkan senjata Konta yang hampir saja tidak bisa menjangkau Gatotkaca, Kalabendana sebelumnya tewas ditangan Gatotkaca. Sedangkan Abimanyu tewas dengan puluhan senjata menancap ditubuhnya, sesuai dengan sumpahnya saat melamar Dewi Utari. Abimanyu bersumpah jika ia sudah menikah sebelum menikah dengan Dewi Utari,maka ia akan tewas dengan puluhan senjata menancap ditubuhnya, padahal saat menikah dengan Dewi Utari,Abimanyu telah menikah dengan Dewi Siti Sundari, Putri Sri Batara Kresna.

Selain Ksatria yang terlibat langsung dalam perang,ada pula Ksatria yang menuntaskan karmanya karena berlangsungnya Baratayuda, yaitu Prabu Destarastra, beliau adala ayah para Kurawa, dalam Baratayuda beliau harus kehilangan seratus anaknya, hal ini sesuai dengan karmanya karena Prabu Destarastra pernah membunuh seratus ekor burung yang tak berdosa dengan Ajian Lebur Saketi yang dia miliki.

Baratayuda ini juga menuai kutuk bagi seorang titisan Batara Wisnu, yaitu Sri Batara Kresna. Setelah perang berakhir, Kresna mendapat kutukan dari Dewi Gendari, ibu para Kurawa. Kresna dikutuk bahwa keturunanya dan Wangsa/dinastinya akan musnah karena perang saudara karena sebagai titisan Batara Wisnu dia tidak bisa mencegah perang saudara itu, bahkan Kresna harus menerima karma dari apa yg dilakukan titisan Batara Wisnu sebelum dia, yaitu Ramawijaya. Kresna tewas oleh panah seorang pemburu yg merupakan titisan Subali yang mati dipanah oleh Ramawijaya. –sumber

Pulang Sebelum Calonarang Usai Bisa Dicegat Leak, Mitos Atau Fakta?

$
0
0

Nampaknya kepercayaan larangan pulang lebih awal sebelum pertunjukan calonarang usai bisa dicegat leak bukan sekedar mitos, namun memang benar-benar terjadi.

Menurut Ketut Kodi, SSP, M.Si seorang dalang dan juga seniman calonarang mengatakan hal itu bisa terjadi karena pada pertunjukan calonarang ada namanya gending tunjang. Gending ini merupakan salah satu gambelan pengiring pada pertunjukan calonarang, dimana mampu membangkitkan kekuatan para leak.

“Di gambelan tunjang ada aksara dan suara yang mampu membangkitkan kekuatan leak,” ungkapnya. “Maka setiap ada calonarang tidak diperkenankan untuk pulang pada pertengahan pertunjukan,” kata Ketut Kodi pada Seminar Membedah Etika Tari Rangda, di Rumah Topeng dan Wayang Setiadharma, Ubud, Gianyar.

Karena para leak dibangunkan, hal ini kemudian membuat mereka (para leak) keluar dan menari-nari berkeliaran di dekat lokasi pertunjukan calonarang. “Karena dibangkitkan, para leak akan ngigel di perempatan, di jalan dan di dekat lokasi pertunjukan,” ujarnya.

Jika memaksakan diri untuk pulang sebelum usai pergelaran calonarang bisa saja akan bertemu dengan berbagai wujud leak di perjalanan, “jika pulang lebih awal, maka pulang dari calonarang bisa bertemu dengan wujud leak seperti bojong (monyet…red), kambing, babi dan sebagainya,” ungkap Kodi. –sumber

Mengenal Sorga dan Neraka Dalam Agama Hindu

$
0
0

Dalam Agama Hindu Tidak kita temukan gambaran neraka seperti itu. Lalu apakah orang baik dan orang jahat sama-sama masuk surga?. Bagaimana soal keadilan ditegakkan?. Dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan sebelumnya, setelah mati, jiwa kita :

(1) mencapai moksa atau

(2) lahir kembali kedunia.

Bila kita lahir kembali, maka dalam kelahiran itu kita menerima akibat- akibat dari perbuatan kita dari kehidupan yang terdahulu. Akibat baik atau akibat buruk.

Disini dikenal istilah kelahiran surga dan kelahiran neraka. Kelahiran surga artinya dalam hidup ini kita menjadi orang yang beruntung dan berbahagia. Kelahiran neraka artinya dalam hidup ini kita akan menderita dan banyak mendapat kesulitan. Penderitaan itu sangat banyak jenisnya. Misalnya karena : sakit yang tidak dapat disembuhkan, penghianatan, kebencian, dendam, iri hati, sakit hati, dan kemarahan yang tak terkendali adalah bentuk neraka didunia ini.

Pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka.

reincarnazione

Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ).
Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka.
Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta ( Brahman).

Seperti apa Sorga dan untuk apa?

Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi. Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.

sorga
Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya.

Sorga Sebagai persinggahan sementara

Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta))

Neraka Menurut Hindu

hell in hindu

Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama—entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama—lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma.
Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam.
Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka.
Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu “Moksha”. –sumber


Mengenal LEAK, Agar Tidak Salah Mengartikan

$
0
0

Asal usul ilmu pengeleakan bisa dirujuk dalam sebuah ritual bathin yang disebut tapa. Tapa identik dengan api, kekuatan. Apakah kekuatan itu untuk membakar ego guna perolehan keinsyafan diri atau sebaliknya untuk mengumbar ego membakar subyek yang amat dibenci. Sekali lagi, tapa adalah api atau energi berhawa panas. Mereka yang menyimpan (mengekang) nafsu atau emosi negatifnya sedemikian rupa, apabila “diledakkan” dengan cara tertentu dapat menimbulkan api tapas , meski dalam alur yang menyimpang.

Bertolak dari prinsip ini, Calon Arang (Randa Dirah) tokoh sentral dalam jagat perleakan Bali diyakini telah melakukan praktek “tapa kebencian” dan menyalurkan hasil tapanya itu secara ghaib menjadi apa yang disebut LEAK. Kemampuan Calon Arang mengekang kebencian dan dendamnya (tapa) melahirkan api (energi panas). Inilah sebabnya Ilmu Leak versi Calon Arang dasar perwujudannya tampak sebagai api (ngendih). Dan tentu saja, api leak semacam itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap mereka yang juga memiliki api sejenis dari tipe dan kualitas yang lebih baik yakni api spiritual. Sebab itu, Mpu Bharadah, Mpu Bahula atau Raja Airlangga (Mpu Jatayu) yang mewakili kekuatan “api spiritual” tidak mempan oleh serangan kebencian yang terpancar dari api tapas Rondo Dirah. Ini pulalah makna keputusan Bhatari Durga yang mengijinkan Walu Nateng Dirah menebar kekuatan pedestian-nya hanya berlaku untuk masyarakat “pinggiran” saja, tidak dapat memasuki “ibukota kerajaan” yang dipimpin Airlangga. Pinggiran disini maksudnya adalah mereka yang berpandangan “keluar” (duniawi) melekat kepada kesenangan material; cinta akan tahta, keserakahan dan sejenisnya. Sedangkan ibukota kerajaan menyimbolkan mereka yang berpandangan “kedalam”, yakni para penekun jalan keinsyafan diri atau para penapak jalan spiritual. Bagaimanapun juga, api tapa spiritual jauh lebih cemerlang dari api tapa kebencian. Dewi Durga (Bhairavi) adalah manifestasi illahi yang merupakan sumber kedua jenis api tapa itu.

“Semasih ada rasa tertindas yang melahirkan kebencian dan dendam, semasih ada nafsu birahi yang menggebu dan menuntut pemuasan dan semasih ada kemarahan terpendam yang menuntut pembalasan, jika semua itu cukup untuk melahirkan penghancuran, maka apa yang disebut LEAK pasti tetap eksis”

Calon Arang hanyalah subyek pencetus yang mewakili rasa ketidak puasan yang super lengkap semacam itu. Ia adalah Ratu Permaisuri yang sedang berkuasa tapi ia dibuang seperti sampah hingga terlunta ke tepi pengasingan. Ia harus puas sebagai mantan ratu menerima predikat janda (rondo) yang memalukan. Anak satu satunya,yang seharusnya menjadi ahli waris tahta kerajaan adalah seorang wanita bernama Ratna Mengali,pun ikut dicampakkan. Masyarakat kala itu menghukumnya dengan tidak menunjukkan rasa emphati kepada mereka. Disaat usia Ratna Mengali sudah cukup untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang layak, tak seorangpun pria mau mendekatinya apalagi melamarnya. Bisa dibayangkan seorang Ibu yang sedang sebatang kara yang menyayangi anak tunggalnya menerima perlakuan semacam itu,terlebih ia mantan permaisuri Raja Dirah. Siang malam ia memendam api kebenciannya kepada semua orang. Itulah tapa hebat yang dilakukan Rondo Dirah.

