Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

DURGA (Selayang Pandang)

$
0
0

Om Swastyastu

Durga merupakan aspek sakti yang paling banyak dipuja. Arti kata Durga yang sebenarnya adalah “sulit didekati atau sulit dikenal”.

Menjadi personifikasi dari keseluruhan kekuasaan para Deva, Dia wajar sulit didekati atau dikenali. Namun sebagai Ibu Alam Semesta, dia merupakan perwujudan dari kasih sayang dan kelemahlembutan, bila dimohonkan.

Aspek Durga yang dinyatakan dalam kitab-kitab Purana dan agama adalah pasukannya saja, seperti Sailaputri, Kusmanda, Katyayani, Ksemankari, Harasiddhih, Vanadurga, Vindhavasini, Jayadurga, dan lainya. Mereka akan lebih menarik dalam ikonografi dan pada para pemohon yang dapat memperoleh jenis keinginan lain terpenuhi oleh pemujaan aspek yang berbeda-beda.

Arca-Arca Durga dapat memiliki empat/ delapan/ sepuluh/ delapan belas/ duapuluh tangan. Matanya biasanya tiga, rambutnya dibentuk menyerupai mahkota (Karandamukuta), dia secara indah diberikan pakaian merah dan beberapa hiasan. Beberapa benda-benda yang dipegangnya, yang lebih umum adalah: kulit kerang, cakra, trisula, busur, anak panah, pedang, belati, tameng, genitri, mangkuk anggur, dan genta.

Dia digambarkan berdiri pada sebuah bunga Padma atau kepada kerbau atau menunggangi seekor singa. Singa sebagai raja rimba merupakan simbolik ciptaan binatang terbaik, dia juga menggambarkan keserakahan terhadap makanan, sehingga ketamakan terhadap obyek-obyek kenikmatan yang tak terhindarkan membawa pada nafsu.

Mahisasuramardini adalah Devata yang mengambil wujud sebagai hasil dari pengumpulan kekuatan-kekuatan semua Deva yang ditindas oleh Raksasa Mahisasura. Brahma, Visnu, dan Siva marah mendengar ulah perbuatan jahat dari Mahisasura, dan dan sang Devi lahir dari kemurkaan mereka, yang diikuti oleh kemurkaan para Devata lain yang lebih rendah. Kekutan dari para Deva membentuk anggota badan dan penggandaan yang tepat dari senjata-senjata dan dengan menunggangi seekor singa yang mengerikan, Mahisasuramardini menantang Mahisasura dan menghancurkannya bersama dengan pasukannya.Dia merupakan kekuatan misterius yang mana seluruh alam semesta diresapi dan dihidupkannya.

Dia merupakan perwujudan dari kekayaan, kekuasaan, keindahan, dan juga kebajikan.Dia merupakan pengejawantahan dari yadnya, paravidya, dan aparavidya.

Ketika para Deva diserang oleh raksasa Sumbha dan Nisumbha, mereka kembali memohon kepada sang Devi, dengan pujian Aparajitastotra memujinya sebagai tak tertaklukkan imanensinya pada segala makhluk hidup merupakan tema dari pujian-pujian ini. Dalam menanggapi doa tersebut, sang Devi berwujud sebagai Kausiki Durga yang muncul dari badan Parvati, dan dia sendiri menjadi Kali, yang gelap setelah manifestasi ini. kecantikan Durga yang mempesona dunia menarik perhatian Sumbha dan Nisumbha, yang mengirim usulan pernikahan melalui seorang budak. Namun mereka tidak berdaya saat “kelemahan dan kebodohan” dia telah bersumpah untuk menikahi mereka yang mampu mengalahkannya dalam perang.

Durga memiliki tiga manifestasi yang utama, yaitu: Mahakali, Mahalaksmi, dan Mahasaraswati.

Mahakali memiliki sepuluh muka dan sepuluh kaki. Dia berwarna biru tua, ibarat permata Nilamani. Di kesepuluh tangannya menyandang sepuluh senjata, yaitu: pedang, cakra, gada, anak panah, busur, pemukul besi, tombak, ketapel, kepala manusia dan kulit kerang. Sebagai personifikasi aspek tamasika dari sang Devi, dia juga Yoganidra, yang telah membuat Visnu tertidur. Kepadanyalah Brahma memohon untuk meninggalkan Visnu sehingga dapat memusnahkan Raksasa Madu dan Kaitabha.

Mahalaksmi merupakan aspek rakasika dari sang Devi. Beliau dilukiskan dengan warna merah seperti batu karang. Pada kedelapan belas tangannya memegang genitri, periuk-perang, gada, trisula, tombak, pedang, tameng, kulit kerang, genta, mangkuk anggur, jerat dan cakra sudarsana. Beliaulah yang menghancurkan Raksasa Mahisasura.

Mahasaraswati adalah devata ketiga yang menyatakan aspek satvika dari sang devi. Dia cemerlang bagaikan bulan di musim gugur dan memiliki delapan tangan, yang masing-masing memegang genta, trisula, mata bajak, kulit kerang, alu, cakra, busur dan anak panah.Dialah yang merupakan lapisan fisik dari Parvati, sehingga dikenal sebagai Kausiki Durga. Dia merupakan simbol kesempurnaan dan keindahan fisik. Dia merupakan kekuatan dari kerja, aturan, dan organisasi.

Semoga ulasan singkat ini dapat menambah wawasan kita semua. Manggalamastu
Jay Mata Ji

Om Santih Santih Santih Om
Kiriman dari: I Wayan Sudarma –sumber


PUJA TRISANDYA (Bait1-3) -mantra dan artinya

$
0
0

Om Swastiastu,
Saudara Hindu Dharma dimanapun berada, berikut saya ulas mengenai mantra puja trisandya(bait 1-3) beserta artinya. Semoga bermanfaat karena untuk bisa sembahyang trisandya kita harus hafal mantra dan paham artinya.

Bait ke-1 :

Om om om

Oṁ bhūr bhuvaḥ svaḥ

tat savitur vareṇyaṁ

bhargo devasya dhīmahi

dhiyo yo naḥ pracodayāt

Terjemahan:

Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kami.

Bait ke-2 :

Oṁ nārāyaṇa evedaṁ sarvaṁ

yad bhūtaṁ yac ca bhavyam

niṣkalaṅko nirañjano nirvikalpo

nirākhyātaḥ śuddho devo eko

nārāyaṇaḥ na dvitīyo ‘sti kaścit

Terjemahan:

Om Sang Hyang Widhi, semua yang ada berasal dari Sang Hyang Widhi baik yang telah ada maupun yang akan ada, Sang Hyang Widhi bersifat gaib tidak ternoda tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkapkan, suci, Sang Hyang Widhi Maha Esa, tidak ada yang kedua.

Bait ke-3 :

Oṁ tvaṁ śivaḥ tvaṁ mahādevaḥ

īśvaraḥ parameśvaraḥ

brahmā viṣṇuśca rudraśca

puruṣaḥ parikīrtitāḥ

Terjemahan

Om Sang Hyang Widhi, Engkau disebut Siwa yang menganugrahkan kerahayuan, Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara (mahakuasa). Parameswara (sebagai maha raja diraja), Brahma (pencipta alam semesta dan segala isinya), Visnu (pemelihara alam semesta beserta isinya), Rudra (yang sangat menakutkan) dan sebagai Purusa (kesadaran agung).

Bersambung …. –sumber

PUJA TRISANDYA( bait 4 – 6 ) -mantra dan arti

$
0
0

Bait ke-4 :

Oṁ pāpo ‘haṁ pāpakarmāhaṁ

pāpātmā pāpasaṁbhavaḥ

trāhi māṁ puṇḍarīkākṣaḥ

sabāhyā bhyantaraḥ ‘śuciḥ

Terjemahan:

Om Sang Hyang Widhi, hamba ini papa, perbuatan hambapun papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Widhi yang bermata indah bagaikan bunga teratai, sucikan jiwa dan raga hamba.

Bait ke-5 :

Oṁ kṣamasva maṁ mahādevaḥ

sarva prāṇi hitaṅkaraḥ

maṁ moca sarva pāpebhyaḥ

Pālayasva sadāśiva

Terjemahan:

Om Sang Hyang Widhi, ampunilah hamba, Sang Hyang Widhi yang maha agung anugrahkan kesejahteraan kepada semua makhluk. Bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah hamba Om Sang hyang Widhi.

Bait ke-6 :

Oṁ kṣantavyaḥ kāyiko doṣaḥ

kṣantavyo vāciko mama

kṣantavyo mānaso doṣaḥ

tat pramādāt kṣamasva mām

Terjemahan:

Om Sang Hyang Widhi, ampunilah dosa yang dilakukan oleh badan hamba, ampunilah dosa yang keluar melalui kata kata hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.

Oṁ Śāntiḥ, Śāntiḥ, Śāntiḥ, Oṁ.

Terjemahan :

Om Sang Hyang Widhi anugrahkanlah kedamaian (damai di hati), kedamaian (damai di dunia), kedamaian selalu.

-selesai- –sumber

PUJA TRISANDYA – waktu dan sikap

$
0
0

Om Swastiastu,
Semeton Hndu Dharma dimanapun berada, setelah mengetahui dan memahami mantra dan arti dari puja trisandya, maka selanjutnya kita ulas mengenai waktu, tempat, dan sikap.

