Quantcast
Channel: Kalender Bali
Viewing all 668 articles
Browse latest View live

Aturan Posisi Tidur Yang Benar Menurut Hindu Bali

$
0
0

Bali, memang menjadi sebuah pulau dengan beribu adat istiadat yang sangat kental dan masih terjaga dengan amat baik.  Hari ini saya akan mencoba memberikan alasan dan pedoman Mengapa Umat Hindu Posisi Tidur tidak Boleh Di Teben. Konsep luan-teben atau hulu-hilir.Konsep ini terkait dengan kosmologi mata angin. Orang Bali umumnya meletakkan tempat tidur searah utara-selatan atau timur-barat. Jadi, ketika tidur, kepala kita ke arah utara atau timur, kaki ke arah selatan atau barat. Mengapa demikian?

menurut Nitisastra VII, 1-2.

” Jika kepalamu di timur, akan panjang umurmu. Jika di utara, engkau mendapatkan kejayaan. Jika letak kepalamu di barat, akan mati rasa cinta padamu, engkau akan dibenci para sahabatmu; dan jika membujur ke selatan, akan pendek umurmu, dan menyebabkan rasa duka cita”.

Tidur itu tidak dilarang, tapi tidur yang sembarangan ada konsekuensinya. Sebagai masyarakat yang dikenal dengan aturan-aturan adat yang kental dan masih terjaga, masyarakat Bali hingga kini masih meyakini bahwa tidur tidak boleh sembarangan. Mulai dari sikap atau posisi tidur,  tempat tidur, hingga bangunan yang boleh dijadikan sebagai tempat tidur pun diatur sedemikian rupa dalam adat Bali. Terdapat tiga macam tempat berisitirahat yang disebutkan dalam sastra Bali, yaitu:

  • Galar: istirahat untuk beberapa saat dengan tidur
  • Galir: istirahat untuk beberapa menit atau pelepas lelah dengan duduk dan bersantai
  • Galur: istirahat untuk perjalanan pulang, yang dalam istilah Bali disebut dengan “mulih ke desa/gumi wayah” alias mati

Seperti dikutip dalam blogsepisunyi.blogspot.com Pada dasarnya, umat hindu sangat mensucikan 9 penjuru arah mata angin. DEWATA NAWA SANGA. Tapi, dalam hal ini, (arah kepala waktu tidur), ada konsep palemahan (tata ruang) yang mengatur dalam hal ini. Dalam tata adat di bali, setiap keluarga hindu bali punya tempat pemujaan (sangah/merajan) yang di bangun di sebelah timur (tepatnya, kaje kangin) dari areal pekarangan yg di tempati. Dan di bali jg ada konsep (me-hulu gunung). Masyarakat hindu bali menggunakan gunung sebagai arah utara.

Nah, untuk lebih mensucikan tempat pemujaan, maka masyarakat hindu di bali mengatur arah kepala untuk tidur dengan sedemikian rupa. Dalam hal ini, kepala ada otaknya, otak sebagai pusat dari semua yang ada pada diri manusia. Maka, dengan sendirinya kepala kitalah yg paling dekat dengan tempat pemujaan. Ini untuk mengingatkan kita untuk selalu dekat, mengingat, dan melaksanakan ajaran hindu. jadi masalah posisi tidur kiat di bali ini bukan AGEM MULE KETO. Dan ada yg lucu disini, ajaran tidur hindu di bali, telah secara tidak langsung membuat penduduk bali mempersatukan diri lewat posisi tidur. Di bali utara dan bali selatan jika tidur dgn posisi sama2 kepala di utara, maka ketemunya kepala dengan kepala. Utara di bali selatan, adalah selatan di bali utara.

Selain Sikap Tidur yang tidak boleh mengarah ke teben, Sikap badan saat tidur juga ada pedomannya. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Kaki tidak boleh menyilang

Percaya tidak percaya, tertidur dengan kaki menyilang (x) akan membuat manusia mengalami mimpi buruk. Meski belum ada bukti ilmiah yang mendukung mitos ini, banyak masyarakat Bali yang sering mengalaminya. Mereka sering bermimpi buruk ketika tanpa sadar tertidur dengan kaki menyilang. Oleh karena itu, masyarakat Bali berusaha meluruskan kakinya sebelum tidur. Selain bertujuan menghindari mimpi buruk, tidur dengan kaki yang lurus juga dipercaya dapat melancarkan aliran darah.

Tidak boleh berselimut hingga menutupi wajah

Tidur dengan seluruh tubuh tertutup selimut membuat kita terlihat seperti orang yang meninggal dunia. Hal ini adalah tabu bagi masyarakat Bali. Menurut kebudayaan mereka, tidur dengan berselimut menutupi seluruh tubuh dapat mengundang energi jahat dalam tidur kita. Jadi, kita hanya boleh berselimut hingga sampai batas leher atau pundak. Jika udara terlalu dingin, maka disarankan untuk menggunakan topi (atau penutup kepala sejenis) untuk melindungi dari udara dingin tersebut.

Lalu bagaimana jika aturan tentang tidur ini dilanggar?

Secara adat atau hukum sosial tidak ada hukuman bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut. Namun, secara “Niskala” akan berdampak pada kehidupan pemakai tempat istirahat yang bersangkutan. Mulai dari sakit hingga kematian. Khusus untuk tempat tidur, memiliki aturan tambahan yaitu; apabila tempat tersebut sudah dianggap selesai dibuat dan sudah pernah digunakan selama 3 hari, maka tempat tesebut dianggap sudah hidup seperti halnya bangunan yang telah diupacarai. Bila ada orang yang berani memotong / merubahnya kemudian setelah itu digunakan sebagai tempat tidur lagi, maka yang memotong / merubah serta yang menggunakannya akan mengalami gangguan dalam kehidupannya. Aturan ini sudah baku, karena sudah banyak yang merasakan, sehingga Adat Bali tidak mengaturnya secara tertulis kecuali yang tertera dalam Kidung Nitisastra. Selain bertujuan untuk memperoleh rasa nyaman, aturan-aturan tidur ini juga diyakini bermanfaat untuk kesehatan. —sumber


Sejarah Patung Kanda Pat Sari Klungkung

$
0
0

“Tempatnya di Perempatan Agung?”

“Patung Catur Muka dong…”

“Catuspatha kali yaaa??”

“Patung Perempatan Agung siihhh…”

“Patung Kanda Pat Sari mungkin?”

Itulah jawaban beberapa masyarakat Kota Semarapura ketika ditanya mengenai patung yang terletak di perempatan Jl. Untung Surapati – Jl. Puputan. Patung yang berada di jantung bumi serombotan ini tentunya sudah tidak asing lagi. Meski begitu, penyebutan nama patung ini masih menuai argumen berbeda-berbeda. Ada yang menyebutnya Patung Catur Muka, Catusphata, dan Kanda Pat Sari. Bagaimana dengan semeton?

Nama asli patung ini sebenarnya adalah Patung Kanda Pat Sari. Patung Kanda Pat Sari sebagai centre Kabupaten Klungkung kerap dijadikan sebagai pusat berlangsungnya suatu acara. Seperti pelaksanaan upacara tawur agung dan pawai ogoh-ogoh, patung ini menjadi pusat perhatian masyarakat Klungkung serta wisatawan asing. Di tempat ini pula diadakan karnaval dan serentetan acara besar lainnya.

Masyarakat di Bali sering menilai patung adalah produk kebudayaan, ekpresi jiwa, sarana pemujaan, seni, identitas, serta sebagai saksi bisu. Jika dihayati dan dirasakan makna patung tidak akan habis dibicarakan. Patung juga kerap dijadikan sebuah icon dari setiap kabupaten. Patung Catur Muka digunakan sebagai icon Kota Denpasar, Patung Dewa Ruci menjadi icon Kabupaten Badung, Patung Kebo Iwa menjadi icon Gianyar, Patung Kanda Pat Sari menjadi icon Klungkung, dan lain-lain. Semua ini adalah karya-karya yang telah mendapat tempat di hati masyarakat. Keberadaan patung-patung ini telah membangun spirit peradaban.

Patungkarya arsitek Ida Bagus Tugur ini memiliki filosofi penting. Empat patung yang mengambil filosofi “Catur Sanak” bersama-sama memperoleh makna dari mitologi tentang air suci yang berasal dari “Sindu Rahasia Muka”. Patung ini berlatar kisah tentang keempat “saudara” manusia saat lahir yakni ari-ari (Sang Anta), tali pusar (Sang Preta), darah (Sang Kala), dan air nyom (Sang Dengen), usai mendapat anugerah berganti nama menjadi Sang Anggapati (Bhagawan Penyarikan) berkedudukan di timur, Sang Prajapati (Bhagawan Mrcukunda) di selatan, Sang Banaspati (Bhagawan Sindu Pati) di barat dan Sang Banaspatiraja (Bhagawan Tatul) di utara.

Menurut budayawan Klungkung Kanda Pat Sari memiliki arti yakni empat saudara yang sudah memiliki suatu kekuatan murni dari unsur-unsur yang memberikan kebahagiaan dalam kehidupan. Empat saudara tersebut lahir dan mati bersama. Ketika ada seseorang yang jatuh, disana akan dilakukan upacara “Ngenteg Bayu”. Upacara itu dilakukan agar saudara-saudara yang tertinggal disana kekuatannya kembali kepada kita, baik itu ari-ari, tali pusar, darah, dan air nyom.

Meski sering disamakan, filosofi antara Catur Muka dan Kanda Pat Sari sebenarnya sangatlah berbeda. Catur muka memiliki arti yaitu bermuka empat yang dimiliki oleh Bhatara Brahma, yaitu berpengelihatan empat pandangan arah penjuru. Sedangkan Kanda Pat Sari adalah empat saudara yang mewakili dari kiblat masing-masing.