Maka ia sampai ke Durgaloka yakni Pura Dalem (inner power, konsentrasi api energi dalam tubuh) dan melupakan segalanya. Tujuannya hanya satu; balas dendam melampiaskan kebencian yang tak terbendung lagi. Kebencian yang mendalam dari Calon Arang ini juga layak disebut tapa dan karena itu, Dewi Durga yakni api kesadaran bathin yang dahsyat (cid-aghni, api tapas) berkenan memberikan anugerah-Nya. Karena api itu lahir dari motif kebencian, tidak ayal lagi kualitas api yang diterimanya agak rusak (ugig) dan akhirnya, terbukti memang merusak. Api semacam itu (ditambah sedikit “bumbu” dari ajaran tantrik) merupakan bahan baku (raw material) proses menebar petaka dalam kehidupan yang disebut desti, teluh dan teranjana. Teknik pengolahan api tapa “jalur kiri” seperti versi Rondo Dirah itu banyak dibahas dalam ajaran tantra wamamarga. Salah satu contohnya adalah pewisik yang diterima Calon Arang agar berhasil merubah wujud (malin rupa) seperti berikut :

Iki tingkahe mangda dadi binarupa,katon dening wong sabumi;

iki pradatanya,away hima hima ring payogan.

Sane metu ring sarira gnahnya mider bwana,lwirnya :
Papusuwan ngaran purwa,ika dadi lembu
Peparu dadi singa,kelod kangin
Atine dadi barong,kelod unggwanya
Usus agung dadi warak,kelod kawuh unggwanya
Ungsilane dadi nagha pasa,kawuh unggwanya
Amprune dadi raksasa,kaja unggwanya
Jajaringane dadi garuda kaja kangin unggwanya
Tumpukan papuswane dadi kala mretyu,ring madya unggwanya

Sayangnya, sebagian orang selalu “memojokkan” Randa Dirah sebagai biang kerok Aji Ugig (leak), sementara banyak orang tanpa sadar juga sedang melakukan praktek tapa sejenis seperti yang dilakukan Randa Dirah. Dijaman Kali ini banyak orang mengaku takut terhadap leak meskipun dia sesungguhnya adalah juga pengikut Calon Arang. Mereka “diam diam” pergi ke pura atau tempat tempat keramat, petilasan, makam “mbah sakti” dan sebagainya, bukan untuk menyembah Hyang (memuja,memuliakan dan bersyukur kehadapan Hyang Widhi) melainkan untuk mendoakan (baca; meminta) agar jabatannya langgeng (baca; orang lain tidak perlu naik pangkat),agar usahanya laris dan maju (baca; agar orang yang melakukan usaha sejenis bangkrut). Jika hal hal semacam itu mereka pikirkan terus menerus sampai tidak bisa tidur,tak ayal lagi mereka adalah pengikut setia Calon Arang alias “leak leak berdasi” (baca : leak matah). Jadi kenapa harus takut dan memojokkan Randa Dirah dan leaknya? –sumber

SANG SURATMA : KARMA HIDUP TAK AKAN BISA DI SEMBUNYIKAN

$
0
0

Tidak jauh dari kawah gomuka Sang Suratma dengan wujud raksasa yang penuh wibawa, penguasa para atman sedang menghukum atmaning usadha, karena dulu dukun atau dokter yang menguasai ilmu pengobatan yang dahulu pernah lali menyembuhkan orang sakit melakukan mal praktek, dan selalu menerima imbalan yang tinggi kepada orang yang diobatinya. Disebelahnya lagi, tampak sang Bhuta Mandar dan sang Bhuta Mandir dua Raksasa bengis saudara kembar sedang menggergaji kepala atma wong alpaka guru (tidak pernah taat pada guru), atma yang tidak melakukan kewajiban sebagai putra yang baik karena melalaikan kedua orang tuanya.

afterlife hindu7

Bali Bima in Underworld, from Bima Swarga, early 20th century ink and paint on muslin, 34 1/4 x 40" Gift of Estelle Shaw, 65.045.340 Courtesy Lowe Art Museum

Bali
Bima in Underworld, from Bima Swarga, early 20th century
ink and paint on muslin, 34 1/4 x 40″
Gift of Estelle Shaw, 65.045.340
Courtesy Lowe Art Museum

Di sebelahnya sang Bhuta Wirosa yang berwujud raksasa maha sakti sedang menghukum atma memaling (mencuri) nasi, ini terjadi karena saat di mercepada ia suka mencuri makanan, karena itu sebaiknya jangan sekali kali mencuri nasi, seberapapun lapar dirasakan.

Sang Suratma adalah julukan dari Anggapati sebagai Yama Bala yaitu seorang rencang atau abdi yang bertugas untuk mengintrograsi atman dan mencatat segala perilaku atau karma manusia ketika mereka masih hidup yang dalam Tri Mandala Pura Besakih,

Pura Titi Gonggang / Marga Tiga menjadi tempat berstananya Sang Suratma sebagai pencatat segala perbuatan yang nantinya juga sebagai pendamping Bhatara Kawitan di Bale Pengangen angen dalam perjalanan atman menuju alam swah loka.

Sang Suratma yang dalam lontar kandapat disebutkan bahwa 

  • Sang Suratma sebagai julukan dari anggapati saat manusia lahir dan saatnya nanti ketika manusia mengalami kematian 
  • Sang Suratmalah yang akan menjemput atman manusia tersebut untuk dapat mengadili untuk mencapai sorga atau neraka setelah dilaksanakan upacarangaben ysng bila atma mencapai neraka alam bhur loka, nerakanya berupa air mendidih, dan disambut oleh Sang Suratma dan para Pisaca.

Dalam cerita rakyat Bali, Bhima Swarga yang dengan wujud raksasa dikisahkan Sang Suratma yang penuh wibawa sedang menghukum atmaning corah manusia yang selalu berbuat asubha karmadengan prilaku yang tidak baik.

afterlife hindu5

Sang Suratma sebagai salah satu saudara dalam kelahiran manusia yang mempunyai empat saudara sebagaimana disebutkan dalam Kanda Pat,

Sang Suratma juga bertugas sebagai pencatat atau juru tulis segala perilaku manusia ketika mereka masih hidup serta bertugas untuk menghantarkan sang atma tersebut ke tempat khusus yang disebut dengan Tegal Penangsaran yaitu sebuah tempat dengan beragam kondisi sebagai tempat atma menerima perlakuan sesuai dengan kelakuannya di dunia.

Selain berbuat subha karma dengan selalu melakukan yang terbaik, sebagaimana dikisahkan penjelasan Dewa Siwapada Sang Suratma terhadap “masuknya Lubdhaka ke Sorga” yang tepatnya pada saat hari raya siwa ratri, manusia diharapkan mampu merenungi kembali atas sebagai perbuataanya untuk memperoleh jalan masuk surga alam swah loka.

Oleh karena itu kita sebagai manusia yang terlahir untuk membayar karma harus nya tidak lagi membuat karma yang tidak baik. Sehebat apapun manusia menyembunyikan perbuatan yang tidak baik Sang Suratma akan tetap melihat nya. |sumber

Melasti/Mekiis/Melis

$
0
0

Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala).

Maksudnya: Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Maha Esa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam.
Setiap Sasih Kesanga umat Hindu di Nusantara mengadakan Upacara Yadnya yang disebut melasti/mekiis/melis yang dilanjutkan dengan nyejer. Ritual melasti dan nyejer ini sebagai pendahuluan dari Hari Raya Nyepi. Melasti/mekiis/melis, Nyejer dan Nyepi sebagai kegiatan keagamaan Hindu untuk memperingati Tahun Baru Saka.

Hakikat semua perayaan keagamaan Hindu tersebut sebagai suatu proses evaluasi penyelenggaraan kehidupan yang dilakukan setiap tahun. Proses evaluasi ini amat dibutuhkan untuk mencermati penyelenggaraan kehidupan di bumi ini agar senantiasa berada dalam jalur yang benar sesuai dengan ketentuan pustaka suci Weda.

Kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala di atas itu, menjelaskan empat tujuan Melasti. Sedangkan tujuannya yang tertinggi dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yang dinyatakan dalam bahasa Jawa Kuno sbb: ”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. ” Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra.

Dua kutipan Lontar ini, sudah amat jelas makna ritual Melasti/Mekiis/Melis itu sebagai proses untuk mengingatkan umat manusia akan makna tujuan hidupnya di bumi ini. Tuhan telah menciptakan berbagai sumber alam sebagai wahana dan sarana kehidupan bagi umat manusia hidup di bumi ini. Untuk hidup di bumi ini hendaknya menggunakan sari-sari alam ciptaan Tuhan. Ini artinya hendaknya dihindari mengeksploitasi sumber alam ini secara berlebihan. Untuk melakukan hal itu, umat manusia dimotivasi dengan ritual sakral tiap tahun dengan Upacara Melasti/Mekiis/Melis.

Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti/Mekiis/Melis itu ada empat sasarannya yaitu:

1. Ngiring Prawatek Dewata. Artinya membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti serta patuh pada tuntunan para Dewata sinar suci Tuhan. Umat Hindu di Bali melakukan Upacara Melasti dengan melakukan pawai keagamaan yang di Bali disebut mapeed untuk melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut dan sungai atau mata air lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Saat perjalanan suci dengan mapeed itu umat diharapkan melakukan bhakti pada Dewata manifestasi Tuhan dengan simbol-simbol sakral yang lewat di depan rumahnya atau sembahyang bersama saat sudah di tepi laut atau sungai.

2. Anganyutaken Laraning Jagat. Ini artinya dengan Upacara Melasti/Mekiis/Melis umat dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat (Sosial care). Istilah Laraning Jagat ini memang sulit sekali mencari padanannya agar ia tidak kehilangan makna. Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita.

Hanya yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, orang berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya menggunakan kekayaannya untuk membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego untuk bersombong-sombongria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar.

Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan Laraning Jagat hendaknya diaktualisasikan untuk menghilangkan sumber penderitaan masyarakat baik yang bersifat Niskala maupun yang bersifat Sekala.

3. Anganyutaken Papa Klesa. Para Pinandita maupun Pandita dalam mengantarkan Upacara Keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram: Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti Mantram tersebut adalah: Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan.

Hidup yang ”papa” disebabkan oleh sifat-sifat klesa yang mendominasi diri pribadi manusia. Mengenai Klesa sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh Unsur Predana sudah diterangkan di bagian depan dari tulisan ini. Lima klesa (Awidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa) inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh di luar garis Dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan.

4. Anganyuntaken Letuhing Bhuwana. Yang dimaksud dengan Bhuwana yang ”Letuh” adalah alam yang tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Atau dalam istilah Sarasamuscaya disebut Abhuta Hita artinya alam yang tidak lestari. Bhuta artinya unsur yang ada. Bhuta itu ada lima sehingga disebut Panca Maha Bhuta. Lima Bhuta tersebut adalah: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa. Lima unsur alam itulah yang wajib kita jaga kesejahteraannya.

Jangan lima unsur Bhuta itu diganggu kelestariannya. Jadinya Upacara Melasti itu adalah untuk menanam nilai-nilai filosofis tersebut, sehingga setiap orang termotivasi untuk melakukan tiga langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana sebagai wujud bhakti pada Tuhan.

Tentunya Upacara Melasti akan menjadi mubazir kalau bhakti kita pada Tuhan tidak diwujudkan untuk membenahi diri dengan menjadikan informasi agama sebagai kekuatan melakukan transformasi diri menghilangkan Panca Klesa. Dari diri yang berubah itulah, kita meningkatkan kepedulian kita pada perbaikan sosial (Sosial Care) yang disebut ”Anganyutaken laraning jagat”. Selanjutnya Melasti untuk memotivasi umat melakukan upaya pelestarian alam lingkungan. |sumber

Kumpulan Kisah Sang Naga Basuki

$
0
0

Basuki adalah naga atau ular yang muncul dalam kepercayaan Hindu dan Buddha. Dia adalah ular milik Dewa Siwa dan juga salah satu dari Delapan Naga Raja Agung (Eight Great Naga Kings) dalam mitologi Cina dan Jepang. Naga Basuki adalah salah satu tokoh yang terlibat dalam cerita rakyat Bali. Naga Basuki digambarkan seperti ular (terkadang ada yang menyebutnya manusia ular) yang mengenakan mahkota emas dengan hiasan berlian di kepalanya. Dia memiliki seorang saudara perempuan yang bernama Naga Manasa. Naga Basuki muncul di beberapa kisah mitologi seperti di India, Cina dan Jepang.

Kisah Samudra Manthan

samudra-manthan1

Dalam Agama Hindu, Samudra Manthan adalah salah satu periode paling terkenal dalam Purana. Berikut kisahnya:

Dalam sebuah pertempuran antara Sura dan Asura (iblis), Raja Bali yang memimpin pasukan Asura akhirnya mengalahkan para Sura dan mengambil alih alam semesta. Para Sura kemudian meminta bantuan kepada Dewa Wisnu yang memberi saran untuk memperlakukan Asura secara diplomatis.

Para Sura akhirnya bekerja sama dengan para Asura untuk mengekstrak lautan dengan cara mengaduknya agar memperoleh susu keabadian. Namun Dewa Wisnu sendiri akan mengatur bahwa nantinya hanya kaum Sura yang memperoleh susu tersebut.

Gunung Mandarachala atau Gunung Meru digunakan sebagai alat pengaduk sedangkan Naga Basuki digunakan sebagai tali pengaduk. Dewa Wisnu meminta agar para Asura yang memegang bagian kepala Naga Basuki sedangkan Sura yang memegang bagian ekor. Para Asura keracunan karena aroma tubuh Basuki. Namun begitu gunung tersebut mulai tenggelam ketika diletakkan di lautan. Dewa Wisnu dalam avatar keduanya yaitu Penyu Kurma, membantu mereka untuk menopang Gunung Meru di punggungnya. Mereka bergerak maju dan mundur yang menyebabkan Gunung Meru berputar dan mengocok lautan. Proses tersebut diberi nama Samudra Manthan.

Dalam proses Samudra Manthan, beberapa hal keluar dari lautan susu. Salah satunya adalah racun mematikan yang bernama Halahala. Karena takut mencemari lautan susu dan menghancurkan peradaban, Dewa Siwa membantu mereka dengan menghisap racun tersebut. Karena racun ini sangat berbahaya, beberapa dewa lain seperti Dewi Parvati membantu Dewa Siwa menangani racun tersebut.

Samudra Manthan dalam bahasa Inggris dikenal dengan judul Churning of Ocean Milk atau Milky Way.

Kisah tersebut merupakan asal mula terciptanya Galaksi Bimasakti (Milky Way) dari sudut pandang mitologi India.

Legenda Selat Bali

nagabesuki

Kisah berikut saya kutip dari Dongeng Nusantara

Pada jaman dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Manik Angkeran. Ayahnya seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, yang bernama Begawan Sidi mantra. Walaupun ayahnya seorang yang disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi Manik Angkeran adalah seorang anak yang manja, yang kerjanya hanya berjudi dan mengadu ayam seperti berandalan-berandalan yang ada di desanya.Mungkin ini karena ia telah ditinggal oleh Ibunya yang meninggal sewaktu melahirkannya. Karena kebiasaannya itu, kekayaan ayahnya makin lama makin habis dan akhirnya mereka jatuh miskin.

Walaupun keadaan mereka sudah miskin, kebiasaan Manik Angkeran tidak juga berkurang, bahkan karena dalam berjudi ia selalu kalah, hutangnya makin lama makin banyak dan ia pun di kejar-kejar oleh orang-orang yang dihutanginya. Akhirnya datanglah Manik ketempat ayahnya, dan dengan nada sedih ia meminta ayahnya untuk membayar hutang-hutangnya. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawan Sidi Mantra pun merasa kasihan dan berjanji akan membayar hutang-hutang anaknya.

Maka dengan kekuatan batinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa ada sebuah Gunung yang bernama Gunung Agung yang terletak di sebelah timur. Di Gunung Agung konon terdapat harta yang melimpah. Berbekal petunjuk tersebut, pergilah Begawan Sidi Mantra ke Gunung Agung dengan membawa genta pemujaannya.

Setelah sekian lama perjalanannya, sampailah ia ke Gunung Agung. Segeralah ia mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Dan keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.

“Hai Begawan Sidi Mantra, ada apa engkau memanggilku?” tanya sang Naga Besukih.

“Sang Besukih, kekayaanku telah dihabiskan anakku untuk berjudi. Sekarang karena hutangnya menumpuk, dia dikejar-kejar oleh orang-orang. Aku mohon, bantulah aku agar aku bisa membayar hutang anakku!”

“Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Begawan Sidi Mantra, tapi kau harus menasehati anakmu agar tidak berjudi lagi, karena kau tahu berjudi itu dilarang agama!”

“Aku berjanji akan menasehati anakku” jawab Begawan Sidi Mantra.

Kemudian Sang Naga Besukih menggetarkan badannya dan sisik-sisiknya yang berjatuhan segera berubah emas dan intan.

“Ambillah Begawan Sidi Mantra. Bayarlah hutang-hutang anakmu. Dan jangan lupa nasehati dia agar tidak berjudi lagi.”

Sambil memungut emas dan intan serta tak lupa mengucapkan terima kasih, maka Begawan Sidi Mantra segera pergi dari Gunung Agung. Lalu pulanglah ia ke rumahnya di Jawa Timur. Sesampainya dirumah, di bayarlah semua hutang anaknya dan tak lupa ia menasehati anaknya agar tidak berjudi lagi.

Tetapi rupanya nasehat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Dia tetap berjudi dan mengadu ayam setiap hari. Lama-kelamaan, hutang Manik Angkeran pun semakin banyak dan ia pun di kejar-kejar lagi oleh orang-orang yang dihutanginya. Dan seperti sebelumnya, pergilah Manik Angkeran menghadap ayahnya dan memohon agar hutang-hutangnya dilunasi lagi.