1. WAKTU,
Puja trisandya dilakukan tiga kali dalam sehari, waktu yg tepat adalah ;
– Pagi, saat matahari terbit atau jam 6.00
– Siang, saat matahari tepat di atas kita, atau jam 12.00
– Sore, saat matahari terbenam, atau jam 18.00

Mengenai waktu ini bisa fleksible sesuai keadaannya. Seperti kita lihat saat panca sembah di pura biasanya juga di awali dgn puja trisandya, apakah ini salah? tidak juga, dalam rangka memasyarakatkan puja trisandya ini baik sekali. Di jaman kali ini semakin sering menyebut nama Tuhan(japa) adalah sangat baik sekali.

2. TEMPAT
Tempat yg baik melakukan trisandya tentu adalah tempat suci, spt. di sanggah, mrajan, padmasana, pura, kamar suci, dsb. Dalam hal tdk bisa mencari tempat suci maka bisa dilakukan di ruangan(kamar) yg bersih dgn sembahyang ke arah utara atau timur, atau bisa juga menyudut utara timur(kaja kangin).

3. SIKAP
Persiapan awal puja trisandya adalah sama dgn persiapan sembah lainnya. Awali dgn membersihkan diri, mandi, suci laksana, minimal mencuci muka dan tangan jika keadaan tidak memungkinkan. Siapkanlah canang, dupa, bunga, dan air tirta jika memungkinkan. Kemudian mulailah langkah-langkah sembahyang dgn sikap yg sesuai, yaitu :
– ASANA
Duduk bersila(utk laki-laki), bersimpuh(utk perempuan), pada asana/berdiri(jika situasi tdk memungkinkan utk duduk),
– PRANAYAMA
Melakukan pernafasan dgn menarik, menahan, dan mengeluarkan nafas.(dilakukan beberapa kali utk ketenangan pikiran)
– KAROSODANA
Menyucikan tangan mulai dari tangan kanan(diletakan diatas tangan kiri) diikuti dgn tangan kiri(diletakan diatas tangan kanan).
– AMUSTIKARANA
Memulai dgn sikap tangan didada, tangan kanan mengepal di tutup oleh tangan kiri dan kedua ibu jari menyatu. Selanjutnya mulailah mengucapkan mantra tri sandya dari bait 1 – 6. –sumber

PUJA TRISANDYA (manfaat dan kegunaan)

$
0
0

Om Swastiastu,
Semeton Hindu Sedharma dimanapun berada, seperti kita ketahui puja trisandya dilakukan tiga kali sehari. Berikut saya sampaikan manfaat dan kegunaan trisandya menggunakan pendekatan tri guna :

1. Pada Pagi Hari saat matahari terbit.
Pada saat ini alam dipengaruhi sifat satwam, sehingga dgn puja trisandya kita menyerap daya positif dari guna satwam dan menjadikannya bekal untuk menjalankan hari yg baik.

2. Pada Siang Hari saat matahari tepat di atas kepala.
Pada saat ini guna rajas menguasai alam, saat ini manusia bekerja, berusaha, bergerak. Dengan Trisandya kita mengendalikan guna rajas ini untuk menjadi terarah dan positif. Sering saat bekerja kita menemukan masalah sehingga dgn trisandya madyaning dina kita dapat menenangkan pikiran dan memohonkan jalan terang bagi permasalahan kerja kita.

3. Pada Sore Hari saat matahari terbenam
Pada saat ini guna tamas menguasai alam. Orang biasanya akan malas setelah pulang kerja, dan ingin segera makan lalu istirahat. Dengan trisandya kita mengendalikan kemalasan sore hari, sehingga kita mendapat anugerah Hyang Widhi. Disamping itu sebagai syukur atas hari yg telah dijalankan dan menyerahkan semua kerja kehadapan Hyang Widhi seperti tertulis dalam kitab suci.

Demikianlah sekilas tentang manfaat dan kegunaan trisandya. Semoga bermanfaat dan dapat memotivasi umat sedharma melakukan puja trisandya. Para Rsi mengatakan bahwa orang yang sepanjang hidupnya menjalankan Sandya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama. la selalu berjaya. Ia akan mencapai kebebasan semasih hidup. Ia akan mencapai Jivan Mukti.

“Dia yang mengabdi kepada-Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas melampaui guna, ia wajar bersatu dengan Brah·man“. Begitu sabda Krishna kepada Arjuna dalam BG. XlV. 26.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

RENUNGAN DIRI

$
0
0

Seorang gadis bertemu dengan saya saat Purnama kemarin selesai sembahyang di Pura Puseh..

Gadis; Jik sepertinya saya tidak mau datang lagi untuk sembahyang ke Pura..

Saya; Bolehkah tyang tahu apa alasannya?

Gadis; Saya melihat umat kita saat ini kebanyakan yang tidak beres..
Semua pada main hp saat persembahyangan, sebagian lainnya tebar gosip, padahal sebagian besar hidupnya tidak benar.. Mereka seperti terkena candu tehnologi dan jaman..

Saya; (terdiam sejenak lalu berkata) Baiklah.. Tapi bolehkah tyang minta kamu untuk melakukan sesuatu, sebelum kamu mengambil keputusan?

Gadis; Nggih Jik.. Apa itu?

Saya; Coba kamu ambil segelas Tirta, bawa dan kelilingi areal Pura ini sebanyak 3 kali. Jaga agar Tirta itu tidak jatuh setetes pun..

Gadis; Nggih Jik, akan saya coba..

Beberapa saat kemudian

Gadis; Sudah selesai Jik.. Sudah 3 kali saya keliling membawa Tirta ini..

Sayapun bertanya pada gadis itu..

1. Apakah kamu melihat ada orang main hp?

2. Apakah kamu mendengar orang bergosip?

3. Apakah kamu melihat orang lain bertingkah macam-macam?

Gadis; Saya tidak melihat dan mendengar apapun Jik.. Karena saya berkonsentrasi pada Tirta dalam gelas ini agar tidak tumpah setetes pun..

Saya; Itulah intinya.. Saat ke Pura kita seharusnya berkonsentrasi kepada Beliau (Ida Sanghyang Widdhi Wasa), hindarilah melirik kanan-kiri, maka kita akan bisa fokus mendekatkan diri dengan-NYA..
Kita ke Pura bukan untuk melihat kekurangan orang lain..
Tapi kita datang ke Pura untuk bersembahyang penuh bhakti memohon tuntunan dan meningkatkan keyakinan. Memupuk karma baik..

Mari lakukan yang terbaik sesuai ajaran Dharma. Maka hidup kita pun akan damai..

Semoga kebenaran selalu menyertai kita semua…🙏

#ElingDadiTamba

— bersama Bintang Utara Cemerlang –sumber

Begini Makna dan Tujuan Banten Pawedangan dan Ajengan

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Pernahkah Anda memperhatikan orang tua kita sering kali menghaturkan banten kopi maupun Ajengan di Bale Delod ataupun di Sanggah? Kebiasaan tersebut bahkan tak hanya dilakukan pada hari hari tertentu, namun dilakukan setiap hari.  Untuk apa dan kepada siapa persembahan itu ditujukan?

Nitya Karma atau disebut juga Nitya Yadnya, merupakan upacara yang harus dilakukan setiap hari dan bersifat sederhana. Salah satu pelaksanaannya adalah banten Pawedangan atau banten kopi,  ajengan atau jotan.

Dijelaskan Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba, Nitya Karma dibagi menjadi Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Rsi Yadnya. Dalam pelaksanaannya,
lanjut sulinggih yang juga  dosen Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar ini,
mabanten Pawedangan dan Ajengan termasuk dalam Dewa Yadnya. Banten Pawedangan yang berupa kopi dan roti, biasanya dihaturkan di beberapa tempat, seperti Sanggah Kemulan, Rong Telu, Panunggun Karang, Pelangkiran rumah, serta Bale Delod atau Bale Dangin.

Menurutnya, Nitya Karma adalah salah satu bentuk yadnya yang harus dilakukan sebagai upaya untuk menghubungkan Sang Atman dengan Sang Pencipta.  “Secara teoritis, Nitya berarti sehari – hari dan yadnya yang berasal dari kata yaj’ yang berarti memuja, sehingga Nitya Yadnya berarti pengorbanan dilandasi kesucian hati dan ketulusan yang dilaksanakan pada kehidupan sehari – hari,” bebernya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Dijelaskanya, banten Pawedangan itu hanya salah satu dari beberapa implementasi yadnya. Tujuannya sebagai sarana untuk penyatuan Atman kepada Sang Pencipta atau salah satu cara menuju Moksa. Dan, ini hanya salah satu caranya saja.

Ida Pandita memaparkan, dalam pelaksanaan Nitya Karma (yadnya) pada Dewa Yadnya, diwujudkan dengan mabanten Pawedangan di sanggah. Banten  Pawedangan itu biasanya berisi kopi dan roti. Lalu di Rong Telu, banten Pawedangan tersebut berupa kopi, air, roti beserta nasi saur.  Selain itu,  juga dihaturkan di dapur serta di sumur atau sumber air. “Nah satu lagi, jangan lupa untuk mabanten Pawedangan di Panunggun Karang. Biasanya Pawedangan yang dihaturkan berupa kopi, rokok, dan roti,” ungkapnya.