Lalu kenapa bisa beredar berbagai istilah untuk menyebut patung ini? Kondisi seperti ini sudah ada sejak zaman kakek nenek kita. Kurangnya pemahaman dan sosialisasi adalah penyebab utama kesalahpahaman masyarakat. Sejak awal masyarakat cenderung menyebut patung itu adalah Patung Catur Muka, sehingga tertanamlah jika itulah penyebutan yang sebenarnya.

Pemerintah sendiri telah memberikan perhatian khusus terhadap patung ini. Terbukti dengan adanya berbagai perawatan dan juga aksesoris lampu yang ditambahkan. Tak hanya pemerintah, namun segenap masyarakat juga harus ikut berkontribusi dalam menjaga eksistensi patung ini sehingga tidak ada lagi salah penyebutan icon khas Kabupaten Klungkung.  —sumber

Sang Kala Tiga, Bhuta Yang Harus Diwaspadai

$
0
0

Hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Budha Kliwon Dungulan merupakan hari yang dirayakan sebagai kemenangan Dharma melawan Adharma. Dalam rangkaian persiapan penyambutan Galungan terdapat berbagai tahapan yang dimulai dari Tumpek Pengatag, Sugihan Jawa & Bali, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan Galungan.

Di samping hal-hal tersebut di atas, ada hal lain yang penting yang harus kita waspadai yang merupakan godaan kita dalam menyambut Galungan. Hal tersebut adalah Sang kala Tiga yang selalu melakukan daya upaya untuk menjebak manusia agar gagal mendapatkan hikmah Galungan.

Sang Kala Tiga yang terdiri dari Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan dan Bhuta Amangkurat yang mengganggu manusia pada saat yang berbeda-beda. Mari telaah satu persatu agar bisa waspada dalam menghadapinya.

  • Sang Bhuta Galungan. Bhuta ini mengganggu manusia bertepatan dengan perayaan penyekeban, yaitu pada hari minggu sebelum Galungan. Bhuta Galungan akan menyerang manusia dengan berbagai cara agar bisa ditaklukan. Jadi pertarungan umat manusia dalam rangka kemenangan Dharma melawan Adharma diuji pertama kali oleh Sang Bhuta Galungan. Galungan sendiri berarti penyerangan. Dengan mengikuti proses penyekeban, dimana kita dituntut untuk berbuat baik, maka diharapkan serangan Bhuta Galungan dapat dinetralisir.
  • Sang Bhuta Dungulan. Dungulan berarti menaklukan. Bhuta ini menyerang pada hari Penyajaan Galungan. Apabila kita tidak waspada semenjak hari penyekeban, maka dapat dipastikan Bhuta Dungulan akan dengan mudah menaklukan kita. Penangkal dari Bhuta Dungulan adalah dengan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan Penyajaan dengan serius dan memasrahkan hasilnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara logika, penaklukan sendiri dapat dihindari apabila kita menguasai pengetahuan seperti Widyadara-Widyadari. Sehingga betapa pentingnya kita melakukan prosesi hari Penyajaan untuk menyambut Galunga dan menghindarkan diri dari Bhuta Dungulan.
  • Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta Amangkurat bersifat menguasai yang mengganggu manusia pada saat Penampahan Galungan. Bhuta ini sangat ganas dan bersifat tidak ada ampun terhadap manusia yang sudah dikuasainya. Itulah sebabnya maka leluhur kita memberikan cara yang sangat tepat untuk menghadapinya yaitu dengan Penampahan Galungan. Penampahan Galungan mengharuskan kita dengan simbolik untuk mematikan sifat hewani yang ada dalam diri kita agar bisa terhindar dari Bhuta Amangkurat dan berhasil merayakan Galungan. Bila dilihat dari segi filosofi tersebut, betapa pengertian Penampahan Galungan yang benar yaitu untuk memadamkan nafsu hewani akan menjadi sangat penting karena bisa menghindarkan kita dari kemunduran.

    Kemenangan dalam menghadapi Sang Kala tiga diwujudkan dengan cara natab byakala pada saat sore hari di hari Penampahan Galungan. Inti dari byakala sendiri adalah penyucian diri kita setelah melalui berbagai godaan dan kemungkinan kekotoran yang melekat di diri kita.

    Saat ini kebiasaan dalam melakukan byakala mendapatkan tantangan dari ketidaktahuan dan kesibukan masyarakat kita. Hal ini bisa disikapi dengan bijaksana dengan cara melakukan pembersihan diri yang dilakukan dengan cara sederhana yang intinya tetap pada tataran penyucian diri.

    Bila melihat betapa proses dan godaan yang harus dilalui sebelum menyambut Galungan sangat berat, maka wajarlah leluhur kita mengatakan bahwa Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Sudah tentu disini harus ditekankan bahwa semua proses harus dilalui dengan benar dan penuh kesadaran akan pentingnya proses tersebut.  —sumber

Larangan Di Pura Penataran Ped

$
0
0

Nusa Penida memiliki daya tarik tersendiri adalah Pura Ratu Gede. Pura ini dipercaya sebagai tempat berstananya Ratu Gede Mas Mecaling, seorang raja yang pernah memimpin bumi Nusa Penida, Klungkung, Bali. Menurut Jero Mangku Made Septarawan, Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling memiliki nama lain yakni Ratu Bhatara Gede Sakti.

Jika orang-orang menyebutnya seperti hal itu merupakan daya  tangkap rasa pemedek tersebut. “Banyak orang yang menyebutkan Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling. Kita tidak bisa salahkan juga, kan sah-sah saja dalam hal penamaan,” kataJero Mangku Made Septarawan seperti dilansir balitribunnews.com.

Selebihnya Jero Mangku tersebut tidak berkenan menjelaskan tentang siapa Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling tersebut. Sebab, ada  purana Pura Penataran Pedyang dapat dijadikan referensi. Berdasarkan Purana Pura Penataran Ped dikisahkan keberadaan Pura Panataran Ped yang dulunya disebut Pura Dalem Nusa, merupakan tempat I Gede Mecaling melaksanakan tapa brata. Di sana I Gede Mecaling memuja Ida Bhatara Siwa memohon untuk menunggalkan bayu, sabdha dan idepnya. Turunlah Hyang Bhatara disertai dengan angin kencang, kilat dan petir. Saat itulah I Gede Mecaling dianugerahi oleh Bhatara Siwa berupa ajian Kandhasanga.

Tiba-tiba rupa I Gede Mecaling berubah. Badannya bertambah besar nan tinggi, kulitnya berwarna hitam, raut wajahnya menyeramkan. Taringnya bertambah tajam dan panjang. Suaranya pun menggetarkan dunia. Kemudian diutuslah Bhatara Indra untuk menaklukkan I Gede Mecaling, akhirnya taringnya dipotong oleh Ida Bhatara Indra. Kemudian I Gede Mecaling kembali melakukan tapa yoga di Ped memuja Ida Bhatara Ludra. Karena ketekunannya, ia pun dianugerahi Panca Taksu oleh Ida Bhatara Ludra.

Kelima taksu tersebut ialah taksu kesakten (kesaktian), taksu balyan (dukun), taksu pangeger (guna-guna yang membuat orang mabuk cinta), taksu panulak grubug (penolak wabah penyakit), taksu anggawe bragala kamaranan (membuat para buta kala tersenyum sendiri dan lupa diri). Setelah mendapatkan penganugerahan dari Ida Bhatara Ludra, I Gede Mecaling menjadi penguasa di Pulau Nusa Penida diiringi oleh sejumlah wong samar.

Mulai saat itu beliau bergelar sebagai Papak Poleng. Dalam hidupnya, I Gede Mecaling tak berhenti melakukan tapa yoga, dan menjelma bagaikan seorang dewa yang bergelar Ida Bhatara  Ratu Mas. Kemudian, di tempat beliau, dibangun pura yang disebut sebagai Pura Penataran Ped dan merupakan salah satu pura Sad Kahyangan yang ada  di wilayah Nusa Penida.

Pura ini sebagai tempat pemuliaan Ida Bhatara Ratu Mas dan Ratu Gede. Disebutkan, sekarang Ida Bhatara yang berstana di Pura Ratu Gede bergelar  Ida Bhatara Ratu Gede dan yang berstana di Pura Penatraan Ped beliau bergelar Ida Bhatara Ratu Mas. Ida Bhatara Ratu Gede merupakan wujud Purusa dan Ida Bhatari Ratu Mas merupakan wujud Pradhana. Ida Bhatara Ratu Gede yang berstana di Pura Ratu Gede dan Ida Bhatara Ratu Mas yang melinggih di Pura Penataran Ped.

Diyakini memiliki sifat angker, maha dahsyat, sakti, juga pemurah, pengasih, serta maha adil dan bijaksana. Beliau memiliki 108 berupa ancangan wong samar yang bersemayam di area sekitar pura. Sewaktu-waktu para wong samar ini dapat menyebarkan wabah panyakit. Untuk itu, ada beberapa jenis upacara dan persembahan untuk menanggulangi  wabah penyakit tersebut. Mulai sasih kapat saat anggara kasih pengempon banjar adat hadir untuk melakukan kegiatan Ngeduk Taman di Pura Taman. Tabuh Rah berupa perang Sata untuk menangkal penyebaran penyakit oleh para wong samar.

Di samping melakukan upacara tabuh rah, secara rutin tiap kajeng kliwon, mulai sasih kanem sampai sasih kaulu juga dilaksanakan upacara caru berupa bol celeng yang dipersembahkan kepada bala ancangan Bhatara Ratu Gede. Serta mundut Ida tapakan berupa Ratu Gede, Ratu Mas berupa Barong ada juga berupa saselohan yang dianggap sakral, semisal kesenian gandrung, sanghyang dedari, dan lain sebagainya. Dan, mohon tirta pakuluh Ida Bhatara untuk dilinggihkan bersamaan ngadegang Ida Tapakan masing-masing perempatan banjarnya.