Walaupun dengan sedikit kesal, sebagai seorang ayah, Begawan Sidi Mantra pun berjanji akan melunasi hutang-hutang tersebut. Dan segera ia pun pergi ke Gunung Agung untuk memohon kepada Sang Naga Besukih agar diberikan pertolongan lagi.

Sesampainya ia di Gunung Agung, dibunyikannya genta dan membaca mantra-mantra agar Sang Naga Besukih keluar dari istananya.

Tidak beberapa lama, keluarlah akhirnya Sang Naga Besukih dari istananya.

“Ada apa lagi Begawan Sidi Mantra? Mengapa engkau memanggilku lagi?” tanya Sang Naga Besukih.

“Maaf Sang Besukih, sekali lagi aku memohon bantuanmu agar aku bisa membayar hutang-hutang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan aku sudah menasehatinya agar tidak berjudi, tapi ia tidak menghiraukanku.” mohon Begawan Sidi Mantra.

“Anakmu rupanya sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Tapi aku akan membantumu untuk yang terakhir kali. Ingat, terakhir kali.”

Maka Sang Naga menggerakkan tubuhnya dan Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya yang berjatuhan. Lalu Begawan Sidi Mantra pun memohon diri. Dan setiba dirumahnya, Begawan Sidi Mantra segera melunasi hutang-hutang anaknya.

Karena dengan mudahnya Begawan Sidi Mantra mendaptkan harta, Manik Angkeran pun merasa heran melihatnya. Maka bertanyalah Manik Angkeran kepada ayahnya, “Ayah, darimana ayah mendapatkan semua kekayaan itu?”

“Sudahlah Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana ayah mendapat harta itu. Berhentilah berjudi dan menyabung ayam, karena itu semua dilarang oleh agama. Dan inipun untuk terakhir kalinya ayah membantumu. Lain kali apabila engkau berhutang lagi, ayah tidak akan membantumu lagi.”

Tetapi ternyata Manik Angkeran tidak dapat meninggalkan kebiasaan buruknya itu, ia tetap berjudi dan berjudi terus. Sehingga dalam waktu singkat hutangnya sudah menumpuk banyak. Dan walaupun ia sudah meminta bantuan ayahnya, ayahnya tetap tidak mau membantunya lagi. Sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya.

Bertanyalah ia kesana kemari, dan beberapa temannya memberitahu bahwa ayahnya mendapat kekayaan di Gunung Agung. Karena keserakahannya, Manik Angkeran pun mencuri genta ayahnya dan pergi ke Gunung Agung.

Sesampai di Gunung Agung, segeralah ia membunyikan genta tersebut. Mendengar bunyi genta, Sang Naga Besukih pun merasa terpanggil olehnya, tetapi Sang Naga heran, karena tidak mendengar mantra-mantra yang biasanya di ucapkan oleh Begawan Sidi Mantra apabila membunyikan genta tersebut.

Maka keluarlah San Naga untuk melihat siapa yang datang memangilnya.

Setelah keluar, bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran. Melihat Manik Angkeran, Sang Naga Besukih pun tidak dapat menahan marahnya.

“Hai Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari ayahmu itu?”

Dengan sikap memelas, Manik pun berkata “Sang Naga bantulah aku. Berilah aku harta yang melimpah agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini aku tak bisa membayarnya, orang-orang akan membunuhku. Kasihanilah aku.”

Melihat kesedihan Manik Angkeran, Sang Naga pun merasa kasihan.

“Baiklah, aku akan membantumu.” jawab Sang Naga Besukih.

Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Sang Naga segera membalikkan badannya untuk mengambil harta yang akan diberikan ke Manik Angkeran. Pada saat Sang Naga membenamkan kepala dan tubuhnya kedalam bumi untuk mengambil harta, Manik Angkeran pun melihat ekor Sang Naga yang ada dipemukaan bumi dipenuhi oleh intan dan permata, maka timbullah niat jahatnya. Manik Angkeran segera menghunus keris dan memotong ekor Sang Naga Besukih. Sang Naga Besukih meronta dan segera membalikkan badannya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Sang Naga pun segera mengejar Manik ke segala penjuru, tetapi ia tidak dapat menemukan Manik Angkeran, yang ditemui hanyalah bekas tapak kaki Manik Angkeran.

Maka dengan kesaktiannya, Sang Naga Besukih membakar bekas tapak kaki Manik Angkeran. Walaupun Manik Angkeran sudah jauh dari Sang Naga, tetapi dengan kesaktian Sang Naga Besukih, ia pun tetap merasakan pembakaran tapak kaki tersebut sehingga tubuh Manik Angkeran terasa panas sehingga ia rebah dan lama kelamaan menjadi abu.

Di Jawa Timur, Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya Manik Angkeran telah hilang dan genta pemujaannya juga hilang. Tetapi Begawan Sidi Mantra tahu kalau gentanya diambil oleh anaknya Manik Angkeran dan merasa bahwa anaknya pergi ke Gunung Agung menemui Sang Naga Besukih. Maka berangkatlah ia ke Gunung Agung.

Sesampainya di Gunung Agung, dilihatnya Sang Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra bertanya kepada Sang Naga Besukih “Wahai Sang Besukih, adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?”

“Ya, ia telah datang kemari untuk meminta harta yang akan dipakainya untuk melunasi hutang-hutangnya. Tetapi ketika aku membalikkan badan hendak mengambil harta untuknya, dipotonglah ekorku olehnya. Dan aku telah membakarnya sampai musnah, karena sikap anakmu tidak tahu balas budi itu. Sekarang apa maksud kedatanganmu kemari, Begawan Sidi Mantra?”

“Maafkan aku, Sang Besukih! Anakku Cuma satu, karena itu aku mohon agar anakku dihidupkan kembali.” mohon Sang Begawan.

“Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat, kembalikan ekorku seperti semula.” kata Sang Naga Besukih.

“Baiklah, aku pun akan memenuhi syaratmu!” jawab Begawan Sidi Mantra.

Maka dengan mengerahkan kekuatan mereka masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula dengan ekor Sang Naga Besukih bisa kembali utuh seperti semula.

Dinasehatinya Manik Angkeran oleh Sang Naga Besukih dan Begawan Sidi Mantra secara panjang lebar dan setelah itu pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Tetapi Manik Angkeran tidak boleh ikut pulang, ia harus tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membangkang dan menuruti perintah ayahnya tersebut.

Dan dalam perjalanan pulangnya, ketika Begawan Sidi Mantra sampai di Tanah Benteng, di torehkannya tongkatnya ke tanah untuk membuat batas dengan anaknya. Seketika itu pula bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Dan lama kelamaan menjadi sebuah selat. Selat itulah yang sekarang di beri nama “Selat Bali”.

Pura Gua Lawah, Persemayaman Kepala Sang Naga Basuki Penyeimbang Alam

goa_lawah

Tepat menghadap laut di Kusamba, sisi selatan Klungkung, terdapat sebuah pura kuno bernama Gua Lawah yang telah berusia 10 abad. Seperti namanya, Pura Gua Lawah berwujud sebuah gua alam yang dikelilingi beberapa bangunan pelinggih. Statusnya sebagai satu dari sembilan pura penyangga mata angin atau Pura Kahyangan Padma Bhuwana menjadikan pura yang terletak di Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung, ini salah satu pura terpenting bagi masyarakat Bali. Pura Gua Lawah dalam kepercayaan Hindu Bali diposisikan sebagai Pura penyangga arah tenggara (gneya) dari daratan Bali.

Menurut beberapa catatan sejarah, antara lain Lontar Usana Bali dan Lontar Babad Pasek, Pura Goa Lawah didirikan sekitar abad 11 Masehi. Pura ini didirikan pada tahun 929 Saka atau 1007 Masehi atas prakarsa Mpu Kuturan, penasihat Raja Anak Wungsu. Disebutkan pula bahwa pada abad ke-14 Masehi, pura ini mengalami pemugaran dan perluasan kompleks. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lorong gua ini terhubung dengan mulut Gua Raja di Kompleks Pura Besakih yang berjarak sekitar 30 kilometer. Hanya saja, pada tahun 1917, lorong tersebut runtuh akibat gempa besar.

Salah satu hal menarik dari Gua Lawah adalah kawanan kelelawar yang memenuhi lorong gua ini. Kelelawar-kelewar ini dilindungi oleh aturan adat setempat dan terlarang untuk diburu atau ditangkap. Hal ini membuat keriuhan suara koloni hewan nokturnal ini menjadi salah satu fenomena tersendiri yang dapat disaksikan para pengunjung. Selain itu, keberadaan relief kelelawar di salah satu gerbang/Candi Gelung yang memisahkan halaman tengah (jaba tengah) ke halaman dalam (jeroan) pura menjadi simbol bahwa hewan ini mendapat kedudukan yang khusus di pura ini.