Hal itu juga sesuai dengan kitab Manawa Dharma Sastra yang memaparkan ada beberapa tempat yang dianggap penting dalam pelaksanaan Nitya Yadnya, yaitu bungut paon atau perapian dapur, sumur atau sumber mata air, atap rumah, pekarangan, sanggah/merajan dan Panunggun Karang. “Tempat – tempat tersebut diaggap penting karena dipercaya merupakan stana Dewa. Dapur merupakan stana Dewa Brahma, Sumur identik dengan air,  simbolisasi dari Dewa Wisnu,”ungkapnya. Nitya Yadnya, lanjutnya, bisa dalam berbagai bentuk,  dan banten Pawedangan hanya salah satu cara.

“Ingat, ini hanya satu dari seribu perwujudan Nitya Yadnya. Artinya tak harus mabanten Pawedangan setiap hari. Biasanya disesuaikan dengan desa kala patranya. Kalau bisa dilaksanakan tiap hari alangkah bagusnya. Cara lain melaksanakan Nitya Yadnya yaitu dengan Trisandya dan mabanten Saiban,” ujarnya.

Ketika ditanya, apakah benar Banten Pawedangan adalah persembahan kepada leluhur ? Mantan dosen Universitas Udayanan, ini menjelaska, banten Pawedangan merupakan wujud syukur kepada Tuhan atas rezeki yang berupa makanan.

“Sama seperti banten Saiban, banten Pawedangan juga merupakan perwujudan syukur kita kepada Sang Pencipta. Namun, hanya bentuknya saja yang berbeda. Adanya kepercayaan persembahan terhadap leluhur, itu kembali lagi kepada masing – masing personal dan desa kala patranya,” ujarnya.

Ida Pandita menjelaskan, pelaksanaan Nitya Yadnya  dianggap penting. Dalam kitab Bhagavadgita III.12-13 disebutkan :

Istan bhoan hi vo deva,
Dasyante yajna – bhavitah,
Tair dattan apradayaibhyo,
Yo bhunkte stena eva sah,
Yadnya sishtasinsah santo,
Mucnyante sarva kilbishail,
Bhujante te tv agham papa,
Ye pacanty atma karamat.

Artiya: Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para Dewa karena yadnyamu. Sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri sesungguhnya dosa.

“Dari sloka itu kita bisa mengerti pelaksanaan Nitya Yadnya itu penting. Karena tidak melaksanakan yadnya artinya kita berdosa,” ujarnya.

Terakhir ia nyampaikan agar masyarakat mengerti mana yadnya yang memang harus dijalankan, mana yadnya yang hanya terpaku pada gengsi. “Sesungguhnya yadnya yang harus dijalankan yaitu yadnya sederhana seperti ini, seperti banten Saiban, banten Pawedangan ataupun Ajengan. Namun, belakangan ini masyarakat justeru terpaku pada yadnya yang wah. Harus banten ini dan itu, harus menggunakan buah impor dan mahal. Padahal tidak demikian, itu hanya ego kita sebagai manusia yang ingin terlihat wah,” ungkapnya.

(bx/tya/rin/yes/JPR) –sumber

Ini Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

$
0
0

BALI EXPRESS, DENPASAR – Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga “nyaman” menggunakan gelang Tri Datu.

Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.

Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.

Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.

Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.

Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.

Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.

Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.

Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.

Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.

Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?

Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.

Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.

Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. “Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain,” urainya.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber


ANEKA RASA JIKA DIOLAH DENGAN BAIK MAKA AKAN MENJADI SEDAP

$
0
0

Om Swastiastu

Semeton Hindu, jika kita melihat olahan bumbu Bali ada yg disebut “base genep”. Bumbu dasar masakan Bali ini terdiri dari sedikitnya lima belas macam bumbu yg beraneka ragam rasanya. Dengan cara mengolah yg tepat maka akan didapatkan rasa yg sedap dan menggairahkan. Bikin hidup lebih hidup.

Begitu juga kehidupan, ada beraneka ragam rasa, sedikitnya ada manis, pahit, asam, sepat, asin, dan lain sebaginya. Ada saatnya kita merasakan manisnya kebahagiaan ada juga saatnya kita merasakan pahitnya masalah hidup. Kadang ada saat merasa masam saat kekesalan melanda, kadang juga terasa sepat saat rejeki seret dan belum beruntung.

Selayaknya koki handal tentu nikmatnya hidup dapat kita rasakan disaat kita mampu mengolah rasa kehidupan ini dgn sebaik baiknya. Bagaimana cara kita “merajang” rasa yg datang menjadi halus, bagaimana cara kita “menakar” rasa yg datang, seberapa yang perlu kita tanggapi dgn serius seberapa yg kita abaikan saja, bagaimana juga cara kita “mencicipi” dan menambahkan apa yg perlu ditambahkan sehingga rasa kehidupan yg datang dapat kita rasakan dengan pas, nikmat, sedap, sesuai dgn harapan para “tamu” yang akan menikmati olahan “masakan” di kehidupan kita ini.

Jadi dengan memperhatikan “resep” dan mengolah dgn “metode” yang benar maka tidak akan begitu sulit bagi kita dapat menikmati hidup ini. Bagi mereka yg hidup nya terasa menyedihkan tambahkan sedikit senyuman syukur maka akan terasa kesedihan juga adalah anugerah. Dengan cara ini kesedihan pun akan terasa nikmat. Rahayu.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

Pengertian, Jenis-Jenis dan Contoh Panca Yadnya

$
0
0

Arti Panca Yadnya

Kata Panca Yadnya terdiri dari dua kata, yaitu kata Panca dan Yadnya. Panca berarti Lima, Yadnya berarti persembahan suci. Kata Yadnya berasal dari Bahasa Sanskerta dari urat kata Yāj dan masuk dalam kelas kata maskulinum yang berarti orang yang berkorban.

Jadi Panca Yadnya berarti lima persembahan suci dengan tulus ikhlas.

Dalam melaksanakan sebuah Yadnya hendaknya diketahui syarat-syarat Yadnya. Adapun syarat-syarat sebuah yadnya, meliputi:

  1. Harus dilandasi dengan keikhlasan yang disertai kesucian hati,
  2. Didasari dengan cinta kasih yang diwujudkan dengan rasa bhakti yang tulus, cinta kepada sesama, cinta kepada binatang dan cinta kepada lingkungan,
  3. Yang harus dilakukan sesuai kemampuan agar tidak menjadi beban bgi kita,
  4. Beryadnya harus dilandasi perasaan beryadnya sebagai sebuah kewajiban.

Jenis-jenis Panca Yadnya

Sebelum membahas jenis-jenis Panca Yadnya dan penjelasannya, akan dijelaskan terlebih dahulu latar belakang munculnya Yadnya. Pada setiap manusia yang terlahir ke dunia ini sudah membawa hutang yang jumlahnya tiga yang disebut Tri Rna. Tentang Tri Rna dimuat dalam Kitab Manawa Dharmasastra VI.35, sebagai berikut:

Rinani trinyapakritya manomok-
Se niwecayet
Anapakritya moksam tu sewama-
No wrajatyadhah

Artinya:

Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya ( kepada Tuhan, kepada Leluhur dan kepada Orangtua), hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk memcapai kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir itu tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam ke bawah.

Tiga macam hutang yang dibawa sejak lahir, seperti:

  1. Dewa Rna yaitu hutang kepada para Dewa/Ida Sang Hyang Widhi karena telah menciptakan dan memberikan kita hidup,
  2. Pitra Rna yaitu hutang kepada Leluhur baik yang sudah meninggal maupun orangtua yang masih hidup. Kita berhutang kepada leluhur karena Beliau telah menghidupi kita, merawat, mendidik, mengasuh dari sejak dalam kandungan sampai menjadi manusia dewasa, dan
  3. Rsi Rna yaitu hutang kepada para Resi pendahulu kita yang telah menerima wahyu Tuhan berupa Weda sehingga kita memahami ajaran agama maupun kepada para sulinggih yang telah menyucikan hidup kita.

Karena adanya hutang inilah dalam ajaran agama Hindu diharapkan dapat dibayar dengan melaksanakan Panca Yadnya. Bagian Panca Yadnya terdiri dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa yadnya dan Bhuta Yadnya.

Maka Dewa Rna dibayar dengan Dewa yadnya dan Bhuta yadnya, Pitra Rna dibayar dengan Pitra yadnya dan Manusa yadnya, terakhir Rsi Yadnya digunakan untuk membayar Rsi Rna.

Untuk lebih memahami Tri Rna dan Panca Yadnya, disajikan 2 Pupuh Kumambang seperti di bawah ini:

  1. Teri Rena tetiga utange sami,
    Siki Dewa Rena,
    Pitra Rena kaping kalih,
    Resi Rena nomer tiga.
  2. Ngiring taur utange punika sami,
    Srana Panca Yadnya,
    Ring Dewa Pitara Resi,
    Ring Manusa Miwah Bhuta.

Dari pupuh di atas dapat kita rinci bagian Panca Yadnya meliputi:

Dewa Yadnya adalah persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa. Yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi dapat dilakukan setiap hari , juga dapat dilakukan dengan cara berkala. Seperti dengan melaksanakan:

  • Tri Sandhya setiap hari,
  • Melaksanakan upacara pada hari Purnama, Tilem, piodalan di Pura, Siwaratri, Saraswati, Galungan, Kuningan.

Tujuan melaksanakan Dewa Yadnya adalah:

  • untuk mengucapkan terima kasih,
  • memohon agar dijauhkan dari mara bahaya,
  • memohon pengampunan,
  • memohon anugrah kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasi-Nya.