Adapun yang perlu diingat jika pemedek bersembahyang ke Pura Penataran Pedyakni tidak diperbolehkan kencing berdiri di sekitaran area pura, tidak boleh menggunakan bunga pucuk di dekat pura, tidak boleh menggunakan saput poleng, dan tidak boleh menyanyikan gending janger. —sumber

Akibat Pindah Agama Menurut Hindu

$
0
0

Seseorang pindah agama umumnya disebabkan suatu perkawinan. Mereka memandang bahwa perkawinan itu terjadi karena jodoh. Cara pandang mereka ini sangat keliru dan sangat berbahaya bagi generasi Hindu. Mereka seolah olah berlindung di bawah keagungan brahman padahal mereka itu tidak mempercayai Brahman. kalau memang setiap perkawinan itu karena jodoh, mengapa tidak ada orang eskimo dari kutub kawin dengan orang bali. mengapa tidak ada gadis uganda yang berkulit hitam pekat kawin dengan bujang ganteng dari bali.

Tidak ada mantra mata seloka dalam kitab suci weda yang mencantumkan tentang perkawinan karena jodoh. Brahman hanya mewahyukan hukum untuk dijadikan pegangan hidup umatnya. mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan tinggal kita yang melakoninya. Segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup di dunia maya ini tergantung dari kita. jadi nasi itu kita lah yang menentukannya. mau bernasib baik atau bernasib buruk tergantung dari diri kita.

Perkawinan biasanya diawali dengan adanya interaksi di antara mereka dengan cara saling mengenal nya satu sama lain dilanjutkan dengan berteman kemudian diteruskan ke masalah cinta. Dibenak mereka tidak pernah terpikir bahwa di antara mereka terjadi perbedaan agama pokoknya cinta dulu mengenai urusan agama belakangan.orang hindu yang melakukan cara seperti ini biasanya berasal dari keluarga yang tidak menempatkan agama adalah segalanya “way of life” dalam hidup ini.

Dalam keadaan sudah terlanjur cinta ditambah lagi adanya desakan dari keluarganya maka orang yang mempunyai lemah mental dan lemah keyakinan akhirnya meninggalkan agamanya. ditambah lagi dengan alasan lain yaitu adanya undang undang perkawinan menyatakan pasangan pengantin tidak boleh berlainan agama. dari sinilah pangkalnya orang orang itu pindah agama hindu yang disebabkan lemahnya pemahaman agama hindu sehingga karena cinta saja mereka berani meninggalkan agamanya.

Biasanya jika ada salah satu anggota keluarga pindah agama orang ini berusaha mengajak saudara saudaranya untuk pindah agama. tentu hal ini sangat membahayakan keutuhan keluarga itu pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hindu. Ibaratkan naik kapal bila ada salah satu melakukan sabotase mengebor kapal itu, maka lama kelamaan kapal itu akan tenggelam juga. begitu juga mengenai agama sehingga banyak ditemukan dalam suatu keluarga agama yang dianut yang berbeda beda bahkan ada hanya tinggal orang tuanya saja beragama hindu. orang tua seperti ini meninggal dunia atman yang sangat sengsara. kasihan jadinya.

Hukuman atau Akibat bagi yang meninggalkan Hindu Sesuai Weda antara lain :

  1. Setelah Ajal Tiba Atamannya Tidak akan pernah mencapai alam kebahagiaan, kesempurnaan, dan tujuan tertinggi yaitu moksa.

Kata-kata ini tersurat dalam Bhagavadgita Xvi.23 “Ia yang meninggalkan ajaran-ajaran kitab Suci Veda, ada dibawah pengaruh kama (napsu) tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan dan tujuan tertinggi“.

Mantram ini memberikan tuntunan agar kita jangan meninggalkan kitab suci veda hanya karena menuruti nafsu (kama) maka ybs tidak akan selamat.

Bisa jadi orang yang meninggalkan Hindu di dunia ini dia bahagia, tetapi dapat dipastikan kelak Atmannya akan terseret ke lembah Neraka Dalam Bhagavadgita XVI.19 disebutkan juga : ” Mereka yang kejam membenci Aku, adalah manusia yang paling Hina, yang Aku campakkan tak henti-hentinya penjahat itu ke dalam kandungan raksasa”.

Kalau kita renungkan mantram ini menekankan orang yang pindah agama atau keluar dari agama Hindu sama artinya membenci Brahman, sehingga kelak atmannya patut dicampakkan lembah neraka. Itu akibat perbuatannya sendiri seperti tersirat dalam Atharwa veda II.12.6 ” Perbuatan jahat orang yang berdosa membuat kehidupannya tersiksa”

  1. Setelah Ajal Tiba Atmannya akan tenggelam ke lembah Neraka.

Dalam Manawa Dharma sastra VI.35 ” Kalau ia telah membayar 3 macam hutangnya (Kepada Brahman, leluhur dan orang tua) hendaknya ia menunjukkan pikiran untuk mencapai kebebasan terakhir. Ia yang mengejar kebebasan terakhir ini tanpa menyelesaikan tiga macam hutannya akan tenggelam ke bawah.

Karena dia sudah meninggalkan agama Hindu berarti dia tidak bisa lagi membayar 3 macam hutangnya (tri Rna) , karena mereka tdk mengakui adanya Tri Rna ini. Sering kita melihat orang yang pindah agama saat orang tuanya meninggal dia memakai pakaian adat, dia melakukan sembahyang Hindu saat orang tuanya di aben, padahal dia sudah bukan hindu.

Keluarga mereka menerima seolah-olah tidak ada beban, demikian pula masyarakat tidak perduli melihat hal tersebut. Kalau dikeluarganya mengerti Hindu tentunya yang pindah agama tersebut tidak akan diperbolehkan menyembah orang tuanya, karena akan menghambat jalannya Atman orang tua menuju alam Leluhur dan alam para Dewa.

  1. Setelah Ajal Tiba Atmanya tidak akan ketemu jalan menuju Swargaloka.

Dalam Bhagavad gita III.35 ” Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tiada sempurna daripada dharmanya orang lain yang dilakukan dengan baik, lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain”.

Kita sebenarnya telah beragama hindu sejak Atman, Roh dan Jiwa diceptakan Brahman, bukan saat kita dilahirkan, karena kita percaya dengan reinkarnasi / samsara punarbhawa. Berarti sejak Brahman menciptakan kita selama itu pulalah kita telah beragama Hindu. Bisa jadi kita atman telah berusia ribuan tahun, berarti karma wasana sudah melekat juga sejak ribuan tahun.

Kalau seseorang beragama Hindu sejak Atman diciptakan Brahman, lalu pindah ke agama lain, maka karma wasana di agama lain tidak ada artinya, karena dikumpulkan dalam waktu singkat kendati pun dilakukan dengan disiplin dan ketat.

Sejak dalam kandungan kita telah beragama Hindu. Nenek moyang kita juga beragama Hindu. Bahkan seluruh umat manusia pada awalnya beragama Hindu seperti disebut dalam bhagawad Gita berikut :
Sribhagawan uwaca

Imam wiwaswaite yogam, proktawan aham awyayam, wiwaswan manawe praha, manur ikswakawe’ brawit. Ewam paramparapraptam, imam rajarsayo widuh, sa kalena ‘ha mahata, yogo nastah parantapa. Sa ewa ‘yam maya te’dya, yogah proktah puratanah, bhakto ‘si me sakha cati, rahasyam hy etad uttamam (BG.1-3)
Artinya;

Sri Bhagawan bersabda

Ajaran abadi ini (weda) Aku turunkan kepada WIWASWAN, wiwaswan mengajarkan kepada MANU dan Manu menerangkan kepada IKSWAKU. Demikian diteruskan turun temurun, para Raja resi mengetahuinya, ajaran ini lenyap di dunia bersamaan dengan berlalunya masa yang amat panjang. Yoga yang tua itu pulalah (weda) yang kuajarkan kepadamu sekarang sebab engkau adalah pengikut dan kawan-Ku, sesungguhnya ini sangat rahasia.
MANU (yang menerima ajaran kitab Weda pertama kali) adalah leluhur umat manusia sehingga seluruh keturunannya disebut MANUSIA. Kitab Weda yang diajarkan kepada beliau-beliau inilah yang kembali diajarkan kepada Umat manusia saat ini.
Seperti dikatakan sendiri oleh beliau dalam Bagawad Gita. XV.15 berikut :”  Weda ntakrid wedawid ewa ca ‘ham/ Akulah pencipta weda dan Aku yang mengetahui isi weda. Kitab Weda disebut juga  sastrawiddhi atau sastra brahman karena berasal dari Hyang Widdhi/Brahman/Tuhan YME.
Mereka yang mencela dan menyimpangkan kitab Weda, dan tidak mengikuti ajaran Weda adalah orang-orang bodoh  yang tidak tahu jalan kebenaran dan kehilangan kesempatan untuk mengetahui kebenaran abadi (BG.III.32)
Sedangkan mereka yang selalu mengikuti ajaran Weda dan selalu melaksanakan perintah-perintah kitab Weda dengan penuh keyakinan dan bebas dari kepentingan duniawi akan dibebaskan dari perputaran karma (dibebaskan dari Hukum Karma dan Reinkarnasi) seperti sabda Sri Krisna dalam Bagawad Gita.III.31 berikut :

Ye me matam idam nityam anustisthanti manawah, sraddhawanto ‘nasuyanto mucyante te’pi karmabhih.