Gua Lawah memiliki korelasi yang sangat erat dengan Pura Besakih di lereng Gunung Agung yang merupakan pura induk (mother temple) bagi seluruh umat Hindu Bali. Menurut Lontar Prekempa Gunung Agung, Pura Gua Lawah merupakan representasi kepala dari Naga Basuki, sedangkan Pura Gua Raja di Kompleks Pura Besakih merepresentasikan ekornya. Dalam mitologi Hindu, Naga Basuki merupakan salah satu dari tiga naga jelmaan dewa yang diturunkan untuk menyelamatkan bumi. Naga Basuki menjadi simbol dari keseimbangan siklus yang terjadi di alam. Air menguap dari laut dan turun ke bumi menjadi hujan di gunung (daratan) yang pada akhirnya kembali ke laut.

Konsep keseimbangan alam yang berkaitan erat dengan eksistensi Gua Lawah menjadikannya pusat pemujaan terhadap Bhatara Tengahing Segara, representasi Tuhan dalam wujud pemelihara lautan. Di samping itu, Gua Lawah juga menjadi tempat pemujaan Dewa Maheswara yang merupakan penguasa arah mata angin tenggara dalam mitologi Hindu Bali.

Selain karena latar belakang mitologis tersebut, korelasi erat Gua Lawah dengan Pura Besakih juga terjadi karena prosesi upacara Ngaben. Menurut keterangan pengurus pura, setelah pelaksanaan ngaben, umat Hindu melakukan persembahyangan di Gua Lawah. Setelah itu, mereka melakukan sembahyang di Pura Besakih sebagai wujud syukur terlaksananya upacara tersebut. [Ardee/IndonesiaKaya]

|sumber

Kisah Sang Hyang Anantaboga

$
0
0

ANTABOGA, SANG HYANG, atau Sang Sang Nagasesa atau Sang Hyang Anantaboga  adalah dewa penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapratala, atau lapisan ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia mempunyai dua anak, yaitu Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan, walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapratala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya.

Sang Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu, putri Anantaswara.
Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan ujud manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga besar. Selain itu, setiap 1000 tahun sekali, Sang Hyang Antaboga berganti kulit (jw. m1ungsungi). Dalam pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki Aji Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja, sesuai dengan yang dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan api pada peristiwa Bale Sigala-gala.
Putrinya, Dewi Nagagini, menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja.

Sang Hyang Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi Wara Subadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Subadra Larung.
Sang Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Batara Guru menangkap Bambang Nagatatmala, anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal menangkapnya karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah, walau itu anaknya, Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka Batara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya, dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untunglah Dewi Supreti, istrinya, kemudian menghidupkan kembali Bambang Nagatatmala dengan Tirta Amerta.

Batara Guru juga pernah mengambil kulit yang tersisa ketika Sang Hyang Antaboga mlungsungi dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang mengerikan. Batara Guru menamakan makhluk ganas Aji Candrabirawa.
Sang Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, ujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang bernama Antawisesa juga seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang.
Suatu ketika para, dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa menghidupkan orang mati. Guna memperoleh Tirta Amerta para dewa harus mengebor dasar samudra. Mereka mencabut Gunung Mandira dari tempatnya, dibawa ke samudra, dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu. Namun setelah berhasil memutamya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat diambil. Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu. Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta.

Jasa Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada Batara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu Nagasesa sedang bertapa di Guwaringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa langsung mengatupkan mulutnya, dan saat itulah muncul Batara Guru. Dewa itu menanyakan kemana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Batara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Batara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berujud cahaya itu.
Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu mempunyai khasiat dapat membawa ketentraman di kahyangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa berhutang budi pada kebaikan hati Nagasesa.
Karena jasa-jasanya itu para dewa lalu menghadiahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa, dan berhak atas gelar Batara atau Sang Hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga. Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya itu, oleh para dewa Nagasesa juga diberi Aji Kawastram yang membuatnya sanggup mengubah ujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang dikehendakinya.
Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya.
Perlu diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja, hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Dalam Kitab Mahabarata, Antareja tidak pernah ada, karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia.

Sang Hyang Antaboga pernah berbuat khilaf ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura, cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Batara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna, yang suami Dewi Pertiwi, Antaboga berangkat ke kahyangan. Ternyata Batara Guru tidak bersedia memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhimya silang pendapat itu dapat diredakan oleh Batara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.
Nama Antaboga atau Anantaboga artinya (naga yang) kelokannya tidak mengenal batas. Kata ‘an’ atau artinya tidak; kata ‘anta’ artinya batas; sedangkan kata ‘boga’ atau ‘bhoga’ atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular naga yang besarnya luar biasa. |sumber

Pengerupukan

$
0
0

Upacara yang biasa di sebut sebagai upacara ngerupuk ini adalah merupakan upacara yang dilakukan untuk mengusir Buta Kala atau kejahatan yang dilakukan sore hari (sandhyakala) setelah dilakukan upacara mecaru di tingkat rumah) sehari sebelum upacara Nyepi.

Seperti dijelaskan dalam Wikipedia, pengerupukan dilakukan dengan cara menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh.

Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia, upacara ngrupuk ini dilakukan pada saat sandhyakala setelah dilakukan upacara mecaru di tingkat rumah sehari sebelum Hari Raya Nyepi, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.

Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.

Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar.

Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Sebagai tambahan, dalam perayaan pengerupakan ini, untuk sanggah cucuk ring Pamrajan / Sanggah; menghaturkan Banten Pejati, yaitu :

  • Pras,
  • Ajuman.
  • Daksina,
  • Ketipat kelanan,
  • Canang lengawangi (canang burat wangi)sedangkan di halaman pura atau natar merajan; menghaturkan segehan putih kuning atanding. |sumber

Jayaprana & Layonsari Kisah Cinta Suci, Sejati dan Abadi

$
0
0

Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di daerah utara pulau Bali. Kerajaan itu bernama kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu, hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua orang laki-laki dan seorang wanita. Kerajaan itu terkena sebuah wabah yang menyebabkan banyak warganya meninggal, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Keluarga sederhana itu pun ikut terkena wabah, empat anggota keluarganya meninggal dan menyisakan si bungsu, I Nyoman Jayaprana.

Raja Kalianget saat itu, juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Pada saat kunjungan, Raja merasa tertarik dengan Jayaprana yang pada saat itu tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan teringat dengan mendiang anaknya hingga membuatnya ingin menjadikan Jayaprana sebagai anak angkat.

Setelah diangkat anak oleh Raja, Jayaprana pun tumbuh di lingkungan kerajaan. Dia mendapatkan pelajaran selayaknya anak kandung Raja. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang lihai bertarung. banyak gadis yang diam-diam memendam rasa pada Jayaprana. Melihat itu, lantas Raja memerintahkan Jayaprana memilih dayang-dayang istana atau gadis di luar istana untuk dijadikan pendamping. Jayaprana sempat menolak, karena merasa dia masih kekanak-kanakan dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara.

Namun karena Raja terus mendesak, maka Jayaprana pun menurutinya. Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat Istana. Dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Matanya terpukau pada seorang gadis jelita penjual bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Nama gadis jelita itu, Ni Komang Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas dari Layonsari, Layonsari yang merasa dirinya diamati pun berusaha menghilang diantara kerumunan pasar.

Setelah Layonsari menghilang dari pandangannya, Jayaprana buru-buru kembali ke istana untuk melapor pada Raja bahwa dia telah menemukan gadis pujaannya. Raja pun membuat sebuah surat dan memerintahkan Jayaprana membawa surat itu ke rumah Jero Bendesa. Setibanya di rumah Jero Bendesa, Jayaprana langsung menyerahkan surat tersebut. Jero Bendesa membaca isi surat Raja yang ternyata adalah surat pinangan terhadap anak gadisnya, layonsari. Dia pun tidak merasa keberatan apabila anaknya Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana. Betapa bahagia hati Jayaprana mendengarnya dan dia pun bergegas kembali ke Istana.

Di istana, Raja sedang mengadakan rapat di pendopo, Jayaprana menyela rapat tersebut untuk memberitahukan Raja bahwa lamarannya diterima Jero Bendesa. Pada saat itu juga, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari. Raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana. Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong, semuanya serba indah.

Tibalah hari hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak meminang Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Di Istana, Raja sedang duduk di atas singgasana, dihadapnya ada para pegawai raja dan juga para perbekel. Kemudian datanglah rombongan Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu lantas turun dari atas kereta kuda, langsung menyembah kehadapan Raja dengan hormatnya. Raja terpesona dengan kecantikan Layonsari hingga tak mampu berkata-kata.

Raja telah sekian lama menduda, diam-diam tumbuh benih cinta di hati Raja pada Layonsari. Rasa cintanya pada Layonsari membutakan akal sehat Raja yang sebelumnya dikenal sangat bijaksana. Raja pun memikirkan stategi untuk membunuh Jayaprana agar dapat memperistri Layonsari. Strategi itu disampaikan Raja kepada patih kerajaan bernama Sawung Galing. Hati Sawung Galing sebenarnya menolak untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi Raja berkata bahwa bila dia tidak dapat memperistri Layonsari maka dia akan mati karena sedih. Sebagai abdi setia, patih Sawung Galing pun menuruti kehendak Raja. Skenario untuk membunuh Jayaprana adalah Raja menitahkan agar Jayaprana bersama rombongan pergi ke Teluktrima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulon.