Pitra yadnya adalah persembahan kepada para leluhur dan Bhetara-bhetari. Pelaksanaan Pitra Yadnya dapat dilakukan dengan:

  • menunjukkan prilaku yang luhur dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud bakti kepada leluhur yang masih hidup,
  • melakukan upacara kematian terhadap leluhur yang telah meninggal dapat dilakukan dengan dua cara, meliputi; upacara penguburan mayat dan upacara pembakaran mayat. Upacara penguburan dan pembakaran mayat disebut dengan nama Upacara Ngaben.

Upacara Ngaben dalam pelaksanaannya terdiri dari dua tahap yaitu:

  • Sawa Wedana yaitu upacara pembakaran/penguburan badan kasar sebagai simbul atau makna mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya.
  • Atma Wedana yaitu upacara pembakaran/penguburan tahap kedua yaitu pembakaran badan halus (Suksma Sarira) yang disimbulkan dengan Sekah atau Upacara ini lebih dikenal dengan nama Nyekah, Mamaukur, Ngasti, Maligia dan Ngeroras. Tujuan Upacara Atma Wedana adalah untuk meningkatkan status roh leluhur menjadi Dewa Hyang.

Rsi Yadnya adalah persembahan kepada para Resi atau guru yang telah memberikan penyucian. Yang tergolong ke dalam Rsi Yadnya adalah:

  • Upacara Eka Jati atau Mewinten yaitu upacara pengukuhan seseorang menjadi Pinandita atau Pemangku. Tugas dan kewenangan Eka Jati seperti:
    • bertanggung jawab pada pura dimana tempat orang di winten,
    • menyelesaikan upacara di lingkungan masyarakat sekitar.
  • Upacara Dwi Jati atau Mediksa yaitu upacara pengukuhan seseorang menjadi Pendeta atau sulinggih dengan kewenangan Ngloka pala sraya yang berarti tempat bagi masyarakat untuk memohon bantuan petunjuk agama.

Kewenangan seseorang yang sudah Dwi Jati, adalah:

  • menyelesaikan/muput suatu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat,
  • memberikan pencerahan, pembinaan tentang ajaran agama dan bagaimana mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari kepada umat,
  • berhak mendapatkan Daksina,
  • berhak mendapatkan punia dan menerima Resi Bojana.

Manusa Yadnya adalah persembahan untuk kesucian lahir batin Manusia. Contoh-contoh pelaksanaan yadnya yang termasuk Manusa Yadnya, seperti:

  • Upacara Bayi dalam kandungan (Garbha Wadana/pagedong-gedongan).
  • Upacara bayi baru lahir,
  • Upacara kepus puser,
  • Upacara bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan),
  • Upacara bayi berumur 105 hari (Nyambutin)
  • Upacara bayi satu oton ( otonan),
  • Upacara meningkat remaja ( yang laki disebut Ngraja Singa, yang wanita disebut Ngraja Sewala),
  • Upacara potong gigi ( matatah, mapandes, masangih),
  • Upacara perkawinan (wiwaha)

Bhuta Yadnya adalah persembahan kepada para Bhuta kala dan makhluk bawahan. Yang termasuk pelaksanaan Bhuta Yadnya, seperti:

  • Upacara Mecaru,
  • Ngaturang Segehan,
  • Upacara Taur
  • Upacara Panca Wali Krama (dilaksanakan setiap 10 tahun sekali di Pura Agung Besakih)
  • Upacara Eka Dasa Rudra (dilaksanakan setiap 100 tahun sekali di Pura Agung Besakih).

Pelaksanaan Panca Yadnya dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam pelaksanaan sebuah Yadnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya dalam melaksanakan satu Yadnya pasti yadnya yang lain dilaksanakan juga. Contohnya kita melaksanakan Dewa Yadnya seperti odalan di Pura. Odalan di Pura termasuk Dewa Yadnya. Dalam rangkaian upacara odalan di Pura diisi juga dengan upacara mecaru. Mecaru adalah pelaksanaan Bhuta Yadnya.

Jadi dalam Upacara Dewa Yadnya diisi juga dengan melaksanakan Bhuta Yadnya. Demikian juga yadnya yang lainnya.

Contoh-contoh pelaksanaan Dewa yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Melakukan Tri Sandya tiga kali dalam sehari,
  • Selalu berdoa sebelum melakukan kegiatan,
  • Memelihara kebersihan tempat suci,
  • Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari,
  • Melaksanakaan persembahyangan pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, dll.

Contoh-contoh pelaksanaan Pitra Yadnya dalam kehidupan sehari-hari:

  • Berpamitan kepada orangtua kita sebelum berangkat kemanapun,
  • Menghormati orangtua dan melaksanakan perintahnya,
  • Menuruti nasehat orangtua,
  • Membantu dengan suka rela pekerjaan yang sedang dilakukan oleh orangtua,
  • Merawat orangtua yang sedang sakit, dll

Contoh-contoh pelaksanaan Rsi Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Rajin belajar,
  • Belajar yang tekun,
  • Menghormati Guru,
  • Menuruti peritah guru,
  • Mentaati dan mengamalkan ajarannya,
  • Memelihara kesehatan dan kesejahteraan orang suci seperti sulinggih, pemangku, dll.

Contoh-contoh pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya:

  • Tolong menolong antar sesama,
  • Belas kasihan terhadap orang yang menderita,
  • Saling menghormati dan menghargai sesama,
  • Rajin merawat diri,
  • Melaksanakan upacara untuk meningkatkan kesucian diri, seperti; metatah, mewinten, meotonan, dll.

Contoh-contoh pelaksanaan Bhuta yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik,
  • Merawat binatang peliharaan dengan baik,
  • Menjaga kebersihan lingkungan,
  • Menyayangi makhluk lain, dll.

sumber

TUJUAN YANG UTAMA

$
0
0

Om Swastiastu

Tujuan agama Hindu Dharma berujung pada pencapaian moksa. Itu dapat diartikan kebebasan jiwa yg abadi, menyatunya Atma dgn sang pencipta, atau yg paling sederhana bebas dari kelahiran kembali(punarbawa). Dalam meraih tujuan akhir ini terdapat berbagai macam jalan yg dapat ditempuh. Setidaknya ada empat jalan yg disebut catur marga. Bakti, Karma, Jnana, dan Raja marga.

Perjalanan meraih tujuan terakhir bisa jadi panjang dan berliku tajam. Jalan itu bisa jadi penuh halangan. Sebaliknya ada yg mulus lurus dan singkat. Semua jalan mempunyai resikonya masing masing. Apapun jalannya meraih tujuan bukanlah hal yang penting namun tujuan itu yg utama. Dengan tujuan ada arah kemana kita harus melangkah dan memusatkan perhatian dalam usaha kita. Jika ditengok secara mendalam perlu juga kita perhatikan pondasi dasar perjalanan itu agar tidak asal jalan.

Akumulasi karma baik adalah pondasi dasar perjalanan yg baik menuju tujuan. Tanpa akumulasi karma baik yg melimpah hampir boleh dikatakan tidak mungkin mencapai tujuan akhir itu. Karena akumulasi karma baik yg melimpah akan membawa pada jalan menuju tujuan yg baik itu. Dengan upaya mandiri atau bantuan Dewata terbebas dari kelahiran kembali memerlukan akumulasi karma baik yg melimpah. Ibaratnya karma baik adalah pembersihan dari karma buruk yg memberatkan. Ketika karma baik melimpah otomatis terbang atau lebih mudah dibantu dewata melampaui kelahiran kembali.

Jika demikian adanya tetap selalu mengupayakan untuk berbuat baik menambah karma baik adalah hal yg utama. Setidaknya sekecil kecilnya lakukan karma baik dgn memberi sebuah senyuman manis.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

Jejak Pemahaman Kasta Dibali

$
0
0

JABA (Jawa Bali) – SUDRA

Hubungan kemasyarakatan umat Hindu di bali antar clan/soroh sudah semakin membaik seiring peningkatan kesadaran akan ajaran Hindu tat twam asi, Catur Warna-yang memilah profesi berdasarkan guna (bakat) dan karma (tugas/pekerjaannya), sikap Prema (cinta kasih), ajaran Vasudhaiva kutumbakam (semua mahluk adalah bersaudara), dll. Walaupun demikian ada beberapa hal terkait dengan hubungan kemasyarakatan yang belum bisa difahami dengan baik, salah satunya adalah pengertian akan ”Sudra & Jaba” yang masih perlu disampaikan terus karena belum secara utuh masyarakat faham. Hal ini bisa terjadi karena belum tahu, belum terbukanya hati untuk menerima kebenaran ajaran agama, mempertahankan prestise yang semu, dan alasan lainnya.