Mereka yang selalu mengikuti ajaran-Ku dengan penuh keyakinan dan bebas dari keterikatan duniawi, mereka juga akan dibebaskan dari belengu karma. (bebas dari kelahiran kembali/Reinkarnasi).
Ananyas cintayanto mam, ye janah paryupasate, tesam nityabhiyuktanam, yogaksemam wahamy aham.(BG.IX.22)

Mereka yang selalu menuja-Ku, merenungkan Aku selalu, kepada mereka Ku bawakan segala apa yang mereka tidak punya dan akan Ku lindungi segala apa yang mereka telah miliki.sumber

Legenda Tertelannya Dewi Ratih

$
0
0

Alkisah, di Kerajaan Wisnuloka dipimpin oleh Dewa Wisnu. Kerjaan Wisnuloka dihuni oleh para dewa dan bidadari. Salah satu bidadari itu bernama Dewi Ratih atau Dewi Bulan.

Kerajaan Wisnuloka sering mendapat ancaman dari para raksasa yang bermukim di Bumi Balidwipa. Diantara para raksasa itu, yang paling menakutkan adalah Kala Rau. Ia bertubuh besar dan kekar. Wajahnya sangat menyeramkan. Ia pun sangat sakti. Kesaktiannya melebihi kesaktian beberapa dewa. Kala Rau mengancam akan meyerang Kerajaan Wisnuloka karena cintanya ditolak oleh Dewi Ratih atau Dewi Bulan.

Dewa Wisnu berfikir panjang. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah membagikan tirta amerta (air kehidupan) kepada para dewa. Tirta amerta itu dapat menghindarkan para dewa dari kematian saat Kala Rau menyerang kerjaan Wisnuloka. Dewa Wisnu lalu memberikan kendi yang berisi tirta amerta kepada para dewa. Dewa Wisnu berpesan setiap dewa cukup minum seteguk titra amerta.

Satu demi satu dewa pun minum titrta amerta dari kendi tersebut. Mula-mula Dewa ISwara, kemudian Dewa Sambu, Brahma, Maha Dewa, dan Sasngkara. Ketika geliran tiba pada Dewa Kuwera, Dewa Wisnu mencium bau aneh. Dewa Wisnu merasakan sosok Dewa Kuera mencurigakan. Kecurigaan Dewa Wisnu semakin besar setelah melihat Dewa Kuera meneguk titra amerta berkali-kali.

Tiba-tiba Dewa Wisnu berteriak,”Kamu bukan Kuera! Kamu Raksasa Kala Rau!”

Semua dewa mendengar teriakan Dewa Wisnu terkejut. Dewa Wisnu lalu memanah leher Dewa Kuera palsu itu. Perlahan-lahan Dewa Kuera berubah menjadi Kala Rau. Leher Kala Rau putus dan kepala terpisah dari badannya. Dengan segera, para dewa membuang badan Kala Rau ke bumi. Bangkai tubuh Kala Rau yang dibuang ke bumi berubah menjadi kentungan atau lesung.

Sedangkan kepala Kala Rau yang terpisah dari badanya melayang-layang di angkasa. Kepala itu belum menjadi bangkai karena sempat meminum tirta amerta. Air yang diminumnya baru sampai kerongkongan. Oleh sebab itu, kepala Kala Rau masih tetap hidup.

Pada suatu ketika, saat bulan purnama, kepala Kala Rau berjumpa dengan Dewi Ratih. Kepala Kala Rau lalu menghadang Dewi Ratih.

“Dewi Ratih! Kamu tidak dapat menghindar dari ku lagi! Kamu tidak dapat menolak cintaku. Kini kamu menjadi milikku!” kata Kala Rau kepada Dewi Ratih.

Tubuh Dewi Ratih gemetar mendengar kata-kata Kala Rau. Ia tidak dapat menghindar saat kepala Kala Rau semakin mendekat dan mendekapnya. Tubuh Dewi Ratih yang cantik itu perlahan-lahan tertelan Kala Rau.

Raksasa yang rakus itu mengira tubuh Dewi Ratih masuk ke perutnya. Ternyata dugaan Kala Rau salah. Sesaat kemudian, sedikit demi sedikit tubuh Dewi Ratih muncul kembali.

Ketika tubuh Dewi Ratih tertelan kepala Kala Rau, Bumi Balidwipa menjadi gelap. Peristiwa tertelannya tubuh Dewi Ratih oleh Kala Rau dipercaya oleh penduduk Balidwipa sebagai penyebab terjadinya Gerhana Bulan.  Oleh karena itu, setiap terjadi Gerhana Bulan penduduk beramai-ramai memukul kentungan, lesung, dan alat  bunyi-bunyian lain. —sumber

Makna dan Cara Pelaksaan Siwaratri

$
0
0

Di dalam agama Hindu terdapat Hari Raya Siwaratri, yang dilaksanakan setahun sekali setiap purwaning tilem ke-7 (sasih kepitu) tahun Caka.  Hari Raya Siwaratri ialah hari suci yang digunakan dalam rangka melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa.

Pengertian  dan Makna Siwaratri

Siwaratri artinya malam Siwa. Jika diuraikan terdiri dari 2 kata, yaitu Siwa dan Ratri. Siwa dalam bahasa Sansekerta berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan dan juga Siwa dapat diartikan sebagai sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Tuhan yang diberi nama atau gelar kehormatan Dewa Siwa, dalam fungsi beliau sebagai pemerelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk kebahagian.

Sedangkan Ratri artinya malam, yang dapat diartikan juga sebagai kegelapan. Jadi Siwaratri dapat diartikan sebagai malam pemerilina atau pelebur kegelapan dalam diri dan hati untuk menuju jalan yang lebih terang.

Dalam memaknai Hari Raya Siwaratri tidak sedikit yang beranggapan bahwa Siwaratri bertujuan untuk melebur dosa. Benarkah demikian? Lantas bagaimana dengan adanya Hukum Karma Phala? Jika dosa bisa dilebur hanya dalam satu malam (Siwaratri ). Menurut pengamat agama Gusti Ketut Widana mengatakan, secara tatwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri. ”Secara tatwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya ‘penyatuan’ Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan penguasa jagat raya itu sendiri.

Sebagai malam perenungan, kita mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini kita memohon diberi tuntunan agar dapat keluar dari perbuatan dosa.

Cara Pelaksaan Siwaratri

Secara rinci Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari Siwaratri adalah sebagai berikut:

  1. Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
  2. Monabrata atau berdiam diri dan tak berbicara. Pelaksanaannya dilangsungkan di pagi hari dan dilakukan selama 12 jam tepatnya dari jam 06.00 – 18.00.
  3. Mejagra atau tidak tidur selama semalaman. Pelaksanaannya berlangsung dari pagi sampai pagi hari di keesokan harinya yang dilakukan selama 36 jam dari jam 06.00 – 18.00 di keesokan harinya.
  4.  Upawasa atau tidak makan dan tidak minum. Puasa ini dilakukan selama 24 jam dari jam 06.00 – 06.00. Apabila sudah 12 jam maka diperbolehkan untuk makan dan minum dengan syarat bahwa nasi yang dimakan ialah nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).

Dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula  dalam melaksanakan Siwaratri.

  1. Tingkat Utama, melaksanakan :
    1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara),
    2. Mejagra (berjaga, tidak tidur), 
    3. Upawasa (tidak makan dan tidak minum)
  2. Tingkat Madya, melaksanakan :
    1. Mejagra, 
    2. Upawasa
  3. Tingkat Nista, melaksanakan :
    1. Mejagra

Dalam menjalankan kegiatan Siwaratri diakhiri dengan melakukan persembahyangan dan memohon kepada Sang Hyang Siwa supaya diberikan berkah dan ampunan, dan juga dikembalikan menjadi manusia yang suci dan paripurna serta memohon ditunjukan jalan terang agar terhindar dari perbuatan dosa.

Jadi dapat disimpulkan bawah Hari Raya Siwaratri bukanlah hari penebusan dosa melainkan perenungan dosa yang selama ini telah kita perbuat. Hukum Karmaphala tetap akan berlaku, akan tetapi diyakini dengan menjalankan Brata Siwaratri niscaya kedepannya kita akan mampu mengendalikan diri sehingga dapat terhidar dari perbuatan dosa.

Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Jika terdapat penjelasan yang kurang tepat atau kurang lengkap. Mohon dikoreksi bersama. Suksma —sumber

Alasan Kelapa Pada Daksina Harus Dikerik Bersih

$
0
0

Salah satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah kelapa yang dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai bahan pokok pembuatan banten daksina serabutnya harus dikerik.

Serabut kelapa itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria yang sangat pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria tidaklah pantas mendapatkan penghormatan Daksina. Demikian pula pemberian yang terhormat yang disebut daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih yang bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang mampu melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus merusak indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik.

Yang dimaksudkan disini adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad menyebutkan indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta, pikiran ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat kereta itu sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu larinya cepat dan terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya kuda tetap harus berada dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut kelapa yang harus dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat indria yang dapat menyesatkan sang diri dari samsara.

Dalam upacara-upacara besar banten Daksina digunakan daksina yang besar pula. Misalnya upacara penebusan Oton yang bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran. Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton. Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan daksina gede. Daksina gede itu tergantung Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya lima butir, telornya lima butir, pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga berjumlah lima.