Pada hari ketujuh bulan madunya, datanglah seorang utusan kerajaan ke rumah Jayaprana yang menyampaikan titah Raja agar Jayaprana menghadap Raja secepatnya. Jayaprana pun bergegas menuju istana. Raja menceritakan bahwa di perbatasan istana ada pemberontakan, kemudian sesuai skenario, Jayaprana diperintahkan memimpin rombongan bersama patih Sawung Galing ke perbatasan istana di Teluktrima untuk menyelidiki kekacauan di sana.

Sepulangnya dari istana, Jayaprana menceritakan titah Raja. Malam harinya Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia kemudian terbangun dari mimpinya dan menceritakan mimpi seramnya kepada sang suami. Dia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan karena merasa mimpi itu adalah firasat buruk, tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah Raja. Untuk memenangkan istrinya, Jayaprana berkata bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Teluktrima, meninggalkan istrinya yang sedang sedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasa ada yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia mengacuhkannya. Sesampainya di hutan Teluktrima dengan galaunya patih Sawung Galing menyerang Jayaprana, namun ilmu Jayaprana lebih sakti dari patih Sawung Galing hingga tidak mampu mengalahkan Jayaprana. Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya pada patih Sawung Galing, mengapa patih ingin membunuhnya. Patih Sawung Galing menyerahkan sepucuk surat dari Raja kepada Jayaprana yang isinya:

Hai engkau Jayaprana

Manusia tiada berguna

Berjalan berjalanlah engkau

Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar

Kau melampaui tingkah raja

Istrimu sungguh milik orang besar

Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang

Jangan engkau melawan

Layonsari jangan kau kenang

Kuperistri hingga akhir jaman.

Jayaprana menangis sesegukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata “Lakukanlah patih, bila ini memang titah Raja, hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan Raja, dahulu Beliaulah yang merawat dan membesarkan hamba, kini Beliau pula yang ingin mencabut nyawa hamba”. Dalam dukanya Jayaprana menyerahkan keris sakti miliknya sebagai satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk membunuh Jayaprana. Ia berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan pada istrinya sebagai bukti kesetiaannya pada titah Raja.

Setelah menerima keris itu, dengan mudah patih Sawung Galing membunuh Jayaprana dengan berat hati. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, malahan wangi semerbak. Kematian Jayaprana juga ditangisi oleh alam, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang hutan menangis. Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh rombongan kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka mendapat bahaya, diantaranya banyak yang mati. Seekor macan putih juga tiba-tiba menyerang patih Sawung Galing dan menewaskan sang patih.

Kabar tewasnya Jayaprana pun sampai ke telinga Raja. Dengan terpongoh-pongoh Raja segera menghampiri Layonsari di rumahnya. Raja tua itu menyampaikan berita duka dan sekaligus lamaran-nya kepada istri Jayaprana. Layonsari tidak percaya pada kabar meninggalnya sang suami, Raja lalu memperlihatkan keris Jayaprana yang berlumuran darah. Dalam tangisnya Layonsari memaki Raja dan merebut keris milik Jayaprana kemudian menusukkan ke jantungnya sendiri. Layonsari tewas seketika dan dari jasadnya tersebut mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak keseluruh wilayah kerajaan bahkan tercium hingga lokasi jasad Jayaprana berada.

Rakyat sekitar membawa jasad yang mewangi tersebut untuk ditempatkan disebelah jasad Jayaprana agar selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama. Sedangkan patih Sawung Galing yang dengan setianya menjalankan titah raja turut serta ditempatkan dilokasi tersebut sebagai simbol kesetian seorang abdi.

Lantas bagaimana nasib sang Raja? Melihat tragedi saat Layonsari menikam dirinya dengan sebilah keris dan dilandasi hati yang hancur luluh, Raja gelap mata serta mengamuk membunuh semua pengiringnya, tanpa dapat mengendalikan dirinya. Setelah mati pengiringnya, lalu Raja ke Istana dan membantai seisi rumah, setelah itu Raja menikamkan kerisnya ke dada hingga wafat.

Pengikut setia Raja, tidak percaya Raja bunuh diri, tetapi di bunuh oleh rakyat. Mereka lalu mengamuk membunuh rakyat, tak peduli anak, wanita, orang tua. Rakyat tak terima dan serentak melawan kebiadaban pengikut setia Raja. Tak terelakkan.lagi perang saudara yang maha dahsyat dan penuh kebencian pun terjadi. Akhirnya seluruh rakyat Kalianget tewas dalam perang itu. Begitulah dalam sehari Kerajaan Kalianget di Buleleng Utara itu musnah dengan bergelimpangan mayat manusia. Konon lama kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara hingga akhirnya dibuka kembali oleh warga lain yang akhirnya menetap di Desa Kalianget hingga kini.

makan jayaprana dan layon sari

Cerita ini melekat di sanubari masyarakat Bali, mereka menceritakan kisah ini dari generasi ke generasi. Pada tanggal 12 agustus 1949 dilaksanakan upacara Ngaben di Desa Kalianget yang dihadiri banyak orang dari berbagai penjuru dunia. |sumber


Aturan Arah Dan Posisi Kepala Pada Saat Tidur Orang Bali

$
0
0

Perhatikan tempat letak kapalamu, waktu tidur beginilah pelajaran dari buku-buku. Jika kepalamu di timur, akan panjang umurmu. Jika di utara, engkau mendapatkan kejayaan. Jika letak kepalamu di barat, akan mati rasa cinta padamu, engkau akan dibenci para sahabatmu; dan jika membujur ke selatan, akan pendek umurmu, dan menyebabkan rasa dukacita. – Nitisastra VII, 1-2.

Tidur itu tidak dilarang, tapi tidur yang sembarangan ada konsekuensinya. Sebagai masyarakat yang dikenal dengan aturan-aturan adat yang ketat dan masih terjaga, masyarakat Bali hingga kini masih meyakini bahwa tidur tidak boleh sembarangan. Mulai dari sikap atau posisi tidur,  tempat tidur, hingga bangunan yang boleh dijadikan sebagai tempat tidur pun diatur sedemikian rupa dalam adat Bali. Terdapat tiga macam tempat berisitirahat yang disebutkan dalam sastra Bali, yaitu:

  • Galar: istirahat untuk beberapa saat dengan tidur
  • Galir: istirahat untuk beberapa menit atau pelepas lelah dengan duduk dan bersantai
  • Galur: istirahat untuk perjalanan pulang, yang dalam istilah Bali disebut dengan “mulih ke desa/gumi wayah” alias mati

Tempat istirahat tersebut biasanya dibuat dari batang bamboo yang dibagi kecil-kecil memanjang (dalam istilah Bali disebut “direcah” ) sehingga nyaman untuk digunakan. Perhitungannya tetap dimulai dari Galar, kemudian Galir, dan dilanjutkan dengan Galur. Apabila tempat distirahat tersebut dianggap kurang lebar, maka hitungannya dilanjutkan sampai ditemukan posisi yang cocok dengan keinginan.

Sikap badan saat tidur juga ada pedomannya. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Posisi kepala mengarah ke timur atau ke arah gunung

Arah timur (kangin) merupakan awal munculnya sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan. Dalam kepercayaan Hindu, arah timur dikuasai oleh Dewa Iswara yang merupakan dewa penerang kegelapan yang berlambangkan warna putih (suci). Berdasarkan kepercayaan tersebut, maka tidur dengan posisi kepala ke arah timur diyakini masyarakat Bali dapat memberikan energi positif dan pikiran yang suci. Sementara tidur dengan kepala menghadap ke arah gunung (bahasa Bali: Kaja) akan merangsang rasa kerja keras dalam diri manusia. Dalam kebudayaan Baliu, gunung merupakan tempat beristirahatnya para dewa dan leluhur.

Kaki tidak boleh menyilang

Percaya tidak percaya, tertidur dengan kaki menyilang (x) akan membuat manusia mengalami mimpi buruk. Meski belum ada bukti ilmiah yang mendukung mitos ini, banyak masyarakat Bali yang sering mengalaminya. Mereka sering bermimpi buruk ketika tanpa sadar tertidur dengan kaki menyilang. Oleh karena itu, masyarakat Bali berusaha meluruskan kakinya sebelum tidur. Selain bertujuan menghindari mimpi buruk, tidur dengan kaki yang lurus juga dipercaya dapat melancarkan aliran darah.

Tidak boleh berselimut hingga menutupi wajah

Tidur dengan seluruh tubuh tertutup selimut membuat kita terlihat seperti orang yang meninggal dunia. Hal ini adalah tabu bagi masyarakat Bali. Menurut kebudayaan mereka, tidur dengan berselimut menutupi seluruh tubuh dapat mengundang energi jahat dalam tidur kita. Jadi, kita hanya boleh berselimut hingga sampai batas leher atau pundak. Jika udara terlalu dingin, maka disarankan untuk menggunakan topi (atau penutup kepala sejenis) untuk melindungi dari udara dingin tersebut.