Untuk membahas hal Sudra & Jaba kita perlu mundur sejenak untuk melihat pola kepemimpinan di bali sejak abad X sampai XVI, dimana abad XVI inilah titik awal adanya feodalisme yang melahirkan system Kasta di bali dan selanjutnya melahirkan istilah Sudra & Jaba yang salah kaprah. Kita mulai saja sekitar abad X, dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, Raja Daha-Jawa Timur, sebelum dipersunting oleh Udayana bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat dari lima bersaudara/Panca Tirta) yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya (ber-asrama di Lempuyang Madya sekarang ada Pura-merupakan leluhur warga/clan Pasek, Bendesa, Tangkas), Mpu Semeru (di Pura Catur Lawa Besakih-punya putra dharma/putra angkat penduduk bali mula yang dikenal dengan Pasek Kayu Selem , Mpu Ghana (dulu di Pura Dasar Bhuwana Gelgel Klungkung namun Sekarang sudah berstana di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan di Pundukdawa, Dawan, Klungkung), Mpu Kuturan (Pura Silayukti Padangbae Klungkung), dan Mpu Bharadah/Pradah (Asram di Lemah tulis kediri jadi tidak ke Bali-leluhur dari clan yang menyebut diri pungkusan Ida bagus, Anak Agung/keturunan Dalem Kresna Kepakisan, keturunan Manik Angkeran/Arya Wang Bang, dll). Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap pada abad X. Setelah kehadiran Mpu ini ke bali maka amanlah Bali dan berkat keahlian Mpu Kuturan kita mengenal Desa Pakraman/Desa Adat yang memiliki tiga Pura, yaitu Pura Desa (Pemujaan Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), Pura Dalem (Siwa), dan untuk di rumah tangga dibuat “Kemulan Rong Tiga” pemujaan Tri Murti, yang merupakan hasil paruman/paras paros di Samuan Tiga Gianyar. Raja suami istri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa, berputra : Airlangga dan Anak Wungsu. Airlangga diundang ke Daha Jawa Timur oleh pamannya Kameswara pada usia muda (16 tahun) yang tujuannya untuk menjadi raja di Daha, tetapi saat diadakan suatu perayaan ada pemberontakan Wurawuri sehingga Airlangga mengungsi kehutan. Singkatnya cerita Airlangga berhasil kembali menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) dan beliau berputra Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Jayasabha (keturunannya di bali dikenal dengan Arya Kuta waringin, Arya kebon Tubuh, dll). Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa, disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Airlangga, yaitu Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Airlangga.

Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Bali dikalahkan oleh Majapahit . Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Adipati di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Kresna Kepakisan menjadi Adipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula karena Kresna kepakisan menerapkan system Majapahit di bali dan hanya menempatkan Petinggi Majapahit di pemerintahan, sehingga Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada Kyayi I Gusti Agung Pasek gelgel. setelah menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Siapa Kresna Kepakisan ?. Beliau adalah putra Mpu Soma Kepakisan yang juga keturunan dari Mpu Bharadah.

Berlanjut kemudian Dinasti Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”, seperti Dalem samara Kepakisan yang banyak belajar dari kegagalan ayahndanya (Kresna kepakisan), kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (tahun 1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Mpu Nirarta yang belakangan dikenal dengan Danghyang Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang karena kecakapannya diangkat menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu : “Mpu Siddhimantra” : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh, “Mpu Panawasikan”, “Mpu Smaranatha” : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Mpu Nirartha), “Mpu Kepakisan” : Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja), yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Kresna Kepakisan).

Danghyang Nirartha“ putra Mpu Smaranatha, pada tahun 1489 ke Bali, dimana pada saat itu di Majapahit sudah mulai masuk agama baru (Islam). Apakah Danghyang Nirartha pernah mempelajari agama Islam tidak jelas, tetapi di Lombok Danghyang Nirartha mengajarkan „Islam Kala Tiga (Waktu Tiga). Yang cukup aneh adalah ada yang menganggap Danghyang Nirarta adalah Sabda Palon entah darimana sumbernya, padahal Sabda Palon justru penasehat Raja Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) yang tidak setuju Majapahit masuk agama lain. Danghyang Nirartha beristri 6 orang, Istri pertama dari Kediri Jawa Timur yang keturunannya dikenal dengan „Kemenuh“, dari Pasuruan keturunannya dikenal dengan „Manuaba“. Yang ketiga adalah dari Blambangan, menurunkan „Keniten“. Setelah di Bali yaitu ketika beliau singgah di Gadingwangi, dimana yang menjadi Bendesa adalah „Pasek Bendesa Mas“ (Keturunan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel), beliau mengawini Ni Luh Nyoman Manik Mas adik Pasek Bendesa Mas, sehingga keturunannya dikenal dengan „Mas“, yang lainnya dikenal dengan „Petapan/Antapan“ dan „Temesi/Bindu“. Danghyang Nirartha diangkat oleh Dalem Waturenggong menjadi Purohita/Bahagawanta kerajaan Gelgel mewakili aliran „Siwa“. Dalem juga ingin mengangkat Danghyang Angsoka (kakak Danghyang Nirartha) menjadi Purohita, tetapi tidak terjadi karena tua dan juga sudah ada adiknya Danghyang Nirartha, maka diganti putranya „Danghyang Astapaka“ mewakili „Budha Mahayana“. Danghyang Astapaka berasrama di Budakeling. Sejak itu kedudukan Para Mpu (keturunan Mpu Gnijaya) yang mewakili „Siwa Budha“ dan Rsi Bujangga yang mewakili „Waisnawa“, digantikan oleh mereka berdua. Bahkan dalam bidang kemasyarakatan, Danghyang Nirartha dengan restu Dalem Waturenggong membenahi struktur pelapisan masyarakat Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistim warna lalu disusun berdasarkan Wangsa. Danghyang Astapaka dan Danghyang Nirartha serta keluarga menduduki pos sebagai „Brahmana Wangsa“, „Ksatrya Wangsa“ diisi oleh keluarga Dalem. Para Arya (I Gusti) mengisi „Wesya Wangsa“. Ketiga ini juga disebut „Tri Wangsa“. Selanjutnya diluar itu menjadi “Sudra Wangsa”. Secara turun temurun keluarga Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka mengambil porsi Brahmana dan jika di Pudgala jati/Dwi Jati bergelar “Pedanda”, dimana untuk pertama kalinya Danghyang Nirartha mengangkat enam putranya menjadi “Pedanda” dan karena mereka Purohita resmi kerajaan, maka masyarakat “Me-Siwa” (minta petunjuk tattwa dan Panca Yadnya) kepada enam Pandita tersebut, dimana dijaman sekarang ini me-Siwa sudah menjadi lebih luas karena Pandita sudah sangat benyak dengan sebutan : Pedanda, Mpu (umumnya trah Mpu Gnijaya jika jadi Pandita), Bhagawan (trah dalem), Resi (trah Arya), Bhujangga (trah Rsi Maharkandeya), Sire Mpu (trah Pande), juga banyak Pandita dari umat Jawa seperti : Pandita Broto Sejati, dan lain-lain, walaupun saat “Diksa” mereka sudah lepas dari ikatan soroh/clan dan hanya menyembah Hyang Widhi sesuai karmanya (Pandita Siwa, Pandita Bhoda, dll). Jadi ini fakta, bahwa jaman sudah berubah dan ajaran catur warna sudah ditempatkan pada rel yang benar.

Akhir dynasty Majapahit di Jawa dengan kekuasaannya di daerah lain adalah pada abad XV karena Raja majapahit (Raden Patah) menganut agama Islam, maka Bali juga kena dampak kehilangan kepemimpinan dan terbentuk kerajaan-kerajaan kecil di sembilan tempat : Singaraja, Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Negara, Tabanan, Badung, dan Mengwi, dimana akhirnya semua tenggelam karena saling serang. Pada abad XVI Nusantara dijajah (termasuk bali), untuk melanggengkan jajahannya, maka dihidupkan dan mem-back up sembilan bekas kerajaan kecil tersebut dan seperti kebiasaan penjajah maka Catur Wangsa diselewengkan menjadi “Kasta” yang sekaligus penyimpangan sistem Warna selama ratusan tahun dan membawa dampak tidak baik pada kehidupan masyarakat karena wangsa yang seharusnya menjadi pengikat keluarga, menjadi kelompok-kelompok (soroh) yang jika salah bisa merasa lebih tinggi dari soroh lainnya. Bahkan istilah “Tri wangsa” (Brahmana/Purohita, Ksatrya/Pemimpin, dan Wesya/Arya) yang merupakan unsur pemerintahan sehingga ada didalam Puri/istana kerajaan, dan diluar itu disebut “Jaba/luar/diluar puri/istana, kemudian pada jaman feodal “Jaba” ini dipadankan dengan Sudra. Usaha pelurusan ini sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1920 di Singaraja (Bali) muncul Organisasi “Surya Kanta” yang anti feodalisme dengan system Wangsa/Kasta bahkan menerbitkan Majalah/Surat kabar. Kemudian mendapat jawaban dari kelompok status quo (mempertahankan Kasta) dengan terbitnya “Bali Adnyana”. Kedua penerbitan tersebut gulung tikar dan juga hilang karena semangat kebangsaan dengan berdirinya Budi Utomo (1928). Pada jaman Kemerdekaan (1945) hal ini juga tenggelam karena bangsa sedang menikmati kemerdekaannya, termasuk juga pada jaman Suharto (Orde Baru) yang sangat mementingkan stabilitas nasional. Pada jaman Reformasi system feodalisme masih ada terjadi di masyarakat dan masih ada yang mencoba mempertahankannya dengan berbagai cara, lewat organisasi, lewat pembiaran umat nyugra/menyembah, dimana demi sebuah prestise, maka penjajah yang sudah ratusan tahun hengkang dari Nusantara ternyata politik pemecah belahnya masih tajam setajam silet, bravo penjajah.