Banten Daksina menurut Lontar Parimbon Bebanten dalam bentuk uang ada sembilan jenis yaitu, Utamaning Utama 160.000, Madyaning Utama 80.000, Nistaning Utama 40.000, Utamaning Madya 50.000, Madyaning Madya 25.000, Nistaning Madya 16.000, Utamaning Nista 15.000, Madyaning Nista 8.000, Nistaning Nista 4.000. ini adalah sembilan gambaran umum tentang tingkat Daksina. Dalam bentuk banten Daksina dapat dibagi menjadi lima yaitu :

1. Daksina Alit untuk upacara sehari-hari. Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.

2. Kalau isinya dilipatkan dua kali disebut Daksina pakala-kalaan. Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.

3. Kalau isinya dilipatkan tiga kali disebut Daksina Krepa, Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.

4. Kalau empat kali disebut Daksina Gede atau Daksina Pamogpog. Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar.

5. Kalau isinya dilipatkan lima kali disebut Daksina Galahan, demikian beberapa jenis Daksina dalam bentuk uang dan dalam bentuk Banten. Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar. —sumber


Sejarah Pura Besakih, Pura Terbesar di Bali

$
0
0

Pura Besakih terletak di Kecamatan Rendang,Kabupaten Karangasem Propensi Bali. Berdiri dikaki Gunung Agung. Pura Besakih adalah pura terbesar di Bali.Wisatawan asing sering menyebutnya dengan sebutan the mother temple of Bali. Pura Besakih adalah komplek pura,dimana Pura Penataran Agung merupakan pusat dari pura-pura yang ada di dalam area pura Besakih tersebut.

Besakih asal katanya dari kata Basuki yang artinya selamat, kemudian disebut Basakih atau Besakih. Pura Besakih asal mulanya didirikan oleh Rsi Markandya . Rsi Markandya adalah seorang Yogi dari India yang tinggal di Jawa Timur tepatnya di Gunung Rawung. Karena ketinggian ilmu bhatinnya ,kesucian rohaninya,serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau maka oleh rakyat,beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang.Beliau juga seorang pertapa. Mulanya beliau bertapa di Gunung Demulung,sekian waktu kemudian beliau bertapa ke Gunung Hyang (Dieng di Jawa Tengah). Sekian waktu lamanya bertapa,akhirnya beliau mendapat Pawisik wahyu dari Tuhan agar merabas hutan di Pulau Dawa ( Bali ) untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.Demikianlah kemudian beliau berangkat ke tanah Bali disertai pengikutnya yang pertama yang berjumlah 8000 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Sesampainya ditempat yang dituju,beliau memerintahkan pengikutnya agar mulai merambas hutan. Tempat itu merupakan hutan belantara yang ditumbuhi kayu yang lebat dan semak belukar .

Pada saat itu Pulau Bali belum terpisah seperti sekarang dengan Pulau Jawa. Artinya Selat Bali ( Segara Rupek ) belum ada pada saat kedatangan Rsi Markandya ke Bali.Sekian lama merambas hutan,karena pada saat mulai merambas hutan itu tidak didahului dengan upacara (yadnya ) maka murkalah Sang Hyang Widhi. Para pengikut Rsi Markandya banyak yang sakit dan meninggal,juga tidak sedikit yang dimakan binatang buas. Sang Rsi sangat berduka. Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya untuk menghentikan perambasan. Dengan hati yang sedih beliau kemudian mengajak pengikutnya untuk kembali ke Jawa. Beliau kembali ketempat pertapaannya semula untuk mohon petunjuk kepada sang Hyang Widhi.Setelah beberapa lamanya beliau berada dipertapaannya, timbul cita-citanya kembali untuk melanjutkan merambas hutan tersebut.

Pada suatu hari yang baik,beliau kembali berangkat ke tanah Bali. Kali ini beliau mengajak pengikutnya yang kedua berjumblah 4000 orang yang berasal dari desa Aga yaitu penduduk yang mendiami lereng Gunung Rawung . Turut dalam rombongan itu para Pandita atau para Rsi. Para pengikutnya membawa perlengkapan beserta alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam di tempat yang baru.Sesampainya ditempat yang dituju,Rsi Markandya beserta para Pandita atau para Rsi melakukan yoga samadhi ,weda samadhi,melakukan upacara Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya serta Pratiwi Stawa disertai doa penolak seluruh hama. Selesai melakukan upacara lalu beliau memerintahkan pengikutnya mulai merambas hutan,menebangi kayu-kayu mulai dari sebelah selatan menuju ke utara.Ketika dirasa sudah cukup luas,kemudian Rsi Markandya memerintahkan pengikutnya menghentikan perambasan.

Kemudian tanah itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya untuk dipergunakan sebagai: sawah,tegalan dan pekarangan rumah.Demikianlah pengikut Rsi Markandya yang berasal dari Desa Aga ( penduduk lereng Gunung Rawung Jawa Timur ) menetap di tempat itu sampai sekarang. Ditempat bekas dimulainya perambasan hutan itu oleh Sang Rsi/Yogi Markandya menanam kendi (caratan) berisi air disertai 5 jenis logam yaitu: emas,perak,tembaga,perunggu dan besi yang disebut Panca Datu dan permata Mirahadi ( mirah yang utama ) dengan sitertai sarana upakara selengkapnya dan diperciki Tirta Pangentas ( air suci ).

Tempat menanam 5 jenis logam itu diberinama Basuki yang artinya selamat. Kenapa disebut demikian,karena pada kedatangan Rsi Markandya yang ke dua beserta 4000 pengikutnya selamat tidak menemui hambatan atau bencana seperti yang dialami pada saat kedatangan beliau yang pertama. Ditempat itu kemudian didirikan palinggih. Lambat laun di tempat itu kemudian didirikan pura atau khayangan yang diberi nama Pura Basukian. Pura inilah cikal-bakal berdirinya pura-pura yang lain di komplek Pura Besakih. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan pura ditempat itu dimulai sejak Isaka 85 atau tahun 163 Masehi. Pembangunan komplek pura di Pura Besakih sifatnya bertahap dan berkelanjutan disertai usaha pemugaran dan perbaikan yang dilakukan secara terus menerus dari masa kemasa. —sumber

Dongeng Asal Usul Bulan Sabit Di Dahi Dewa Siwa

$
0
0

Suatu kali Parwati bertanya pada Siva, ” Tuan, mohon diceritakan  mengapa anda memakai bulan sabit di dahi anda? Apakah yang melatar belakanginya ? Siva kemudian memberitahukan ceritanya.

Pada masa lampau dimana Parwati masih dalam inkarnasi seorang wanita bernama Sati, Putri raja Daksa. Sebagai Sati dia menikah dengan Siva. Karena Daksa telah menghina Siva, suaminya, maka Sati memutuskan untuk bunuh diri.

Setelah kepergian Sati, Siva tidak lagi mendapatkan kebahagiaan dalam apapun. Beliau mulai tinggal di hutan dan melakukan tapasya. Karena saking hebatnya tapa brata Siva, sehingga semua pepohonan yang tumbuh didekat pertapaan beliau hancur menjadi abu. Ketika Siva mulai berpindah-pindah tempat, maka berbagai tempat hangus terbakar. Hal ini membuat para dewa tercengang. Mereka kemudian meminta nasehat Brahma.

Brahma bersabda, ” Sebaiknya kita membawa dewa bulan, Candra dan menghadiahkannya pada Siva. Sinar Candra yang menyejukkan itu akan membuat Siva senang dan tenang”. Para Dewa kemudian menaruh Candra dalam sebuah kendi amrta. Mereka juga membawa sebuah kendi lain yang berisikan racun. Dengan membawa kedua kendi itu, mereka pergi dan mempersembahkannya kepada Siva.

Brahma bersabda ” Para Dewa membawakan anda dua kendi ini sebagai hadiah, Mohon terimalah”. Pertama-tama Siva mengambil kendi yang berisikan amrta. Segera setelah dibuka, Candra yang berwujud bulan sabit segera menempel di dahi Siva. Selanjutnya Siva mengambil kendi yang berisi racun dan menyentuh isi kendi itu dengan jari tengahnya dan mengoleskannya dilehernya hingga berwarna biru. Oleh karena itulah Siva juga bergelar Nilakantha yang berarti leher yang biru. Dan karena bulan sabit yang ada di dahi beliau maka Siva juga bergelar Candrasekhara. Setiap kali melihat bulan sabit itu Siva jadi terhibur. —sumber

Kisah Dewa Siwa Dalam Berbagai Wujud

$
0
0

Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan

Āgama.Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri telah ada, yaitu :

Kelahiran Rudra

Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.

Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.

Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Çiwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.

Siwa Mahādewa

Dalam kitab Mahābhārata, Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Siwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Siwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.

Pertama kalinya Çiwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Siwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b).

Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Çiwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Çiwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Çiwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Çiwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.

Siwa Trinetra

Uraian tentang Siwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Siwa. Sati, anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Ciwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”.

Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Çiwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Çiwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Çiwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Çiwa “terbangun”. Çiwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Çiwa “jatuh cinta” pada Parwati.

Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Çiwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Çiwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara /Kartikeya atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka /Tarkasura.

Siwa Nilakantha

Çiwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Çiwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Çiwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Çiwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.

Asal Mula Atribut Siwa

Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Çiwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Ciwa.

Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Çiwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Çiwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Çiwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.

Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Çiwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Çiwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Çiwa. Çiwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Çiwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Çiwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.

Sapi Jantan Wahana Dewa Siwa

Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.

Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Çiwa. —sumber

Pembagian Warisan Kepada Perempuan Dalam Agama Hindu Bali

$
0
0

Wanita Bali terkenal gigih, pekerja keras, menghormati martabat keluarga. Namun, wanita Bali terkenal pula pasrah menerima keadaan buruk, bahkan warisan pun tidak ia terima. Lebih sedih lagi, masih ada anggapan lahir sebagai wanita adalah lahir sebagai manusia kelas dua. Kalau dana pendidikan keluarga tidak cukup, anak wanita tidak disekolahkan, atau terpaksa berhenti bersekolah. Untuk apa bersekolah tinggi, toh setelah besar diambil orang lain.