Lalu bagaimana jika aturan tentang tidur ini dilanggar?

Secara adat atau hukum sosial tidak ada hukuman bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut. Namun, secara “Niskala” akan berdampak pada kehidupan pemakai tempat istirahat yang bersangkutan. Mulai dari sakit hingga kematian. Khusus untuk tempat tidur, memiliki aturan tambahan yaitu; apabila tempat tersebut sudah dianggap selesai dibuat dan sudah pernah digunakan selama 3 hari, maka tempat tesebut dianggap sudah hidup seperti halnya bangunan yang telah diupacarai. Bila ada orang yang berani memotong / merubahnya kemudian setelah itu digunakan sebagai tempat tidur lagi, maka yang memotong / merubah serta yang menggunakannya akan mengalami gangguan dalam kehidupannya.

Aturan ini sudah baku, karena sudah banyak yang merasakan, sehingga Adat Bali tidak mengaturnya secara tertulis kecuali yang tertera dalam Kidung Nitisastra. Selain bertujuan untuk memperoleh rasa nyaman, aturan-aturan tidur ini juga diyakini bermanfaat untuk kesehatan. |sumber

Pura dan Sanggah Pamerajan (Filosofi, Etika dan Tata Cara)

$
0
0

Pura berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu “Phur” artinya tempat suci, istana, kota. Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan.

Sanggah berasal dari Bahasa Kawi : “Sanggar” berarti tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi : “Praja” yang berarti keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga. Dalam Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur.

Untuk menguatkan kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut :

Taksu : adalah palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.

Pangrurah : adalah palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan.

Sri Sdana atau Rambut Sdana : palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.

Padma : adalah palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.

Manjangan Salwang : adalah palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M

Gedong Maprucut : adalah palinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M.

Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima : adalah palinggih Bhatara Kawitan yaitu leluhur utama dari keluarga.

Bebaturan : adalah palinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi.

Bebaturan : adalah palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan.

Bebaturan : adalah palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa.

Gedong Limas : adalah palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci.

Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung) : adalah palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang.

Balai Pengaruman : adalah palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagaiBalai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.

Catatan :• Di beberapa Sanggah Pamrajan sering dijumpai beberapa Gedong Limas kecil-kecil yang merupakan palinggih tambahan menurut sejarah para leluhur terdahulu yang kebanyakan didirikan untuk menyatakan terima kasih dan bhakti, misalnya ketika sakit memohon penyembuhan dari Ida Bhatara di Pulaki; setelah sembuh lalu mendirikan pengayatan Beliau di Sanggah Pamrajan, demikian selanjutnya berkembang dengan berbagai kejadian, sampai akhirnya ada yang mencapai jumlah puluhan palinggih.

• Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan antara 9 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.

• Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda; ada yang memecah menjadi tiga kelompok yaitu : Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyangdengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.

3. TATA CARA MEMASUKI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Pura dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

• Bersih lahir bathin; lahir : sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin : pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.

• Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.

• Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.

• Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan“) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan : ke-asmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.

• Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.

• Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.

• Tidak dalam keadaan mabuk

Pintu/Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru. Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu diperhatikan antara lain :

• Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.

• Tidak makan/minum berlebih-lebihan

• Tidak membuang kotoran

• Tidak bertengkar/berkelahi

• Tidak berbicara keras/memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.

• Tidak bersedih, menangis/meratap.

4. FUNGSI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN

Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan yaitu :

• Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.

• Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.

• Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.

• Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll.

• Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.

5. ODALAN

Odalan berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir = hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali. Istilah lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari : Petirtaan (karena di saat itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal). Hari-hari menurut pawukon yang digunakan sebagai hari odalan (enam bulan sekali) adalah :

Buda Kliwon : Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu

Tumpek : Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye, Wayang.

Buda Wage : Ukir, Warigadean, Langkir, Merakih, Menail, Klawu

Anggarakasih : Kulantir, Julungwangi, Medangsia, Tambir, Prangbakat, Dukut.

Saniscara Umanis : Tolu, Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung.

Susunan upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:

Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang Piodalan

Macaru, bersamaan dengan Newasain/Nanceb tetaring

Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi

Nedunang pratima-pratima Ida Bethara

Mamendak Ida Bethara

Makalahias

Ngewangsuh dan masucian

Ngadegang Ida Bethara

Ngaturang Piodalan, pemuspaan

Nyineb Ida Bethara

Masidakarya

Makebat don

6. MLASPAS

Mlaspas asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih : batu, pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih. Sebelum upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara :

Memangguh : asal kata : “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.

Memirak : asal kata : “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/Carik pemilik tanah pekarangan semula.

Nyikut karang : mengukur panjang/lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumi dan asta kosala-kosali.

Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana(tiga penyebab kesempurnaan)

Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi

Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang“=Brahma, hitam merajah “Ung“= Wisnu, putih merajah “Mang“=Siwa)

Mamakuh asal kata “bakuh“= kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.

Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah-di atas), Siwa (tetoreh warna putih-di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam-di bawah).

Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi : kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).

Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.

Setelah itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan seterusnya Ngenteg Linggih.

7. TATA CARA DAN UPACARA MEMUGAR PURA DAN SANGGAH PAMERAJAN

1. Tahap Pertama (membongkar bangunan lama dan meletakkan batu pertama)

• Mareresik

• Mapiuning

• Macaru Pancasata

• Ngadegang Ida Bethara di Daksina linggih

• Maguru Piduka

• Mlaspas dan masupati batu papendeman

• Masupati trisarana (takir berisi : kalpika, beras, jinah)

• Ngingsirang Daksina linggih ketempat darurat (asagan)

• Mralina palinggih-palinggih lama yang akan dibongkar

• Ngereruak pondamen palinggih-palinggih lama

• Mendem batu papendeman, takir caru, dan takir trisarana

• Persembahyangan

• Dharma Wacana tentang : 1] Pura dan Sanggah Pamerajan. 2] Baberatan preti sentana.

2. Tahap Kedua (mlaspas)

• Mareresik

• Mapiuning

• Macaru Resi Gana

• Mlaspas dan masupati pedagingan, bagia/orti/palakerti, ulap-ulap

• Memakuh palinggih-palinggih

• Maurip-urip palinggih-palinggih

• Mlaspas palinggih-palinggih

• Mendem pedagingan dan memasang bagia/orti/palakerti/ulap-ulap

• Ngambe-ulap

• Nuntun Ida Bethara ke Palinggih-palinggih baru.

• Ngaturang ayaban, pemuspaan, Dharma wacana

Suatu ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas. Manusia dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya. Dalam Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu diupayakan menjaga keharmonisan antara : Tuhan-Manusia-Alam melalui yadnya. Manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya memerlukan sarana antara lain Pura danSanggah Pamrajan.

Demikianlah penjelasan tentang Pura dan Sanggah Pamerajan , Siapakah yang menjaga Pura dari kesucian nya? jawabannya adalah Anda, Generasi Anda dan semua umat Hindu. Mari kita jaga bersama. |sumber

Ini Dia 8 Bentuk Karma dalam Agama Hindu

$
0
0

Kata Karma berasal dari kata Sansekerta yang berarti perbuatan, kerja, atau gerak. Karma (Perbuatan) meninggalkan Karma Vasana (jejak – jejak perbuatan) yang suatu saat nanti akan muncul sebagai Karmaphala (buah dari karma, hasil perbuatan) yang akan menentukan baik buruk perjalanan kehidupan kita. Jika Karma kita baik (Subha Karma) maka akan mendapatkan perjalan hidup yang lancar dan bahagia, sedangkan jika karma kita tidak baik (Asubha Karma) maka akan mendapatkan pengalaman hidup yang berat dan sengsara. Hukum karma adalah hukum yang mengatur dinamika kehidupan semua mahluk di alam semesta, yang mana hukum inilah penyebab mengapa adanya yang terlahir miskin atau kaya, ada cantik, tampan atau buruk rupa.

Macam-Macam Bentuk Karma

Bentuk karma jumlahnya sangat banyak, yang secara garis besar dikelompokkan menjadi delapan pokok bentuk karma, yaitu sebagai berikut :

1. Mohaniya Karma
Karma ini akan mengaburkan kesadaran kita atau menghambat peningkatan kualitas kesadaran kita dan membuat kita jatuh kedalam gelap tanpa ada cahaya, sehingga tidak dapat melihat mana yang disebut baik dan tidak baik. Karma ini terbentuk dengan cara-cara misalnya seperti berikut :

• Terlalu banyak marah, sering membenci, perilaku kasar, berselingkuh dll.
• Terlalu larut dengan kesenangan-kesenangan yang bersifat duniawi.
• Terlalu fanatik dalam hal beragama (tidak adanya toleransi akan keberagaman kepercayaan).