Akhirnya, mari kita kembali kepada ajaran Hindu yang kita anut, dengan menyayangi umat dan seisi alam (sarwa tumuwuh lan sarwa prani) dan menghargai dengan tidak menyebut Sudra adalah rendah karena Hyang Widhi menciptakan manusia memang untuk melakukan empat fungsi (empat warna) secara bekerja sama saling membutuhkan, jika ada yang saat ini melakukan peran/fungsi Sudra karena kesucian dan kemampuan bisa saja kedepan menjadi Brahmana, dan yang orang tuanya Brahmana/Pandita, atau malah Pandita bisa jadi karena tidak mengamalkan Kawikon bisa beralih peran menjadi Kstrya, Wesya, atau Sudra, itulah hidup yang sangat ditentukan oleh Guna (bakat) dan Karma (keseriusan kita melakukan tugas/karma/lakunya). Om Wyoma Siwa ya namah – Om Sridevi ya namah (hormat kepada Sanghyang Akasa-Pratiwi yang menyangga kehidupan ini yang merupakan ibu-bapak kita semua). –sumber

Nis Prateka Nir Prabawa Konsep Pitra Yadnya Jaman Now

$
0
0

Kematian adalah sebuah misteri, kita tidak tahu kapan datangnya. Tuhan punya skenario sendiri yang tidak bisa kita baca bagaimana drama kehidupan itu dipentaskan. Orang lahir membawa karmanya sendiri, sebuah perjalanan dari karma hidupnya di masa lalu yang harus dia pertanggungjawabkan kembali. Kelahiran adalah kesempatan untuk menebus karma-karma masa lalu, sehingga manusia terbebas dari keterikatan dan kelahiran berulang-ulang.

Kematian seharusnya bukan sesuatu yang menakutkan, karena ia akan datang, tak seorang pun sanggup mencegahnya. Tetua kita mengajarkan empat kenikmatan dalam hidup ini: suka, duka, lara, pati. Bersenang-senang, tertimpa kesedihan, menderita penyakit, menghadapi kematian. Kenikmatan itu harus kita terima. Lalu tugas kita adalah selalu siap menunggu dan menghadapi kematian.

Maka dari itu ngiring laksanayang upacara pitra yadnya dengan konsep Nis Prateka Nir Prabawa dengan pandangan K3S2 (Kemampua, Kemauan, Keikhlasan, Sikon dan Sastra Agama Hindu)

Pitra Yadnya terdiri dari empat tahapan upacara, yaitu:

1. Ngaben: melepaskan ikatan roh pada tubuh manusia (panca mahabhuta),yang terpenting dalam upacara ngaben ini adalah Kajang sebagai unsur utamanya.
2. Nyekah/ Ngroras: melepaskan ikatan roh pada pengaruh panca indria (panca tanmatra), yang terpenting dalam proses ini adalah sekahnya.
3. Mepaingkup: menstanakan roh di sanggah pamerajan,yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan lingga dan rantasan
5. Meajar-ajar: ‘nangkilang’ roh ke pura-pura tertentu, yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan dan rantasannya

Diantara proses ngaben dan nyekah, ada upacara nyegara-gunung, tujuannya adalah mensucikan roh ke segara dan memohon anugrah ke gunung sebagai sumber kemakmuran, yang terpenting dalam proses ini adalah tapakan lingga dan rantasan.

Pura-pura yang biasa dituju untuk upacara nyegara gunung misalnya: goa lawah, tanah lot, pulaki, ponjok batu, silayukti, rambut siwi, dll.

Pura-pura yang dituju dalam upacara meajar-ajar adalah: Pura lempuyang, Pura silayukti, Pura Catur Parhyangan Linggih Ida Mpu Gana ring Pundukdawa dan Pura Catur Lawa Besakih.

Upacara mendak nuntun Dewa Hyang dilakukan tidak dalam rangkaian Pitra Yadnya. Upacara ini hanya satu kali saja dilakukan, yakni di saat membangun pelinggih Dewa Hyang atau Raja-Dewata di sanggah pamerajan.

Prosedurnya: nuntun di Pura Dalem Puri, Besakih, kemudian dilanjutkan dengan nangkilang ke Pura-pura tertentu, dalam perjalanan kembali pulang.

Rangkaian upacara di beberapa soroh dan beberapa desa ada yang berbeda, sebabnya:
• kurang memahami makna upacara-upacara dimaksud.
• mengikuti dresta yang juga tidak diketahui sumber sastranya yang tepat.

Upakara yang digunakan dalam upacara-upacara itu, tergantung pada K3S2 masing-masing. Upakara/ banten yang minimal: pejati. Bila dananya cukup, boleh menggunakan suci agung dengan ulam bebek dan mesalaran.

#sebuah diskusi singkat tgl 4 juli 2018#bersama ibu ketut puji astari#

Ngiring sareng2 melajah
Berbagi dari sebuah tulisan I Gde Pasek Manuaba (GAA) –sumber

Konsep Dana dalam Ajaran Hindu

$
0
0

Dalam hindu ketidakberdayaan berupa kemiskinan ada dua yaitu kemiskinan materi (daridra) dan kemiskinan rohani (dinabuddhi).
maharsi Wararuci menggambarkan bagiamana hina dan menderitanya kehidupan orang yang miskin secara materi(daridra),dijelaskan pula ada dua jenis kemiskinan yang menimpa manusia yakni :
1. Karena dari lahir memang miskin
2. Orang yang pernah kaya jatuh miskin

dikatakan juga kemiskinan rohani(dinabuddhi) yang sangat berbahaya dibandingkan dengan kemiskinan materi(daridra).
Sebab seseorang walaupun memiliki kekayaan berlimpah,tetapi tidak berusaha untuk meningkatkan kehidupan spiritual,seakan-akan dunia ini tempat persinggahan belaka menuju penderitaan.

Sedangkan orang miskin materi(daridra) bila memiliki dan berusaha meningkatkan kesadaran kehidupan spiritualnya masih memiliki harapan untuk memperoleh kebahagian sejati.

Brahman(Tuhan) dalam ajaran veda mengajarkan kepada umat manusia agar memuliakan kehidupan karena hidup adalah anugrah-Nya yang terbesar. Hidup yang mulia adalah hidup yang dijalani sesuai ajaran Tuhan(Brahman)
bagaimana hidup yang mulia itu dan apa hubungannya dengan permasalahan diatas?

Pada bhagawadgitta sloka III-11 disebutkan parasparam bhavayantah yang artinya satu sama lain saling menghidupi dengan kata lain, hidup dan saling menghidupi merupakan kebajikan yang utama dan inilah yang dimaksud hidup mulia. Didalam kata saling menghidupi inilah terkandung makna yang luar biasa yaitu kasih sayang.

Rasa kasih sayang inilah yang menjadi kekuatan dasar dari kehidupan tanpa kasih sayang tidak ada kehidupan lagi. Kekuatan kasih sayang ini bersumber dari tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Dengan kekuatan inilah segala permasalahan dapat diatasi,duka,derita,kemiskinan dan kebodohan,semua itu dapat dilenyapkan dengan kekuatan kasih sayang.

Salah satu ibadah/kebhaktian yang dilaksanakan untuk mewujudkan kasih sayang adalah dana.

Dana ialah pemberian berdasarkan hati yang tulus dan penuh kasih.bisa berupa uang,barang maupun jasa kepada yang sepatutnya menerima. jadi dwngan melaksanakan dana,orang telah mengamalkan hidup “parasparam bhavayantah”

Menurut Mahatma Gandhi(Bpk.Kemerdekaan India) dimana pemikiran dan perbuatan baik beliau merupakan sumbangan besar bagi upaya mewujudkan hidup yang mulia,yaitu hidup dan saling menghidupi.

Sikap/perbuatan “berdana” memiliki peran dan dampaknya nyata bagi upaya distribusi kesejahteraan sehingga keadilan dan kemakmuran dapat dirasakan oleh semua orang. –sumber

DAKSINA ??? #Hindu #Balinese

$
0
0

DAKSINA merupakan tapakan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa , dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina mempunyai beberapa fungsi atau tujuan yaitu sebagai berikut:
Permohonan kehadapan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar Beliau berkenan melimpahkan wara nugrahaNya sehingga mendapat keselamatan.

Sebagai persembahan atau tanda terima kasih yang dalam “Yadnya Patni”, disebutkan daksina selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan.

Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkanHyang Guru / Hyang Tunggal

Unsur-Unsur Daksina
Dalam daksina dibuat dari berbagai unsur yang mempunya maknanya masing-masing, yaitu sebagai berikut:
Alas bedogan/srembeng/wakul/katung, terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina, terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi.

Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
Tampak, dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.
Beras, yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
Sirih tempel / Porosan, terbuat dari daun sirih (hijau – wisnu), kapur (putih – siwa) dan pinang (merah – brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.
Kelapa, adalah buah serbaguna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
Telor Itik, dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu)
Pisang, Tebu dan Kojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya. Dalam tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu belambangkan tulang.
Buah Kemiri, adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan)
Buah kluwek/Pangi, lambang pradhana / kebendaan / perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). Dalam tetandingan melambangkan dagu.
Gegantusan, merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
Papeselan, terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian / langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak / mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
Bija ratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya, godem (hitam – wisnu), Jawa (putih – iswara), Jagung Nasi (merah – brahma), Jagung Biasa (kuning – mahadewa) dan Jali-jali (Brumbun – siwa). kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua).
Benang Tukelan, adalah alat pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambing usus/perut.
Uang Kepeng, adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
Sesari, sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
Sampyan Payasan, terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
Sampyan pusung, terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria.
Jenis – Jenis Daksina :
Daksina juga terdiri dari beberapa jenis, yang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda. Yaitu sebagai berikut:
Daksina Alit

Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
Daksina Pekala-kalaan

Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
Daksina Krepa

Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
Daksina Gede atau

Daksina Galakan atau

Pemopog
Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:

Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. Masukkan :
5 x coblong beras

5 butir kelapa yang di atasnya berisi benang putih tukelan kecil

5 kojong tampelan letakkan berkeliling

5 kojong pesel-peselan

5 kojong gegantusan

5 kojong tebu

5 kojong pisang

1 ceper berisi 5 buah pangi

5 buah kemiri (tingkih)

1 ceper berisi 5 butir telur bebek

Sampiyannya : base ambungan (kekojong dari janur berisi base lembaran dan sampiyan sreyok – lihat gambar sebelah)

Semoga bermanfaat untuk semeton inputbali, dan bisa menambah wawasan tentang Budaya, Adat dan tentang Hindu di Bali. –sumber


​MAKNA SARANA PERSEMBAHYANGAN HINDU

$
0
0

Jika melihat umat Hindu selesai melakukan persembahyangan pasti terlihat ada beras tertempel pada dahi terlihat bunga pada telinga(laki-laki) dan pada rambut (wanita). Apa artinya? Setiap akhir dari prosesi persembahyangan ada istilah metirtha, mesekar dan mebija, ketiganya mempunya makna yang sangat penting bagi umat Hindu. Karenanya sebelum melakukan persembahyangan diperlukan perlengkapan/sarana sembahyang. Sarana atau perlengkapan sebelum melakukan persembahyangan antara lain:

➡Air (Toya)

➡Api (dupa)

➡Bunga (sekar)

➡Kewangen

➡Kalpika (kartika)

 

AIR (Toya)

Air merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada 2 jenis air yang dipakai pada saat akan sembahyang yaitu:Air untuk membersihkan mulut dan tangan dan air yang nantinya berfungsi sebagai tirtha. Beberapa orang juga menyebutnya dengan Toya. Tirta adalah air yang telah disucikan. kesuciannya bisa diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwenang(pandita dll) atau dengan mengambil disuatu tempat dengan disertai ritual keagamaan(wangsuhpada).
Dilihat dari manfaat ada 3 jenis tirtha:

Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan,alat upacara atau diri seseorang. Tirta ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha pengelukatan,perbesihan atau parayascita.biasanya dicipratkan tika kali yang mengandung arti sebagai simbol pensucian yang meliputi:awal,tengah dan akhir.
Tirta yang digunakan untuk penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat suci tersebut. Istilah lain tirtha ini adalah wangsuhpada. Selain dicipratkan(maketis)di kepala(ubun-ubun) juga diminum tiga kali sebagai simbol pensucian bathin,lalu meraup(mencuci muka)tiga kali sebagai simbol pensucian terhadap lahir.
Tirtha yang dimanfaatkan untuk penyelesaian upacara kematian. misalnya: Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas.

Didalam Weda Parikrama dan Surya Suwana dijelaskan, maksud dari pemakaian tirta itu adalah sebagai pensucian secara lahiriah dan rohaniah(lahir dibersihkan dengan air, bathin/rohani dibersihkan dengan kesucian tirtha.

 

API (Dupa)

Secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum, Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lambang Dewa Agni yang berfungsi:
🔥sebagai pendeta pemimpin upacara

perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia dengan Tuhan)

sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
🔥sebagai saksi upacara

Api mempunyai peranan yang penting dalam upacara-upacara agama Hindu. Setiap upacara didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa, maupun api yang ada dalam sendiri. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai fungsi:
Panas api meresap kesegala arah baik air,tanah,udara tumbuh-tumbuhan ataupun mahkluk hidup lainnya. Demikian pula asapnya dapat terangkat sendiri ke angkasa memancarkan sinar yang putih berkilauan, menyebar kesegala penjuru.

Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit,manusia dengan Tuhan,sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan. Sinar cahayanya memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan disetiap kegelapan. Nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar apapun yang dilemparkan kepadanya sehingga dianggap sebagai pembasmi noda,malapetaka dan penderitaan.
Api dengan sebutan sebagai Dewa Agni adalah Dewa atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam kehidupan.
Api selalu dinyalakan dalam rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang artinya pimpinan atau raja dalam rumah tangga.
Dalam Reg Weda dan Sama Weda api memiliki peranan:
🔥Api adalah pengantar upacara, penghubung manusia dengan Brahman. (Regweda X, 80 : 4)
🔥Api (Agni) adalah Dewa pengusir Raksasa dan membakar habis semua mala dan dijadikannya suci. (Regweda VII 15 : 10)
🔥Hanya Agni (api) pimpinan upacara Yajna yang sejati menurut weda. (Regweda VIII 15 : 2)
Ada 3 bentuk api yang digunakan dalam upacara agama Hindu:
Dupa, adalah api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah asep ataupun sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wangi-wangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
Dipa, adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya api dari lilin,lampu dan sejenisnya. Saat ini listrik juga termasuk sebagai salah satu Dipa.
Obor, adalah api dengan nyala yang besar berkobar-kobar termasuk jenis ini adalah obor dari perapak(daun kelapa tua),tombrog(obor dari bambu) dan sebagainnya.

 

BUNGA (Sekar)

Sarana persembahyangan selanjutnya adalah Bunga. Bunga mempunyai dua fungsi penting dalam agama Hindu yaitu sebagai simbol Tuhan(Dewa Siwa) dan sebagai sarana persembahyangan semata. Sebagai simbol Tuhan, bunga diletakkan tersembul pada unjung kedua telapak tangan yang dicakupkan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah, bunga biasanya ditajukkan diatas kepala(rambut) atau disumpangkan ditelinga.
Sebagai sarana persembahyangan bunga dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Bagi umat Hindu, bunga dipakai untuk menunjukkan kesucian hati untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa serta sinar suci-Nya,para leluhur dan para Rsi.
Warna-warna yang umum digunakan dalam persembahyangan antara lain:
🌺 Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara, memiliki kekuatan seperti badjra,memancarkan sinar berwarna putih(netral).
🌺 Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma, memiliki kekuatan seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.
🌺 Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau hijau. Dipakai untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki senjata cakra dan memancarkan sinar berwarna hitam.
🌺 Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna kuning.

 

KEWANGEN

Bagi umat Hindu khususnya di Bali, kewangen merupakan perlengkapan sembahyang yang penting. Terutama kalau bersembahyang mengikuti puja pinandita. Dari puja pengantarnya dapat diketahui bahwa kewangen dipakai untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam wujud Pradana Purusha Ardanareswari dan pemberi anugerah.
Kewangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya.

 

KALPIKA/KARTIKA
Kalpika/Kartika adalah salah satu perlengkapan yang selalu dipergunakan oleh para Sulinggih dalam penyelesaian upacara, baik untuk pribadi maupun untuk masyarakat. Kartika dibuat dari sehelai daun kembang sepatu dan bunganya yang berwarna merah dan bunga jepun(kamboja) yang berwarna putih. Cara membuat kartika/kalpika; daun kembang sepatu dilipat sedemikian rupa sehingga membentuk segi empat belah ketupat,membungkus bunga jepun dan kembang sepatu.
Ditinjau dari warna kalpika melambangkan Tri Murti; warna hijau/hitam melambangka Wisnu, warna merah melambangkan Brahma dan warna putih melambangkan Siwa.
Didalam salah satu puja Surya Sewana disebutkan:

KALPIKA MIJIL SAKING BRAHMA, VIJA MIJIL SAKING WISNU, GANDA MIJIL SAKING ISWARA
Hal ini sesuai dengan bentuk Kalpika yaitu segi empat yang disebut Brahma Bhaga, pada bentuk linga(segi delapan)disebut Wisnu Bhaga, dan palus disebut Siwa Bhaga.
Bagi para sulinggih kalpika/kartika memegang peranan penting sebab dipakai sebagai pengganti tunjung(bunga teratai)untuk menurunkan(nuntun)paratma(atma).
WIJA (Bija)

Sarana persembahyangan yang lain adalah Wija/Bija, disebut pula Gandaksata, berasal dari kata ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi. Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan.
Oleh karena itu hendaknya dipergunakan beras yang utuh/tidak patah, dicuci bersih kemudian dicampur dengan wangi-wangian, misalnya: air cendana serta bunga yang harum. Bija dianggap sebagai simbul benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanareswari/Purusa-Pradana. Pemakaiannya hampir sama, dengan tirtha yaitu ditaburkan pada bangunan yang dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan memberikan kesucian. Ini biasanya dilakukan sebelum persembahyangan atau upacara keagamaan yang lainnya.
Sehabis sembahyang umat Hindu selalu mengenakan Wija/Bija, umumnya penggunaaan bija:

Diletakkan diantara kedua kening(disebut Cudamani). Penempatan wija/bija disini diharapkan menumbuhkan dan memberikan sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
Diletakkan di tengah-tengah dada sebagai simbol pensucian dan mendapat kebahagiaan.

Ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Wija atau Bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija/Mabija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta. –sumber

Makna “Melukat”

$
0
0

MELUKAT merupakan bagian dari pelaksaan upacara Manusa Yadnya, yang memiliki tujuan untuk membersihkan dan menyucikan pribadi secara lahir dan batin. Yang dibersihkan ialah hal negatif dan malapetaka yang diperoleh dari dosa-dosa baik berasal dari sisa perbuatan terdahulu atau Sancita Karmaphala maupun dari perbuatan hidup saat ini.
Pengertian Melukat

Melukat berasal dari kata “lukat” dalam Bahasa Kawi-Bali berarti bersihin, ngicalang. Jika dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “lukat” berarti melepaskan (tentang barang yang dilekatkan). Kemudian mendapat awalan “me” menjadi melukat yang diartikan melakukan suatu pekerjaan untuk melepaskan sesuatu yang melekat dinilai kurang baik melalui upacara keagamaan secara lahir dan batin.
Makna Melukat

Melaksanakan upacara melukat merupakan salah satu usaha untuk membersihkan dan menyucikan diri pribadi agar dapat mendekatkan diri pada yang suci yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang tak lain merupakan tujuan akhir dari pada kehidupan manusia. Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah Maha Suci dan tentu merupakan sumber Kesucian. Maka sangat diperlukan adanya kesucian dalam pribadi kita untuk dapat mendekatkan diri dengan Beliau yang Maha Suci. Dan dengan melukat merupakan salah satu upayanya.
Dalam Pustaka Suci “Manawa Dharma Sastra” Bab V sloka 109, dinyatakan sebagai berikut :
“Adbhir gatrani cuddhyanti manah satyena cuddhyti,cidyatapobhyam buddhir jnanena cuddhyatir.”
Artinya :

Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibresihkan dengan kebijaksanaan.
Apabila makna dan arti sloka tuntunan ini dihayati secara mendalam, maka melukat menggunakan sarana air untuk pembersihan tubuh secara lahir (sekala), sedangkan untuk sarana penyucian menggunakan Tirtha Penglukatan, yang mana telah dimohonkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa oleh pemimpin upacara melalui doa,puja dan mantram dengan diikuti oleh yang akan melukat.
Jenis Upacara Melukat
Jika ditinjau dari pelaksanaan dan tujuan upacaranya. Ada 7 macam upacara melukat, yaitu sebagai berikut :
Melukat Astupungku, untuk membersihkan dan menyucikan malapetaka seseorang yang diakibatkan oleh Pengaruh hari kelahiran dan Tri Guna (Satwam, Rajas, Tamas) yang tidak seimbang dalam dirinya.
Melukat Gni Ngelayang, untuk pengobatan terhadap seseorang yang sedang ditimpa penyakit.
Melukat Gomana, untuk penebusan Oton atau hari kelahiran yang diakibatkan oleh pengaruh yang bernilai buruk dari Wewaran dan Wuku. Misalnya pada mereka yang lahir pada wuku Wayang.
Melukat Surya Gomana, untuk melepaskan noda dan kotoran yang ada pada diri Bayi. Misalnya pada saat Nelu Bulanin.
Melukat Semarabeda, untuk menyucikan Sang Kama Jaya dan Sang Kama Ratihdari segala noda dan mala pada upacara Pawiwahan (Perkawinan).
Melukat Prabu, untuk memohonkan para pemimpin agar kelak dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan kejayaan dan kemakmuran.
Melukat Nawa Ratna, dapatkan dikatakan mempunyai makna yang sama dengan Melukat Prabu.
Selain melukat berdasarkan upacaranya, juga terdapat melukat untuk membersihkan diri secara sekala dan niskala melalui tempat suci seperti Tirtha Empul, Sebatu dll. Dan jika ingin melukat yang lebih sederhana dirumah bisa dengan melukat menggunakan Bungkak Nyuh Gading. Dewasa yang baik adalah pada Rahina Purnama.
Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma. –sumber

Pemahaman Mantram Sesontengan yang dilakukan oleh Seorang Walaka

$
0
0

Sesontengan adalah ucapan penganteb banten dengan kata-kata biasa sehari-hari yang dilakukan oleh para walaka yang belum mempelajari puja ataupun mantra.

Tegasnya sesontengan bukan mantra. Mantra adalah Weda, yaitu wahyu Hyang Widhi yang tidak dapat diubah. Menafsirkan Mantra harus dilakukan oleh orang-orang suci yang ahli di bidang itu agar tidak menyesatkan masyarakat.

Untuk menghindari salah pemahaman, mantra harus diucapkan dalam bahasa aslinya, yaitu Sanskerta, dengan irama tertentu. Mantra utama yang populer di masyarakat adalah Puja Trisandya bait pertama yang dikenal sebagai Mantram Gayatri.

Mantra boleh diucapkan oleh siapa saja asalkan cara mengucapkannya benar, untuk tujuan suci, dalam situasi sakral, dan keluar dari lubuk hati kesucian. Mengucapkan mantra juga dapat disebut sebagai Memantra atau Maweda.

Para Pandita/ Pedanda (atau umumnya disebut Wiku) tidak dapat dikatakan memantra atau maweda karena Weda tidak diucapkan secara utuh baik pada waktu Nyurya Sewana maupun ketika muput karya.
Apa yang diucapkan sudah bercampur antara mantra dengan doa/ rapal dalam bahasa Kawi. Oleh karena itu beliau disebut MAPUJA atau MAMEOS.

Selain itu perlu diketahui bahwa Trisandya bukanlah mantram, tetapi Puja karena tidak seluruh baitnya Weda (Catur Weda).

Mudah-mudahan dengan penjelasan ini anda dapat membedakan antara: SONTENG, PUJA, DAN MANTRA.
Sumber : Stitidharma.org –sumber

MENAPAKI TANGGA KEHIDUPAN

$
0
0

Om Swastiastu
Om Awignamastu

Hidup adalah perjalanan yang penuh dinamika. Banyak keinginan dan hasrat yang ingin dicapai dalam hidup termasuk mendalami spiritual. Ambisi dan niat mencapai kedalaman spiritual yang mendalam adalah niat yang baik dan luhur. Jika itu adalah panggilan diri yang otentik bukan hal yang tabu untuk dijalani.

Dalam upaya meraih sesuatu saran terbaik adalah lakukan dengan bertahap. Sesuaikan kemampuan jangan sampai berlebihan. Bagaikan menaiki anak tangga, satu demi satu sampai tangga terakhir. Setidaknya dharma menuntun dalam empat tahapan hidup. Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta, dan Biksuka.

Setiap tahap memiliki keunikan tersendiri. Ada hak dan kewajiban yang melekat dalam setiap tahapan. Introspeksi menyadarkan kita pada posisi kita dan kapan saat yang tepat untuk melangkah di tahap berikutnya. Adalah bijak untuk tidak mencampur aduk dua atau lebih tahapan. Kalau kita seorang yg masih belajar hindari melakukan kewajiban seorang yg berkeluarga. Kalau masih tahapan grahasta jangan lupakan kewajiban dengan meninggalkan keluarga untuk bertapa. Begitu juga sebaliknya kalau sudah bertapa hening jangan lagi ada ambisi tentang harta benda. Begitulah kekurang sadaran akan tahapan dapat menyebabkan tujuan tidak tercapai.

Tahapan adalah anak tangga kehidupan. Perhatikan langkah kita agar tidak salah langkah menapaki tangga ini. Jika terasa membingungkan jangan ragu untuk mencari tongkat penuntun.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

SWADHARMA – Tugas hidup sehari-hari

$
0
0

Om Swastiastu
Om Awignamastu

Ketika mendengar praktek dharma tidak sedikit yang mengartikan sebagai praktek meditasi, japa, dan sembahyang. Praktek dharma sesungguhnya mencakup segala bidang tidak hanya kegiatan keagamaan namun juga kegiatan hidup sehari-hari. Berupaya melaksanakan tugas-tugas kehidupan dengan baik setiap harinya juga merupakan praktek dharma.

Swadharma atau tugas kehidupan sehari-hari biasanya mencakup kerja dan keluarga. Kenyataannya keseharian kita kebanyakan dihabiskan berkegiatan kerja dan keluarga. Jadi berupaya melakukan kerja, merawat dan menyayangi keluarga dgn baik adalah sebuah praktek dharma yang sederhana dan kaya makna. Hal ini sangat baik untuk tujuan pemurnian kesadaran diri.

Melakukan swadharma dgn baik memberikan kita banyak manfaat. Dengan bekerja yg baik sesuai pekerjaan kita tentu akan memberikan hasil materi yang sesuai. Tidak hanya itu bekerja dgn baik juga membuat kita berkarma baik bagi pemberi kerja dan rekan kerja kita. Bertambahnya karma baik akan memberikan jalan terang tidak hanya di kehidupan ini tapi juga di alam kematian nanti.

Berupaya merawat dan menyayangi keluarga adalah praktek dharma mendalam. Hidup berumah tangga juga adalah berkarma baik. Memiliki keturunan berarti memberi jalan bagi Atma untuk lahir kembali memperbaiki karmanya. Menyayangi pasangan dan anak dengan sepenuh hati adalah jalan menuju kebahagiaan di kehidupan sekarang ini maupun di alam kematian nanti. Keluargalah yang akan mengupacarai dan mendoakan keselamatan kita. itulah praktek dharma dalam kehidupan sehari-hari.

Selalu mengupayakan swadharma dengan sebaik-baiknya cepat atau lambat akan menghantarkan kita pada kebahagiaan di dunia dan juga di alam kematian nantinya.

Om Santih Santih Santih Om

Photo Repost dari fb. Balibalibanget –sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live