Nasib buruk wanita Bali itu sekarang mulai banyak diperjuangkan lembaga adat dan lembaga keagamaan. Lembaga adat itu adalah Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali dan lembaga keagamaan itu adalah Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Bahkan yang jarang diketahui oleh orang Bali adalah adanya Pesamuhan III MUDP Bali tahun 2010 yang memutuskan untuk memberi warisan kepada anak-anak wanita, yang selama ini tak dapat apa-apa.

Bahkan besar warisan itu pun sudah ditetapkan jumlahnya. Anak lelaki mendapatkan satu bagian sementara anak wanita mendapatkan setengah. Berapa pun keluarga itu punya anak, pembagian warisan ditetapkan bahwa yang wanita mendapat separoh dari anak lelaki. Menarik pula bahwa dasar yang dipakai adalah “tradisi mengangkut barang”, di mana anak lelaki biasa memikul (negen) barang, jadi di kedua bagian ada barang. Sementara anak wanita hanya menyunggi (nyuwun) barang. Jadi sudah pasti isi pikulan (apenegen) dua kali dari isi yang disunggi (asuun). Apakah ini dicari-cari entahlah, yang jelas dasar sastra agama memang tidak ada dalam pembagian warisan.

Bagaimana dengan keputusan PHDI? Pada Mahasabha XI PHDI di Surabaya akhir Oktober lalu ada rekomendasi tentang “menyayangi wanita”. Ada delapan point rekomendasi “menyayangi wanita” namun tak satu pun menyebut soal warisan. Apalagi mengatur jumlahnya.

Namun kalau kita membaca pengantar rekomendasi ini, jiwa dari rekomendasi PHDI itu sangatlah mulia untuk kaum wanita dan betul-betul ada keberpihakan dalam mengangkat harkat kaum wanita Hindu. Dalam pengantarnya sudah dikutip sloka Manawa Dharmasastra I.32 yang intinya adalah laki-laki dan wanita semuanya ciptaan Tuhan dengan kedudukan yang tunggal dan sejajar. Yang membedakan adalah perannya dalam panggung kehidupan ini. Lalu dikutip pula sloka Manawa Dharmasastra III. 38 yang menyebutkan: “di mana wanita dihormati, di sanalah para dewa senang dan melimpahkan anugrahanya. Tetapi di mana wanita tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang memberikan pahala mulia”. Jadi, percuma kita melakukan ritual yadnya kalau di saat itu wanita dilecehkan.

Ke delapan point itu pun kalau kita resapi dengan seksama merupakan “warisan berharga” bagi wanita Bali yang beragama Hindu. Keluarga itu wajib menyayangi anak wanita seperti halnya menyayangi anak lelaki. Wajib memberikan pendidikan yang setara. Wajib memenuhi kebutuhan yang bersifat fisiologis, psikologis, kasih sayang, ekonomi, sosial dan spiritual. Tidak melakukan kekerasan apa pun kepada anak-anak, termasuk anak wanita. Tidak melakukan tindakan diskriminatif  kepada anak wanita.

Tidak disebutkan ada pembagian warisan, namun dengan memberlakukan anak wanita sejajar dengan anak lelaki maka inilah warisan yang utama. Kenapa PHDI sebagai lembaga agama tidak menentukan anak wanita harus mendapat warisan yang berupa harta, apakah itu berupa tanah, bangunan dan sebagainya ketika dia dipinang dan kawin? Persoalannya, jika ditinjau dari kajian agama maka itu sangatlah sulit. Dasar sastra agama juga tidak ada. Sistem perkawinan dalam tradisi masyarakat Hindu di Bali adalah anak wanita masuk ke dalam keluarga laki-laki. Wanita sebagai pradana mengikuti lelaki sebagai purusa dan itu dengan menggunakan ritual yang sakral. Anak wanita melaksanakan upacara mepamit di merajannya dan saat itu secara spiritual anak wanita yang kawin itu menyatu dengan keluarga suaminya. Akan menjadi terbalik kalau sistem perkawinan ini memakai sistem nyentana, di mana purusa adalah si wanita.

Dengan sistem perkawinan ini maka warisan bagi anak wanita lebih tepat diberikan kepada anak wanita sebelum melaksanakan perkawinan. Jadi semasih dia dalam naungan keluarga awal. Kalau keluarga itu memang berada, selain pendidikan yang tinggi dan segala kebutuhan lainnya terpenuhi, bisa pula si anak wanita dibelikan rumah, mobil dan seterusnya. Lalu ketika kawin diberikan “bekel” (sebagai modal) berupa uang. Itu yang dianggap lebih tepat dibandingkan harus hitam putih membagi warisan menjadi apenegen dan asuun.sumber

Alasan Rumah Bali Kuno Tidak Ada Sanggah Kemulan

$
0
0

Dulu di desa-desa Bali aga tidak ada sanggah kamulan atau pura di rumah. Keberadaan sanggah kamulan berkembang setelah hadirnya rumah modern. Hal itu terjadi karena rumah Bali kuno di desa-desa menggunakan model pondok seka roras, yaitu rumah yang bertiang 12.

Berbeda dengan masyarakat Bali selatan, hampir semua rumah memiliki sanggah kamulan atau lebih umum disebut sanggah. Lebih-lebih rumah yang menggunakan konsep ‘bale agung’ atau umah gede. Dimana pada rumah ini memiliki banyak bale atau bangunan, seperti bale daja, bale dauh, bale delod, bale dangin, dan bangunan pelengkap lainnya.

Sepintas kita melihat perbedaan yang sangat mencolok, seolah-olah konsep rumah masyarakat Bali Aga tak sesuai aturan. Akan tetapi ketika kita telaah ternyata esensinya sama saja. Pondok seka roras yang dikenal dalam masyarakat Bali merupakan miniatur dari umah gede. Dalam rumah seka roras ini terdapat ambe (di selatan), peluangan (halaman rumah di dalam ruangan), bedawan (bedauhan/barat), patokan (pusat/tengah), bedanginan (timur), dan pawan atau paon (dapur).

Menariknya, meskipun dapur di dalam rumah berbahan serba kayu, beratapkan ‘belu’ (sejenis ilalang), maupun bilahan bambu, akan tetapi jarang sekali terjadi kebakaran. Demikian pula tembok bangunannya, meski bahannya dari ‘keladang’ tanpa perekat semen, hanya menggunakan tanah merah, namun temboknya mampu bertahan puluhan tahun, padahal jika sengaja didorong mudah sekali roboh.

Diantara beberapa ruangan dalam rumah seka roras, bedanginan dianggap sebagai ruangan sakral, dikeramatkan, didalamnya terdapat tempat suci disebut planggatan, katanya di Bali timur disebut Kajan. Planggatan inilah dianggap sebagai ‘pura’ di rumah. Akan tetapi, meski dianggap tempat suci, fungsinya tidak sama dengan sanggah Kamulan, hanya berfungsi sebagai pengayingan. Hanya upacara kecil saja yang boleh dilakukan di planggatan. Sedangkan sanggah kamulan fungsi utamanya sebagai pemujaan kepada leluhur, terutama di gedong rong telu. Bilamana sebuah keluarga akan melaksanakan upacara besar maka seseorang membuat Sanggar Surya berbahan bambu.

Oleh karena tidak ada rong telu tempat stana leluhur di planggatan maka masyarakat yang memiliki atau mewarisi konsep rumah sekaa roras memiliki palinggih atau pesimpangan dewa Hyang, fungsi dan bentuknya hampir sama dengan sanggah kamulan. Bedanya, palinggih dewa hyang diempon oleh banyak orang (kurang lebih 20-50 kk), sedangkan sanggah kamulan hanya diempon oleh satu keluarga atau orang yang tinggal menetap dalam rumah bersangkutan.

Seiring perkembangan jaman, kini semakin banyak masyarakat Bali Aga ataupun masyarakat yang mewarisi konsep rumah seka roras sudah membangun sanggah kamulan di masing-masing rumah atau setidaknya memiliki pelingih Dewa Raksa dan Kala Raksa apabila bangunan rumahnya tidak lagi berbentk seka roras (saka roras). Melihat fungsi sanggah kamulan dan palinggih dewa hyang hampir sama, maka keluarga yang telah memiliki sanggah kamulan seharusnya tidak perlu lagi palinggih dewa hyang karena dewa hyang atau leluhur telah berstana di sanggah kamulan.

Bilamana setiap anggota pangempon dewa hyang sudah memiliki sanggah, idealnya palinggih dewa hyang dinaikan menjadi pura panti/pura ibu (paibon).

Keberadaan pondok seka roras era sekarang semakin termarjinalkan, dianggap kuno, milik orang miskin. Tak jarang si pemilik rumah seka roras menelantarkan rumah kuno ini, padahal rumah seka roras termasuk rumah keramat karena di dalamnya terdapat pelanggatan. Oleh sebab itu, apabila hendak menghancurkan rumah seka roras harus dibuatkan upacara atau banten pelebur, pangesengan dan pengayut karena menghancurkan rumah seka roras hampir sama dengan menghancurkan sanggah kamulan, dan tentunya si pemilik rumah seka roras yang sudah dihancurkan harus memiliki sanggah kamulan baru sebagai pengganti planggatan. Sebab, di planggatan tempat stana atma atau semua roh keluarga kita, kita-kita yang masih hidup maupun yang sudah meningal.

Tak sedikit masyarakat menderita penyakit aneh gara-gara menelantarkan rumah seka roras atau memposisikan rumah tersebut pada tempat yang tidak semestinya, seperti misalnya membangun bangunan baru di sebelah timur seka roras, membangun rumah baru di duur (atas) rumah seka roras. Akibatnya rumah seka roras menjadi leteh atau kotor, tentunya berakibat disharmoni dalam keluarga, seperti sakit-sakitan, rezeki mandeg/sret, dan lain sebagainya. —sumber

Pangunyan Sasih, Ramalan Cuaca Bulanan Menurut Hindu Bali

$
0
0

Gumi ngancan wayah, masan ujan panes, masan panes ujan.