2. Darsanavaraniya Karma
Karma yang menghalagi kemampuan fisik kita serta menghilangkan kemampuan pengindera dalam diri. Misalnya seperti contoh berikut :

• Caksur-Darsanavaraniya Karma: Yang menghilangkan kemampuan sebernanya pada mata, yang sejatinya dapat melihat alam halus dan mahluk halus, dan yang paling parah adalah kehilangan kemampuan mata untuk melihat secara normal.
• Acaksur-darsanavarana Karma: Yang membuat kita kehilangan kemampuan yang sebenarnya pada indra tubuh selain mata (telinga, hidung, lidah, dll)
• Avadhi-darsanavarana Karma: yang membuat kita kehilangan kemampuan sebenarnya pada badan fisik.

3. Jnanaravaniya Karma
Karma yang menghalangi penyerapan ilmu pengetahuan. Karma ini akan membuat kita sulit berjodoh dengan ilmu pengetahuan sehingga membuat pikiran jadi tumpul,tidak pintar, dan buntu.

4. Antaraya Karma
Karma yang menghambat kita untuk melakukan kebaikan, menerima pemberian, atau menikmati hasil kerja kita. Contohnya yaitu sebagai berikut :

• Dana-antaraya Karma: Menyebabkan kita tidak dapat menolong seseorang. Misalnya kita ingin memberikan bantuan berupa uang kepada mereka yang terkena bencana, tapi kita sendiri dalam kondisi kekurangan uang.
• Labha-antaraya Karma: Menyebabkan kita tidak dapat menerima pemberian orang lain. Misalnya sedang ada bagi-bagi sembako, akan tetapi kita tidak kebagian meskipun telah ikut mengantri.
• Virya-Antaraya Karma: Menyebabkan munculnya rasa “tidak inginan” dalam diri untuk melakukan sesuatu.

5. Vedaniya Karma
Karma yang mempengaruhi gejolak emosi, perasaan, dan pikiran positi-negatif. Misalnya menyebabkan manusia ada yang mudah marah, ada yang penyabar, ada yang humoris, ada yang pemurung, ada yang pemberani, dan ada pula yang penakut. Karma ini terbentuk dari akumulasi sifat-sifat dalam menjalani kehidupan sebelumnya atau saat ini. Jika kita menjalani hidup dengan welas asih kepada semua mahluk, maka akan mendapatkan karma yang sifatnya baik, sedangkan jika menjalani hidup dengan menyakiti dan merugikan mahluk lain, maka akan mendapatkan karma yang sifatnya tidak baik.

6. Ayusua Karma
Karma yang membawa kita ke alam-alam setelah kematian. Karma ini terbentuk dari akumulasi karma kita semasih hidup yang akan menentukan kita akan menuju Bhur Loka, Swah/Svarga Loka, atau langsung terlahir kembali.

7. Nama Karma
Karma yang menentukan kita lahir dalam tubuh mahluk apa dan kondisi badan fisik yang bagaimana.

8. Gotra Karma
Karma yang menentukan nasib hidup kita, seperti tempat, situasi lingkungan, dan dalam keluarga seperti apa kita akan dilahirkan, serta dengan siapa saja kita akan bertemu.

|sumber

Dewa Baruna (Varuna) – Dewa Laut dan Air

$
0
0

Dalam ajaran agama Hindu, Baruna atau Waruna (Devanagari: वरुण; Latin: Varuna) adalah manifestasi Brahman yang bergelar sebagai dewa air, penguasa lautan dan samudra. Kata Baruna (Varuna) berasal dari kata var (bahasa Sanskerta) yang berarti membentang, atau menutup. Kata “var” tersebut kemudian dihubungkan dengan laut, sebab lautan membentang luas dan menutupi sebagian besar wilayah bumi.

Nama lain dewa Baruna adalah :

  • Jalapati (penguasa air)
  • Pracheta (yang bijaksana)
  • Yadapati ( Raja binatang laut)
  • Ambhuraja (Raja awan)
  • Pasi (yang membawa jaring)

Menurut kepercayaan umat Hindu, Baruna menguasai hukum alam yang disebut Reta. Ia mengandarai makhluk yang disebutmakara, setengah buaya setengah kambing (kadangkala makara disamakan dengan buaya, atau dapat pula digambarkan sebagai makhluk separuh kambing separuh ikan). Istri Dia bernama Baruni, yang tinggal di istana mutiara. Oleh orang bijaksana, Dewa Baruna juga disebut sebagai Dewa langit, Dewa Hujan, dan dewa yang menguasai hukum.

Baruna dikenal sebagai dewa air yang dipandang memiliki kekuasaan atas lautan para dewa, penguasa langit, pembawa hujan, mengawasi dunia bawah, dan meletakkan hukum universal.

Dewa-Baruna-Varuna

Baruna dipandang sebagai yang mahatahu diantara dewa-dewa Hindu awal dan dianggap sebagai mahakuasa pula.

Perannya adalah untuk membuat segala sesuatu di alam semesta berjalam sesuai ketentuan.

Dia dipandang sebagai penjaga kekuatan suci rta atau kekuatan yang membuat alam semesta berjalan secara tertib.

Baruna adalah yang memastikan matahari terus beredar, memisahkan siang dan malam, dan menjaga bumi tetap dalam tempatnya.

Baruna biasanya digambarkan sebagai seorang pria kulit putih tinggi dan kadang mengenakan setelan bersinar dari zirah emas.

Baruna memiliki tunggangan bernama Makana atau Makara, sebuah raksasa laut yang aneh.

Makara digambarkan sebagai makhluk campuran antara buaya dan lumba-lumba dan di lain kesempatan nampak seperti ikan besar dengan kepala gajah.

Baruna sering terlihat membawa jerat berbentuk ular dan dikenal pula sebagai aljogo kosmik.

dewa baruna

Baruna memastikan bahwa hukum selalu tetap. Tidak hanya hukum alam, tetapi juga hukum dan sumpah manusia.

Ketika seorang manusia melanggar sumpah, maka Baruna akan menghukumnya. Dia digambarkan sebagai mahatahu dengan bintang-bintang sebagai matanya, mengawasi segala sesuatu yang terjadi di bumi dan di dalam pikiran manusia.

Baruna juga dikaitkan dengan dunia bawah, dan bersama dengan Yama, bertugas mengawasi orang yang sudah mati di akhirat.

Tanggung jawab lain Baruna adalah mengawasi lautan luas milik para dewa. Dari laut itulah hujan diturunkan ke bumi untuk menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman.

Dalam tradisi Hindu kemudian, peran Baruna semakin dibayangi oleh dewa Wisnu, Brahma, dan Shiwa.

Salah satu mitos paling terkenal yang melibatkan Baruna berasal dari Ramayana.

Rama, yang merupakan avatar dewa Wisnu, diceritakan ingin menyeberangi lautan Lanka.

Rama lantas berdoa dan menawarkan korban kepada Baruna, memohon kepadanya untuk membantunya.

Ketika Baruna tidak menjawab, Rama mulai menyerang laut Lanka, membunuh makhluk di dalamnya dan membakar air.

Baruna akhirnya muncul, setelah melihat Rama hendak menggunakan senjata yang mampu menghancurkan semua ciptaan, dan meminta maaf kepada Rama.

Baruna lantas menenangkan lautan dan membuat jembatan yang melintasi lautan. |sumber

Mengenal Wanara (Manusia Berekor Monyet) dalam Hindu

$
0
0

Dalam mitologi Hindu, Wanara (Sanskerta: वानर; Vānara) berarti “manusia berekor monyet”. Istilah ini sangat terkenal untuk merujuk kepada ras manusia-kera dalam wiracarita Ramayana yang memiliki sifat gagah berani dan selalu ingin tahu. Istilah Wanara juga bisa merupakan kependekan dari “Wana-nara” (manusia (nara) yang hidup di hutan (wana)). Wiracarita Mahabharata menggambarkan mereka sebagai suku yang hidup di tengah-tengah hutan. Mereka dijumpai oleh Sadewa, seorang jendral Pandawa yang memimpin kampanye militer ke India Selatan.

Menurut Ramayana, para Wanara umumnya tinggal di Kiskenda yang pada masa sekarang terletak di wilayah India Selatan, di tengah hutan Dandaka, di mana Sri Rama menjumpai mereka saat berpetualang mencari Sita. Para wanara menolong Rama mencari Sita, dan juga turut bertarung melawan Rahwana, sang penculik Sita.

Seperti yang digambarkan dalam wiracarita, ciri-ciri wanara misalnya suka bersenang-senang, kekanak-kanakan, ringan tangan, suka bercanda, hiperaktif, gemar berpetualang, jujur nan polos, setia, berani, dan ramah. Mereka lebih pendek daripada tinggi manusia pada umumnya dan tubuh mereka ditutupi oleh bulu yang cerah, umumnya berwarna cokelat.

Wanara yang terbesar dan terkenal adalah Hanoman, abdi setia Sri Rama, dan merupakan inkarnasi dari Dewa Siwa. Beberapa wanara terkenal lainnya adalah Anjani (ibu Hanoman), Sugriwa, Subali, Nila dan Anggada. |sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live