Bumi sudah tua renta, musim hujan kering, musim kemarau turun hujan’ demikianlah kurang lebih komentar masyarakat lokal. Masyarakat awam menganggap hal ini sebagai pertanda bahwa dunia semakin aneh, kiamat sudah dekat. Benarkah demikian?

Sebagai orang Hindu tidaklah tepat beranggapan demikian, karena dalam ajaran Hindu ada pengetahuan astronomi, yang kemudian secara sistematis telah diwujudkan ke dalam bentuk kalender. Melalui kalender Hindu kita bisa memprediksi cuaca, baik bulanan maupun harian. Untuk prediksi cuaca bulanan dapat diketahui melalui pangunyaan sasih.

Pangunyan sasih terdiri dari dua kata yaitu Pangunyan dan sasih. Pangunyan berasal dari kata “unya” mendapat sengau “ng” kemudian mendapt awalan “an” (pa + ng + unya + an). Uya (ngunya) artinya berkunjung. Sasih berarti bulan. Pangunyan sasih artinya kunjungan bulan. Yang dimaksud adalah kunjungan suatu bulan (sasih) tertentu kepada bulan yang lainnya sehingga terjadi perubahan sifat bulan yang mengakibatkan perubahan musim. Misalnya sasih kanem ngunya kapitu (Kanem-kapitu) artinya bulan kanem mengambil sifat bulan katujuh (Kamus Bali Indonesia, 1978: 631, sebagaimana dikutip dari blog Sudarma, 2011).

Dalam setahun terdapat 12 sasih, enam bulan termasuk musim kemarau (Jyesta, Sadha, Kasa, Karo, Ketiga, Kapat), enam bulan berikutnya masuk ke dalam musim penghujan (kalima, kenam, kepitu, kawulu, kesanga, kedasa).

Dari pertemuan dua sasih, kita bisa memprediksi cuaca bulanan, seperti contoh misalnya yang terjadi pada tahun ini, dimana pada sasih Kesanga ngunya Karo, Sasih Kedasa juga ngunya Karo. Dari dua sasih ini terjadi penyatuan antara sasih penghujan bertemu sasih kemarau. Akibatnya terjadilah jarang hujan. Bilamana sasih yang termasuk sasih penghujan bertemu sasih penghujan, maka akan sering terjadi banjir besar, seperti misalnya sasih Kepitu ngunya Kawulu atau Kesanga ngunya Kepitu.

Sedangkan pada bulan ini atau sasih Sadha agak tidak tepat ramalan cuacanya, dimana pada sasih Sadha ngunya kapat, seharusnya jarang hujan, namun sering hujan. Kenapa begitu? hal ini terjadi akibat sasih Jyesta terjadi dua kali (dua bulan), dikenal sebagai mala Jyesta, sehingga sasihnya bergeser satu bulan, yang seharusnya sudah sasih Kasa. Bagaimana pengunya-ngunyaan sasih kasa?

Sebagaimana diketahui, sasih Kasa ngunya Kesanga, Sasih Karo ngunya Kawulu. Dari pengunya-ngunyaan ini wajarlah kalau bulan ini dan bulan berikutnya akan sering hujan, sedangkan pada musim penghujan beberapa bulan lalu terjadi sebaliknya; jarang hujan, karena pada sasih Kesanga dan Kedasa ngunya Karo.Bahkan sasih Kawulu ngunya Kasa.

Melihat dari pengunya-ngunyaan dari beberapa bulan lalu hingga beberapa bulan berikutnya, dalam setahun hampir merata turun hujan, dengan kata lain hujannya hampir setahun.

Panas menyentak atau menimbulkan kering kerontang di bumi bilamana sasih musim kering menyatu dengan sasih musim kering, umpamanya sasih Ketiga ngunya Karo, Ketiga ngunya Kasa, dsb. Akan terjadi sebaliknya bila sasih penghujan bertemu sasih penghujan, umpamanya sasih Kepitu ngunya Kepitu, Kewulu ngunya Kesanga. Berpeluang banjir besar berulang kali.

Bagaimana sistem ini bekerja? Saya bukanlah seorang astronom, tetapi hifotesa sederhana ini bisa menjelaskan. Sistem Kalender dibuat berdasarkan kedudukan benda-benda angkasa di langit. Kedudukan planet-planet dan bintang-bintang ini berpengaruh terhadap suhu di bumi, suhu ini berpengaruh terhadap arah angin, angin berpengaruh terhadap kelembabpan udara, kelembabpan udara berpengaruh pada cuaca; cerah, panas, berawan, hujan. —sumber

Upacara Menek Bajang

$
0
0

Masyarakat Bali memang terkenal sangat patuh dan taat terhadap segala jenis perintah agama, tradisi, dan adat sosial budayanya baik yang tercermin dalam peribadatan, upacara keagamaan maupun dalam taraf hubungan sosial kemasyarakatan baik antar sesama manusia, manusia dengan alam atau manusia adengan hewan. Nah, salah satu hal yang akan dibahas kali ini ialah bentuk ritual yang disebut dengan Upacara Menek Kelih yang sudah dilaksanakan masyarakat Hindu Bali sejak zaman dulu kala.

Apa yang dimaksud dengan Upacara Menek Kelih ini? Pada intinya, upacara ini berisi ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kenikmatan dan keselamatan yang telah diberikan, sekaligus juga bentuk permohonan supaya senantiasa dituntun dan dijaga dalam jalan yang benar dan baik serta dijauhkan dari hal-hal yang justru bersifat marabahaya dan menjadi petaka bagi umat manusia. Upacara Menik Kelih ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh para orang tua.

Kapan pelaksanaannya? Biasanya Upacara Menik Kelih kerap dilakukan ketika orang tua yang memiliki anak yang umurnya sudah beranjak dewasa. Kira-kira sekitar 14 tahun, yang sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Untuk anak laki-laki disebut dengan Ngeraja Singa atau Menek Taruna dan untuk perempuan disebut Ngeraja Selawa atau Menek Taruni/ Bajang/ Deha.

Upacara Menek Kelih ini  bisa dilaksanakan di rumah dan dipimpin oleh seorang pendeta atau yang tertua dalam lingkungan keluarga. Upacara ini dilakukan  setelah selesai datang bulan atau menstruasi pertama atau dapat pula dicarikan hari baiknya. Upacara Menek Kelih ini bisa dilakukan secara massal dalam lingkup Dadia, Banjar, Desa, atau campuran ketiganya. Adapun Manfaat dari upacara massal ini adalah :
–  Untuk menghemat biaya
–  Untuk Mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan
–  Untuk Menumbuhkan rasa persatuan-kesatuan dan gotong-royongan sesama warga masyarakat

Sarana/sesajen upacara Menek Kelih
Untuk Wanita :
–  Banten pabyakala
–  Banten prayascita
–  Banten dapetan
–  Banten sesayut tabuh rah

Untuk Pria:
–   Banten sesayut ngraja singa.
–   Banten padedarian.

sumber


Upacara Ngempugin, Tradisi Khas Saat Pertama Kali Gigi Anak Tumbuh

$
0
0

Tradisi umat Hindu Bali memang cukup unik dan menarik dimana hampir setiap peristiwa yang berkaitan dengan segala fase kehidupan masyarakatnya ada peringatan berupa upacara. Makanya tak heran jika jumlah upacara tradisi umat Hindu Bali secara detilnya bisa berjumlah puluhan. Contohnya, Upacara Negmpugin yang dilakukan ketika tumbuhnya gigi pada anak mereka.

Seperti apa Upacara Ngempugin ini? Dan apa tujuan yang ingin dicapai ketika masyarakat Hindu secara umum merayakan bentuk upacara semacam ini? Sebagaimana telah disinggung bahwa jenis upacara ini memiliki makna pertama kalinya tumbuh gigi si anak. Tujuannya dilaksanakan upacara ini ialah untuk melakukan permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa supaya gigi tersebut bisa tumbuh dengan baik dan mulus.

Dalam kebiasannya, waktu ketika tumbuhnya gigi anak itu ketika sang anak berusia antara 8 bulan sampai 1 tahun. Dimana pertumbuhan gigi pada anak biasanya akan diikuti dengan mulai berjalan. Nah, dalam kepercayaan masyarakat Hindu peristiwa semacam ini patut untuk diupacarakan sebagai manifestasi rasa syukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa supaya dalam pertumbuhannya sang anak bisa sempurna.

Upacara Ngempugin juga merupakan pemujaan dan bentuk persembahan kepada para dewa sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Agung. Adapun dewa-dewa tersebut yang dikenal dalam kebudayaan relijius masyarakat Hindu Bali sebagai beirkut;
–  Bhatara Surya, yang memiliki fungsi memberikan kesaksian melalui sinarnya.
–  Bhatara Brahma, yakni Dewa Pencipta yang bisa dimintakan pertolongannya supaya gigi si anak bisa tumbuh dengan subur dan kuat.
–  Dewi Sri, yakni dewi yang menjadi lambang kemakmuran, sebagai bentuk permohonan supaya gigi si anak bisa tumbuh dengan baik, sehat, tidak jamuran dan tidak dimakan ulat.

  • Sarana – sarana upakara sebagai berikut :
    • Sarana Upacara kecil : Petinjo kukus dengan telor.
    • Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.
  • Waktu upacara : dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit.
  • Tempat upacara : keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah.
  • Pelaksanaanya dipimpin oleh seorang sulinggih yaitu pandita / pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua.
  • Tata cara :
    • Pemujaan / persembahan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala yadnya yang tersedia.
    • Si bayi natab mohon keselamatan.
    • Selesai upacara si bayi diberikan lungsuran yadnya / persembahan tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok / disentuhkan secara pelan dengan daging dari persembahan tadi.

sumber

Makna Segehan Agung

$
0
0

Segehan Agung adalah sěgěhan yang beralaskan nyiru yang berisi nasi, bawang merah, jahe, garam, dan uang (Kamiartha, 1992: 58). Biasanya, sěgěhan agung dilengkapi dengan kelapa dan telur itik mentah.

Segehan tersebut dibuat di atas alas nyiru yang berisi beras. Di tengahnya diberi tempat sebagai alas kelapa yang di sampingnya susun sebuah kemiri, telor, pangi ‘keluek’, gagantusan, peselan. Di luarnya diisi nasi 11 porsi yang disusun berdasarkan mata angin (Sudarsana, 2001: 83).

Sěgěhan tersebut juga dilengkapi canang gantal, dan canang rebong. Seusai dipersembahkan beras serta perlengkapannya ditaburkan ke empat penjuru, yaitu Timur, Selatan, Barat, dan Utara (Swarsi, 2003: 79).

Makna yang terkandung dalam wujud ritual sěgěhan agung adalah sebagai berikut.

  • Kata agung dalam hal ini bukan berarti ‘besar’, tetapi ‘menyeluruh’. 
  • Maksudnya, sěgěhan agung bukanlah berarti sěgěhan besar seperti pemahaman masyarakat Hindu pada umumnya, melainkan sěgěhan yang ditujukan kepada seluruh bhuta kala dan pengikut-Nya.

Hal itu tercermin dari nasi 11 porsi yang ditaruh berdasarkan mata angin dan beras serta perlengkapan yang ditaburkan ke empat penjuru mata angin. Nasi yang ditaruh disetiap arah mata angin itu mengandung makna bahwa sěgěhan itu ditujukan kepada suluruh bhuta kala yang ada di sěgala penjuru mata angin. Penaburan beras dan perlengkapan yang lain mengandung makna sebagai pemberian kepada seluruh bhuta kala yang menempati keempat penjuru yang mungkin tidak dapat hadir saat ritual dilaksanakan.

Segehan Agung ini juga menurut dokumen yang ada di forum diskusi jaringan hindu nusantara, persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut – sudut natar Merajan / sanggah / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.

Fungsi segehan agung ini juga sebagai caru yaitu untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). —sumber

Filosofi Gegantusan Dalam Agama Hindu

$
0
0

Gegantusan adalah lambang sad rasa yang merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan juga sebagai lambang kemakmuran demikian disebutkan dalam

“yadnya patni”; daksina.Dalam tetandingan banten, gegantusan (gantusan) itu terdiri dari 3 contong yg disemat jd satu,

  • Contong pertama isinya pon-2 (bumbu dapur) yg dirajang halus lalu dijemur kering diisi sekebit aja lalu contong dilipat bagian atasnya kiri dan kanan shg menyerupai layangan (lebih baik memakai daun pisang kering/kraras utk contong),
  • Contong kedua diisi ikanteri yg digoreng kering lalu ditumbuk sedikit,
  • Contong yg ketiga diisi serundeng kelapa yg ditumbuk,

Ketiga contong yg sdh dilipat mirip layangan itu lalu disatukan dg semat atau diikat dg tali kecil-2. Buat yg banyak, sehingga setiap buat banten pejati bisa digunakan lagi demikian disebutkan dalam beberapa komentar Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara.

Sebagai tambahan, Gegantusan sebagai perlengkapan pembuatan daksina dalam Pasraman Ganesha Brahmachari Ashram disebutkan merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri tersebut kemudian dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran. adalah simbol dunia misterius perwujudan Hyang Widhi Wasa sebagai Hyang Indra. —sumber

Arti Dari Wisnu Murti

$
0
0

Wisnu Murti (Memurti) adalah perwujudan Wisnu yang membesar dan angker wujudnya namun bermakna kedamaian. Sebagai dewa pemelihara dalam Tri Murti, Dewa Wisnu selalu memelihara ciptaan Tuhan dengan sangat tekun. Dalam hal manusia berbuat banyak kesalahan maka nasehat-nasehat Beliau sebagai dewa bisa saja keras dan puncaknya dengan “kemarahan untuk kedamaian” dan itulah yang disebut “memurti” yang sebagaimana dijelaskan dalam artikel “Kata Mutiara Baru”, disebutkan;

  • Beberapa kali Wisnu “memurti”, yang tak lain dimaksudkan untuk mengembalikan alam ciptaan Tuhan maupun dari nafsu-nafsu buruk manusia.
  • Jiwa dari Wisnu Murti itu sebenarnya dimaksudkan semoga masyarakat bisa terus memelihara alamnya dan jangan sampai Wisnu jadi “memurti”.

Dahulu juga diceritakan untuk menyelamatkan alam ini, Sang Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) menjadi kurma yang berlidah cakra, bertaring tajam (suligi), atau (berbelai) bajra / genta yang amat utama, amat dasyat wujud kura-kura itu, besar badannya untuk berperang melawan seorang raja yang bernama Watugunung yang amat sombong dan lalim. Saat itu Redite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya, yang oleh oleh Batara Wisnu, Sang Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada) sehingga damailah kembali alam ini. —sumber

Upacara Nangluk Merana

$
0
0

Upacara Nangluk Mrana (merana) adalah upacara yadnya yang dilaksanakan sebagai permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa agar berkenan menangkal atau mengendalikan gangguan – gangguan yang dapat membawa kehancuran atau penyakit pada tanaman, seperti padi di sawah, hewan maupun manusia sehingga tidak membahayakan lagi.

Asal katanya disebutkan “Nangluk Mrana” berasal dari kata bahasa Bali yang kemungkinan juga mendapat pengaruh bahasa sansekerta.

  • “Nangluk”  berarti empangan, tanggul, pagar, atau penghalang; dan “mrana”  berarti hama atau bala penyakit.
  • Mrana adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut jenis-jenis penyakit  yang merusak  tanaman. Bentuknya bisa berupa serangga, binatang maupun dalam bentuk gangguan keseimbangan kosmis yang berdampak merusak  tanaman.

Jadi “nangluk mrana” berarti mencegah atau menghalangi hama (penyakit), atau ritual penolak bala.

Dalam lontar “Perembon Indik Ngaben Tikus”  sekilas dijelaskan bila tikus telah menjadi hama  ganas yang menyerang sawah petani, maka sebaiknya dilakukan upacara seperti mengupacarai orang mati biasa. Dan upacara hendaknya dilakukan di tepi pantai dengan cara dibakar.

Namun dalam lontar itu tidak dijelaskan secara rinci jenis upakara atau tetandingan banten maupun tata cara pelaksanaannya. Tata cara upacaranya seperti mengupacarai orang mati biasa dan hendaknya tempat upacara di tepi pantai dengan cara dibakar atau disebut dengan istilah “ngaben tikus”. Hal ini dijelaskan sekilas dalam lontar “Sila Gama Catur Pataka.”

Dalam lontar “Yama Tattwa” disebutkan bahwa waktu yang paling tepat untuk melaksanakan ngaben tikus adalah pada saat gugusan bintang di langit membentuk rasi tikus.

Hampir semua lontar yang sekilas menjelaskan ngaben tikus menyebut pantai (laut) sebagai tempat yang paling baik untuk menggelar upacara pengabenan tikus itu.

Menurut kepercayaan orang Bali, segala penyakit dan hama bersumber dari laut selatan yang dikuasai oleh Dewa Laut, Sang Hyang Baruna.

Dari laut selatan itulah segala hama penyakit disebarkan oleh Ratu Gde Mecaling (Penguasa Kegelapan) yang beristana di Nusa Penida.

Bahkan Pura Masceti yang terletak di pinggir pantai di Gianyar dianggap sebagai pura yang menguasai tikus. Para petani  wajib datang ke Pura Masceti memohon agar terhindarkan dari wabah tikus yang menyerang tanaman padi mereka.
Sasih yang paling baik untuk menggelar upacara Nangluk Mrana adalah :

  • Sasih keenam (Desember),
  • Sasih kepitu (Januari),
  • Sasih keulu / Kawolu (Pebruari),
  • Sasih kesanga (Maret)

yang menurut keyakinan orang Bali merupakan bulan-bulan rawan yang penuh marabahaya.  Menurut kepercayaan yang tumbuh subur di pesisir selatan Bali,
pada bulan-bulan keramat itu, seperti yang telah disebutkan di atas, penguasa Nusa Penida, Ratu Gde Mecaling sedang gencar-gencarnya menyebarkan wabah dan penyakit ke Bali daratan.

Dan pada bulan-bulan rawan itu biasanya berbagai jenis wabah penyakit merajalela. Untuk menetralkan kembali keseimbangan kosmis yang terganggu maka digelarlah berbagai jenis ritual penolak bala, salah satunya adalah ritual  Nangluk Mrana.
Sebagai tambahan:

  • keris juga digunakan pada saat upacara nangluk merana pecaruan sasih desa adatKuta.
  • Banaspatiraja merupakan kekuatan pelindung dari segala macam penyakit atau hama yang ada di sawah yang berfungsi sebagai nangluk merana untuk menetralisir kekuatan negatif.
  • Nangluk merana yang dilakukan oleh krama subak dalam rangka untuk menolak hama yang ada di sawah
  • Dalam penelitian ritual nangluk mrana ini disebutkan upacaranya terbagi menjadi dua yaitu ritual nangluk marana di lingkungan rumah tangga dan dalam bidang pertanian.

sumber

Viewing all 668 articles
Browse latest View live